Just a Story Who Made Me Cry Out Loud (OC)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu, Nash baru saja selesai bekerja. Mesin mobil menderu di depan rumah besar mereka. Wanita cantik bersurai gagak penghuni rumah melangkah, bersiap menemui sang suami. Membuka kunci, sudah nampak pria dengan tubuh tinggi di depan rumah.

"Tadaima."

Sapa pria itu ramah. Pria bersurai senada dengan sang istri itu bernama Nash Zoldyck. Tentu saja, seorang pria dengan hidup bahagia dan memiliki 2 orang anak. Rei Zoldyck dan Gaku Zoldyck. Sang istri, Hellen Zoldyck menjawabnya, lagi-lagi dengan senyum.

"Okaeri nasai, Otou-san."

Sepertinya, kali ini, ia akan berusaha sebaik mungkin menjadi seorang ayah. Rasanya pula, ia harus meminta maaf pada anak pertamanya -- hasil hubungan gelapnya dengan seorang wanita (yang tidak ia cintai) -- atas kematian ibu kandungnya. Juga tentang Gaku yang seringkali ia abaikan.

Ya, Hellen tahu semua itu.

Nash bergerak masuk. Berjalan meninggalkan sang istri yang baru menutup pintu.

"Nash..."

Tak biasanya, istri tercintanya itu memanggilnya dengan nama. Ada apa?

"Apa kau..."

Nash masih diam. Sebenarnya ia khawatir. Hanya saja... Pria kepala 3 itu jago berakting.

"... Membunuh lagi..?"

... Haruskah ia jujur..?

Ingatannya terulang lagi. Tentang bagaimana Rei yang kala pertama kali bertemu dengannya berteriak pembunuh dengan kalap. Tentang anaknya keduanya yang seringkali menangis tertahan di tiap malam. Merintih sakit atas bekas pecutan yang terkadang diberikannya.

Haruskah ia jujur?

"... Iya."

Astaga, Nash. Baguslah, kau berbohong. Ya, tentang wanita yang hampir diperkosa beberapa orang pria. Dia menyerang mereka.

Sampai tewas.

Bukankah itu artinya membunuh juga?

"Nash... Kumohon.. Berhentilah..."

Ia tau, istrinya begitu kecewa. Namun, tak sedikitpun ia mampu mengutarakannya. Bahkan rasanya, menghapus bulir dari pelupuk matanya pun sudah tak pantas.

Ia tak pantas mendapatkan wanita baik sepertinya.

Nash mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkusnya dengan kertas coklat. Gaji bulanannya. Bukan, ini bukan tentang membunuh. Ini tentang usahanya mendapat uang tambahan dari atasan. Seperti lembur atau sedikit hal lainnya.

Ia melemparkannya. Pas sekali. Tepat di muka malaikatnya.

"Ini gajiku."

Benar-benar seorang ayah tak berguna. Percayalah, Nash, kau akan menyesalinya.

"Nash..."

Panggil Hellen. Suaranya lemah, tak seperti biasanya yang begitu lembut dan menenangkan. Sang ayah menggigit bibir, berusaha menampilkan wajah datarnya. Ia tak pantas.

Harusnya, sejak awal, ia mundur saja.

"Apa."

Suaranya begitu ketus. Ia tak seharusnya begini. Batinnya panik. Pemilik manik abu meneduhkan itu seakan tak ada lagi. Malaikatnya berjalan mendekat. Matanya sarat kekecewaan. Tubuhnya memutuskan berbalik, menghadap sang istri.

"Kumohon... berhentilah.."

Suaranya serak. Dan bisa Nash tebak, tak lama ia menangis. Tangannya ingin sekali bergerak mengelus rambut gagak Hellen, jarinya seakan benar-benar tak tahun dengan eluh yang menetes dari pelupuk mata wanita tersebut.

Tapi ia tak bisa. Ia bukanlah siapapun baginya. Ia tak pantas. Bahkan memiliki perasaan itu, sama sekali tak pantas.

Haruskah ia mengakhirinya?

Wanita itu masih menangis terisak. Kakinya lemas, hingga jatuh terduduk di kakinya. Pertama kalinya, pria itu melihat Hellen menumpahkan perasaannya. Tentang betapa kecewanya ia pada budak korporat jenius tersebut. Tentang rasa sakit yang selalu dipendamnya.

Ia tahu, ia seburuk itu.

Namun...

Haruskah ia mengakhirnya?

Ia sama sekali tak menginginkan liquid bening itu menetes lagi, meluncur di atas pipinya, terjun bebas dari bawah dagu.

Ia memutuskannya. Jika semua orang akan membencinya, maka lakukanlah. Jika mereka berusaha membunuhnya, maka lakukanlah. Jika tak seorangpun memaafkannya, maka biarlah itu terjadi.

Biarlah seburuk itu.

Tangan Nash bergerak mencengkeram leher Hellen. Wanita itu tersentak, berhenti bersuara. Ia mencengkeram semakin kencang, bahkan hingga mengangkatnya.

Jika cinta sejatinya bahkan berbalik membencinya, maka biarlah. Ia terlalu pantas mendapatkannya.

'Maaf'.

Sepuluh detik berlalu. Manik abunya tertutup sempurna. Tangannya bergetar, tanpa sadar justru menjatuhkan sang istri.

Dari balik lemari. Ia tahu anak bungsunya melihat keseluruhan. Menatapnya sarat rasa takut. Bibirnya kembali bergetar. Ia membulatkan tekad. Tak apa. Kebencian yang akan melenyapkannya, ia pantas. Barangkali, suatu hari, ia ingin dilenyapkan oleh anaknya sendiri.

'Maaf, Gaku.'

**

Bagus Nash, dulu aku benci kamu sampe sering caci. Dan sekarang, you steal my heart easly, just a minute. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro