The Blue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.


Adelia melompat girang begitu setiap inci telapak kakinya menyentuh pasir putih, langit biru yang memantul ke hamparan air di depan sana menambah histeria yang tumbuh di hati. Ia membenamkan setengah betis di genangan air asin berwarna biru terang, riaknya putih dengan ombak-ombak kecil yang menyapu sampai ke bibir pantai. Menendang-nendang air seraya memainkan gaun lengan pendek selutut yang sudah basah kuyup, tawanya betul-betul lepas, cerah, dan hangat seperti hari ini.

"Ayo, Will!" Teriak Adelia serata melambaikan tangan, mengabaikan punggung tangan sampai sikut yang mulai memerah terbakar matahari, senada dengan semburat di wajah yang terlindung topi lebar berhias pita. Iris hijaunya memantulkan bayangan seseorang yang berdiri tak jauh tengah berkacak pinggang, menarik sudut bibir lebar-lebar begitu panggilan kekanakan dari gadis itu sampai di gendang telinganya.

"Jangan terlalu jauh dari pantai," ucap lelaki, memilih duduk berselonjor kaki menikmati kelembutan benda-benda halus yang terhampar dari ujung ke ujung. Salah satu alisnya berkedut merasakan sesuatu tengah merayap di betisnya, seekor kelomang tampak asik memanjat.

Melihat Will malah asik bermain dengan sesuatu, membuat Adelia menyudahi acara basah-basahannya dan bergegas mendekat. Ia spontan merebut binatang itu yang langsung bersembunyi ke dalam cangkang, meniup tepat di lubang kelomang berharap makhluk itu sudi keluar lagi.

"Dia sembunyi," ketus Adelia mengembalikannya, mengambil tempat nyaman di sebelah Will sembari menyandar santai di bahu lebar. "Buang saja itu."

Will terkekeh pelan, melepaskan kelomang yang serentak menjauh begitu cangkangnya menyentuh pasir. Lengan yang terbungkus kemeja tipis itu mengelus sejenak poni Adelia yang memejam. Menjelajahi setiap helaian surai sewarna madu yang memantulkan sinar mentari, begitu menyilaukan mata, menghipnotis siapa saja untuk menyentuh gelombang-gelombang kecil yang menggantung teratur, lembut, dan wangi vanila.

Sementara gadis itu hanya terpejam, sentuhan memabukkan membawa pikirannya melanglang buana. Adelia makin merapatkan duduk hingga tangan mereka bersentuhan, embusan napas Will terasa lucu menerpa pucuk kepala. Kapan keduanya menjadi dekat seperti sekarang? Yahh, ia tak peduli, selama lelaki itu dan dirinya masih bergandengan, Adelia akan merasa baik-baik saja.

Adelia menarik napas dalam-dalam, membuka mata melirik ke arah Will yang ternyata tengah menatap dirinya sendari tadi. "Aku harap waktu berhenti saat ini," celetuknya dilanjutkan tawa kecil. Mengarahkan jemari  tangan kanan menelisik setiap sudut wajah Will, mengelus lembut puncak hidung mancung, lalu beralih pada sudut bibir yang agak kering.

Kini mata biru dan jambrud saling bertatap dalam diam. Senyuman terkembang di wajah Will, tetapi sedikit berbeda. Adelia memiringkan kepala mendapati kedua sudut bagian dalam alis Will menekuk ke atas, diikuti sorot mata yang tampak sendu. Air muka orang yang duduk di sebelah agak membuat ia anak perempuan yang baru berulang tahun ke delapan belas berdegup kencang.

Will ikut menyentuh pipi lawan bicaranya, kemudian mencolek halus bulu mata panjang Adelia dilanjutkan dengan telunjuk yang turun lembut sampai ke dagu si pemilik wajah. "Aku pun," katanya, "hanya saja, Adelia ... lepaskan saja ... aku sudah mati ...."

Dunia seketika berputar hebat, Adelia terjengkang beberapa jengkal ke belakang begitu tarikan gravitasi tiba-tiba memberat dari segala arah. Tubuhnya merapat pada pasir yang mendadak berubah keabu-abuan, dingin, dan basah penuh kerikil kecil yang entah muncul dari mana. Melihat liar ke segala arah, pemandangan bak wahana ekstrem yang asik membanting tubuhnya ke sana kemari, mual mendesak ulu hati hingga Adelia memuntahkan isi perut yang hanya air kehijauan.

Keadaan berbalik seratusan delapan puluh derajat, lautan tak kebiruan melainkan kehitaman dengan langit yang dipenuhi awan-awan yang menutupi matahari. Angin menusuk-nusuk permukaan kulit yang keunguan, getaran tangan dan kaki Adelia cukup menjelaskan bahwa suhu telah jatuh di bawah batas normal. Gaun tipis selutut yang sangat disukai Will tak lagi seputih kapas, kusam dan termakan waktu, pakaian itu menggelepar ditampar aliran udara yang tertiup dari samudera.

Sudah berapa tahun? Sudah sampai mana Adelia harus kerap kali mengulang bungan tidur yang serupa setiap waktu, kembali mengharapkan hal yang jelas-jelas tak mungkin. Tangisnya memecah nyenyat, ditemani gempuran ombak yang agak besar diikuti rintik-rintik tangisan dari atas sana, Adelia menggaruk-garuk pasir putus asa, kulit jemari sampai terkelupas, meneteskan beberapa berma amis---menyatukan pasir yang bercampur air mata. Bersimpuh pada kedua kaki yang tak kuasa lagi berjalan di menyusuri kehidupan yang telah berubah.

Sungguh, ia sangat merindukan Will sampai-sampai otaknya terus memutar memori bahwa lelaki itu masih datang membawa setangkai Lily putih yang diikat pita merah, berdiri di ujung tangga menunggu dirinya selesai bersiap untuk bermain seharian di pantai. Wangi parfum itu tercium meski Adelia mengubur setiap aroma yang mungkin mengingat ia tentang Will di bawah kasur.

Surainya tak lagi bersinar seperti dahulu, redup dengan beberapa helai memutih, sorot mata pun ikut kosong. Jejak air mata yang tak pernah mengering senantiasa mengalirkan satu demi satu tetesan cairan otak. Bagian bawah matanya menghitam, bibir yang semula bak apel ranum kini seperti buah plum kering, sebagian bobot tubuhnya termakan nestapa hingga Adelia tak sanggup menelan tanpa merasa sengsara.

Menggunakan sisa-sisa tenaga, membawa tungkai telanjangnya mendekati air, membiarkan setiap molekul memeluk Adelia hingga sebatas dada.

"Apa yang harus kulakukan? Will, kenapa kau meninggalkan aku sendirian. Bagaimana dengan janji akan hidup bersama selamanya ...," bisiknya, kedua tangan yang terkatup di depan dada memegang erat dua benda berbentuk lingkaran, salah satu memiliki manik tengah-tengah yang dilindungi empat daun kecil sebagai penopang, sementara satunya polos.

Ia sempat bergeming sejenak, tetapi sekuat apa pun melawan, raganya tetap menolak semua cara untuk melepas kenangan yang telah terukir di darah.  Adelia melanjutkan berjalan gontai, mengabaikan rasa sesak dan perih di kulit begitu lautan kian mendekap. Menuju satu titik di mana Will terlihat mengulur kedua tangan berusaha meraihnya.

Adelia membalas uluran itu, meraih seluruh tubuh Will, lantas mendekap lelaki yang sudah menjadi setengah jiwanya seerat mungkin. Ia telah membulatkan tekad untuk menjemput mimpinya, menyusul William---cinta Adelia yang tenggelam sepuluh tahun lalu.


.
.
.

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro