11 | Si Manja Simon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Namanya Rafael Rys. Orang Italia.”

Raina nyaris tersandung kaki sendiri. Matanya nyalang memandangi Bram. Segumpal rasa panas terasa di tenggorokan, membuat lidah wanita itu mendadak kelu.

“Raina, lo enggak apa-apa?”

Wanita itu mengangguk kaku. Susah payah dia menelan ludah. 

Ada banyak nama Rafael Rys di dunia ini. Ada banyak juga yang berasal dari Italia. Belum tentu itu Rafael-nya.

Namun, Raina tahu dirinya seolah tengah menghindari kenyataan. Rys bukan nama yang umum dalam keluarga Italia. Nama itu lebih sering muncul di daerah Wales Selatan. Daerah tempat di mana keluarga besar Katherine Rys berasal.

Dan Katherine Rys merupakan ibu kandung Rafael.

Kepala wanita itu pening. Hatinya tak henti melantunkan doa. Semoga tamu yang dilayani Bram ini bukanlah pria dari masa lalunya.

“Kita pulang? Lo kelihatan enggak baik-baik aja.” Bram khawatir.

Raina menatap pria di depannya. Dirinya memang tidak baik-baik saja. Namun, Bram membutuhkan bantuan seorang asisten pribadi profesional. Raina harus bisa memilah urusan pekerjaan dan pribadi.

“Aku tidak apa-apa.” Raina mencoba mengulas senyum.

“Wajah lo pucet gitu.”

“Ini karena lipstikku mulai pudar.” Raina berdalih.

Buru-buru dia membuka tas tangan lantas merogoh wadah lipstik. Produk favoritnya yang berasal dari produsen kosmetik terkenal berbasis di Paris, Prancis. Tanpa rikuh, Raina memoles bibirnya dengan pewarna yang memberikan hasil akhir satin lembut.

“Bagaimana?” tanya Raina sambil mendecap-decapkan bibir.

Bram untuk sesaat terpana. Kecantikan Raina memang sudah diakuinya sejak awal pertemuan. Namun, saat ini Bram terpaksa menyatakan Raina lebih dari sekadar cantik. 

Dia menawan.

Bertinggi seratus enam puluh lima sentimeter, berambut hitam, dan bermata cokelat adalah ciri fisik utama yang menonjol dari seorang Raina Prameswari. 

Garis wajahnya juga unik. Percampuran dua ras terlihat jelas di sana. Kaukasoid dan Melayu. Bola mata besar, kulit terang, tulang pipi tinggi, dan bibir penuh yang mengundang untuk dicium.

“Bram?” Raina melambai-lambaikan tangan di depan wajah pria itu.

Bram tersentak kaget. Fantasi erotisnya tentang melumat bagian lembut bibir Raina buyar sudah. Pria itu berdeham seraya mengusap tengkuk. Rona merah merambati pipinya. Dalam hati pria itu meminta maaf karena telah membayangkan sesuatu yang tidak sopan pada temannya.

“Oke, lo udah mendingan.” Bram menghindari kata cantik saat memberikan penilaian.

Raina mengangguk. “Jadi, ke mana kita sekarang?”

“Soal makanan udah beres, sih. Gue jelas kasih wine produksi dia entar buat orang-orang. Makanan Cuma bagian grill ini doang yang butuh treatment khusus. Apa lagi, ya?”

“Pengaturan tempat duduk?”

“Bukan jamuan resmi, kok, Raina. Itu cuma party kasual. Enggak ada pengaturan tempat duduk.”

“Pegawai katering?”

Bram menepuk dahi. “Ah, lo bener. Gue belom nyari waitress sama bartendernya. Ada referensi?”

Raina melambaikan gawai memberi isyarat pada Bram. Jemarinya lincah menari-nari di atas papan ketik layar. Hanya dalam hitungan kurang dari satu menit, jempol Raina teracung ke arah Bram.

“Sudah beres. Waitress dan bartender akan datang ke tempatmu tiga jam sebelum acara. Kurasa itu cukup memberi waktu untuk bersiap-siap.”

“Sangat cukup!” Bram mengangguk puas. “Thanks, Raina.”

“You’re welcome.” 

“Pulang sekarang?”

Raina mengangguk. Berdua mereka meninggalkan mal mewah itu kembali ke hunian apartemen tempat Raina tinggal.

 Mandarin Oriental terlewati. Berlanjut ke Bendungan Hilir. Mobil terus melaju sejauh dua kilometer dan berbelok ke kiri melewati Momo Paradise Senopati. Perjalanan hampir setengah jam itu akhirnya berakhir di gedung apartemen mewah di jalan Darmawangsa.

“Gue langsung, ya?” Bram berkata dari kursi pengemudi. “Thanks for tonight.”

Raina mengangguk. Dia menunggu hingga mobil Bram menghilang dari pandangan sebelum melangkah memasuki lobi. Suasana hening menyambut kedatangan Raina. Lantai dengan marmer dekoratif berpola hitam dan putih itu memantulkan suara langkah kaki Raina.

Tak butuh waktu lama baginya menuju unit huniannya di lantai sebelasa. Raina sengaja mematikan gawai, enggan menerima panggilan dari Simon. Atasannya itu tak pernah absen menanyakan keadaannya. Sebentuk perhatian yang lama-lama membuat Raina risih.

“Benarkah tamu Bram adalah Rafe?” Raina berhenti sejenak di depan pintu apartemennya.

“Tapi ... tidak mungkin. Rafe tidak mungkin menjelajah hingga negara ini. Aku sudah menjauhinya. Indonesia bukan ceruk pasar yang disukai Rafe.”

Namun, Raina meragukan pemikirannya tersebut. Selama lima tahun ini, dia sengaja tidak mencari kabar apa pun tentang sang mantan suami. Wanita itu sudah menutup rapat buku kenangan masa lalunya. Dia tidak tahu bisnis apa yang digeluti Rafael pasca pria itu hengkang dari jalur suksesi kepemimpinan Vecchio.

“Apa yang kau bicarakan?”

Raina terbelalak. Denyut jantungnya nyaris berhenti. Wanita itu menoleh sangat cepat. Telingannya mendadak ngeri menangkap suara derak leher.

“Simon?” sapanya kaget. “Kenapa kau di sini? Sejak kapan kau di sini?”

Alis pirang pria itu terangkat tinggi. Dirinya yang tengah bersandar ke pagar pembatas mulai berjalan menghampiri Raina.

“Aku sudah di sini sejak kau belum datang. Jika tidak terlalu fokus dengan lamunanmu, kau pasti bisa melihat diriku.”

Raina melirik lokasi yang semula ditempati Simon lantas meringis. Pria itu memang berada di tempat terbuka. Seharusnya mata Raina sudah menangkap sosok Simon sejak keluar lift.

“Aku minta maaf. Kesalahan ada padaku.” Raina mengakui.

“Tebus permintaan maafmu.” 

Raina menatap sang atasan. “Dengan apa?”

“Undang aku ke apartemenmu.”

Raina memutar bola mata. Dia mengetik angka sandi di kunci digital. “Kau biasanya juga langsung masuk saja. Kau bahkan tahu kode pembuka pintuku.”

“Kali ini aku ingin sesuatu yang tidak biasa.”

Raina berdiri di foyer. Dia terheran-heran saat menyadari Simon masih berdiri di luar.

“Kenapa di situ?”

“Undang aku masuk.”

“Astaga, Simon!” Raina berseru letih. “Baiklah, masuklah.”

Wanita itu membuka pintu lebar-lebar. Namun, Simon masih belum beranjak.

“Apa lagi?” tanya Raina mulai tak sabar.

“Ajakanmu tak mesra sama sekali.”

Raina terbelalak. Keletihan akibat pekerjaan dan tekanan mental membuat emosi wanita itu memuncak. Dirinya merasa kesulitan menoleransi tingkah Simon yang mendadak jadi kekanak-kanakan.

“Simon, jangan manja.” Raina berujar ketus. “Aku sangat lelah.”

Pria itu melangkah maju. Begitu tiba di dalam, dia tidak langsung melewati Raina. Justru Simon berhenti di hadapan wanita itu.

“Akan kutambah sekretaris baru lagi agar kau tidak kelelahan.” Simon mengusap pipi Raina.

“Simon?” Wanita itu menepis tangan sang bos halus. “Bukan begitu caranya. Kau tidak butuh tambahan sekretaris saat sudah punya dua.”

“Aku melakukannya agar asisten pribadiku tidak kelelahan.” 

Raina menghela napas. “Jika mereka tidak sakit berbarengan, aku tidak perlu meng-handle tugas mereka. Jangan berlebihan, Simon. Ini hanya kelelahan biasa.”

Tangan pria itu kembali terangkat. Kali ini arahnya menuju poni Raina yang berantakan.

“Aku hanya mencoba bersikap baik padamu.”

Jemarin Simon menyelipkan rambut nakal ke belakang telinga Raina. Mata birunya menghunjam tajam ke netra cokelat gelap di hadapannya. Ada sorot intens di sana yang membuat Raina bergetar.

Dia sudah lama tidak disentuh. Kenangan akan Rafael kembali melintas. Tak sadar Raina mendengkus keras.

“Kenapa kau tak segera menciumku, Simon?”

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro