STEP 20 - DANCE ROOM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deretan angka dipadukan dengan kalimat panjang yang setara membuat novel itu sudah menjadi makanan sehari-hari Arasha kali ini daripada makanan asli yang masuk ke dalam perutnya. Angka sederhana namun dengn penjabaran tidak biasa. Siapa saja bisa langsung menutup buku panduan tersebut sebelum memegang pena untuk corat-coret jawaban.

Arasha masih menjawab latihan soal dengan jawaban yang rinci supaya ketika ia lupa, ia bisa melihat jawaban yang dijawabnya sendiri.

Olimpiade Sains Nasional tingkat kabupaten atau kota masih dengan jawaban singkat dalam menjawab, tetapi ketika sudah berada di level nasional pastinya cara-cara yang dituliskan menjadi sebuah poin.

Beberapa kali Arasha memegangi kepalanya. Rasa menghantam berkali-kali terus saja datang di saat yang tidak tepat. Ia meminum airnya sedikit demi sedikit dan beristirahat selama 5 menit sebelum lanjut belajar.

Kali ini, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi dan ia menjatuhkan pena yang dia genggam, tangannya beralih memegang kepalanya lagi.

"S-sakit ...," Arasha merintih kesakitan namun tak berani meminta tolong.

Beberapa saat kemudian, hidungnya mengeluarkan darah yang menetes ke atas kertas yang sedang ia tulis. Darah tersebut terus mengucur tak mau berhenti. Mau tidak mau, Arasha memprioritaskan untuk menghentikan mimisannya dan mengabaikan sementara rasa sakit di kepalanya.

Ia tidak sampai bersih membersihkan meja dan pakaiannya yang sudah terkena darah, namun cukup jika dilihat secara sekilas dari jauh.

Keputusannya untuk berhenti belajar sejenak merupakan pilihan yang tepat. Daripada terus menerus tidak fokus belajar, lebih baik ia beristirahat dulu. Otaknya sudah terlalu bekerja keras, jika terus menerus diforsir maka berdampak pada tubuhnya juga yang semakin lelah.

Di ranjang tidur, Arasha perlahan menutup matanya saat rasa kantuk mulai menyerang. Ia tidak tahu apa reaksi dari Ares ketika dirinya tertidur diwaktu belajarnya masih berjalan.

"Papa, sekali saja ... Asha mohon." Berharap Tuhan bisa mengabulkan keinginannya ini sekali saja.

***

Kegiatan program kerja terakhir memang sudah usai, namun hal lain masih harus dikerjakan pasca acara sebagai seorang sekretaris ialah merevisi laporan pertanggungjawaban atau LPJ kegiatan tersebut.

Sebagai ketua, Wildan sebelumnya sudah meminta Arasha untuk merevisi bagian-bagian yang masih dianggap salah oleh pembina OSIS.

Cowok tersebut datang ke kelasnya ketika istirahat kedua tadi.

"Arasha, katanya masih harus revisi di bagian anggaran. Masih belum sesuai. Tadi gue udah ke kelasnya bendahara, udah diperbaiki juga. Nanti tolong bantuin buat ketikan sama hal-hal lainnya, ya? Kalau udah, bilang ke gue. Besok gue print terus serahin pas istirahat pertama biar cepet beres."

"Oke, Dan. Nanti aku revisi cepet buat LPJ-nya. Jangan lupa minta stampel kalau udah minta tanda tangan."

Karena sebagai sekretaris acara dia tidak bisa mengabikan tugas, jadi memang harus dikerjakan. Kebetulan, earphone miliknya tertinggal di ruang OSIS kemarin, dan belum sempat diambil karena dulu sibuk di Paskibra.

Pulang sekolah, Arasha menghampiri ruang OSIS yang letaknya di belakang gedung kelasnya sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. Ruang OSIS tidak dikunci sementara karena Wildan berkata bahwa gembok ruangannya sedang rusak dan baru bisa untuk diperbaiki minggu depan.

Untungnya, lemari OSIS terkunci rapat dan hanya beberapa anggota saja yang memiliki kunci tersebut. Karena banyak barang berharga yang tersimpan di dalam sana, seperti piagam penghargaan OSIS terbaik se-kota.

Komputer milik OSIS adalah aset yang dibawa oleh alumnus guna mempermudah para pengurus dalam hal-hal berbau kesekretariatan.

Arasha segera membuka file LPJ revisi sambil membuka hardfile yang sudah dicorat coret oleh pembina. Memang cukup banyak yang dicoret dibagian anggaran dan kebanyakan karena awalnya penulisan angka dibulatkan padahal tidak boleh dan harus sesuai dengan nota dari bendahara.

Untungnya tangan Arasha cekatan sehingga revisi LPJ bagian lain juga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dikerjakan. Ia selesai belum sampai setengah jam.

Setelahnya, ia mengambil earphone miliknya yang tertinggal dan keluar dari ruang OSIS. Tidak lupa ia mengirimkan pesan pada Wildan kalau LPJ-nya sudah selesai ia revisi.

Wildan memberikan dua emoji jempol sebagai pengganti kata "Sip!".

Arasha mulai menutup ponselnya dan hendak pergi ke toilet. Namun, ia harus melewati ruang dance di sana. Tampaknya, matanya memiliki ketertarikan untuk melihat dan tubuhnya masuk ke dalam ruangan tersebut.

Ruang dance nampak sepi, tidak ada anggota yang datang untuk berlatih. Jadi, Arasha duduk dulu di sana sambil memperhatikan sekitaran.

Banyak sekali atribut tarian tradisional ketimbang modern yang dipajang di sebuah lemari kaca. Ada selendang, topeng, hiasan kepala, hingga kostum tari juga lengkap di sana. Untuk tari modern, mereka hanya ada sebuah jubah dan juga sepatu putih yang terpajang dibagian paling bawah.

"Wow, banyak juga, ya."

Melihat belum ada tanda-tanda seseorang akan datang ke ruangan, Arasha mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah lagu yang sedang ia sukai akhir-akhir ini.

"Hmmm~ hmmm~" Ia bersenandung ria dengan mata terpejam.

Lagu dengan genre house-dance itu membuat beberapa anggota tubuhnya bergerak perlahan mengikuti nada yang terputar oleh musik tersebut.

Sambil menggerakan kedua tangannya, gadis itu merasa cukup senang melakukan hal tersebut. Ternyata, menari bebas bisa membuat stressnya sedikit memudar. Seperti kemarin, ia menari kecil dengan badannya saja di kamar tanpa ada yang tau.

Tidak cukup hanya menari dengan tangannya saja, Arasha perlahan mulai berdiri di depan pantulan cermin raksasa yang mengelilingi ruangan di sana.

Sebelah kakinya memang sakit, tetapi rasa percaya dirinya bangkit saat mendengarkan lagu saat ini tengah berputar di ponselnya. Ia menari kecil dengan gerakan halus namun memperlihtkan ketegasan pada tubuh bagian atasnya.

Namun, kesenangan itu harus ia hentikan segera setelah kepalanya terasa berputar dengan pandangan berubah menjadi sedikit buram.

Arasha memegangi kepalanya. Rasa sakit itu kembali kambuh di saat yang tidak tepat, di saat dirinya sedang melupakan tekanan yang diberikan terus-menerus dari Ares.

"Akh!" Ia meringis pelan ketika kakinya malah berdenyut nyeri beradu dengan sakit kepalanya yang semakin menjadi-jadi tiap detiknya.

Arasha memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut dan segera pulang ke rumahnya karena merasa sudah agak lama berada di tempat itu.

Ketika tangannya hendak mengambil ponsel dan tasnya, kepalanya semakin berputar dan matanya mulai menggelap pada saat yang sama.

Arasha ambruk seketika.

Ia pingsan di ruangan tari dengan hidungnya yang kembali mimisan.

Gheko baru saja tiba di depan ruangan merasa sedikit ganjal. Pintu ruangan tidak biasanya agak terbuka bila tak terpakai oleh yang lainnya. Ia juga tidak melihat siapapun di sekitaran.

"Siapa yang habis pakai ruangannya? Nanti kalau ada kemalingan, yang disalahin lagi divisi modern lagi deh."

Sambil menggelengkan kepala, tangan besarnya mendorong pintu tersebut dengan gerakan pelan. Tidak butuh waktu lama maupun drama, Gheko terkejut dengan Arasha tergeletak pingsan dekat tembok. Cowok itu melemparkan tas gendongnya ke sembarang arah.

"Arasha, Sha, bangun."

Tangannya menepuk pelan pipi cewek itu untuk mengetahui responnya, tetapi jelas setelahnya Gheko tau bahwa Arasha memang tidak sadarkan diri.

Dengan sigap ia menggendongnya di depan dada dan membawanya ke UKS. Baju Gheko ikut terkena darah dari mimisan Arasha, ia tidak peduli. Baginya, keselamatan Arasha adalah nomor satu saat ini juga.

"Sha, semoga lo baik-baik aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro