Terjepit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aaaaccchhhhh...," teriakku dan Ria secara bersamaan. Kami sungguh tak percaya dengan apa yang kami lihat saat ini. Rasanya semuanya benar-benar di luar perkiraan kami sebelumnya.

Di depan mata kami di bawah sinar Sang rembulan, yang kami lihat bukan lagi papan kayu yang tersusun dengan rapi dan menjadi penghubung antara satu kamar dengan kamar lainnya. Yang ada di hadapan kami adalah air laut lengkap dengan ombaknya yang sedikit menakutkan dan siap membuat kami terhanyut jika selangkah saja kaki melangkahkan kaki dari ambang pintu tempat kami berdiri.

Tanpa aba-aba aku dan Ria bersama-sama memundurkan kaki kami dan langsung membanting pintu dengan sangat kerasnya serta menguncinya rapat agar makhluk laut apapun itu tidak masuk ke dalam kamar. Tak ada kata yang keluar dari bibir kami, aku dan Ria sama-sama tenggelam dalam pemikiran masing-masing dan mencoba menenangkan jantung yang sudah mulai berdegup dengan kencangnya bagai kami telah melakukan lari marathon beratus-ratus kilometer jauhnya.

"Aaaawww...," tiba-tiba aku mendengar Ria yang berdiri hanya beberapa di sampingku berteriak dengan kerasnya bagai jarak kami terpisah belasan meter.

"Ada apa Ri?" tanyaku kaget sambil menatap ke arah Ria dengan mimik yang aku yakin pasti sedikit pucat karen panik dan kaget bercampur menjadi satu.

Bersamaan dengan wajahku yang menatap Ria lekat, PLN pun kembali bersahabat hingga memberikan penerangan yang tadi sempat hilang sesaat.

"Gak apa-apa, aku hanya ingin memastikan kalau semua ini benar-benar nyata dan bukan sekedar mimpi," jawab Ria.

Aku tak paham bagaimana dia bisa berpikir mengenai hal itu di saat keadaan segenting ini. Keadaan ini benar-benar membuatku kebingungan karena bagaimana bisa tiba-tiba kami berada di tengah-tengah laut tanpa penghubung kedaratan. Bagaimana kalau kami berdua di makan oleh ikan hiu atau mungkin monster laut.

Membayangkan hal itu membuatku bergidik dan memejamkan erat kedua mataku. Mati di dalam perut ikan saat liburan. Uuuhhh... itu bukan sesuatu yang indah dan terlebih artinya itu akan membuatku berpisah dari Hendra.

Hendra, entah di mana pria itu sekarang berada. Biasanya dia akan selalu mengeluarkanku dari semua keadaan yang menjepitku dan hampir membuatku kehilangan detak jantungku. Tapi sepertinya kali ini aku harus menyelamatkan diriku sendiri dan Ria tanpa bergantung pada Hendra.

"Aaaccchhh...," tiba-tiba aku mendengar Ria berteriak kembali dan membuyarkan semua pikiranku.

"Ada apa?" tanyaku panik.

"Itu... itu...," kata Ria sambil menunjuk sesuatu.

Tanpa menunggu penjelasan darinya aku langsung mengarahkan pandanganku ke arah yang di tunjukkan oleh Ria. Di sana aku melihat sebuah tangan berlumuran darah terulur dan mulai bergerak mendekat. Sontak saja hal itu membuatku kaget setengah mati. Ini memang bukan pertama kalinya aku melihat penampakan, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat sebuah tangan berlumuran darah yang tengah bergerak mendekat ke arahku dan Ria.

Tanpa kata aku langsung memundurkan kakiku mencoba untuk memberi jarak antara aku dan tangan itu sambil mencari jalan keluar yang tepat dari masalah ini.

"Di...," terdengar suara Ria yang mulai bergetar karena ketakutan.

"Entah Ri, aku tak tahu harus berbuat apa menghadapi semua ini," kataku yang memahami apa maksud dari panggilan Ria tadi.

Tangan itu terus bergerak mendekat hingga aku dapat melihat bagaimana bentuknya dengan jelas. Itu adalah seonggok rangan sampai sikut dengan ujung menyerupai bekas gigitan--tidak rata dan tidak mulus bahkan cenderung ada beberap luka mengerikan di ujungnya. Darah segar terus keluar dari ujung lengan itu dan juga dari luka di sayatan pada lengan itu.

Kembali aku begidik melihat pemandangan yang entah bagaimana kali ini sukses membuat perutku mual dan ingin memuntahkan semua isinya. Darah yang terus menerus keluar dari tangan itu benar-benar membuatku pusing.

"Ya Tuhan...," pekikku cukup keras saat secara tiba-tiba aku melihat segerombolan belatung keluar dari ujung tangan itu secara bersamaan.

Perutku yang sudah mual kini terasa semakin di aduk-aduk melebihi rasa saat aku naik komedi putar bersama Hendra beberapa waktu lalu. Kini aku benar-benar ingin mengeluarkan semua isi dalam perutku.

"Uek...," belum aku mengeluarka  isi perutku, Ria sudah mengeluarkan isi perutnya terlebih dahulu.

"Are you ok, Ri?" tanyaku sambil menatap ke arah Ria yang kini sedang memegangi perutnya.

"Aku baik, hanya aku tak tahan sama itu," kata Ria sambil menunjukkan gerombolan Belatung yang semakin lama semakin banyak bertebaran di sekitar tangan itu.

Setelah Ria mengeluarkan isi perutnya, tangan itu bergerak dengan begitu cepatnya ke arah muntahan Ria dan lagi-lagi dia mengeluarkan pasukan kecil yang begitu menjijikan.

Tuhan ... makhluk apa itu sesungguhnya, aku benar-benar baru melihat hal itu. Sosok tangan biasanya menakuti manusia, tapi itu terlihat sangat berbeda. Ini benar-benar berbeda dari biasanya.

"Bagaimana ini Di?" tanya Ria dengan suara yang mulai penuh dengan kepurus asaan.

Bruk... tiba-tiba aku mendengar suara benda jatuh dengan begitu kerasnya tepat sesbelum aku menjawab pertanyaan Ria. Mataku kembali bersinar nyalang mencari sumber suara yang sedari tadi membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Ada rasa kesal dan dendam dalam pandanganku yang mencari sosok tak kasat mata yang entah berada di mana sekarang.

Aku mengedarkan pandanganku ke sana-ke mari, tapi hasilnya sama seperti sebelumnya--nihil. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi pada tempat ini, semuanya di luar nalarku. Mulai dari salah naik kapal hingga suara benda jatuh, suara perempuan minta tolong dan tentu saja tangan yang menakutkan dan menjijikan.

"Ya Tuhan...," kali ini Ria lagi-lagi memekik dengan suara yang sangat keras.

Aku tidak menatap ke arah Ria karena saat ini aku dapat melihat apa yang Ria lihat. Dalam jarak beberapa meter berdiri seorang perempuan berbaju putih dengan wajah berlumuran darah. Dan dia memegang sebilah pisau yang terlihat begitu tajam di  tangan kanannya.

Perlahan tapi pasti dia mulai berjalan ke arah kami sambil mengacungkan pisaunya tinggi. Dia sepertinya benar-benar bersiap untuk menyerang kami dan melenyapkan nyawa kami yang hanya satu-satunya.

Aku dan Ria melangkahkan kaki kami ke belakang secara bersamaan tanpa melihat pijakan sama sekali. Mata kami benar-benar terpaku pada sosok perempuan itu. Matanya jelas sekali menyorotkan tanda permusahan dan kebencian, apakah dia terusik dengan kehadiram kami? Ah entahlah.

Bruk... terdengar suara yang cukup keras antara tubuhku dan Ria dengan dinding. Kini kami benar-benar sudah berada di pinggir. Kami saling pandangbseolah sama-sama bertanya dengan jalan keluar yang harus kami ambil.

Keadaan ini benar-benar bagai buah simalakama. Di depan kami ada sosok perempuan berpisau siap menghabisi kami, sedang di balik pintu yang berjarak beberapa senti dariku ada laut lepas.

"Aaaaccchhh...," teriakku dan Ria saat perempuan itu berada di hadapan kami dan mulai mengayunkan pisaunya

***
Maaf kalau kurang greget dan ada typo, saya ngantuk berat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro