13. Latihan atau Balas Dendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyum di wajah Jella langsung lenyap begitu melihat Tim sudah berdiri di bawah pohon besar di samping gedung bidang herbarium. Pria berkacamata hitam itu menyampaikan satu pesan sesaat setelah Jella berangkat kerja. Yosi sampai harus putar balik karena kakaknya sudah mengumpat karena pesan dari Tim.

"Lo, kan, ketemu gue tadi, kenapa baru chat pas gue berangkat?" Jella tidak berdiri tegak. Ia malah santai.

"Gue kasih lo waktu lima belas menit buat ganti baju. Kita bakal ke kebun raya."

Jella melongo. Ini masih pagi dan ia sudah disuruh untuk berganti pakaian olahraga. Benar-benar tidak masuk akal, tetapi Jella langsung buru-buru merevisi pikirannya. Olahraga di pagi hari akan lebih baik daripada olahraga di tengah hari.

Tim melihat jam tangannya, kemudian ia melipat tangan di dada. "Lewat dari lima belas menit, gue bakal tambahin waktu latihannya."

Mendengar perintah Tim, wanita bersetelan hitam itu langsung bergegas. Latihan dua jam per hari bisa membuatnya hampir semaput, kalau jam latihannya ditambah, bisa-bisa Jella semaput betulan.

Jella mengganti pakaiannya secepat mungkin. Ia meletakkan tasnya di ruangan. Ia tidak sengaja bertemu Jun ketika ia hendak menuruni tangga.

"Udah mau mulai latihannya?" Jun bertanya dengan senyum ramah.

Jella menghela napas pelan. "Tim udah berdiri di bawah pohon, mana auranya serem betul. Ini pelatihan buat bekal ke lapangan, kan? Dia nggak akan bikin gue pingsan, kan?"

Bukannya menenangkan, Jun malah membuat Jella semakin panik. "Latihannya bisa saingan sama latihan militer, sih."

"Bisa mampus gue." Bahu Jella merosot. Kini, stok semangatnya hanya tinggal setipis kulit bawang.

Jun tersenyum. "Waktu Tim ngajak lo keliling V-Bio pake sepeda, sebenarnya dia ngetes kemampuan lo. Ya, dia nggak akan bikin lo mati. Jadi, tenang aja."

"Gue nggak mati, tapi bisa pingsan?" Jella menutup wajahnya dengan tangan.

Jun tertawa kecil. "Oh, iya. Surat tugas kita sudah keluar. Dua minggu lagi kita bakal berangkat ke Lampung. Kita, itu kalo lo berhasil ngikutin pelatihannya Tim tanpa tepar, kalo lo tepar, ya, gue aja yang berangkat."

Jella cemberut. Bibirnya sudah maju lima senti.

"Lo nggak telat? Tim udah nungguin di bawah." Jun menunjuk Tim yang sudah memelototi Jella dari kaca yang ada di sepanjang tangga.

Mati, gue. "Makasih, udah diingetin."

Jun kembali tertawa. "Jangan sampe tepar, Jella."

Jella berharap, kata semangat dari Jun bisa membuatnya bertahan, setidaknya untuk hari ini. Ia tidak tahu jenis latihan apa yang akan Tim berikan, tetapi entah mengapa, perasaannya tidak enak.

"Yang pertama, kalo di lapangan, fokus lo nggak boleh kepecah. Ikutin perintah dan jangan alihin perhatian lo ke hal nggak penting." Tim langsung ceramah, begitu Jella tiba di depannya dengan napas terengah-engah.

"Siap."

"Manajemen waktu lo berantakan. Gue kasih waktu lima belas menit dan lo berhasil sampe sini setelah dua puluh menit lewat lima puluh detik, itu artinya waktu latihan lo bakal gue tambah dua puluh menit lima puluh detik."

Tim bicara dengan tegas. Tidak ada wajah jahil atau senyum yang biasa Jella lihat. Pria itu sepertinya punya banyak sisi yang tidak ia ketahui. Tim yang ada di depannya kini terlihat penuh aura gelap dan mencekam.

"Periksa ulang tali sepatu lo. Tali sepatu yang lepas bakal ganggu banget." Tim menatap tali sepatu Jella yang tidak terikat dengan baik.

Jella ingin mendebat, tetapi melihat aura Tim yang sudah tumpah-tumpah, akhirnya ia mengikat tali sepatunya tanpa bicara.

"Lo bukan anak SD yang harus gue ajarin iket tali sepatu, kan? Ulang!"

Kesabaran Jella sudah habis. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap Tim sengit. "Ini iketan sepatu yang paling bener, versi gue. Gue nggak tahu yang mana yang bener menurut lo."

Tim menghela napas dan melangkah mendekat. Untuk menghindari kemungkinan ditendang atau dipukul secara brutal oleh Jella, ia langsung bicara sebelum bertindak. "Gue kasih contoh iket tali sepatu yang benar. Liat dan pelajari."

Tadinya, Jella mau protes, tetapi boro-boro mau protes, jantungnya saja sudah berdebar tak karuan ketika Tim berjongkok dan menatapnya dari bawah. Sinar matahari membuat wajah pria bermata sipit itu kelihatan sangat cerah. Rambut mullet-nya bergerak tertiup angin. Untuk sejenak, perhatian Jella terkunci pada pria yang bisa menyandang gelar sebagai musuh bebuyutannya itu.

"Perhatiin, jangan ngelamun!"

Tim mengencangkan tali sepatu Jella, ia mengikat talinya sedemikian rupa, hingga membuat wanita itu percaya kalau ikatannya tidak akan mudah lepas. Dari gerakan tangan yang luwes, Jella tahu kalau Tim benar-benar seorang ahli.

"Sudah. Sekarang ikat yang satunya." Tim masih berjongok di depan Jella.

Jella menurut dan segera mengikat tali sepatunya. Ia mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat langkah yang diajarkan Tim, tetapi ia sempat berhenti karena bingung. Tanpa terduga, tangan pria di depannya datang membantu. Tim menunjuk arah yang benar tanpa menyentuh tangan Jella.

"Sudah?" Jella bertanya setelah selesai mengikat tali sepatunya.

Tim melihat jamnya dan ia berjalan menuju tempat parkir sepeda. Namun, ia langsung menghentikan Jella yang berjalan mengikuti. "Siapa bilang lo pake sepeda? Lari. Gue yang naik sepeda."

Wah, Tim sialan! Bangke banget! Lo naik sepeda, terus gue disuruh lari? Bener-bener nggak punya perasaan! Baru aja gue nyaris terpesona sama sikap baik lo, ternyata lo beneran jelmaan setan!

Melihat wajah Jella yang tidak terima, Tim langsung mengeluarkan jurus andalan. "Kenapa? Nggak terima? Mau protes? Ya, udah. Nggak usah latihan, gue juga seneng nggak buang-buang waktu buat lo. Emang paling bener, gue bawa orang-orang yang udah berpengalaman aja."

Jella mengepalkan tangan dan memaksakan senyum. "Siapa bilang gue protes? Ini gue lagi pemanasan, kok."

"Bagus, seenggaknya lo tahu kalo mau lari, perlu pemanasan." Tim tersenyum dan menaiki sepedanya.

Bagus, bagus, muatamu. Nggak perlu pemanasan gue. Hati gue udah kebakar pengen nyumpahin lo!

Jella hanya bisa mengumpat dalam hati, soalnya kalau disuarakan, bisa-bisa karirnya di V-Bio hancur berantakan. Wanita yang mengenakan pakaian olahraga itu langsung menarik napas dalam dan melanjutkan pemanasannya.

"Cukup pemanasannya, sekarang ikutin gue. Kita ke kebun raya." Tim melaju lebih dulu.

Jella memaksakan kakinya melangkah. Baru juga mulai, ia sudah tahu kalau nanti malam, koyo dan segala jenis minyak urut akan menghiasi tubuhnya.

"Jangan terlalu cepat di awal, nanti lo kehabisan napas." Tim menyesuaikan kecepatan sepedanya dengan kecepatan lari Jella.

"Katanya tadi suruh ngikutin, gue lari ngebut karena ngikutin lo!" Jella menjawab dengan napas yang sudah pendek-pendek.

"Kalo mau nyerah bilang, jangan nanti pingsan di tengah jalan."

Jella menghentikan langkahnya. "Lo emang ada niat mau buat gue pingsan, ya?"

Tim menyeringai. "Siapa yang bilang? Itu pikiran lo aja. Gue di sini bantu lo biar bisa ikut ke lapangan. Kalo mau stop sekarang, nggak masalah."

Jella menatap Tim dengan seksama, tetapi ia tidak menemukan keraguan dari pria berbibir tipis itu. Kini, ia malah salah fokus pada tindik di telinga kanan Tim. Pada jarak yang sedekat ini, ia baru sadar kalau ada tindik salib kecil di sana.

Sadar, Jella. Bukan waktunya buat mikirin tindik. Nyawa lo hampir terancam ini.

"Mau lanjut atau cukup?" Tim bertanya dengan wajah serius.

Jella mengembuskan napas berat. "Lanjut."

"Bagus. Gerbang kebun raya udah keliatan, sayang banget kalo lo nyerah sekarang."

Tim melaju lebih dulu dan menunggu anak didiknya di gerbang kebun raya. Jella sudah kehabisan napas, tetapi ia tidak menyerah. Namun, kesabaran wanita berambut diikat satu itu sudah hampir sirna begitu melihat Tim meneguk air. Ia lupa membawa botol airnya. Saking terburu-buru, ia meninggalkan botol airnya di meja.

"Bisa-bisanya lo duduk sambil minum air, waktu murid lo hampir pingsan." Jella menggunakan sisa tenaganya untuk mengomel.

"Buktinya, lo nggak pingsan. Good job." Tim menyodorkan botol minum yang sudah dibuka tutupnya. "Masih baru dan nggak gue racun."

Jella sempat hampir terharu, ternyata Tim tidak sejahat itu. Ia segera meminum air itu untuk melegakan tenggorokannya yang terbakar. Namun, ia langsung tersedak dan batuk-batuk heboh ketika Tim bicara tanpa rasa bersalah.

"Dua menit lagi, lo lari keliling kebun raya."

Sumpah serapah sudah memenuhi kepala Jella, tetapi ia hanya bisa menelan semua umpatan itu sendiri.

"Kenapa? Nggak terima? Mau protes? Ya, udah. Nggak usah latihan, gue juga seneng nggak buang-buang waktu buat lo."

Kalimat yang sama dari Tim membuat Jella jengkel, akhirnya ia angkat bicara. "Lo mending diem daripada bikin gue pengen nyumpahin lo! Semua latihan bakal gue lakuin, tapi jangan tanya gue terima atau nggak. Soalnya, jelas gue nggak terima, tapi gue harus tetep lakuin ini. Cukup ajarin gue yang bener aja."

Tim menyeringai.

Tiba-tiba Jella menyesal telah meluapkan emosinya.

"Oke, dua menit lo abis. Sekarang, lari keliling kebun raya."

Tanpa diminta, Jella sudah menyerukan umpatan dalam hatinya.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Tetap semangat karena dunia belum kiamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro