dua puluh empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Curhatan seorang Janda.

Malam yang penuh gemintang dan sinar rembulan, angin sepoi-sepoi dan suara serangga bersautan, udara yang dihirup juga terasa begitu sejuk.

Tiga mahkluk berakal dan bernyawa tengah berbaring di lantai kayu tanpa atap, dua anak kembar di antaranya memakai sarung sebagai penutup. Sedang wanita dewasa berbaring sebagai pemisah di antara mereka.

Mata Atsumu terputar, dimiringkan kepalanya menatap sang Ibunda. "Bunda ... bintangnya cakep, ya?" katanya.

"Iyah."

Kedua tangan [Name] diraih oleh kedua putranya. "Kaya Bunda," kata mereka berbarengan menatap sekilas [Name] lalu kembali menatap ke langit.

Merespon tersenyum dan tersentuh, [Name] mendekap kepala kedua anaknya ke dalam pelukan. "Dulu langit Bunda nggak ada warnanya, gelap, mendung terus."

Alis mata mengkerut bertanya, terdengar nada bicara [Name] yang berbeda dan tidak nyambung.

"Ah, bukan. Bunda dulu suka liatin bintang-bintang, bahkan tiap malem walau mendung ataupun hujan, Bunda selalu nungguin langit cerah. Ya, walau kadang hujan sampe pagi dan Bunda malah ketiduran."

Menghela nafas sesaat, tangannya terangkat membelai surai hitam kecoklatan sang anak. "Abis itu, papah kalian pergi, langit Bunda juga ikut pergi. Rasanya bintang nggak bergemintangan lagi, langit juga jadi kelabu, nggk ada bulan purnama ataupun komet yang lewat. Semuanya bener-bener kelabu."

"Bunda fikir Bunda udah buta warna, ternyata salah."

"Maksudnya?" tanya Osamu sudah tidak tahan lagi menahan rasa penasaran. Matanya bergerak gusar menatap [Name] yang bahkan lebih lama berkedip dari biasanya.

"Bunda ngerasa bersalah dulu, karena Bunda pikir kalian itu pembawa sial. Ternyata bukan, Bunda salah."

"Justru karena kalian, Bunda sadar. Bunda jauh nggak bisa hidup tanpa kalian, kalian yang udah ngasih warna lagi kehidup Bunda, udah ngeluarin Bunda dari kurungan kesedihan, udah ngasih Bunda keceriaan, macam-macam emosi juga kalian berikan buat Bunda."

Satu persatu dahi dicium olehnya, lantas kembali mengusap lembut surai keduanya. "Jadi, kalo udah besar dan sukses nanti, kalian jangan berubah yah, sama Bunda."

Dua pasang tangan kecil yang sedikit gempal melingkar di perut [Name], memeluknya erat dan membagi kehangatan di tengah sejuknya malam.

"Bunda juga, jangan nikah lagi, ya?" pintah Osamu.

"Jangan puji-puji anak tetangga juga terutama kak Kita," lanjut Atsumu yang terdengar berat dilakukan.

Mendengar penuturan dari mulut anak kecil yang pengertian, membuat janda satu ini tertawa ria. "Siapa juga yang mau nuker cinta Bunda ke kalian buat berondong di luar."

Lelah tertawa yang kian terbahak karena ekspresi bingung yang dikeluarkan oleh si kembar, [Name] bangkit setengah berdiri membelakangi mereka. "Udah ah, tidur. Ntar dimarahin nenek kalian, kan nggak lucu ibu-ibu dimarahin nenek-nenek."

"Siapa yang nenek-nenek?"

Tiba-tiba saja suara bernada sedikit getar terdengar, muncul sebuah bayangan wanita dengan tubuh yang sedikit bungkuk dari pintu kamar.

"Mamah lah, terus siapa lagi?" sahut [Name] mendudukan dirinya masih di tengah si kembar.

Ibu mertu bermarga Miya itu datang, ikut duduk juga berhadapan. "Nggak nenek-nenek juga."

"Terus apa?" tanya [Name] heran.

"Oma."

"Yaelah, cucu udah SD juga, masih aja sok muda."

Okeh fiks, menantu durhaka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro