Chapter 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Versi revisi 🤗
~~~~~

Naskah ini diikutsertakan dalam event yang diadakan oleh #penerbitprospecmedia x #authorgottalent2021
#AGT2021GrupC

Playlist: Vierra - Deg2an 🎧 (Dengerin lagunya Vierra tuh cocok banget gambarin Cynthia pad SMA 😍)

Jangan lupa vote & komen ya! Krisar ditunggu, maaf jika masih banyak typo 🙃

Hayooo mulai mikir dari sini, ga ada sikap konyol Brian & Cynthia lagi 🙈

Happy reading 🌹

*****

Jakarta. Sepuluh tahun yang lalu.

Cynthia membuka jendela kelas yang berhadapan langsung dengan lapangan sepak bola. Angin terasa hangat karena matahari begitu terik hari ini, padahal waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi. Namun, hal itu tidak membuat Cynthia lemas seperti murid-murid yang lain. Justru ia terlihat paling bersemangat pagi ini.

Sepertinya dewa langit sedang dipihaknya. Bu Endang, guru kimia yang terkenal kiler dan tidak pernah absen, kali ini mendadak absen tanpa memberi tugas. Jelas saja seperti surga bagi anak IPA. Terlebih, Cynthia bisa memandangi Mars yang tengah berolahraga. Cowok itu sedang melakukan pemanasan bersama dengan teman-teman sekelasnya di lapangan.

Senyum Cynthia merekah. Masih Kelas 2 SMA, tetapi sudah punya tubuh tinggi dan kekar begitu. Duh, mana tubuh Mars yang berkeringat membuatnya semakin seksi di mata Cynthia.

"Lihatin bebeb lo?" bisikan dari Intan membuat Cynthia terlonjak kaget.

"Asem bener. Kaget gue, Tan."

"Lagian lo serius amat mandangin planet Mars. Berita lo sama dia udah rame pol."

Cynthia memiringkan kepala. "Oh ya?"

Intan mengangguk mantap. "Gimana nggak heboh kalau lo panggil dia Beb, Ayaaanggg tanpa tau malu begitu. Putus tuh urat malu lo."

"Selagi belum ada tikungan, gue mau gaspol."

"Sinting lo. Tapi beneran nih, Mars nggak ada apa-apa sama Vany?"

"Nggak. Vany sendiri yang bilang ke gue. Mereka emang deket, bukan sebagai pasangan atau pacar. Ada hal lain. Vany bilang biar Mars aja yang cerita ke gue."

"Bagus deh. Inget, deketin Mars boleh, tapi jangan malu-maluin."

"Kalau itu gue nggak janji. Udah bucin tingkat dewa, nih!"

Intan geleng-geleng. Tak habis pikir dengan temannya yang menurutnya memang gila ini. Ia tak menanggapi lagi dan ikut menikmati pemandangan yang terpampang di hadapan mereka. Seru juga melihat pertandingan sepak bola. Apalagi cowok-cowok IPS terkenal ganteng dan keren. Hei, memangnya hanya cowok yang boleh memandangi cewek? Cewek juga boleh dong memandangi tubuh cowok sesuka hati?

Cynthia berteriak heboh menyemangati Mars, hingga anak-anak yang berada di tengah lapangan mengalihkan pandangan ke arah jendela kelas IPA 1, dimana menunjukkan wajah ceria Cynthia. Mereka mengulum senyum, berusaha memaklumi remaja yang sedang jatuh cinta.

"Ayang lo jatuh!" pekik Intan saat melihat Mars terkapar di tengah lapangan.

Tanpa pikir panjang, Cynthia segera berlari keluar dari kelas, menuju lapangan sepak bola. Ia harus memastikan Mars baik-baik saja. Saat ia sudah sampai di pinggir lapangan, Mars sudah dibawa ke pinggir lapangan dan duduk di atas bangku yang terletak di sana.

"Nggak apa-apa kan, dia?" tanya Cynthia pada Ajeng—teman sekelas Mars yang kebetulan berada paling dekat dengannya.

Ajeng menoleh. "Ya ampun, Bu ... langsung gercep ke sini aja. Nggak apa-apa kok dia. Paling nanti juga ikutan main lagi."

Tentu saja jawaban dari Ajeng tidak membuat Cynthia lega. Ia malah duduk bergabung dengan Vanu dan segerombolan cewek IPS 1 yang hanya duduk menikmati pertandingan.

Cynthia terus melirik ke arah Mars. Sayangnya Mars sama sekali tidak melihat ke arahnya. Cowok itu hanya duduk sambil sesekali memijit kakinya yang terkilir. Bahkan sampai jam olahraga selesai, Mars tidak ikut bermain lagi. Sepertinya cederanya kali ini lumayan parah.

"Kaki lo masih sakit?" tanya Cynthia khawatir saat melihat Mars berjalan dengan langkah pincang.

"Biasa kalau tanding begini. Nanti juga sembuh," ujarnya lalu berlalu begitu saja, melewati Cynthia yang masih melongo.

"Ayo, gue anter ke UKS," kata Cynthia seraya mengejar langkah Mars dan menggamit lengan cowok itu.

"Nggak usah. Gue duduk di kelas juga nanti baikan."

Cynthia menghentikan langkah Mars. Ia berpindah posisi agar bisa berhadapan, ia ingin menatap wajah Mars dari dekat.

"Apa?" tanya Mars bingung saat Cynthia memasang wajah garang.

"Gue perhatiin lo dari tadi. Lo nggak bisa main sampai selesai, bahkan dari tadi gue lihat lo urut kaki mulu. Kali ini jangan bantah gue. Lo perlu ke UKS. Gue bisa bantu lo, gue anak PMR," kata Cynthia dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Mars tak bergeming sedikit pun, membuat Cynthia menghela napas.

"Apa perlu gue teriak-teriak di tengah aula terbuka dan bertindak memalukan di sana dengan bawa nama lo?" tanya Cynthia.

"Silakan kalau berani."

"Oke. Fine. Jagan salahin gue kalau nantinya bakal bikin lo malu."

Mars terbelalak. Ia lupa, cewek yang ia hadapi sekarang bukan cewek sembarangan. Diancam begitu tentu saja tidak mempan untuk Cynthia. Mars segera menahan lengan Cynthia, membuat cewek itu mengangkat alis.

"Oke, gue mau ke UKS."

***

Sepulang sekolah, Cynthia bergegas menuju kelas Mars untuk mengambil tas dan buku milik Mars. Sejak selesai olahraga tadi, Mars berada di UKS dan tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas.

"Perhatian banget sih," kata Pandu menggoda Cynthia.

"Perhatian, lah. Abis, kesayangan gue terkilir kakinya," ucapnya buru-buru. "Dah ah, mau ke UKS dulu gue. Mau ikut nggak?"

Pandu menggeleng. "Nggak, deh. Nanti gue jadi obat nyamuk."

Cynthia mengangkat bahu lalu segera menyusul Mars ke UKS. Saat membuka pintu UKS, dilihatnya Mars masih berbaring dengan mata terpejam.

Cynthia tersenyum, melangkah mendekati ranjang dan menjatuhkan diri di kursi. Ia bisa bebas memandangi Mars dari jarak sedekat ini. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan.

"Jadi cowok jangan ganteng-ganteng, dong. Lemah banget iman gue lihat lo," gumam Cynthia. Sial—tepat saat itu Mars membuka matanya.

"Lo bilang apa barusan?" tanya Mars dengan suara serak. Suara khas cowok saat bangun tidur.

Mampus gue! Dia denger? Rutuk Cynthia dalam hati.

"Ah, nggak. Kaki lo masih sakit? Nih, gue bawain tas lo."

Mars bangun dari tidurnya, menyibak selimut dan menggulung celananya. Pergelangan kakinya masih terlihat bengkak.

"Ya ampun, belum membaik, ya? Padahal udah gue kompres tadi," kata Cynthia saat melihat pergelangan kaki milik Mars. "Lo bisa jalan, nggak?"

"Ya bisa. Paling agak pincang dikit. Lagian santai aja, gue naik bus dari seberang sekolah. Turun dari bus juga nggak jauh dari rumah." Mars meraih kaos kaki dan sepatunya—memakainya secara perlahan. Namun, begitu kaki bengkaknya mengenai ujung sepatunya, cowok itu meringis.

Cynthia menghela napas, tanpa rasa jijik ia melepas kaus kaki Mars perlahan, takut mengenai bagian yang sakit.

"Mau ngapain?" tanya Mars panik saat Cynthia menyentuh kaus kakinya. Jelas saja ia kaget. Seorang cewek dengan pedenya melepas kaus kaki cowok tanpa ada rasa jijik atau takut bau. Dan ... Ya Tuhan! Mars belum mencuci kaus kaki dan sepatunya seminggu ini!

"Kaki lo masih begitu. Jangan pakai sepatu atau lo mau lebih parah. Tunggu sini. Gue ambilin sendal Hugo di loker sebentar."

Belum sempat Mars menjawab, Cynthia sudah bergegas lebih dulu. Mars termenung sejenak. Baru kali ini ada cewek seperti Cynthia di dekatnya. Tanpa gengsi dan apa adanya.

Tidak ada lima menit, Cynthia sudah kembali dengan membawa sepasang sandal jepit dan meletakkannya di dekat kaki Mars. Sepertinya Cynthia berlari saat mengambil sandal di loker hingga kembali ke UKS. Bisa dilihat bagaimana deru napasnya yang tidak teratur, dengan keringat yang menetes di dahinya.

"Kaki Hugo lebih kecil satu nomor. Mungkin agak ngepas, tapi better daripada lo harus pakai sepatu."

"Thanks, Tia."

Cynthia melongo. Apa itu tadi? Tia? Mars memanggilnya Tia? Salah sebut nama, atau ....

"Tia?" tanya Cynthia memastikan.

"Nama lo Cynthia, kan?" Cynthia mengangguk. "Salah kalau gue panggil lo Tia?"

Tia. Cynthia tersenyum. Ah ... Mars adalah satu-satunya yang memanggil dirinya seperti itu. Ini pertama kalinya Mars menyebut namanya dengan panggilan yang berbeda. Apakah itu merupakan panggilan kesayangan unuknya? Panggilan singkat dan berbeda begitu saja sudah membuat jantung Cynthia berdetak lebih cepat. Wajahnya memanas. Ia tersenyum lebar walaupun saat ini ia ingin melompat kegirangan seperti kelinci.

"Ngg ... nggak sih. Tapi aneh. Baru kali ini ada yang panggil gue begitu."

"Lo nggak suka?"

"Suka! Suka!" potong Cynthia cepat. "Cuma belum biasa aja."

"Yaudah, kalau gitu biasain," sahut Mars santai.

"Eh ... iya." Sial, kenapa dirinya jadi gugup setengah mati mendengar Mars memanggilnya dengan sebutan Tia?

"Thank you ya, Tia."

Cynthia mengedipkan matanya beberapa kali, sambil menetralkan dentuman heboh di dadanya. "You're very welcome, Marshall."

***

Jakarta. Saat ini.

"Tia?" panggil Mars dengan wajah kaget, karena mendapati sosok Cynthia yang kini berada di hadapannya.

Cynthia mematung. Demi Dewa Neptunus! Dari semua tempat di Jakarta, dari banyaknya tempat di belahan dunia, kenapa harus bertemu dengan sosok laki-laki ini di bandara?

"Mars." Panggilan itu akhirnya keluar juga dari mulut Cynthia. Ia tersenyum pada laki-laki berseragam pilot yang kini berdiri tepat di hadapannya.

"Maaf, Tia. Are you okay?"

"I'm okay," sahut Cynthia kikuk.

"Kamu mau terbang?" tanya Mars.

"Nggak. Barusan anter aja." Cynthia tersenyum tipis.

"Ehm ... by the way ... kamu buru-buru atau ada waktu luang? Kalau kamu ada waktu, boleh nggak kalau aku ngajak kamu ngopi sebentar?" pinta Mars, membuat Cynthia kelabakan dalam hati.

Cynthia menggigit bibir bawahnya, memikirkan jawaban yang akan ia ucapkan pada Mars. "Boleh," jawab Cynthia kemudian.

"Starbucks atau Excelso?"

"Apa aja."

Mars tersenyum kemudian memandu Cynthia agar mengikutinya memasuki gerai Starbucks. Setelah memesan kopi, mereka berdua duduk berhadapan di sudut ruangan.

Mars dan Cynthia sama-sama terlihat kikuk. Pertemuan pertama mereka setelah hampir delapan tahun berpisah dan hilang kontak. Ada jarak yang begitu kuat di antara mereka.

"Apa kabar?" tanya mereka secara bersamaan.

"Aku baik, kamu?" Cynthia membuka suara lebih dulu.

Mars mengangguk. "Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik, Tia."

Cynthia kembali mematung. Tia. Mars adalah satu satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan Tia. Panggilan sederhana itu seketika mampu membawanya kembali ke masa SMA dulu.

"Ehm ... maaf. Aku ajak kamu ngopi begini, pasti bikin kamu kaget dan nggak nyaman, ya?"

Menurut ngana? Ya jelas aja aku kaget ketemu kamu, Mars!

"Nggak apa-apa, kok. Santai aja," jawab Cynthia berusaha untuk bersikap normal. "By the way, mungkin ini telat banget. But, selamat ya, udah jadi supir pesawat. Tercapai juga cita-cita kamu."

Ucapan selamat dari Cynthia kontan membuat Mars mengulas senyum tipis. Melihat senyuman di wajah Cynthia, ada rasa bersalah yang menghinggapi hatinya sampai detik ini.

"Selamat juga, kamu udah berhasil raih gelar dokter," kata Mars balik. "Masih mual tiap lihat darah?" tanyanya kemudian.

Cynthia menggeleng seraya mengulas senyum tipis. "Tentu aja nggak. Aku udah kebal sama darah sekarang."

Mars mengangguk-angguk. Ia sudah tahu bagaimana reputasi Cynthia sebagai dokter. Meskipun sudah delapan tahun ia tidak pernah menghubungi Cynthia, tetapi ia selalu mencari kabar tentang Cynthia di media sosial. Cynthia adalah seorang mantan model yang cukup terkenal. Bahkan sampai saat ini nama Cynthia semakin melambung sejak bekerja di HH Hospital dan menjadi ikon rumah sakit mewah itu. Juga ... berita pernikahan Cynthia ...

Tatapan Mars terpaku pada jemari Cynthia. Ada sebuah cincin berlian yang melingkar indah di sana. Tak bisa dipungkiri, hal itu membuat dada Mars berdenyut ngilu.

"Aku lihat di berita, katanya kamu mau nikah ya? So, congratulation for your engagement."

God! Perkataan Mars membuat Cynthia nyaris ambyar. Cynthia berusaha mati-matian menahan cairan bening agar tidak jatuh dari sudut matanya. Kemudian ia berusaha memberikan senyum untuk Mars dengan susah payah. "Thank you ... kamu ... kapan nyusul?" tanya Cynthia kemudian, berusaha untuk mencairkan suasana.

Mars tertawa. "Aku nanti nunggu kamu nikah dulu ..."

Cynthia tersenyum tipis saat mendengar jawaban Mars.

Mars ikut tersenyum. Tatapannya masih mengunci objek yang berada di hadapannya. Setiap menatap Cynthia sejak sepuluh tahun yang lalu, ia selalu menganggap Cynthia adalah matahari, dan ia adalah planet yang mengelilinginya. Seperti tata surya, Cynthia selalu menjadi porosnya yang paling bersinar.

"Capt," sapa salah seorang pramugari yang kebetulan datang bersama rombongannya. Mereka baru saja selesai memesan kopi. Rombongan pramugari itu tersenyum ramah pada Cynthia dan mengangguk hormat pada Mars.

"Oh, kalian. Udah siap?" tanya Mars pada rombongan pramugari itu.

"Sudah, Capt. Kami pikir Capt udah masuk duluan. Biasa kan paling awal."

Mars mengangguk. "Kebetulan saya bertemu teman. Kalian duluan aja. Sebentar lagi saya nyusul."

Setelah rombongan pramugari itu menghilang dari pandangan, Mars dan Cynthia kembali saling menatap tanpa bicara. Canggung. Terlalu aneh rasanya.

Cynthia tersenyum kecut. Teman? Bahkan dari dulu, Mars hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak pernah menganggapnya lebih. Padahal Cynthia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menggapai Mars.

"Mars. Maaf, aku nggak bisa lama-lama. Aku harus pulang," ujar Cynthia akhirnya.

"Ah, ya. Kamu pasti ada jam praktek, ya?" tebak laki-laki itu. "Aku juga ada flight. Jadi harus masuk."

"Thank you, Mars ... buat traktiran kopinya."

"Tia." Mars menahan lengan Cynthia saat Cynthia hendak bergegas pergi. "Boleh aku minta nomer hape kamu?"

*****

1973 words 🔥🔥🔥

Mars punya panggilan khusus buat Cynthia. Dipanggil Tia 🙈🙈🙈 gimana nggak susah mupon 😭

Tim Cynthia-Brian?
Atau
Tim Cynthia-Mars?

Follow akun wattpad @ichaaurahmaa

Follow instagram
Ichaaurahmaa

25-08-2021
Revisi 11-12-2021
With love, IU ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro