Gede Rasa.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka mataku yang terasa lengket karena suara Mbak Jennie HitamMerahmuda yang memecah kesunyian kamar.

Aku buru-buru membuat ponselku di atas nakas berhenti berdering agar tidak berisik. Meski mataku masih merem melek, menyesuaikan dengan lampu kamarku yang temaram.

Monyedward calling.

Apa manusia ini waras? Kenapa dia meneleponku subuh-subuh begini? Aku perhatikan lebih seksama angka penunjuk waktu di ponsel. Astaga, bahkan jarum jam belum menunjukkan pukul empat pagi dan muazin pun masih tidur di balik selimutnya kurasa.

Aku menyerah. Meski sebal, aku tetap menjawab panggilan dari lelaki yang tak kulihat wajahnya selama satu minggu terakhir itu.

"Dengan KFC, maaf toko masih tutup," kataku sarkas.

"Na..." Suaranya terdengar serak. "Sarapan nanti, tolong bawa bubur sumsum ya."

"Heh?" Keningku mengkerut. Bukannya dia masih di Bali? Kenapa pesan bubur padaku?

"Sama biji salaknya jangan lupa." Suaranya yang serak terdengar semakin jelas. Sepanjang perjalanan menjadi istri paruh waktunya, aku tak pernah mendengar suara Edward separau ini.

"Edward, are you okey?" Aku yang mulai cemas mendudukkan tubuhku yang berbaring nyaman di balik bed cover tebal. "Kapan pulang?"

"Jangan lupa, ya. Saya tunggu di rumah." Dan sambungan pun dia putus begitu saja. Tipikal bos sekali. Menyebalkan.

Sebenarnya apa yang dia kerjakan di Bali? Tujuh hari tanpa kabar, mendadak dia pulang dan langsung merepotkanku begini. Bubur sumsum biji salak? Di mana aku harus membelinya?

Arggghh! Monyedward sialan! Dia bahkan memaksa otakku bekerja sebelum adzan berkumandang! Aku akan minta bonus padanya, lihat saja nanti!

🎓🎓🎓

Ting! Pesan baru masuk di grup chat antara aku, Fathia, Yasmin dan Nesa. Aku mengunyah roti tawarku sambil melirik seluruh obrolan yang aku lewatkan karena bersiap-siap untuk ngebabu di rumah majikan yang untungnya tampan stadium lanjut.

Astaga, otakku korslet karena menerima telepon Edward dini hari tadi sepertinya.

💬Yasmin
Ada satu yg jual, deket minimarket sebelum stasiun.

💬Fathia
Papa edward pulang2 ngidam? Waduh.

💬Nesa
Mulai suudzonnya. Husnudzon lah, siapa tau.....

💬Yasmin
Tahu apa?

💬Fathia
Alasan doang itu, gakuat nahan rindu, eh kepencet telepon, trus minta bubur

💬Nesa
Bisa ae lo! Tp td gue jg mau ngomong gitu sih :D

💬Fathia
Pdhal pengennya minta cium onlen tuh si Papa

💬Nesa
Duh humorku anjlok xD

💬Yasmin
Ana ke mana deh?

💬Fathia
Lg dandan dia, kan mau menyambut suami yg baru pulang menjemput rizki

💬Ana
HEH! AWAS YA LO SEMUA

Aku mengelap bibirku dengan tisu sebelum akhirnya pamit pada ayah dan ibu. Ojek online yang kupesan sudah tiba di depan rumah. Tapi karena penasaran dengan ketidakwarasan teman-temanku, aku masih memantau grup sambil memakai sepatu.

💬Yasmin
Jgn lupa buburnya, siapa tahu dia beneran sakit

💬Fathia
Uwuuw, saatnya tunjukkan sisi terbaikmu sebagai wanita, Ana! Jgn kasih kendor!

💬Nesa
Kata orang, kalau ngidamnya yg manis2, anaknya cewek (?)

💬Yasmin
Siapa yg hamil sih ya Allah? Masih pagi ini

💬Ana
Sempak emang temen2 lo, Yas! Kurang belaian semua!

💬Fathia
Sombong bgt yg sering dibelai

💬Ana
Lo pengen gue doain yg jelek2 supaya makin telat lulusnya?

💬Fathia
Jangan dong! Jadi perawan tua gue kelamaan di kampus

"Ana, ngapain sih main HP terus." Ibu membuka pintu pagar dan menyapa driver ojek. "Buruan nanti telat, Jakarta kan macet tiap pagi."

"Iya, Ana berangkat ya, Bu."

Aku memutuskan untuk mematikan data ponsel, daripada tekanan darahku naik di jalan karena obrolan terngaco of the year.

"Bang, nanti kalau ada yang jual bubur sumsum, tolong berhenti ya," kataku setengah teriak karena angin pagi menerpa wajah.

"Buat pacarnya, Neng? Siap!"

"Iya." Eh, kok aku refleks jawab begitu sih! Aduh, omongan itu doa! Harusnya tadi aku bilang amin bukan iya.

Astaga, aku ini kenapa, sih!? Pasti ini efek samping omongan ngawur Fathia sama Nesa di chat. Pasti! Kalau tidak, mana mungkin aku punya pikiran untuk pacaran dengan bos sendiri.

🎓🎓🎓

Pintu apartemen terbuka setelah aku menempelkan kartu akses di mesin scanner. Aku meletakkan tasku sembarangan di atas sofa ruang tamu dan melangkah ke arah dapur. Namun kakiku terhenti ketika mataku menangkap kekacauan yang familier di atas meja makan.

Bekas sekotak pizza dengan beberapa kaleng soda di dekatnya. Ada helaian tissu yang tergeletak di sebelah bungkusan snack potato chip dari merek favorit Edward.

Setengah hati, aku meletakkan plastik berisi bubur sumsum candil pesanan Edward di meja bar. Lalu mulai merapikan meja makan. Aku jadi ragu kalau suara seraknya yang kudengar subuh tadi itu pertanda kalau Edward sakit. Memangnya orang sakit mana yang bisa dengan rapi membuat kekacauan begini?

Setelah beres bersih-bersih, aku membuka isi kulkas. Satu minggu tidak diberi uang belanja membuat isi mesin pendingin itu hampa. Hanya tersisa beberapa butir telur, sekotak susu cair, dan ebifurai siap goreng yang aku beli tempo hari.

"Pagi." Suara serak itu terdengar dari belakang. Dia meraih kantung plastik yang aku letakkan di atas meja bar dan membawanya ke sofa di ruang tamu.

Aku melangkah mengikutinya dan berseru, "Tunggu!"

Dia menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya.

"Jangan dimakan dulu!" Aku buru-buru kembali ke dapur, mengambil cangkir dan menuangkan segelas air hangat untuknya.

Aku tergopoh ke ruang tamu dan mengulurkan benda yang kupegang pada Edward. Tangannya mengambil alih cangkir itu dan meminumnya tanpa bertanya.

Memanfaatkan kesempatan, aku menyentuh kening Edward dengan tangan kanan, dan keningku sendiri dengan tangan kiri. Tidak demam kok, tapi kenapa suaranya parau begitu?

"Kamu ngapain?"

Aku menatap Edward yang memperhatikanku begitu lekat. Iris matanya yang gelap membuatku kehilangan kata-kata. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan?

"Ana, kamu ngapain?"

Aku ngapain? Memangnya aku ngapa--ahh!!

Aku langsung melepaskan tanganku dari keningnya dan menggaruk tengkuk, canggung. Edward masih menatapku intens. Tanpa bicara, aku melarikan diri ke arah dapur dan menjedotkan kepalaku ke pintu kulkas.

"Idiot! Idiot! Gue ngapain coba! Ihhh!!" Jika ada cara untuk bisa meluruskan kembali akal sehatku yang sempat berbelok karena tatapan Edward, akan aku lakukan!

"Ana."

Panggilan Edward membuatku menegakkan tubuh dan pura-pura menyibukkan diri. Aku ambil pisau dan mulai merajang bawang yang beberapa hari lalu sudah aku kupas dan letakkan dalam sebuah wadah. Entah untuk apa bawang-bawang ini nanti, yang penting jangan sampai melihat mata Edward lagi. Bahaya!

"Kamu mau masak apa? Kulkas kan cuma ada telur sama susu."

"Omelette creamy?" jawabku ngawur.

Aku merasakan Edward berjalan mendekat dan berdiri tak jauh dariku. Auranya saja sudah membuat degupan jantungku berantakan. Apalagi tatapannya!

"Jangan eksperimen, saya lagi nggak siap nerima percobaan makananmu."

Tanganku berhenti merajang bawang. Kalau kondisiku dalam seratus persen waras, aku akan sangat tersinggung dengan ucapannya barusan. Dan pisau ini mungkin sudah terbang.

"Terus mau makan siang apa nanti?"

Aku masih enggan menatap matanya. Apalagi dia sedang pakai turtleneck hitam begitu. Lemah hatiku, Mas! Apa nggak bisa kamu pakai baju warna lain aja!

"Gampang. Tapi, ada yang mau saya tanya dulu sama kamu."

Alisku bertaut. Nada bicaranya terdengar sangat serius dan itu membuatku penasaran. Akhirnya, dengan berpegang teguh pada kenyataan bahwa aku membenci Edward yang pandai membuat rumah berantakan, membuatku berani untuk menatapnya.

"Soal apa?"

"Kamu ... masuk ke kamar saya?" Edward terlihat berhati-hati saat menanyakannya.

Aku terdiam. Bagaimana dia bisa tahu?! Rumah ini beneran dipasang CCTV?! Atau dia punya bakat jadi dukun?!

"Ada barang saya yang geser, dan kemungkinan besar cuma―"

"Maaf!" Aku refleks berlutut di depannya sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajah.

"Itu Fathia, dia berimajinasi kalau kamu mungkin orang jahat yang berencana nyulik saya makanya dia masuk ke kamarmu buat cari tahu. Trus dia malah nemu sketsa gambar itu dan dia ambil. Awalnya saya nggak mau masuk kamar kamu kayak yang kamu suruh, tapi saya terpaksa karena harus balikin sketsa itu jadi―"

"Ana." Edward memegang bahuku, membuat mataku yang terpejam terbuka perlahan. "Saya cuma tanya," imbuhnya lembut. Dia sudah ikut berlutut di hadapanku sekarang.

Dia mengubah posisinya dan duduk bersila. "Saya nggak marah, tapi...."

Alisku terangkat. "Tapi...?" Jangan potong gaji, plis, jangan potong gaji.

"Kamu ... nggak kenal dia?"

Eh? Alhamdulillah nggak potong gaji!

"Dia?" Aku ikut duduk bersila seperti dirinya. Kemudian berpikir siapa yang sedang Edward hendak bicarakan.

"Gadis di gambar itu." Edward terlihat ragu untuk bercerita. Jadi aku berinisiatif untuk mencairkan suasana.

"Ahh! Dia?" Edward mengangguk. "Nggak tuh. Memangnya dia siapa? Gebetanmu?"

Ini gambar lo bukan, sih? Tiba-tiba suara Fathia terngiang begitu saja di pikiranku.

Mana mungkin dia aku! Pasti hanya seseorang yang mirip. Aku pernah baca artikel kalau setiap manusia memiliki tujuh orang kembaran di bumi. Mungkin gadis di sketsa itu juga salah satu dari tujuh kembaranku.

Jangan Gede Rasa, Ana! Jangan pernah! Karena GR itu awal petaka yang akan berkembang jadi pengharapan yang berpotensi tidak kesampaian. Korban PHP di luar sana juga kebanyakan terjebak dengan Gede Rasa yang tidak berhasil mereka kendalikan. Tapi malah menjadikan laki-laki sebagai kambing hitam.

"Bukan." Edward terlihat begitu yakin mengatakannya. Membuatku mengembuskan napas lega diam-diam. Entah mengapa aku senang mendengar jawabannya itu.

"Tapi, bisa aja jadi bagian dari masa depan."

Tatapan Edward membuat lidahku kelu. Aku jadi tidak bisa mengutarakan sejuta pertanyaan yang berebutan muncul di otakku.

Dia berdiri dari duduknya, meninggalkanku yang terpaku di lantai dapur begitu saja.

Bagian. Dari. Masa. Depan? MAKSUDNYA APA?!

1483 kata
27 Juli 2019
NNISALIDA

Siapa yang masih setia nunggu
Babu Ana dengan Tuan Edward?

Big love for all of you, Guys!

Karena aku tahu, menunggu itu berat :(
Jadi maaf kalau aku sering hilang-hilangan kayak doi.
Tapi inshaAllah akan aku selesaikan hingga akhir kok. Doakan ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro