30. Tim and Jella

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang bilang kalau rindu adalah hal paling berat dalam suatu hubungan, tetapi bagi Jella, ada yang lebih berat dari hal itu, yaitu sebuah ketidakpastian. Ia lebih suka bertengkar setiap hari atau melakukan latihan ekstrem ratusan kali daripada ditinggalkan tanpa kejelasan. Pesan terakhir yang diberikan Tim untuknya hanya selembar sticky note berwarna biru yang ditempel di sebuah payung. Sejak hari itu, Jella tidak pernah mendengar kabar tentang Tim lagi. Pria bermata sipit yang selalu membuatnya kesal itu, menghilang bak ditelan bumi. Jun juga menolak buka suara ketika ditanya mengenai Tim.

Rasanya Jella ingin murka karena setiap ia melihat Jun, yang teringat malah Tim. Setiap ia bicara dengan Jun, yang ada di kepalanya malah ribuan tanya tentang Tim. Dua tahun sudah ia lewati dengan perasaan gundah gulana yang tak kunjung lunas bayarannya.

Kalau kata Yosi, ia sudah ditolak mentah-mentah, tetapi apakah ada pria yang menolak cintanya, tetapi tetap memberikan jaket karena udara dingin? Atau meninggalkan payung saat BMKG sudah memprediksi akan datang hujan? Ada satu lagi yang ia tidak habis pikir. Jun selalu memperhatikan Jella seperti apa yang dilakukan Tim padanya dulu. Seolah-olah, Tim sudah menitipkannya pada Jun.

"Nih, kopi lo."

"Gue males nanya udahan, tapi masih penasaran. Kenapa, sih, lo doyan banget perhatiin gue berlebih gini? Kalo gue naksir, lo mau tanggung jawab emang?" Jella bertanya sarkas setelah melihat Jun meletakkan segelas kopi di meja kerjanya.

"Ya, karena gue mau. Lagian nggak usah sok mau naksir gue, kalo lonya sendiri masih gamon." Jun meledek setelah mengintip wallpaper ponsel Jella.

"Jangan liat-liat."

Jun tertawa. "Gue cuma mau ngecek, masih sama nggak kayak kemaren-kemaren. Kalo belom ganti, fix, masih gamon."

Jella memang sengaja memasang foto sepatu lapangnya. Tadinya, ia kira tidak ada yang menyadarinya, hingga tiba-tiba Jun bertanya dengan wajah yang meledek. "Itu yang ngiket tali sepatunya, pasti Tim?"

Berbekal kamera yang digunakan untuk dokumentasi, Jella mengambil beberapa foto untuk kepentingan pribadinya. Salah satunya adalah foto yang menjadi wallpaper ponselnya kini. Salah banyaknya adalah foto Tim sedang membongkar alat, foto Tim yang sedang memeriksa sampel, foto Tim yang sedang mengamati pohon besar dan masih banyak lagi foto Tim yang sengaja ia ambil.

"Gamon apaan, jadian aja enggak. Emang temen lo itu, parah banget. Bikin gue nggak bisa naksir lo, kan, jadinya? Eh, tapi, ya, gue mau ngaku."

"Ngaku apa? Jangan bikin gue penasaran." Jun mendekat ketika Jella memanggilnya dengan gerakan tangan.

"Pertama kali masuk V-Bio, gue naksir sama lo."

Jun tertawa. "Ya, gue emang ganteng, sih. Justru nggak wajar kalo lo nggak naksir."

Jella memutar bola matanya malas. "Dih. Pedenya coba dikurangin dulu."

"Alah, sama gue mah, naksir bentar doang, kan? Kalo sama Tim, mah, naksir sampe mentok." Jun kembali tertawa.

"Coba, ya, Bapak kabagnya herbarium, kalo bercanda, tuh, tau tempat."

Tawa Jun semakin kencang. "Iya, iya, Ibu wakabagnya herbarium."

Sejak kepergian Tim, Jella tetap bekerja seperti biasa. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. Ia mengerjakan banyak proyek bersama Jun. Mereka sering berkolaborasi dalam penelitian mandiri maupun penelitian kerja sama dengan negara lain. Setelah satu tahun, Jella ditunjuk menjadi kasubbag, kemudian setengah tahun kemudian ia diangkat menjadi wakil kabag herbarium. Sebelumnya jabatan itu diisi oleh peneliti senior yang baru purna bakti.

"Kayaknya kalo gue tugas belajar, lo bakalan auto jadi kabag." Jun tersenyum. Di V-Bio ada sebuah kewajiban tidak tertulis bagi semua karyawannya. Mereka difasilitasi untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa penuh. Tahun ini, Jun jadi salah satu karyawan yang masuk dalam daftar tugas belajar.

"Dengan senang hati. Asal nggak punya kasubbag kayak Tim, mah, gaslah." Jella turut tertawa.

"Kata siapa lo nggak punya kasubbag kayak gue?"

Jella membeku di tempatnya. Debar jantungnya sudah semakin cepat. Ia tidak mungkin salah. Ia mengenali suara itu, bahkan sangat mengenalinya. Suara seseorang yang berhasil memblokir semua akses informasi dirinya selama dua tahun terakhir.

Jella bisa merasakan kalau ada seseorang yang berjalan mendekat. Kini pria itu bergerak mengitari tubuhnya. Pria berambut mullet itu menyisir rambutnya dengan jari sebelum tersenyum. Matanya membentuk lengkungan kembar yang membuat mata Jella jadi terasa panas.

"Hai, Jella. Apa kabar?"

Runtuh sudah pertahanan Jella. Air matanya sudah melucur kejar-kejaran. Bahkan ia tidak bisa menutup wajahnya dengan tangan saking terkejutnya.

Jun memeluk Tim dan menepuk pundak sahabatnya. "Wellcome back, Bro."

"Terima kasih sambutannya." Tim sadar kalau Jella menangis, tetapi ia tidak langsung memperhatikan wanita yang sudah tidak lagi berponi itu. Namun, setelah beberapa saat, ia menatap Jella sambil tersenyum. "Butuh dipeluk?"

Jella langsung mengusap air matanya dengan kasar. Ia menatap Tim dengan tatapan semarah mungkin, tetapi bukannya takut, Tim malah tertawa. Ia memeluk Jella dengan gerakan lembut.

Jun yang pengertian, langsung undur diri dari ruangannya sendiri. Kemudian ia menutup pintu, tetapi tetap melihat pemandangan reuni Tim dan Jella dari jendela kaca yang memangg sengaja ia buka setelah tahu kalau Tim akan ke kantor hari ini. Jun tidak sendirian, semua anggota tim sampling ada di sana untuk menyambut ketua mereka yang baru menyelesaikan studi.

Tim membiarkan Jella memukulnya beberapa kali. Ia hanya tertawa dan mengusap puncak kepala Jella dengan lembut. Namun, lama kelamaan, pukulan wanita bertubuh mungil itu malah bertambah keras.

"Sakit. Udahan, ya, marahnya."

Bukannya menjinak, seolah-olah baru mendapat suntikan kekuatan, pukulan Jella malah semakin kuat. Akhirnya, Tim mengambil langkah mundur. Ia menatap Jella dari jarak sekitar dua meter. "Marahnya udah?"

"Belom!" Jella mengusap hidungnya yang sudah berair. "Lo jahat banget, tahu!"

Tim kembali mundur ketika Jella bergerak mendekatinya. "Udahan dulu marahnya."

Jella berdecak kesal, tetapi ia menghentikan langkahnya.

"Udah?"

Akhirnya, Jella mengaku kalah. Ia memang hanya berbakat untuk urusan mengumpat. Jella mengangguk dan tersenyum.

Senyum di wajah Tim mengembang sempurna. Ia berjalan mendekat dan memeluk Jella, lebih erat dari sebelumnya. "Gue kangen banget sama lo."

"Gue juga."

Pelukan mereka berakhir secepat kilat karena Bu Alia tiba-tiba masuk ke ruangan itu.

"Mama." Tim berseru kaget.

"Mama?" Jella terperangah.

"Oke, Jella. Sebelum anak saya kabur lagi. Saya mau kasih tahu ke kamu kalau Tim adalah anak saya. Dia masuk ke V-Bio memang karena saran saya, tetapi seleksinya tetap melalui jalur resmi. Tidak ada KKN selama Tim bekerja di sini."

Tim langsung mengeluh. "Ma, ini di kantor."

"Terserah, Mama nggak peduli. Kamu ada di V-Bio aja, susah dihubungi apalagi ditemuin. Bisa-bisanya kamu pulang nggak nemuin Mama dulu."

Pernyataan Bu Alia disambut cengiran oleh Tim. "Abis ketemu Jella, baru Mama."

"Ya, sudah. Temui saya di ruangan. Kamu juga, Jella." Bu Alia berlalu dengan cepat dari ruangan itu.

Tim dan Jella bergerak mengikuti. Ketika melewati Jun, Tim hanya menggeleng pasrah, tetapi ia langsung tersenyum melihat jajaran anggotanya yang masih melongo. "Walau saya anak Bu Alia, nggak ada yang berubah. Saya tetap Tim, kasubbag sampling. Tolong perlakukan saya seperti biasa."

Kata-kata Tim disambut tepuk tangan meriah.

Setelah melewati anggotanya, Tim menatap Jella dan bertanya, "Boleh gue gandeng?"

Jella mengangguk dan mereka bergandengan tangan untuk menemui Bu Alia di ruangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro