27. Mantan Pacar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama sejenak, Jella terperangah karena kafe itu tidak berubah meski sudah dua tahun tidak ia kunjungi. Kafe bernuansa klasik dekat kampusnya adalah tempat yang berarti untuk Jella karena ia dan Niko sering bertemu di sana, mereka juga memutuskan menjadi sepasang kekasih di tempat yang sama. Hampir separuh hidupnya selama menjadi mahasiswa, dihabiskan di tempat ini.

"Maaf, Kak, pesanannya?"

Jella ditarik dari sekelebat kenangan lama yang menenuhi kepalanya. Ia langsung tersenyum. "Iya, maaf. Mocha latte satu."

Jella berbalik sambil memegang kopinya. Ia memandang sekeliling dan berniat duduk di dekat jendela, tetapi wanita berambut terurai itu batal melangkah begitu ingat kalau meja di dekat jendela adalah tempat favoritnya bersama Niko.

Wanita berkaus kuning itu menghela napas dan memilih meja yang lebih dekat dengan tembok. Ia sempat tersenyum pada salah satu pelayan yang sering ia temui dulu. Jella meminum kopinya, kemudian kembali mengedarkan pandangan. Ia merindukan tempat ini dan semua kenangannya. Tanpa sadar, ia tersenyum.

"Udah lama sampenya?" Niko tiba dengan segelas kopi di tangan. Hanya dengan sekali lihat, Jella tahu kalau pria itu memesan americano.

Jella langsung meluruskan wajahnya. Senyum yang sebelumnya mengembang, dipaksa meringsut prematur. Ia menyukai kenangan indah yang pernah ada di sana, tetapi ia tetap tidak suka pada Niko. Jella merasa kalau masa mereka sudah kedaluarsa. "Udah. Kebiasaan banget, doyan telat."

Niko melirik jam yang melingkar di tangannya, kemudian ia duduk dengan santai. "Telat lima menit aja."

Jella mendengkus. "Mau itu cuma lewat satu detik, yang namanya telat, tetep telat."

Niko tersenyum. Ia kelihatan bahagia untuk ukuran seseorang yang baru saja diledek. "Jangan galak gitu, dong."

Jella memutar bola matanya malas. Ia menyilangkan kaki dan melipat tangan di dada. Entah sejak kapan, kebiasaan Tim melipat tangan sudah jadi kebiasaannya juga. "Nggak usah basa-basi!"

"Lo bener-bener nggak berubah." Niko menyandarkan tubuhnya dan menatap Jella lebih lama dari seharusnya. Ia menatap dalam, tanpa bicara. Kedua matanya terkunci pada wanita yang terang-terangan sudah ia khianati. "Gue agak kaget karena lo nggak pilih meja deket jendela, padahal biasanya kita duduk di sana."

Mata besar Jella sudah menatap Niko kesal. "Nggak ada kita. Oke? Satu-satunya urusan gue yang belum kelar sama lo, cuma tentang uang. Nggak akan lebih dari itu."

Pria berambut tebal itu menegakkan tubuhnya dan menyibak rambut. Setelah itu, ia mencondongkan tubuhnya mendekat. Matanya masih menatap Jella. Dalam. "Tolong dengerin gue. Sekali ini aja. Jangan disela."

Meski terlihat blak-blakan dan mudah marah, biasanya Jella sangat lemah jika sudah berhadapan dengan Niko. Jantungnya bisa berdebar dua kali lebih cepat, bahkan rasanya bisa lebih parah daripada berlari. Apalagi dengan tatapan mendominasi dari pria bermata besar itu bisa membuat tubuh Jella seolah-olah menjadi jelly yang bisa meleleh kapan saja. Namun, kini rasanya berbeda. Tatapan Niko dan jarak sedekat itu, tidak mampu membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"Silakan."

Niko tersenyum tipis. Ia menarik tubuhnya mundur, tetapi tidak mengalihkan pandangan sedikitpun. "Gue minta maaf. Kali ini benar-benar minta maaf. Gue tahu kalo udah ngelakuin kesalahan besar secara sadar. Apapun yang gue omongin sekarang, mungkin bakal kayak alasan buat lo, tapi gue ngerasa bakal nyesel kalo nggak jelasin semuanya ke lo."

Jella terdiam. Tidak berminat menyela apalagi berkomentar.

"Gue dekat sama Alisha udah satu tahun. Pertama kali kami interaksi, waktu lo ajak gue ikut kumpul sama anak herbarium. Bagi gue, dia menarik, pesonanya beda sama lo. Dia kelihatan rapuh dan perlu dilindungi. Gue semakin tertarik setelah tahu kalo dia betulan anak salah satu pimpinan di Arcie Grup. Tanpa gue jelasin, lo orang yang paling paham tentang mimpi gue. Alisha bisa bantu gue lebih dekat ke mimpi itu dan akhirnya gue ngelakuin kesalahan yang mungkin bakal jadi kesalahan terbesar dalam hidup gue." Niko menjeda penjelasannya sejenak untuk mengamati perubahan ekspresi wajah wanita yang duduk di depannya.

Jella menahan diri untuk tidak menyiramkan kopi ke wajah mantannya. Ia berusaha menjaga ekspresinya agar tetap datar. Ia meremas ujung bajunya kuat-kuat.

"Lo pasti udah denger, Alisha bakal nikah dan bukan sama gue. Gue nggak pernah bayangin hidup sama orang lain selain lo, Jell."

Jella menyeringai. "Mau itu cuma sekali atau berkali-laki, selingkuh, tetap selingkuh."

"Kali ini aja, maafin gue. Kita punya kenangan tujuh tahun, tolong maafin kesalahan gue kali ini. Gue janji, ini kesalahan terakhir gue." Niko mengeluarkan ponselnya dan menunjukan transaksi pemindahan kekayaan. Ia memindahkan sejumlah uang, bahkan lebih dari utang yang Jella tagihkan.

Jella melihat transaksi itu tanpa merasa terkesan sedikitpun.

"Gue udah bayar semua utang gue. Gue jual mobil sama rumah. Itu semua hasilnya. Gue nggak ambil sepeserpun. Jadi, tolong. Maafin gue." Niko bicara dengan suara pelan.

Jella mengambil ponselnya dari tas dan mengirimkan kembali uang lebih yang dikirim oleh mantannya. Ia bangkit berdiri dan menatap Niko tanpa ekspresi. "Gue rasa urusan kita selesai sampai di sini."

***

Jella kira, urusannya dengan Niko akan benar-benar selesai hari itu juga, tetapi ia salah besar. Ia harus melihat mantannya itu datang ke rumah dengan kondisi setengah sadar. Kini sudah hampir tengah malam dan ia harus menerima tamu tanpa persiapan apapun.

"Jella, gue minta maaf." Niko berjalan sempoyongan. Ia bisa berdiri di tempat dengan bantuan salah satu pilar teras.

"Lo mabok?" Jella bertanya hanya untuk memastikan. Ia tahu kalau Niko bukan peminum ulung, pria berbibir tebal itu hanya akan minum sampai mabuk jika ada hal buruk yang terjadi.

"Gue minta maaf. Gue salah. Gue emang salah. Tolong maafin gue." Niko menyatukan kedua tangannya sambil memohon pada Jella.

Jella memejamkan matanya untuk berpikir senjenak. Akhirnya ia memilih untuk menelepon Yosi. Teleponnya dijawab setelah dering kedua. "Yosian Nugraha, tolong ke rumah sekarang."

Tanpa menunggu jawab, Jella langsung memutuskan panggilan.

Telepon balik dari Yosi langsung datang. "Jell, gue jantungan sumpah. Udah gue bilang, jangan panggil nama lengkap waktu gue setengah sadar! Kenapa? Jelasin dulu, baru gue bisa ke sana."

Wanita berbaju tidur itu malas menjelaskan. Ia malah mengganti panggilan suara menjadi panggilan video. Begitu Jella menunjukkan penampakan terkini dari kabag adiknya itu, Yosi langsung syok berat.

"Gue otw. Tutup pintu rumah lo. Kalo perlu, kunci sekalian. Gue nggak mau lo kenapa-napa, ya."

Jella bisa melihat kalau Yosi buru-buru turun dari kasurnya dan segera meraih kunci mobil. Adiknya itu sampai harus ceramah sambil berlari.

Niko tidak mendekat. Ia tetap menjaga jarak dan berdiri di tempatnya. Meski kelihatan tidak sanggup berdiri, ia tetap berusaha mempertahankan posisinya. "Kenapa lo nggak mau maafin gue, Jell? Kenapa? Gue butuh maaf dari lo supaya seenggaknya gue bisa hidup tanpa rasa bersalah."

Jella tertawa. Ia batal masuk ke rumah. "Kalo lo di posisi gue, apa lo bakal kasih maaf?"

Niko mengayunkan telunjuknya, tetapi tidak hanya telunjuk yang berayun, tubuhnya juga melangkah mendekati Jella. "Enggak. Kayaknya emang gue nggak pantes dimaafin, ya?"

Jella mengangguk, tetapi ia tetap waspada. Tangannya sudah memegang knop pintu.

"Untuk yang terakhir. Boleh gue peluk?" Niko berjalan mendekat sambil membentangkan kedua tangannya. Langkahnya jelas tidak stabil dan tidak terarah.

Belum juga Niko mendapat sebuah pelukan, bagian belakang kerah bajunya sudah ditarik paksa oleh seseorang yang datang tiba-tiba. "Cukup. Nggak perlu pake peluk-peluk."

Niko masih sempat menyibak rambutnya sebelum menoleh. "Oh, hai. Sahabat gue yang berkhianat."

Pria berambut mullet dan bermata sipit itu langsung menghela napas berat. "Lo mabok, biar gue anter balik."

Niko menepis tangan Tim yang kini merangkulnya. "Gue nggak perlu dianter balik. Ini rumah gue."

"Jangan ngaco. Ini rumah Jella. Ayo, gue anter balik." Tim kembali berusaha merangkul Niko dan menuntunnya menuruni tangga. Namun, baru juga kaki mereka menginjak rumput, Niko tiba-tiba melayangkan satu pukulan ke wajah Tim.

Jella langsung menghambur menghampiri Tim dan memeriksa bagian yang ditonjok oleh Niko. Tangan kanan wanita bertubuh mungil itu hampir menyentuh pipi Tim. Mata besarnya sudah gemetar karena khawatir. "Lo nggak apa-apa? Bener nggak apa-apa?"

Niko tertawa puas. "Benar dugaan gue. Tim, lo benar-benar pengkhianat! Gue temen lo dan lo malah rebut pacar gue."

Jella berdecak. "Maling teriak maling itu namanya! Lo sama gue udah nggak punya hubungan apa-apa. Jangan nuduh Tim sembarangan."

Mata besar Niko menatap Tim tajam. Ia masih tidak bisa berdiri di tempat yang sama. "Lo suka sama Jella?"

Tim langsung menukar posisinya dengan Jella. Kini, wanita bertubuh mungil itu sudah tertutupi seluruhnya. Jella bergerak ke samping dan mendongak hanya untuk melihat kilatan emosi di mata Tim.

"Siapa yang nggak suka sama Jella? Dia baik, cerdas, pemberani, dan cantik. Kenapa? Lo ngerasa nggak adil karena udah kehilangan pacar sempurna yang selalu lo bangga-banggain? Lo terlambat. Kalo lo ngerasa rasa bersalah itu hukuman, menurut gue, lo pantes dapet itu semua. Terima kasih udah berkhianat."

Satu pukulan kembali melayang ke wajah Tim, tepat saat Yosi tiba. Pria yang juga berbaju tidur itu langsung menarik Niko sebelum adegan baku hantam terjadi.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

"Kakak gue emang bener-bener hobi bikin jantungan. Kayaknya dia udah bisa magang jadi malaikat maut. Heran. Doyan banget panggil nama lengkap gue!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro