09. Writing: Character Design

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Requested by relialys

Note: Pembahasan ini hanya berdasarkan experience saya sendiri, maka kalian tidak harus setuju dengan semua hal di sini. Mungkin akan ada curhatan terbelusung juga. Jika menginginkan yang lebih umum atau akurat, kalian bisa ke google atau tips kepenulisan lain yg lebih waras di wattpad ada banyak :v

:.:.:

Karena saya berangkat dari penulis fanfic, hal pertama saya lakukan saat bikin karakter adalah mencaplok muka para seleb atau tokoh fiksi lain—entah itu komik, animasi, atau novel yang sudah ada.

Dalam mendesain satu karakter, yang saya caplok enggak cuma satu, tapi banyak wajah. Jadi yaa engga bisa dibilang faceclaim (bener ga sih istilahnya ._.)

Mari kita pergi ke RavAges dan tengok sahabat bongsor kita yang galak:

Truck.

Selama mengenali Truck, yang masuk ke otak saya adalah makhluk-makhluk ini:

Jika diuraikan jadi begini:

Ukuran badannya gigantis dan seram (kayak Beast di Beauty and the Beast)

Berotot dan kalo berantem pasti menang (kayak Four di Divergent).

Sifatnya berubah-ubah alias labil—kadang kaku, kadang rewel; gengsian, sinis, perhitungan, kasar, keras, dan ledakan emosi yang lebih didominasi kemarahan. Semua traits ini bisa kalian temukan pada Rocket si rakun dari Guardians of Galaxy, Manfred dari Ice Age, dan Easter Bunny dari Rise of Guardians.

Jadi, yes, selama menghidupkan Truck, saya sering ngebayangin mammoth sama rakun.

:.:.:

Kalau kita berkunjung ke Indigenous sebentar, kita bisa melihat si anti-heroine:

Nila.

Selama memproses Nila di kepala, yang saya bayangkan adalah mereka:

Jika diuraikan:

Mungil atau bahasa kasarnya pendek, dan rambut ikal (secara fisik serupa Zendaya)

Kadang irasional dengan negative thinking-nya dan agak antisosial (Bianca dari The Duff)

Cerdik dan sarkatis (liat muka Hermione xD)

Keras hati dan out of the box (si boneka kesembilan dari film 9).

:.:.:

Saat mencaplok wajah-wajah itu, cuma sedikit fitur yang saya ambil dari mereka. Enggak semua.

Setelah menggabung-gabungkan wajah orang dan tokoh lain dalam imajinasi seenak jidat, tahap selanjutnya adalah pemolesan. Poles dan poles lagi sampai menjadi karakter yang baru atau istilah kecenya OC (original character). Kalau mau nulis fanfic, tidak bisa disebut OC, tapi tetap harus berhati-hati agar tidak jadi OOC (out of character).

Untuk mendesain karakter, mari kita lakukan pembedahan terlebih dulu.

Kita akan kelompokkan jadi tiga unsur:

1. Penampilan luar

-> Ciri-ciri fisik macam rambut, bentuk muka, tinggi badan, dll.

2. Bagian dalam

-> Ginjal, hati, jantung—

Ga, deng. Canda

Maksudnya bagian dalam di sini kayak kepribadiannya, sifat, sikap, dan inner quality lainnya.

3. Identitas

Nama, gender, spesies.

:.:.:

Mari mulai dari yang pertama:

Penampilan Luar

Gampang, 'kan, ya?

Tinggal tempel warna rambut, warna mata, dan tinggi badan, 'kan? Terus ditambah deskripsi ala-ala "senyumnya manis" dan "tatapan matanya tajam".

Ha ha ha :D

Tidak semudah itu, Hermano

Hati-hatilah, Kawan, untuk tidak membuat karakter kalian terlalu hitam atau terlalu putih.

Dan saya enggak sedang membicarakan masalah warna kulit.

Maksudnya, hindarilah membuat seekor karakter yang sempurna banget banget banget, atau burik burik burik banget.

Sebagian besar fiksi (walau enggak semua) yang saya baca, fitur cowok tampan itu serupa. Yakni:

- bening/putih

- tinggi

- atletis dengan perut 12 kotak

- tampan dan berani

Kayaknya kalau tokoh cowok enggak tinggi-putih-atletis, dia enggak bisa dibilang tampan. Padahal enggak papa kok kalau kalian mengeleminasi salah satu kualitas itu. Bikinlah yang kulitnya gelap, atau tingginya sedang, atau gemukan dikit.

Sedangkan karakter cewek sempurna biasanya kalau enggak mungil, pasti semampai; langsing, putih bening again. Kalau rambutnya hitam, pasti dideskripsikannya hitam lebat, lembut, sempurnalah pokoknya. Ala tuan putri yang kalau bangun pagi rambutnya udah tertata secara ajaib.

Lalu, akan muncul karakter sampingan/antagonis yang dibikin sebutek-buteknya atau less-attractive supaya karakter utama lebih standout.

Cobalah untuk menghindarinya, Bujang. Kalau begini terus, standar ketampanan dan kecantikan bisa pukul rata semua: harus tinggi langsing semampai dll yang sudah disebut di atas.

Saya sungguh menghargai dan betah membaca fiksi yang bisa menggambarkan tampang tokohnya enggak sesempurna itu, tetapi tetap menarik. Tampan atau cantik itu relatif, 'kan?

Jangan takut bikin karakter kalian berkulit gelap, bertubuh boncel, setengah botak, muka boros, atau giginya tonggos.

Lalu, cobalah untuk tidak terpaku pada: warna surai dan warna mata.

"Gadis bersurai gelap itu ...."

"Pria bermanik mata hijau itu ...."

Enggak dosa, kok, menuliskan hal-hal di atas, tapi yaaaa jangan ditulis di tiap paragraf juga. Pembacamu tidak perlu banyak didikte tentang warna mata dan rambutnya semata. Tahu tidak setiap saya ketemu cerita yang deskripsinya kayak gitu, cuma menekankan warna surai dan mata di setiap chapternya? Saya lewatin. Sampai-sampai di akhir cerita saya malah sudah enggak ingat lagi warna surai dan mata si tokoh.

Ada banyak fitur fisik yang bisa membuat karakter menarik, entah dia berkacamata, berlesung pipit, tulang pipinya tinggi, punya tahilalat di bawah mata, atau bekas luka yang membuatnya melegenda.

Kalian boleh tengok orang terdekat kalian—orang tua atau saudara atau teman sekelas. Lihat fisik mereka yang menurut kalian "wow" dan "ih", lalu aduk jadi satu.

"Si Ana jidatnya lebar dan alisnya tebel bat kayak ulat bulu, tapi poninya rata lucu dan bikin wajahnya jadi imut."

"Si Ani hidungnya pesek dan matanya kecil, tapi emang mukanya minimalis. Bibirnya mungil dan kayak bentuk hati gitu. Kawaii."

"Si Anu gempal kayak Baymax, tapi kulitnya hitam, matanya gede banget. E tapi dia kalo senyum lebar, giginya besar-besar dan putih, berasa pengen balas nyengir—senyumannya menular. Dan kalau liat dia duduk, bawaannya pengen nyender di bahunya."

What to do: beri karaktermu fitur fisik bervariasi, mulai dari yang kamu pikir akan membuatnya sempurna sampai yang tidak begitu kamu senangi.

What not to do: menjejalkan kualitas kesempurnaan atau kejelekan yang sama rata pada karaktermu tanpa adanya nilai moral, dan memberi deskripsi yang itu-itu saja.

Tambahan: selain bentuk fisik, kalian juga bisa menyempilkan postur tubuh (bungkuk, tegap, senang mendongak atau menunduk, dan banyak lagi).

Masukkan unsur ketampanan/kecantikan seadanya, beri kekurangan untuk menyempurnakannya. Karena, for reader's sake also, pasti akan lebih sehat untuk mencintai karakter yang relatable dan punya kekurangan ketimbang yang terlalu sempurna.

Karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. dan ketidaksempurnaan pastilah milik manusia.

Wabillahi Taufik wal Hidayah.

Wassalmu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.




































Oh, ya, yang kedua belom.

Bagian Dalam

Agar tokoh lebih konsisten dan stabil, saya menempelkan stereotype atau label tertentu pada mereka.

Agar tokoh tidak statis / jalan di tempat, saya mengendalikannya melalui plot.

Apa itu stereotype? Kata kamus, itu berarti "bentuk tetap/klise, berdasarkan prasangka subjektif."

Saya pernah membaca di beberapa tips kepenulisan, katanya membuat stereotip untuk karakter itu pantang. Tapi ada juga yang bilang sebaliknya.

Terlalu stereotip juga enggak bagus sebenarnya. Tapi, saya melakukannya untuk menjaga konsistensi karakter dan agar lebih mudah dikenali oleh pembaca.

Mulailah dulu dengan satu stereotip/label untuk tokohmu.

Si A pintar. Si B genius. Si C rajin. Si D penuh semangat. Si E cool.

Lalu, kembangkan:

Si A pintar ngomong. Isi omongannya sebenarnya kosong, tapi dia kalau sudah bersuara, orang-orang langsung berlutut di kakinya dan berteriak, "ANDA BENAR, KAMI SALAH!"

Si B genius, licik, pemalas. Hmm ... antagonis, nih.

Si C .... Si D .... Si E .... (Silakan kembangkan sendiri '-')/)

Kembangkan karakter itu seliar-liarnya dengan bongkar pasang stereotip/label pada karakter itu sampai ia menjadi karakter yang kompleks dan terasa 'hidup'.

:.:.:

Mari kita ke RavAges lagi.

Stereotipnya orang berbadan besar itu adalah kuat, tegas, kasar, jahat, semena-mena, besar otot tapi otaknya kecil. Saya tempel semua label ini ke badan Truck.

Yang namanya stereotip—semua itu hanya didasarkan pada prasangka. Jadi tidak benar sepenuhnya.

Di sinilah peranan plot line cerita untuk mengeksekusi atau mengganti label-label tokoh di atas.

Pengendalian kepribadian tokoh itu ditentukan oleh lima perkara:

Satu, latar belakang atau masa lalunya; dua pengaruh karakter lain; tiga, apa yang dialaminya sepanjang cerita; empat tujuan yang ingin dicapainya; lima, tujuan yang akan dicapainya.

Bentar, bentar. Kok itu tujuan kedobel, ada di poin empat dan lima?

Rosalinda, bersihkan matamu.

Tujuan yang ingin dicapai karakter adalah goal pribadi yang memotivasinya sepanjang cerita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misal, di RavAges, geng Leila ingin survive. Di Indigenous, Nila ingin Banyu Biru tetap ada bersamanya. Harry Potter hanya ingin keluar dari rumah keluarga Dursley, pergi ke Hogwarts, dan tinggal dengan kaum penyihir. Percy Jackson ingin diakui oleh ayah dewatanya.

Sedangkan tujuan yang akan dicapai karakter adalah takdir yang akan kalian berikan padanya sebagai goal cerita. Di RavAges, tujuan geng Leila telah dibelokkan untuk menentang NC, yang berisiko kematian mereka sendiri. Di Indigenous, Nila bisa saja mempertahankan atau kehilangan Banyu Biru (kita takkan tahu kan kalo belum sampai ending). Harry Potter akhirnya harus mengalahkan Lord Voldemort dan tak pernah menyelesaikan pendidikan di Hogwarts. Percy Jackson harus menghadapi ramalan yang ingin dihindarinya.

Bisa dilihat bedanya ya, antara tujuan personal yang dimiliki karakter, dengan tujuan yang dimiliki sang author untuk karakter '-')~

Tujuan di poin kelima bisa jadi sejalan dengan tujuan di poin ke empat, atau bertentangan. Atau bisa juga berbelok sama sekali dan tidak ada hubungannya dengan tujuan di poin keempat. Mereka bisa saling memengaruhi, atau tidak sama sekali. Yang mana pun, keduanya sama-sama penting untuk menentukan arah perkembangan karaktermu.

Kenapa saya jadi bahas ke poin empat dan lima duluan yak?

Ya udel, sekarang tinggal bahas poin satu, dua, dan tiga.

Masih ingat stereotipnya Truck?

Saya anggap iya.

Sekarang kita akan buat tiga perkara tadi (latar belakang atau masa lalunya; pengaruh karakter lain; apa yang dialaminya sepanjang cerita) untuk mendekorasi stereotip tersebut.

Untuk Truck, saya memutuskan untuk mempertahankan label kuat dan tegas karena perannya sebagai 'induk' dalam tim. Setiap rintangan yang dihadapi Truck dia hadapi dengan kekerasan. Di sinilah peran poin ketiga, yakni apa yang dialaminya sepanjang cerita.

Saya juga pertahankan label kasar dan semena-mena karena dia harus menjadi musuh Leila di pertemuan pertama. Di sinilah peran poin kedua, yakni pengaruh karakter lain.

Saya putuskan untuk mengeksekusi berotak kecil dan menggantinya dengan perhitungan dan sarkastis. Sesuatu di masa lalu Truck (dari dialog Alatas) menunjukkan bahwa Truck pernah jadi kutu buku. Padahal kutu buku itu stereotipnya lemah, kecil, bungkuk, mata minus, dan introvert. Maka, jenis kutu buku Truck saya belokkan jadi sekadar trivia, dan kualitas otaknya lebih saya tonjolkan melalui sikap penuh perhitungannya.

Perjuangan kita tidak berhenti sampai sana, Manteman! Truck harus berkembang agar tidak menjadi karakter flat yang jalan di tempat!

Di sanalah sumbangsih karakter lain dan jalan cerita. Erion berfungsi sebagai peredam emosi Truck yang meledak-ledak, Alatas melatih kesabarannya, dan Leila yang menunjukkan trait tersembunyi Truck yakni tsundere.

Sejujurnya saya enggak pernah merencanakan Truck akan jadi orang yang tsundere. Tapi, semuanya terjadi begitu saja. Tahu-tahu kolom komentar pembaca dipenuhi tentang ke-tsundere-an Truck (inilah keuntungan menulis di Wattpad, karena kita tidak akan merancang segalanya sendirian. Pembaca pun bisa punya sumbangsih besar dalam perjalanan tulisan kita).

Ke-tsundere-an itu tidak terbentuk dalam satu malam.

Di tahap pertama, Truck terpaksa menerima Leila karena Erion.

Tahap dua, Truck menoleransi kehadiran Leila karena ternyata geng mereka butuh cewek untuk mengurus mereka.

Tahap tiga, Truck mulai peduli karena sudah terlalu sering berada di posisi antara hidup dan mati bersama-sama.

What to do: tetapkan label sifat-sifatnya, dan biarkan karaktermu bertumbuh kembang melalui hubungan antar karakter dan jalan cerita. Berikan dia latar belakang atau masa lalu secukupnya.

What not to do: membiarkan karaktermu bersifat sama selamanya atau langsung mengubahnya semudah membalik telapak tangan tanpa faktor tertentu.

Berhati-hatilah: dalam membuat karakter abusive (kejam, senang melakukan kekerasan) atau sifat jelek untuk karakter utama, terutama jika target pembacamu masih belia atau bocah. Kata-kata adalah pedang, dan jangan sampai tulisan kita menebas kepala pembaca.

Yang ketiga:

Identitas

Gender dan spesies biasanya mesti ditentukan duluan sebelum ke ciri fisik dan sifatnya. Saya engga tahu kenapa malah saya taroh di poin ketiga. Pikiran saya ternyata se-random ini.

Kalau genre ceritamu teenlit, romance, drama, dan sesuatu yang memang sudah familier, jelas sekali spesiesnya manusia.

Kalau genre ceritamu fantasi atau horor atau scifi atau fiksi spekulatif lainnya, spesiesnya akan lebih diverse alias beragam dengan karakter yang lebih kompleks pula. Ya, werewolf misal. Tokohmu mesti berubah jadi hewan berbulu, tingginya bisa mencapai atap rumah, dan ganas; enggak bisa sekadar menaruh deskripsi "Dia berubah jadi anjing besar. Tamat."

Atau cerita anak yang tokohnya hewan-hewan (fabel) dan benda-benda mati yang hidup. Maka mesti diikuti riset dalam perilaku hewan dll.

Nah, tapi saya punya kebiasaan menyematkan nama setelah karakter sudah terbentuk luar-dalam. Istilahnya, lahiran dulu, baru akikah nama.

Nama bisa dicaplok dari orang dekat, tokoh fiksi lain, atau nama benda (bintang, misal) dengan pertimbangan: latar belakangnya atau si tokoh punya sejarah penamaan tertentu. Engga wajib, tapi ini bisa membuat tokohmu lebih berkesan.

Harry Potter. Nempel banget, 'kan? Padahal sederhana aja. Ada jutaan manusia, terutama di Inggris, yang namanya Harry. Nama Potter juga sebenarnya cukup umum di negeri barat, terutama di medieval times sebagai nama marga. Pendek dan simpel.

Bayangkan kalau tokoh utama J.K. Rowling namanya jadi Neville Longbottom.

Neville Longbottom and the Pilosopher Stone.

Neville Longbottom and the Chamber of Secret.

Neville Longbottom and the—

Bukan menjelek-jelekkan. Maksud saya, J.K. Rowling sudah tepat (menurut saya) dalam menempatkan nama tokoh-tokohnya. Neville Longbottom tetap jadi tokoh yang berkesan dan eyecatching meski bukan tokoh utama. Dan Harry Potter menjadi nama yang gampang nempel di pikiran pembaca dari belahan dunia lain sekali pun. Bahkan orang awam yang belum pernah baca/nonton filmnya, minimal pasti pernah mendengar "Harry Potter" disebut satu kali dalam hidupnya.

Atau Raib dari Bumi series karangan Tere Liye. Namanya Raib karena dia ... yaa ... suka raib.

Atau penamaan dari seri An Ember in the Ashes oleh Sabaa Tahir yang menggabungkan budaya Timur Tengah dan Romawi. Tokoh utama laki-lakinya bernama Elias Veturius (Romawi banget), tapi dulunya pernah dirawat oleh suku Tribe dan dinamai Ilyaas An-Saif. Man ... I love that name.

Atau Erion di RavAges, yang karena dia tunarungu sempat salah mengira Orion sebagai Erion. Atau Leila, dengan banyak cocoklogi, berkesesuaian dengan warna matanya yang diidentikkan dengan latarnya yang 24 jam langit malam.

Atau ... seperti di Indigenous, yang konsep penamaannya sering bikin saya jambak-jambak rambut sendiri karena mesti nyari nama warna yang unik tapi tetap masuk akal. Anila Jelita, Banyu Biru, Magenta, Azam Rudin, Annemie Roze, Kadru, Kereng .... Dan saya mesti memaksakan nama Pirus sebagai seorang tokoh masyarakat, yang akhirnya dengan sedikit modif, bisa tetap diperjuangkan dengan menyematkan nama lengkap Fairuz Badru Pirus.

Kalian bisa menambahkan unsur estetika dengan mencari nama tokoh pewayangan, atau nama orang Barat kalau ingin kisah berbau elegan, atau nama umum untuk kesederhanaan.

What to do: pastikan identitas karaktermu berkesinambungan satu sama lain. Jika identitasnya mampu mewakili tabiat atau ciri fisik, bisa menambah nilai plus. Atau identitas yang bertentangan dari tabiat dan ciri fisik selama kalian pandai bermain ironi, that will do too.

What not to do: identitas yang tabrakan dan berkesan maksa. (Nama Ujang, spesies vampir vegetarian, selama ini tinggal di gua, berbudi pekerti luhur; bersifat patriot, rendah hati, rajin menabung, dan senang ibadah). Kecuali kalian memang menulis genre komedi dan tengah berusaha membuat cerita yang cringe.

:.:.:

Tambahan:

Salahkah bikin tokoh yang sempurna atau jelek banget? Jawabnya: enggak. Selama kalian punya moral value di cerita itu dan tidak menebas kepala pembaca kalian dengan nilai-nilai yang salah. Atau jika tokoh kalian seorang CEO kaya raya yang beli pulau semudah beli permen kaki, imbangilah dengan riset sewajarnya kehidupan seorang CEO terhormat itu bijimana.

Tambahan lagi:

Untuk teknik penggambarannya, kalian mungkin harus mencari bekal dari banyak-banyak membaca. Cari kosakata, pengandaian, dan teknik perbandingan.

Contoh pembangunan karakter melalui deskripsi narasi:

Deskripsi tokoh Adun dari Sirkus Pohon oleh Andrea Hirata
"... Adun sangat rapi seperti pegawai kantor bank rakyat bagian pemberi pinjaman. Rambut pendek sisir samping, kemeja lengan panjang dimasukkan ke dalam, celana panjang bekas setrikanya. Orang yang melihatnya tak menyangka dia pengangguran."

Deskripsi tokoh Jenna dari Hex Hall oleh Rachel Hawkins
"Seorang gadis kecil, nyaris tak sampai satu setengah meter tingginya ...."
"Kulitnya nyaris seputih salju, begitu juga dengan rambutnya, dengan pengecualian segaris warna pink menyala di poninya. Dia memakai kacamata tebal berbingkai hitam, dan walaupun dia tersenyum, aku bisa tahu bahwa senyuman itu hanya demi Mrs. Casnoff. Matanya tampak benar-benar bosan."

Deskripsi tokoh Dudley dari Harry Potter and the Pilosopher Stone oleh J.K. Rowling
"Dudley mirip sekali dengan Paman Vernon. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek, matanya kecil, biru, berair. Rambutnya yang tebal pirang menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Petunia sering mengatakan bahwa Dudley kelihatan seperti bayi malaikat, sedangkan Harry sering mengatakan Dudley seperti babi pakai wig."

(〜 ̄△ ̄)〜

Selama membuat karakter, saya memegang prinsip: setiap individu adalah tokoh utama.

Karakter apa pun itu—siswa tak ternotice, guru galak, ibu rumah tangga, pegawai kantoran, bocah ingusan, tukang becak, abang gojek, tukang rujak—semuanya punya potensi yg setara untuk menjadi pusat semesta dalam hidupnya masing-masing

:.:.:

Sudah pusing, lelah, dan mata berkunang-kunangkah kalian?

Mungkin saya cukupkan di sini saja.

Jika ada yang kurang silakan ditanyakan atau ditambahkan di kolom komentar '-')/

Sekian, Wassalam

E-Jazzy, 31 Maret 2019
Mengetik dengan sebelah lubang hidung tersumpal tisu karena masih ingusan ... secara harfiah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro