01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima!"

"Terima! Terima!

"Bagas terima!"

Suara riuh dari sekitarnya tidak dihiraukan Airina, gadis cantik itu berdiri tak jauh dari kerumunan. Ia hanya memperhatikan dari jauh apa yang terjadi sebenarnya, ternyata ada seseorang yang menyatakan cinta pada Bagas lagi. Gadis itu menatap lurus ke arah cowok yang berdiri dengan berkacak pinggang, di depan cowok itu terdapat gadis yang membawa bunga mawar merah. Apakah kali ini Bagas akan menerimanya?

Sudah banyak perempuan yang menyatakan perasaannya pada Bagas yang berakhir di tolak oleh cowok itu. Ada sedikit rasa lega pada diri Airina saat Bagas menolak cewek-cewek yang mendekatinya, jujur ia tidak pernah berharap apa pun untuk cowok tampan itu. Hanya saja ia belum rela melihat Bagas menggandeng tangan seseorang yang menjadi kekasihnya nanti.

"Ayok ikut!"

"Eh-" Tarikan tangan Diandra membuat Airin mau tak mau mengikuti langkah sahabatnya itu, tibalah mereka di baris paling depan dan melihat apa yang di lakukan gadis yang mempunyai nyali besar menyatakan perasaannya di depan umum.

"Punya apa lo berani minta gue buat jadi pacar lo?"

Airina hanya tersenyum kecil dalam hati, ini yang membuatnya tidak mau secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya menyukai cowok dengan kekayaan yang mungkin tidak bisa ditandingi olehnya. Lebih baik ia memendam rasa sukanya untuk cowok itu, dari pada harus mengatakan dan berakhir sakit hati.

"Gue punya hati," kata gadis itu.

Airin melihat pergerakan Bagas yang memalingkan wajahnya dan berekspresi meremehkan, ia tahu karakter Bagas. Bagas yang sombong dan sering menganggap rendah orang-orang, hanya karena dirinya memiliki segalanya. Airin sadar, cowok seperti itu tidak sepantasnya ia sukai. Hanya saja ia tidak memaksakan hati, iya kan?

"Hati lo bilang? Udah lah lo nggak bisa jadi pacar gue, nggak pantes!" ujar Bagas.

Airin ingin pergi dari sana dan memutuskan untuk melepaskan paksa gandengan tangan sahabatnya, tetapi hal itu sepertinya mengusik ketenangan seorang Bagas dan sekarang cowok itu menatap ke arahnya! Sial!

"Dia udah jadi guru privat gue, dan dia yang larang gue buat pacaran," kata Bagas menunjuk ke arahnya, membuat seluruh mata seperti menusuknya dari berbagai sisi. Airin hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Sorakan kecewa dari para penonton membuat Airin bersyukur, Airin terhindar dari tatapan-tatapan mematikan itu. Diandra sekarang menatapnya dengan tatapan membunuh, ia lupa bahwa Diandra adalah salah satu fans Bagas garis keras. Gadis itu selalu tahu berita ter-update dari seorang Bagaskara, Airin hanya mengangkat bahunya acuh dan segera meninggalkan tempat itu.

"Irin!"

"Tunggu ih!"

Airina Aquillera, gadis yang berumur 15 tahun dan baru menempati kelas 11 bulan ini harus menghadapi urusan yang rumit dengan seseorang yang bernama Bagaskara. Bagaskara adalah anak dari ketua Yayasan, yang mana orang tua Bagas meminta pihak sekolah untuk mengajari putranya pelajaran yang belum dimengerti.

Katanya, Bagas sangat susah jika memanggil guru les apalagi jika Bagas datang ke tempat bimbel. Hal itu sangat mustahil dilakukan, mengingat bagaimana nakalnya Bagas dan ingatkan bahwa cowok itu pandai melarikan diri. Dan Airin penerima siswi beasiswa ditugaskan untuk mengajari Bagas, meksipun banyak yang tidak mendukungnya ia akan tetap mencoba.

Lagi pula, pertemuan pertama dengan Bagas di rumah cowok itu tidak terlalu buruk. Bagas mau diajari meskipun cowok itu terus mengoceh dan protes, hanya saja dia masih mau mendengarkannya. Ia senang untuk itu!

🌿🌿🌿

Di sisi lain, seorang cowok tengah meniup asap rokok yang keluar dari mulutnya sendiri. Saat ini ia berada di rooftop, bersama dengan teman-temannya yang juga sama merokoknya. Sebenarnya sekolah melarang siswanya membawa rokok, apalagi merokok di halaman sekolah. Tetapi, aturan itu seperti tidak berlaku bagi Bagaskara dan teman-temannya, mereka tidak pernah ketahuan meskipun sudah lama ia merokok secara diam-diam di sekolah.

"Lo sama tuh cewek ada hubungan apa, Gas?"

Bagas yang sedang asyik dengan asap rokoknya pun tersadar dan menoleh ke arah Gerry yang mengajaknya berbicara, "cewek yang mana?" tanyanya tak peduli.

"Cewek yang kemarin ke rumah lo," kata Dion ikut menyahut, ia juga penasaran hubungan apa yang dimiliki seorang Bagaskara dengan gadis itu sama seperti Gerry.

"Nyokap gue nyuruh dia jadi guru privat gue," jawab Bagas singkat, ia mengambil ponselnya yang bergetar pelan di sampingnya. Saat Gerry akan menanyakan lagi, Bagas mengangkat tangannya memberi isyarat bahwa Gerry harus diam. "Hallo, apa kabar?" sapanya mengangkat telepon.

"Aku mau kita putus."

Bagas yang tadinya tersenyum ceria langsung mengubah ekspresinya, "kenapa? Aku salah apa, Ra?" tanyanya memastikan.

"Aku nggak mau ada hubungan sama kamu lagi. Aku mohon sama kamu, jangan ganggu aku lagi."

Bagas menatap layar ponsel yang kini menampilkan bahwa yang menelponnya tadi memutuskan sambungan, dan sekarang layar itu menghitam menunjukkan ekspresi dirinya yang cukup menyedihkan. Ditinggal seseorang yang kita cintai, kenapa rasanya sesakit ini?

"Gas, lo nggak apa-apa?"

Bagas hanya diam saja tak merespon sahabat-sahabatnya, hubungan backstreet yang ia jalani dua tahun ini harus kandas tanpa alasan dan tanpa permasalahan. Ia bingung harus bercerita apa dengan teman-temannya, karena salah satu dari mereka tidak ada yang mengetahui hubungannya.

"Lo kenapa sih? Nggak biasanya kayak gini," kata Dion.

Bagas tersadar dan menggelengkan kepalanya, "gue nggak apa-apa, gue mau cabut," ujarnya setelah berhasil berdiri, dan sekarang kakinya melangkah turun dari sana dengan langkah yang tidak bisa dijelaskan. Dunianya seperti dipaksa hancur, hanya saja ia seorang laki-laki dan ia tidak bisa menangis.

Di koridor, ia berpapasan dengan seorang gadis yang Sabtu lalu di rumahnya untuk mengajari dirinya. Jika boleh ia nilai, gadis itu pantas menjadi seorang guru. Penjelasannya mudah dipahami, dan lagi- dia sangat telaten. Apalagi saat ia bertelepon ria dengan kekasihnya-

Ugh! Jangan ingatkan kekasih yang sekarang sudah menjadi mantan itu, percuma ia begitu menyayanginya jika akan berakhir sia-sia seperti ini. Tugas Bagas adalah melupakan hal yang tidak seharusnya ia ingat, ia bukan seseorang yang suka memaksa. Sebenarnya ia bisa memaksa em- Maura menjaga hubungan mereka, sayangnya, ia hanya ingin hubungan sehat. Bukan toxic, ia hanya ingin menjalani hubungan yang sama-sama menginginkan, jika salah satunya sudah tidak mau lebih baik ia mengalah.

"Tugas buat kelas lo," katanya membuat Bagas tersadar dari lamunannya, ia menatap datar cewek di depannya yang sama sekali tak menatapnya. Cewek itu hanya menyodorkan selembar kertas ke arahnya, sopankah begitu?

"Lo anterin ke kelas, gue ada urusan."

"Nggak bisa, kata guru mapel lo ini harus sampai di tangan Bagaskara. Itu nama lo kan?" tanyanya membuat Bagas berdecak dan merebut kertasnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dirinya berbalik meninggalkan cewek yang diam saja.

"Sama-sama!" teriak cewek itu.

🍁🍁🍁

"Lo anterin ke kelas, gue ada urusan."

Airina yang mendengar itu langsung menghembuskan nafasnya dan menatap wajah cowok itu, kenapa jantungnya berdetak kencang? Arrgggghhh- "Nggak bisa, kata guru mapel lo ini harus sampai di tangan Bagaskara. Itu nama lo kan?"

Airin mengatakan hal itu dengan tenang, mungkin untuk yang satu ini ia harus mengacungkan ibu jari untuk dirinya sendiri. Mata Airin melihat Bagas yang mulai melangkah pergi membawa selembar kertas yang diberikannya pun membulat, dia tidak mengucapkan kata terima kasih?

"Sama-sama!" teriaknya karena kesal.

Bagas yang menoleh membuat jantung Airin berpesta lagi, ia jadi menyesali teriakannya yang membuat jantungnya tidak karuan. Sial- tapi itu bagus, Bagas mulai menyadari keberadaannya. Iya, mungkin ini adalah awal yang baik.

Eh- sadar Rin! Nggak seharusnya lo berharap bisa dekat sama Bagas! Airin menghela nafasnya pelan mengingat hal itu, ia dan Bagas bukan dua manusia yang saling mencintai. Hanya dirinya yang menyukai cowok itu, sedangkan Bagas- tahu dirinya saja sudah cukup.

"Rin!"

Airin menoleh ke arah Diandra yang ternyata sudah ada di sampingnya, Diandra melirik arah pandangnya membuat Airin gelagapan dan segera menarik tangan Diandra, "ayo ke kelas."

"Lo tadi liatin Bagas?"

"Hah- e-enggak kok."

Diandra menatapnya dengan tatapan menyelidik, "jangan bilang lo suka sama dia? Tapi lo nggak pernah bilang apa-apa sama gue?" Selidiknya membuat Airin gugup.

"G-gue nggak suka sama dia kok, tenang aja. Tadi gue disuruh Bu Wid buat antar tugas ke Bagas, jadi ya gue mastiin kalau dia benar-benar masuk kelas," kata Airin mencari alasan, untungnya Diandra mengangguk memaklumi jawabannya. Syukurlah....

"Lagian jangan ngaco deh," kata Airin tertawa hambar, Diandra pun ikut tertawa meskipun sepertinya ia masih curiga terhadap apa yang dikatakan Airin.

Mereka berdua segera kembali ke kelas, Airin cukup dikenal baik di angkatannya karena ia selalu menjadi peringkat 1 paralel setiap semester. Dikenal karena prestasi? Siapa yang tidak bangga? Bahkan sahabatnya saja ikut bahagia setiap mendengar bahwa Airin menjadi nomor satu lagi. Diandra yang selama ini menemani gadis itu sejak kelas 10, karena kebetulan mereka teman sejak SMP.

"Susah nggak sih ngajarin Bagas?"

Pertanyaan itu tiba-tiba terdengar dari bibir Diandra, Airin duduk di kursinya. "Nggak juga, tapi kadang dia nyebelin aja. Lo tau lah sifatnya gimana," katanya sedikit menjelaskan.

"Rumahnya bagus ya? Gede banget pasti?" tanya Diandra lagi.

Airin mengangguk, "iya, sayangnya sepi. Gue nggak tau keluarga Bagas di mana, tapi lo jangan cerita ke siapa-siapa ya? Di rumah itu cuma banyak asisten rumah tangga aja, gue nggak liat bonyoknya."

"Tenang aja, kok gue jadi kasian ya sama Bagas?" kata Diandra membuat Airin terkekeh kecil. "Ih lo kok ketawa sih?!"

"Bagas bahagia, lo tenang aja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro