14. Riset: 1997-1998 (Banjarmasin dan Jumat Kelabu)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Requested by: Khesya_KNA


Catatan ini tidak untuk merendahkan/menghina/menjatuhkan pihak mana pun.

Catatan ini adalah sejarah, murni untuk edukasi.

Catatan ini bukan untuk propaganda (toh, pemilu udah lewat).

Warning: May contains sarcasm, satire, sinism, allusion, and use of informal language.

Saya pernah mengangkat sedikit Tragedi Jumat Kelabu di cerita Indigenous. Sefiksi-fiksinya cerita tersebut, tragedi yang saya angkat berdasarkan dari kejadian yang sebenar-benarnya terjadi di Banjarmasin pada tahun 1997.

Kebetulan, di bulan Mei ini, beberapa hari lalu, kita memperingati "Tragedi Trisakti".

Untuk ini, saya harus melepas topeng komedian saya untuk beberapa saat dan memakai wajah sirius saya.

(pengen masang meme sirius lagi, tapi kan lagi serius beneran ya ._. nda jadi deh)

/ekhem/

---***---

Tanggal 12 Mei 1998, terjadi peristiwa penembakan terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta. Kejadian ini kemudian kita kenal sebagai Tragedi Trisakti.

Tanggal 13 Mei 1998, mahasiswa menduduki DPRD Jawa Tengah dan terjadi aksi perusakan di Jalan A. Yani dan Kiaracondong, Bandung.

Tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan dan penjarahan melanda Ibu Kota negara, yang menyebabkan banyak WNI etnis Tionghoa mengungsi ke luar negeri.

Namun, tahukah kalian, sebelum acara puncak, ada beberapa acara pembuka dari daerah-daerah yang akhirnya berujung pada keruntuhan Orde Baru?


Jika kita berjalan mundur, kita akan menemukan:

- Di Medan dan sekitarnya, 6 Mei 1998, terjadi kerusuhan hingga kota menjadi lumpuh (beredar kabar bahwa penjarahan di Buana Plaza itu dipicu pelecehan mahasiswa IKIP Medan oleh aparat keamanan, bertepatan dengan kenaikan harga BBM oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 Mei, sehingga warga semakin mudah diprovokasi).

- Di Makassar, 15 September 1997, kerusuhan rasial melanda (dipicu kematian bocah berusia 9 tahun bernama Anni Mujahidah Rasuna, dibacok oleh Benny Karae, pengidap gangguan jiwa, yang kebetulan dari etnis Tionghoa. Benny dihakimi di rumahnya hingga tewas. Massa kemudian melakukan pengrusakan terhadap toko-toko milik warga etnis Tionghoa di sepanjang Jalan Veteran, Jalan Ratulangi, Jalan Sulawesi, Jalan Irian, Jalan Penghibur, dan kawasan tempat hiburan malam di Jalan Nusantara sembari meneriakkan yel-yel: "Ganyang Cina". Komnas HAM mengambil kesimpulan sementara bahwa aksi kerusuhan disebabkan bukan semata-mata oleh pembunuhan bocah Anni, tetapi juga akibat kesenjangan antar golongan dalam masyarakat).

- Masih di Makassar, April 1996, terjadi Tragedi April Makassar Berdarah (Tragedi Amarah) (terjadi unjuk rasa menolak kenaikan tarif angkutan dalam kota, yang dirasa memberatkan masyarakat kecil yang mengandalkan pete-pete sebagai alat transportasi sehari-hari. Unjuk rasa berujung bentrok dengan aparat keamanan. Tiga mahasiswa Universitas Muslim Indonesia tewas).

- Di Banjarmasin, Mei 1997, terjadi Tragedi Jumat Kelabu.

Semua itu bisa dibilang adalah titik jenuh terhadap masa pemerintahan Orde Baru yang sering disebut-sebut sebagai Rezim Soeharto, dengan banyaknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berjalan selama 32 tahun lamanya, masa pemerintahan Orde Baru mencapai titik jenuh. Situasi ini membuat PPP dan PDI lebih leluasa melontarkan kritik selama kampanye.

Kembali ke Pemilu 1997, yang diadakan untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya. Seperti yang sudah-sudah, ormas berlambang pohon beringin meraih kemenangan telak, termasuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Pasca pemilu, massa turun ke jalan, melakukan tindak kekerasan dan perusakan properti, persekusi terhadap etnis Cina, sampai pembakaran tempat ibadah.

Kenapa tempat ibadah dan tempat orang etnis Cina juga ikut-ikutan dibakar?

Semuanya berawal dari singgung-singgungan politik. Masalahnya, saat itu kita berada di pemerintahan rezim, di mana mengritik pemerintah adalah hal yang dilarang. Anti-Soeharto akan dianggap Anti-Pancasila. Jadi, beberapa oknum oposisi pemerintahan memanas-manasi dengan isu "masjid kita mau dibakar" dan "orang etnis ini kok bisa hidup enak padahal kita lagi krisis moneter".


ISU AGAMA

Lah, kenapa kok bisa ada isu masjid mau dibakar?

Begini. Saat ada yang jadi mayoritas, akan ada orang-orang besar kepala di dalamnya. Di sisi lain mayoritas, akan ada minoritas yang tergencet dan mencoba bangkit bagaimana pun caranya.

Mari kita bagi tokohnya jadi tiga:

Si Kuning yang saat itu berada di tampuk kekuasaan.
Si Merah yang terpecah belah, beberapanya hendak menyeruduk si Kuning.
Si Hijau yang saat itu berhasil menarik setengah dari pihak si Merah yang terpecah belah.
Kala itu, mereka tidak disebut partai, melainkan ormas (organisasi masyarakat).

Usai pemilu itu, salat Jumat diadakan. Khusyuk sekali, subhanallah.

Lalu, beberapa oknum baju kuning menyerang. Mereka bawa motor gede, mau konvoi, merayakan kemenangan, katanya. Para oknum ini berkilah bahwa Salat Jumat sudah selesai, jadi mereka mau menyelenggarakan "pesta demokrasi".

Mereka pun nge-gas. Literally. Pakai gas motor—yea, you know what I mean ....

Bapak saya saat itu lagi salat di salah satu masjid yang kena jalur konvoi. Beliau mengalami langsung. Emang, katanya, salat Jumat emang udah selesai, tapi khotbahnya masih jalan. Masih baca doa dan lain-lain. Tau-tau saja konvoi lewat.

Saat mendengar raungan gas motor gede dan sorak-sorakan orang kuning di luar, minoritas di dalam masjid pun triggered (etapi, bapake nggak ikut-ikutan yak. Bapake ngibrit sama orang-orang waras di sekitarnya pas liat yang lain pada triggered).

Dari satu hal, berbuntut ke hal lain. Tahu-tahu aja udah kesebar berita, "Masjid kita mau dibakar."

Aji mumpung—bisa mengamuk tanpa perlu dicap Anti-Pancasila. Ya, 'kan?

Karena berita itu, muncul gagasan mindblowon: "sebelum tempat ibadah kita dibakar, mari bakar tempat ibadah mereka duluan."


ISU RASIAL DAN ETNIS

Sekarang, etnisnya: "orang etnis ini kok bisa hidup enak padahal kita lagi krisis moneter."

Krisis moneter terjadi 1997-1998. Pas banget kan?

Mi instan dulu 300 perak masih dapet. Begitu krisis, udah tembus angka seribuan.

Mama saya cerita, waktu kakak saya lahir, akikahan seekor kambing harganya cuma beberapa ribu perak (kisaran 15.000 rupiah). Pas saya lahir, seekor kambing udah ratusan ribu rupiah.

Di tengah-tengah masa antara kakak saya dan kelahiran saya, krisis udah mulai bikin hidup negara susah. Di sinilah keliahatan kesenjangannya: etnis ini hidupnya lebih mewah daripada pribumi.

Mari kita luruskan satu hal: orang-orang etnis tersebut, di zaman orde baru, lamaran kerjanya dipersulit. Mereka enggak bisa jadi PNS. Otomatis buka usaha sendiri. And you know what's gonna happen saat pengusaha itu bekerja keras? They become big. Mereka yang akhirnya mempekerjakan orang. Mereka yang akhirnya jadi swasta, untuk kasih makan keluarga.

Dan setelah mereka menjadi besar, muncul lagi istilah "negara ini dijajah etnis asing".

Seperti yang saya bilang di atas: Saat ada yang jadi mayoritas, akan ada orang-orang besar kepala di dalamnya. Di sisi lain mayoritas, ada minoritas yang tergencet dan mencoba bangun bagaimana pun caranya.

Berkat semua fenomena di atas, kita bisa lihat akibatnya: kerusuhan rasial di Makassar, Banjarmasin, Jakarta, dan banyak tempat lainnya sampai-sampai etnis Tionghoa berbondong-bondong menyelamatkan diri luar negeri kala itu.

Nah, tulung, kalian jangan mulai menghina negara sendiri dengan:

"Emang negara ber-flower."

"Suruh aja Belanda ama Jepang balik lagi ngejajah."

Belakangan saya lihat OA di line yang mengepos berita-berita terkait dan komentar yang bermunculan ya ... seperti itu. Mengatai negara sendiri, memunculkan meme-meme yang 'mewajarkan' kita kena jajah. Meski untuk keperluan humor (dan kadang saya sendiri menikmatinya /heh/), cobalah kurangi, atau simpan aja sendiri dan jangan dikeluarin. Ntar malah jadi doa kalau dikeluarin massal begitu. Gawat kalo kedengaran Tuhan. Bisa-bisa kita berflower selamanya kan na'udzubillah. Dan lagi, kedengarannya terlalu pesimistis.

Kembali ke perihal rasial. Salah satu teman sekelas saya merupakan etnis Cina, dan satu kali, saat kami sedang membahas barongsai atau apa gitu, tahu-tahu dia menceletuk, "Syukur bukan orba (orde baru) lagi."

Teman lain, yang entah kebanyakan molor atau apa sampai dia nggak ngeh apa yang terjadi di orde baru, nanya, "Memang kenapa?"

Teman saya yang Cina itu menjawab, "Aku nggak suka pas orde baru."

"Kenapa?" tanya si tukang molor lagi.

"Karna aku Cina."

Nada becanda dia ngomongnya, but we all know, back then, the pain was real.

Jangan sepelekan rasisme, xenophobe, fasisme, dan kawan-kawannya.

Inilah yang akhirnya membuat kata terorisme kini didefinisikan dengan orang-orang bergamis dan bercadar;

yang membuat kekerasan dan kriminal sering diidentikkan dengan orang 'kulit berwarna';

yang membuat holocaust menimpa kaum yahudi;

dan yang membuat imigran dianggap sebagai beban/benalu.

Semua label itu pasti ada di setiap golongan. Di saat kita lebih berfokus kepada label tersebut ketimbang identitas dari golongan maupun individu itu sendiri, saat itulah kita menjadi rasis/fasis/xenophobe etc.

And one more thing: kenapa juga kita masih menyekat-nyekat antara pribumi dan ras ini dan etnis itu? Sekat itu sudah tidak relevan. Dulu kita memakai istilah pribumi karena masih di bawah jajahan orang asing yang benar-benar "asing", as in bangsa kolonial yang berasal dari Belanda, Portugis, hingga Jepang yang literally mencoba mengeksploitasi kita. Indonesia sekarang sudah merdeka dan semua rakyatnya punya kedudukan & hak/kewajiban yang setara tanpa perlu kelas "pribumi" dll lagi.

Indonesia bukan negara yang terdiri atas satu ras/etnis/agama saja. Kita punya orang melayu, melanesia, veddoid, kaukasoid, mongoloid, termasuk orang-orang Cina yang padahal sudah ada di sini sejak zaman kerajaan di Nusantara dan berasimilasi.


MASJID, GEREJA, KLENTENG, MITRA PLAZA, HOTEL ARUM, PERTOKOAN, DAN BANYAK LAGI

Tepat tengah hari, sewaktu ibadah salat Jumat berlangsung, sebagian massa kampanye Golkar (si Kuning) masih berkampanye. Mereka (yang umumnya terdiri dari anak muda yang masih kejepit antara bocil dan dewasa tanggung) berputar-putar keliling kota dengan sepeda motor yang knalpotnya dicopoti. Tahu, 'kan, bunyi mesinnya gimana kalau sudah begitu?

Puncaknya, arak-arakan sepeda motor tersebut melewati Masjid Noor di Jalan Pangeran Samudera, yang terletak di daerah basis PPP (si Hijau).

Usai salat Jumat, massa rusuh di depan kantor DPD Golkar Kalsel. Massa satunya pun berdatangan tanpa bisa dibendung sampai terjadi bentrok. Massa mulai tidak terkendali dan senjata-senjata sudah teracung (clurit, golok, mandau, samurai, dll), beberapa mobil peserta kampanye pun dibakar.

Di depan kantor Banjarmasin Post, massa mengamuk ke arah lapangan Kamboja (tempat kampanye Golkar). Spanduk, bendera, semua yang berlambang Golkar dibakar dan orang-orang yang memakai atribut si Kuning ditelanjangi. Gereja HKBP yang terletak di dekat kantor Banjarmasin Post mulai terbakar.

Enggak ada pemadam kebakaran kah?

Ada, kok. Tapi, bagaimana mau memadamkan api di tengah-tengah massa yang bawa senjata? Salah satu berita menyebutkan beberapa petugas pemadam kebakaran malah dikalungi celurit oleh massa.

Sementara di Jalan Veteran dan Jalan Lambung Mangkurat, ada enam gereja dan satu toapekong dihancurkan. Rumah-rumah WNI keturunan Cina juga jadi amukan massa. Satu mobil penjemput yang akan menyelamatkan satu keluarga pun dihancurkan sampai pemiliknya mesti lari.

Di Hotel Istana Barito, saat ribuan massa Golkar berkumpul untuk bersiap-siap kampanye, ribuan massa berkaus hijau dan atribut PPP pun menyerbu dengan senjata. Seperti yang kita tahu ending-nya: kaca-kaca hotel pecah dilempari batu, mobil kebakaran, korban berjatuhan. Selain Hotel Istana Barito, Hotel Arum juga jadi korban (saat itu namanya masih Hotel Kalimantan). Pas sekali di sana lagi ada artis ibukota dan juru kampanyenya (berhubung seharusnya hari itu menjadi "pesta demokrasi"). Yang berada di tempat saat itu ada Ketua Umum MUI Pusat KH Hasan Basri dan Gubernur Kalimantan Selatan.

Saat itu listrik padam sudah padam dan sebagian besar tamu hotel masih di dalam kamar mereka. Bapak saya yang lari lewat Hotel Arum yang lagi kebakaran, menyaksikan langsung proses penyelamatan beberapa pengunjung hotel dengan helikopter. Beberapanya nekat loncat begitu saja. Jadi, ada tiga macam cara tewas di sana: dilalap api, disambut tanah, atau dikepung massa bersenjata yang masih meneriakkan yel-yel PPP (beberapanya mengenakan atribut PDI). Itu hotel top pada zamannya, sekarang sudah diselimuti isu berhantu, akan rubuh, dan segala macamnya. Keadaannya jadi cukup mengenaskan.

Di depan Mitra Plaza tidak kalah brutal. Sebelum-sebelumnya, tempat itu memang sudah meresahkan pedagang kecil. Akhirnya, plaza pun jadi objek serangan. Bangunan yang dulu berbentuk huruf H, bagian belakangnya potek, membuatnya jadi huruf T dengan kaki yang kekecilan.

Ditengah kebakaran dan serangan massa, masih aja ada yang aji mumpung: menjarah pertokoan yang ditinggalkan pemiliknya. Dan kalian tahu ending-nya: mereka tewas terpanggang di dalam, bersama orang-orang tidak bersalah yang mencoba menyelamatkan diri. Empat lantai gedung plaza musnah terbakar.

Setelah plaza, gedung-gedung lain menyusul dilalap api sampai ke kawasan petokoan dan permukiman penduduk.

Bangunan rumah sakit yang selamat (walau juga hampir kena imbasnya) mengaku banjir pasien, mulai dari yang luka bacok sampai kelecakaan lalu lintas.

Itu cuma beberapa contoh tempat yang terkena imbas. Masih banyak sekali kerugian yang disebabkan—perumahan, swalayan, bank. Kerusuhan itu sendiri mulai surut malam hari—meski api masih menyala sampai pagi. Lampu padam sampai kota gelap gulita (cuma diterangi lautan api), bantuan pasukan keamanaan terus diturunkan untuk berjaga, dan beberapa tempat diblokir. Meski demikian, dengan banyaknya aparat yang terus diturunkan, masih ada saja massa yang berkumpul di beberapa tempat, cari-cari kesempatan untuk mengamuk lagi.

Karena di pusat kota mereka mulai kesulitan berulah, massa mulai bergerak ke luar. Malam makin mencekam karena desas-desus "Kampung kita mau diserang." Lebih lagi, aparat keamanan juga ikut mengobrak-abrik beberapa pemukiman, salah satunya di Kampung Kelayan yang katanya sarang preman. (Nah, saya emang sering dengar isu tentang tempat itu, sampai mereka dapat banyak julukan buruk. Tapi salah satu teman saya orang Kelayan B, dan orangnya imut banget. Dihinggapin semut aja dia teriak kok, dan takut kucing juga, sama sekali nggak kayak preman ._.)

Saat kerusuhan itu, bapak saya terjebak di jalan bersama beberapa orang yang mencoba pulang. Ibu sama kakak saya cuma berdua di rumah, gelap-gelapan sampai bapak saya (alhamdulillah) berhasil pulang malamnya. Ibu saya melihat langsung mobil truk digelindingkan di depan rumah dan dibakar. Orang-orang Cina berlarian cuma pakai pakaian dalam, diuber-uber pakai clurit dan samurai. Karena mati listrik dan lilin habis, ibu saya membuat penerangan dari botol kaca diisi sumbu minyak dan berbahan bakar kaus kaki anak TK (punya kakak saya). Kisah inilah yang saya kasihkan ke Nila di Indigenous, yang menangis pas kaus kakinya dibakar, kayak kakak saya.

Banyak sekali dampaknya yang terjadi sampai sekarang. Salah satunya, dulu, bioskop di Banjarmasin itu katanya ibu saya ada banyak, murah-murah. Top banget pokoknya bioskop tua di Banjarmasin itu. Sayangnya, saya enggak pernah bisa merasakan nikmatnya. Karena kerusuhan, bioskop yang dihancurkan tidak pernah bangkit lagi. Sekarang, bioskop cuma ada satu di Banjarmasin, dan menjadi satu-satunya ini berdampak ke harga tiketnya (/maap curhat). Dengan hancurnya bangunan-bangunan tua itu, sekarang saya cuma bisa lihat bekasnya dan cerita-cerita kelam di baliknya.

Sudah tidak terhitung korban yang berjatuhan, mulai dari WNI keturunan Cina, warga kampung, reporter yang mencoba meliput, pekerja kantoran, pedagang, anak-anak, remaja, dewasa. Semua kena.

Dengan banyaknya korban tewas di jalanan dan pemberlakuan jam malam, masing-masing keluarga kesulitan menemukan kerabatnya yang hilang. Jenazah-jenazah yang tidak mungkin dibiarkan mengelimpang di jalan pun dikumpulkan di Makam Massal Jumat Kelabu. Karenanya, sampai saat ini, masih ada orang-orang yang, jika diingatkan perihal Jumat Kelabu, akan teringat keluarga dan teman mereka yang masih hilang, yang jasadnya saja tidak pernah pulang ke rumah.


And that, people, is what gonna happen jika kita membawa-bawa isu agama, ras, dan etnis ke RANAH POLITIK.


Mengapa kerusuhan-kerusuhan di daerah kurang kena liput? Padahal kala itu, bukan hanya media nasional yang hendak meliput, tapi juga sampai ada reporter asing. Sayangnya, Indonesia pada masa Orba terkenal rapat menutup-nutupi informasi, yang mungkin dampaknya masih terasa sampai sekarang. Kita masih malu terhadap sejarah kita sendiri.

Eniwei, kejadian di atas jangan dijadikan ajang tunjuk-tunjukan hidung. "Oh, jadi yang salah tuh Anu," atau "Tuh kan emang yang salah tuh itu!"
NOOOOOOOOOO
Please, do learn something perihal tunjuk-tunjukan hidung, apalagi kalau menyangkut ras dan agama!
Itu sejarah—sudah berlalu.

"Etapi, Jazz, JASMERAH, Jazz! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah!"

Begini, Bujang, pentingnya sejarah itu untuk dijadikan pembelajaran untuk diri masing-masing agar sejarah buruk tidak mengulang dirinya lagi. Lagi pula, jika kita melihat gambaran besarnya, semua orang menderita kerugian, dan semuanya adalah korban. Semua chaos ini terjadi karena masing-masing individu yang gagal mengontrol emosinya dan tega menyeret-nyeret SARA ke tempat yang tidak tempat.

Again,

What's in the past, stays in the past. Kita mengulik ini murni untuk pembelajaran, BUKAN AJANG TUNJUK-TUNJUKAN HIDUNG!

HIDUNG SAYA UDAH PESEK, JANGAN DITUNJUK!
(/ ゚ロ゚)/(/ ゚ロ゚)/(/ ゚ロ゚)/



---***---

Some of the informations, besides of interviewing few informants, were taken from the following sources:

"6 Fakta Penting dari Kerusuhan 13-14 Mei 1998", https://www.liputan6.com/news/read/2505396/6-fakta-penting-dari-kerusuhan-13-14-mei-1998

"10 Hal yang Harus Kamu Tahu di Masa Orde Baru", https://www.tagar.id/10-hal-yang-harus-kamu-tahu-di-masa-orde-baru

"13 Mei 1998: Kerusuhan Membakar Republik", https://tirto.id/13-mei-1998-kerusuhan-membakar-republik-cKjW

"Bagaimana Pemerintahan Orde Baru Soeharto Runtuh", https://www.matamatapolitik.com/in-depth-sejarah-bagaimana-pemerintahan-orde-baru-suharto-mengalami-keruntuhan/

"Ibnu: Bekas Hotel A Jangan Dibiarkan Lama, Nanti Jadi Sarang Jin", http://kalsel.prokal.co/read/news/13265-ibnu-bekas-hotel-a-jangan-dibiarkan-lama-nanti-jadi-sarang-jin.html

"Menengok Jumat Kelabu Lewat Kliping Koran", http://kalsel.prokal.co/read/news/15286-menengok-jumat-kelabu-lewat-kliping-koran.html

"Sejarah Pemilu 1997: Menjelang Kejatuhan Soeharto dan Orde Baru", https://tirto.id/sejarah-pemilu-1997-menjelang-kejatuhan-soeharto-dan-orde-baru-dmBT

"Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997", https://sulsel.idntimes.com/news/sulsel/abdurrahman/sebelum-jakarta-kerusuhan-rasial-pecah-di-makassar-pada


E-Jazzy, 15 Mei 2019
Sedang mengering oleh cuaca panas di tengah ibadah puasa

Selamat menjalankan ibadah puasa semuanya :D

Eniwei, ada yang mau request bahasan lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro