STEP 28 - PENGHINAAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perasaan bersalah muncul dalam diri Gheko karena tidak mengantarkan Arasha pulang ke rumahnya setelah memenuhi janji untuk melihat dirinya bertanding di mall minggu lalu.

Sebagai penebusan rasa bersalahnya, Gheko sudah mengirimkan pesan pada Arasha untuk mengajaknya ke tempat yang sangat cocok bagi gadis itu.

Gramedia.

Sebuah tempat di mana banyak buku fiksi maupun non-fiksi berjajar rapi dalam etalase buku sesuai kategori. Gheko berniat membelikannya satu novel pada Arasha sembar kembali membuat mereka menjadi lebih dekat.

Dalam hal, Gheko memang memiliki lebih banyak kekurangan dibandingkan dengan Arasha yang sangat sempurna. Namun, ia tidak insecure sama sekali untuk sekarang ini. Dibandingkan merasa rendah, ia justru memiliki sebuah pemikiran bahwa dalam setiap kelebihan seseorang maka itu ada kekurangan dari pasangannya.

Selama pasangan tersebut tidak merugikan satu sama lain, itulah yang disebut sebagai pasangan sempurna.

Bagi Gheko, itulah pointnya.

"Udah ganteng belum?" Gheko memandangi dirinya yang tengah berhadapan di depan cermin sambil merapikan kemeja putihnya— bukan kemeja seragam sekolah, melainkan kemeja formal yang biasa dipakai khusus di acara tertentu.

Rasa percaya dirinya meningkat, sekaligus membuat rasa gugup tiada karuan menyelimuti dirinya.

Ia baru mengajak Arasha meskipun belum ada jawaban hingga kini. Kata beberapa temannya, Arasha bukan tipikal remaja bandel yang hobi keluar rumah dan cenderung belajar terus meneus. Perkataan tersebut dilandasi oleh pernyataan langsung dari Arasha.

Kesimpulan yang bisa Gheko ambil hanyalah satu, itu artinya Arasha saat ini sedang berada di rumah dan sudah membaca pesan yang ia kirim.

"Wishlist hari ini," gumam Gheko mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi note. "Ajak jalan-jalan ke Gramedia terus beliin dia novel, ajak makan ke restoran dekat sana, ajak keliling kota naik motor. Hmmm, apa lagi ya? Kayak ada yang kurang."

Gheko berpikir sejenak. Ia tengah memutar otak untuk mengingat akan sesuatu, hingga hal yang hilang itu bisa kembali lagi. "Ah, iya, kalau boleh pengin ajak deeptalk lagi berdua."

Bukan hanya Arasha saja yang bisa mengalami stres setelah Gheko tau bagaimana secuil kehidupan gadis itu yang dilontarkan langsung padanya. Tetapi, Gheko pun sudah tidak tahan dengan keluarga besar beserta sang ayah yang membuatnya muak.

Dituntut bekerja setelah lulus SMA, Gheko akan membuktikan bahwa ia dapat menjadi orang yang sukses.

Karena sudah merasa siap dan penampilan ganteng, Gheko pamit dengan sang ibu untuk pergi keluar. Setelah diizinkan, barulah motor miliknya melaju menuju ke rumah Arasha dengan kecepatan sedang.

Tidak, ia tidak boleh terlalu gugup kemudian mengendarai motor dengan batas kecepatan di atas normal. Selain dapat bertambah gugup, Gheko bisa lebih dahulu bertemu Sang Pencipta tanpa pikir panjang lagi.

Akhirnya tak beberapa lama, ia tiba di depan rumah Arasha. Rumah model minimalis namun cukup bagus.

Seorang laki-laki yang tengah duduk di depan teras memandangnya dengan tatapan bingung, lalu menutup koran yang tengah ia pegang sebelumnya dan menghampiri Gheko.

"Cari alamat siapa, ya?" tanya Ares berpikir bahwa Gheko adalah orang tersesat dan butuh arah jalan.

"Selamat pagi, Om. Bukan, saya gak lagi cari alamat," jawab Gheko membuat Ares jadi bertambah bingung. Lalu, Gheko menambahkan "Alamatnya sudah benar. Apakah Om ini ayahnya Arasha?"

"Iya. Saya orang tuanya, ada apa ya?"

Kali ini, mata Ares memicing curiga kepada sosok remaja yang memiliki penampilan rapi meskipun wajahnya terlihat sedikit sangat.

"Begini, Om. Kebetulan, saya mau mengajak Arasha untuk ke Gramedia. Sudah saya kirim pesan ajakan tapi belum dibalas. Karena sudah ada Om, saya sekalian izin saja. Saya boleh mengajak Arasha untuk ke sana?"

Dengan hati-hati Gheko bertanya. Melihat bagaimana Ares memandang dirinya setelah tau ia tidak salah alamat, Gheko tidak ingin mencari masalah.

"Tidak bisa," jawab Ares menolak. "Saya hapal betul sikap anak muda jaman sekarang. Pasti kamu tidak akan membawa anak saya ke sana, tapi ke tempat lain yang menyesatkan. Arasha tidak boleh jalan-jalan, saya sedang menghukumnya sehingga tidak boleh kemana-mana sampai waktu hukuman saya cabut."

"Maaf, Om. Tapi—"

"Kamu anak kelas mana? Orang tuamu kerja apa? Mau apa kamu sama anak saya? Jangan harap bisa memiliki hubungan lebih dari teman, saya tidak akan merestuinya."

Inikah yang disebut kalah sebelum peperangan? Kok, rasanya sakit, ya?

Dibandingkan penolakan Ares tentang seseorang yang mengajak Arasha berpacaran, kenapa Gheko justru merasa sakit hati ketika Ares menanyakan pekerjaan orang tuanya.

"Saya dari XI IPS 3, Om. Dan untuk pekerjaan orang tua, maaf, itu privasi keluarga. Namun, pekerjaan mereka bukan seorang kriminal maupun melawan Tuhan," kata Gheko.

"Anak IPS? Cih," Ares menatap Gheko dengan sejuta siratan ejekan. "Saya bahkan menyekolahkan anak saya supaya masuk MIPA semua. Anak IPS biasanya bodoh-bodoh dan bandel. Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak bisa sesukses anak MIPA."

Kenapa semakin lama semakin terdengar menyakitkan?

Gheko sering mendengar hinaan mengenai jurusan yang diambilnya. Tentang jurusan IPS yang selalu dianggap rendah daripada jurusan Matematika-IPA tersebut.

Kalau boleh berteriak, Gheko akan berteriak di depan Ares sambil berkata, "Kalau kami dianggap bodoh, kenapa anak SMA MIPA ada yang berkuliah di Soshum? Oh, dia bodoh aslinya. Tapi malu akhirnya pindah ke Soshum." Tetapi, malah takut dikira anak lancang melawan perkataan orang tua.

"Dengar, pulang atau kamu saya seret pulang paksa. Tidak ada acara untuk mengajak anak saya ke mana-mana. Karena kamu di mata saya sudah seperti anak anjing setelah tau kamu dari IPS. Anak saya hanya bisa berteman dengan yang setara dengan dia, saya juga yakin kamu aslinya bodoh."

Perkataan terakhir Ares sebelum lelaki itu meninggalkan Gheko yang tengah menahan amarah sama sekali tidak berperasaan maupun kemanusiaan.

Gheko mengepalkan tangannya erat. Satu detik saja bila ia kehilangan kontrol amarah, maka wajah Ares saat ini sudah berdarah akibat tonjokkannya. Beruntung, Gheko tengah bersabar.

Demi Tuhan, bahkan Ares yang baru saja mengajaknya mengobrol lebih parah daripada yang diceritakan Arasha.

Gheko berpikir, bagaimana Arasha bisa hidup dengan orang tua yang memilki pemikiran seperti itu? Bahkan menghina di depan orang tanpa rasa malu.

Tanpa membuang waktu, Gheko menaiki motornya dan cabut dari sana secepat mungkim. Sepajang perjalanan pulang ke rumah, ia hanya terus menahan amarah dan kesal dari Ares.

Sebaliknya, Arasha mengetahui bahwa papanya membuat orang lain sakit hati. Ia melihat jelas raut wajah Gheko tidak enak setelah berbicara dengan Ares.

Lalu, Arasha berlari ke kamar mandi setelah merasakan mual dan memuntahkan isi perutnya. Di kamar mandi, dirinya hanya bisa merenung keadaan yang semakin kacau dan tidak berjalan semestinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro