STEP 35 - JATUH SAKIT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masa skors hukuman Arasha dari pihak sekolah akan segera berakhir lusa esok, itu berarti Arasha bisa kembali ke sekolah dan belajar seperti biasa-dalam keadaan tidak kembali biasa.

Tidak seperti hukuman sekolah yang hanya melarang Arasha mengikuti kegiatan belajar selama seminggu, hukuman dari Ares jauh lebih menyiksa dirinya saat di rumah. Arasha dipaksa belajar, tangan dipukul dengan rotan apabila melawan, dan makan lebih sedikir dari biasanya.

Nesha sesekali mencuri waktu untuk memberikan lebih banyak makanan untuk anaknya, namun Arasha selalu memuntahkan seluruh isinya apabil sudah memakan makanan tersebut.

Wajah kian memucat, tangan selalu gemetar ketika menulis atau menggenggam sesuatu sampai perlahan kesulitan untuk makan.

Tidak hanya itu, ia demam lagi akibat stress berlebihan selama dihukum di rumah, dan hanya mengandalkan sisa obat dari psikiater untuk meredakan kecemasannya yang berlebihan.

Tok! Tok! Tok!

"Arasha, makan dulu. Hari ini papa sedang tidak ada di rumah, jadi belajarnya di stop dulu, ya?"

Sudah beberap kali Nesha mengetuk pintu kamar putrinya, belum ada jawaban yang keluar dari Arasha. Sekedar menolak atau mengiyakan. Padahal ia menantikan moment saat sang suami tidak ada di rumah.

Apakah Arasha kelelahan dan sedang tertidur? Arasha baik-baik saja, kan?

"Apa aku tanya lagi aja nanti, ya?" monolog Nesha.

Asisten rumah tangga berjalan menghampiri Nesha dan mengatakan bahwa di luar ada seseorang yang mengenal Arasha dan berkata ingin menjenguk putrinya. Sebagai tuan rumah yang baik, Nesha meletakkan piring makan Arasha di meja makan kemudian menghampiri tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Begitu menyambut tamu tersebut, ia tidak begitu mengenalnya namun merasa bahwa dia anak yang baik.

Gheko, cowok itu datang sendirian setelah ia dan Wildan berhasil mengumpulkan bukti untuk membuktikan bahwa Arasha tidak bersalah atas gosip yang beredar.

"Selamat siang, Tante. Saya Gheko, teman sekolahnya Arasha," sapa Gheko dengan ramah pada wanita yang merupakan ibu Arasha itu.

Tidak lupa, separcel buah sudah ia siapkan di tangannya. "Maksud saya kesini untuk menjenguk Arasha. Maaf kalau baru datang sekarang walapun Arasha sakitnya minggu lalu," tuturnya.

Mendengar niat tulus Gheko, Nesha berpikir bahwa Arasha setidaknya memiliki teman yang tulus dan masih mengingatnya. Nesha mempersilahkan Gheko masuk, dan ART-nya segera menyiapkan minuman beserta camilan.

"Terima kasih sebelumnya sudah ke mari. Saya pikir kalau menjenguk biasanya ramai-ramai, tapi saya menghargai niat tulus kamu untuk menjenguk anak saya. Kebetulan, Arasha masih istirahat jadi belum bisa ditemui saat ini," ucap Nesha.

"Oh begitu...." Gheko mengangguk paham, lalu melihat sekeliling rumah Arasha.

Banyak mendali yang terpampang di lemari kaca maupun bingkai foto di dinding. Ada juga foto Arasha beserta seorang laki-laki di sana, dan Gheko menduga bahwa dia adalah Raka, kakak laki-laki satu-satunya gadis itu.

Karena sekarang Gheko bersama dengan Nesha, ibu Arasha, juga merupakan seorang dokter. Haruskah dia menceritakan apa yang Arasha ceritakan padanya?

Gheko tidak tega bila Arasha terlalu menanggung penderitaan itu sendiri tanpa diketahui oleh orang tuanya.

"Maaf, Tante. Sebelumnya, saya izin bertanya. Apakah Tante ... tau kalau Arasha selama ini pernah cerita bahwa dia tidak menyukai pola parenting dari ayahnya sendiri yang terlalu keras? Karena selama ini--"

"Saya tau tanpa diberi tau oleh dia. Bukannya saya tutup mata, tapi anak-anak tidak suka juga mama mereka disakiti oleh papa mereka. Apalagi, saya seorang dokter. Bila terlihat ada bekas kekerasan di tubuh saya, pasien bisa ragu untuk berobat kepada dokter yang tidak bisa mengurusi dirinya sendiri. Sulit juga membuat Arasha untuk terbuka pada saya, karena saya juga sering mendapatkan jadwal sibuk, jadi kebanyakan waktu yang dia habiskan adalah bersama papa dia."

"Lalu, apakah Tante tau kalau Arasha bisa saja mengalami depresi karena perlakuan dari papanya?"

"Kemungkinan iya, tapi saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Hanya saja akhir-akhir ini Arasha memperlihatkan pada kami bagaimana dia tidak suka ditekan dari berbagai sisi, dan selalu memohon untuk diberi kebebasan. Sudah saya coba untuk membujuk suami saya, namun tidak berhasil."

Dilihat dari kedua sisi, Gheko merasa bahwa dua wanita di keluarga ini sama-sama tidak mampu melawan kuasa Ares sebagai kepala keluarga.

Jelas juga bahwa sorot mata Nesha menunjukkan kekecewaan pada diri sendiri seolah gagal menjadi seorang ibu. Gheko tau, tidak ada seorang pun yang gagal menjadi orang tua kecuali orang tua membuang anak sejak awal, dan mereka sangat toxic.

"Tante, belum ada kata terlambat. Arasha pasti akan sangat senang jika ada orang yang mendukung apa yang dia inginkan tanpa dibebani apapun."

"Terima kasih banyak ya, Nak."

BRUK!

Terdengar seperti suara benda besar terjatuh dari kamar Arasha. Refleks Nesha dan Gheko menoleh ke arah sumber suara itu berasal, kemudian keduanya saling menatap satu sama lain sekilas sekadar bertelepati.

"Arasha..."

Nesha berlari kencang dan mengetok pintu kamar Arasha sambil memanggil namanya beberapa kali.

"Arasha, Arasha, buka pintunya. Jangan dikunci dari dalam ya, Sayang. Itu benda jatuh apa di kamar? Arasha?"

Tidak ada jawaban, bergantian Gheko yang mencoba memanggil namanya. "Arasha, ini gue, Gheko. Lo gak kenapa-napa di dalem, kan? Jawab pertanyaan gue, Sha."

"Tante, apa mau dicek lewat jendela? Takutnya dia kenapa-napa," kata Gheko dan Nesha langsung setuju lalu segera keluar dari rumah untuk menuju ke jendela kamar Arasha.

Jendelanya ditutup, gordyn kamar juga tidak dibuka. Arasha menutup semua akses dari dalan bahkan jendela kamar.

Gheko merasa semuanya janggal lalu kembali ke pintu kamar Arasha. Seluruh pekerja di rumah tersebut juga menyaksikan kepanikan dua orang itu terhadap putri bungsu tuan mereka.

Satu-satunya cara untuk mengetahuin keadaan Arasha adalah mendobrak paksa pintu kamar hingga terbuka.

"Tante, saya izin mendobrak pintunya supaya kita semua bisa tau."

Nesha hanya mengangguk.

Gheko meminta semuanya mundur karena ia akan mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Dalam hitungan ketiga, ia berlari kencang dan mengerahkan seluruh kekuatannya di lengan dan bahu untuk membuka paksa pintu tersebut.

Seluruh orang berteriak melihat Arasha tergeletak di lantai rumah dengan obat-obatan berserakkan di sekitarnya juga bau muntahan yang tidak dibersihkan. Nesha melihat nama obat tersebut dibuat terkejut bahwa Arasha mengonsumsi antidepresan.

Tidak ada tanda kesadaran dari Arasha, responnya sedikit, napasnya memendek, keringat dingin mengucur dari tubunya. Ini pertanda buruk.

Nesha memerintahkan supir rumah untuk segera menyiapkan mobil dan membawa Arasha ke rumah sakit sebelum terlambat. Gheko menggendong Arasha sampai ke mobil dan ikut bersama Nesha ke rumah sakit karena takut Arasha kenapa-napa.

Selama perjalanan, Gheko merapalkan doa-doa berharap Arasha tidak semakin memburuk keadaannya. Sementara Nesha menangis melihat putrinya tidak sadarkan diri dan denyut nadinya juga mulai melemah.

Setibanya di rumah sakit, Arasha langsung ditangani oleh dokter dan perawat setempat. Penanganannya tepat waktu, namun kondisi Arasha bertambah buruk.

Beberapa waktu berselang, dokter yang menanganinya pertama berkata bahwa Arasha harus dibawa ke ICU karena mengalami koma akibat mengonsumsi obat secara berlebihan sehingga menyebabkan overdosis. Terlebih lagi, obat tersebut tergolong obat keras.

Ranjang dorong Arasha mulai didorong menuju ke ICU, dan Nesha ikut mengiringnya dari belakang sambil menangis secara terus menerus.

Dan Gheko, ia pun ikut meneteskan air mata tak kuasa menahan kesedihan melihat kondisi Arasha dirasa tak adil bagi gadis yang tidak bersalah sama sekali atas segalanya.

Tangan yang sudah menggenggam erat ponselnya itupun segera menghubungi Wildan dan memberi tau segalanya.

"Gue mau, orang itu bertekuk lutut di depan Arasha sambil minta maaf!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro