11. Perang Dingin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu Tim dan Jun keluar dari ruang dokumentasi, suasana di ruang kerja tiba-tiba suram, seolah-olah ada awan gelap yang turun ke sana. Tim langsung duduk di bangkunya, sedangkan Jun pergi ke pantry.

Salah satu peneliti yang ada di samping Jella langsung mendekat. "Nggak usah heran. Mereka berdua memang suka berantem, tapi bentar juga pasti baikan lagi. Kalo anak sekarang bilangnya love-hate relationship."

"Oh, begitu." Jella tersenyum, tetapi ia merasa tidak tenang. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi antara Jun dan Tim.

"Saya ke kebun raya dulu. Mau semedi." Tim keluar dengan buku tebal di tangannya.

Jella langsung meniup poninya ketika pria bermata sipit itu melewati mejanya dan pergi ke luar setelah berpamitan dengan semua orang. Matanya langsung tertuju pada Jun, ternyata pria berhidung mancung itu tengah memperhatikan kepergian Tim dengan ekspresi sedih. Tanpa pikir panjang, Jella menghampiri Jun di pantry.

"Tatapan lo kayak habis diputusin pacar, tahu nggak?" Jella mengambil gelas kosong dan memilih kopi yang akan ia seduh.

Jun gelagapan. Ia langsung mengangkat gelasnya dan hendak beranjak dari sana.  Namun, gerakannya ditahan oleh Jella.

"Kopi lo belum dikasih air."

Senyum Jella membuat Jun turut tersenyum. Senyum yang canggung. Pria berkemeja biru itu langsung bergerak ke dispenser air. Ia menekan tombol, tanpa bicara.

Jella berdeham. "Gue nggak tahu lo sama Tim abis ribut karena apa, tapi kalo ada yang mau lo ceritain atau ada yang bisa gue bantu, bilang aja. Gue pasti bantu."

Untuk beberapa saat, hanya hening yang tercipta.

Lo jawab, kek, jangan bikin gue kayak ngomong sama tembok, dong! Pengen bilang, lo ganteng, makanya gue maafin. Tapi kalo keseringan juga gue capek kali.

Akhirnya, Jella menyerah. Ia memilih keluar dari pantry setelah melewati masa hening yang membuatnya hampir merepet sepanjang kereta babaranjang. Namun, belum juga ia melewati pintu, Jun memanggilnya dengan suara ganteng. Jella sampai tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata.

"Iya, ada yang bisa dibantu?" Jella menjawab dengan nada yang seramah mungkin.

"Lo tahu kos-kosan atau kontrakan di deket sini? Gue butuh tempat tinggal."

Apakah ini yang dinamakan kalau jodoh nggak akan kemana?

Baru saja semalam Yosi berniat mengontrakkan rumah lantai dua, kini pria pujaan hatinya malah mencari tempat tinggal. Jella sudah membayangkan banyak hal dan dengan segera memberikan nomor Yosi pada Jun. Tadinya Jella ingin bilang kalau rumah di lantai dua bisa ditempati Jun dengan gratis, tetapi ia tidak sanggup berurusan dengan adik sepupunya, jadi ia harus puas kalau Jun bernegosiasi dengan Yosi.

"Gue ada kontaknya, biar gue kirimin nomornya ke lo. Nomor lo?"

Dengan natural dan tanpa kecurigaan sedikit pun, Jun menyebutkan nomor ponselnya.

Dapet nomornya, abis itu tinggal bareng. Berasa simulasi berumah tangga nggak, sih?

Imajinasi Jella sudah menembus angkasa. Namun, senyumnya segera menghilang setelah namanya dipanggil oleh salah satu peneliti senior.

"Jella, kamu dipanggil Bu Alia ke kantornya."

"Siap, terima kasih, Pak." Jella menjawab cepat dan ia segera meletakkan kopinya di meja.

"Jun sama Tim juga. Tolong hubungi Tim, nomornya nggak bisa dihubungi."

Jella buru-buru mengangguk, tetapi Jun malah menuju telepon kantor. Pria itu menekan tombol tanpa melihat daftar nomor telepon di meja.

"Halo, Pak Kus. Bisa tolong cek Tim di kebun raya, nomornya nggak aktif. Dia dipanggil Bu Alia."

Jella terdiam, menunggu penjelasan dari Jun. Namun, tidak seperti biasa, pria berbibir tipis itu tidak menjelaskan apa-apa.

Padahal biasanya kayak cenanyang. Kok, jadi dingin banget. Jella sedih, tetapi ia tidak punya hak untuk protes. Akhirnya, ia bertanya, "Mau pergi sekarang?"

Jun mengangguk dan segera bergerak setelah berpamitan pada semua orang.

Entah karena panggilan dari orang penting atau memang mereka sedang beruntung, mobil golf tiba tepat saat mereka keluar dari gedung.

Jella langsung tersenyum cerah. "Kita beruntung banget, nggak kebayang kalo harus jalan kaki ke depan."

Lagi-lagi Jun tidak menjawab. Pria berhidung indah itu hanya menoleh dan tersenyum tipis. Sangat tipis, sampai-sampai Jella ingin salto saja.

Ketika tiba di ruangan Bu Alia, Jella dan Jun mendapati kalau Tim sudah ada di sana. Ruangan yang dulu pernah Jella datangi sebelumnya itu terasa lebih panas. Rasa penasaran membuat wanita bermata besar itu menyipitkan mata. Posisinya dan remot AC tidak begitu jauh, sehingga ia bisa melihat suhu yang terpampang di layar remot. Setelah melihat angka 18 derajat celsius, ia mengerutkan dahi.

Ah, gue tahu kenapa ini ruangan panas.

Tim duduk bersandar di sofa dengan gaya yang tidak ada sopan-sopannya. Pria bermata sipit itu menyilangkan kaki sambil membuka majalah penelitian berbahasa inggris. Bu Alia menatap Tim dengan tatapan sengit. Jangankan Bu Alia, rasanya Jella sudah ingin memukul kepala Tim dengan buku tebal yang ada di meja.

"Kalian sudah datang." Kedatangan Jella disambut pelukan oleh Bu Alia. Jun juga mendapat tepukan di lengan. "Silakan duduk."

Berhubung Tim dan Jun sedang perang dingin, terpaksa Jella harus duduk di antara keduanya. Bu Alia duduk di sofa yang hanya bisa diduduki oleh satu orang.

Jella sempat bertanya-tanya. Kenapa ruang direktur sofanya cuma dua biji? Mana cuma muat empat orang lagi. Kan, gue berasa lagi naik angkot, mepet banget.

"Sebelum saya mulai, saya perlu konfirmasi." Bu Alia menatap Tim yang sudah tidak lagi membaca majalah. "Tim, apa kamu masih mau bekerja di sini? Saya dengar kamu mengajukan resign kemarin."

Tim hanya diam, tetapi Jella bisa melihat kalau pria di sampingnya itu kelihatan ragu karena matanya bergetar.

"Masih, Bu. Tim akan tetap bekerja di sini." Bukan Tim, tetapi Jun yang menjawab.

"Kata siapa?" Tim langsung mendebat.

Jella menghela napas sebelum menginjak kaki pria yang duduk di kirinya. "Jangan cari masalah."

Tim mengaduh dan segera memelototi Jella.

"Kata saya. Sebagai kepala bagian, saya yang akan bertanggung jawab."

Kata-kata Jun membuat Jella melongo. Ia benar-benar tidak tahu kalau Jun adalah kepala bagian. Ia kira, Jun adalah peneliti muda seperti dirinya dan yang menempati posisi kepala bagian adalah peneliti senior. Padahal Jella sudah punya praduga siapa kepala bagian, ternyata dugaannya salah total.

"Resign atau tidak, itu hak saya. Anda tidak berhak mengatur saya." Tim bicara setelah bangkit berdiri.

Jun tidak mau kalah. Ia juga bangkit berdiri. "Saya masih kepala bagian Anda, tolong jaga sikap Anda."

Bu Alia sudah memijat pelipisnya sambil menghela napas beberapa kali. Jun dan Tim adalah duet maut yang tidak terpisahkan di V-Bio. 'Duet maut' ini juga memiliki dua makna, yaitu duet mereka bisa menciptakan sebuah penelitian berkualitas atau duet mereka bisa menimbulkan perang mulut yang tidak akan berkesudahan jika tidak ada yang mengalah.

Melihat Bu Alia yang cenderung pasrah, akhirnya Jella meniup poni. Ia menarik keras tangan Tim dan Jun bersamaan. Gerakan itu membantunya untuk berdiri. Dengan cepat, ia berbalik dan melipat tangan di dada, seperti yang biasa Tim lakukan.

"Kalian berdua jangan kayak anak-anak. Kita lagi kerja, urusannya profesional. Tolong jangan bawa masalah pribadi di sini." Jella bicara dengan nada tegas dan penuh kontrol. Namun, tatapannya seolah-olah tengah menembakkan laser yang bisa membunuh siapa pun yang berani menentangnya.

Tim dan Jun kompak mengunci mulut. Keduanya sempat saling pandang, tetapi mereka langsung buang muka.

"Bisa kita lanjut bahasannya?" Jella bertanya sambil menatap Tim dan Jun bergantian.

Keduanya mengangguk seperti anak kecil yang baru dimarahi orang tuanya.

"Sebelumnya saya mohon maaf, Bu. Silakan, Ibu bisa lanjutkan." Jella berbicara sopan. Nada bicaranya sudah kembali ke mode ramah.

"Terima kasih. Untuk penelitian kali ini, kita akan membuat dua jenis spesimen sekaligus. Spesimen basah dan kering, karena itu saya memilih Jun dan Jella, sedangkan untuk sampling di lapangan, saya pilih Tim. Penelitian ini akan fokus pada spesies tingkat rendah yang ada di Provinsi Lampung khususnya di daerah Taman Nasional Way Kambas."

Selama Bu Alia menjelaskan detailnya, mata Jella berbinar. Ia tidak menyangka kalau waktunya sudah tiba, ia memiliki penelitian besar. Di Arcie Grup, ia hanya bertugas menerima sampel atau melakukan pengiriman spesimen ke daerah lain untuk pertukaran spesimen.

"Berapa jumlah orang yang akan dikirim ke lapangan?" Tim bertanya setelah menegakkan duduknya.

"Untuk proyek kali ini, kita akan kirim tiga orang dari sub bagian sampling. Ada dua orang dari TNWK yang akan membantu di lapangan. Harapan saya, Jun dan Jella juga turut ikut langsung ke lapangan." Bu Alia menatap Tim ketika mengatakan hal itu. "Untuk Jun dan Jella, sifatnya membantu, bukan untuk menginterupsi tim sampling."

"Saya hanya mau bekerja dengan orang-orang yang punya pengalaman di lapangan. Kalau Anda nekat meminta saya membawa orang yang tidak berpengalaman, saya akan langsung mundur." Tim bicara dengan nada kelewat serius.

Bu Alia menghela napas. "Tidak ada orang yang langsung berpengalaman, tugas Anda sebagai kepala sub bagian sampling adalah untuk memastikan tim Anda menjadi orang-orang yang berpengalaman."

Perasaan gue aja, atau emang gue yang lagi diomongin?

Jella menatap Jun dan meminta bantuan dengan tatapan mata.

"Saya sudah banyak terlibat proyek bersama Tim, jadi harusnya tidak ada masalah. Untuk Jella, saya rasa memang butuh sedikit latihan karena selama di Arcie Grup, dia memang tidak pernah terjun langsung ke lapangan." Jun menggantung kalimatnya dan menatap Tim.

Jella sempat menahan napas karena melihat dua pria di kiri dan kanannya bertukar tatapan tajam.

"Untuk latihan fisik dan teknis di lapangan, saya serahkan sepenuhnya pada Tim." Jun beralih pada Bu Alia. "Saya harap, Ibu setuju dengan saran saya."

Tanpa terduga, Bu Alia langsung mengangguk.

Sebentar, jadi gue bakal dilatih sama Tim? Oh, no. Kayaknya, setelah ini hidup gue nggak akan pernah indah.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Pengen bilang,
"Terserah lo Timotheo Nathanael! Bodo amat, nggak peduli gue. Resign sono!"

Yang kesebut malah,
"Kata saya. Sebagai kepala bagian, saya yang akan bertanggung jawab."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro