4. Cowok 4G

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mati itu bukan urusan lo. Urusan lo itu beribadah sama Tuhan."

-Xilon-

__________

"Asal lo tahu aja, cinta gue lebih mematikan."

Aroma jasmine yang khas tercium lagi. Nandara sudah menebak siapa itu. Si cowok 4G.

Nandara buru-buru mengelap air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan. Ia tidak suka dianggap lemah, terutama oleh kaum yang disebut sebagai kaum Adam.

Lantas ia membalikkan badannya dan langsung berhadapan dengan Xilon. Seperti dugaannya, kan?

"Bukan urusan Bapak!" ketus Nandara dengan kesal.

"Bapak lagi! Bapak lagi! Gue bukan bapak lo, Nandara!" kesal Xilon seraya mencebik. Dia belum setua itu untuk dipanggil dengan sebutan Bapak.

"Terserah!"

"Jadi urusan gue kalau lihat ada orang yang bunuh diri. Gimana kalau nanti ada orang yang lihat gue biarin lo nyebur tanpa nolongin? Bisa-bisa gue jadi tersangka pembunuhan. Gila aja, mana mau gue masuk penjara. Belum nikah lagi. Ckckck. Miris," cerocos Xilon panjang lebar membuat Nanda memutar bola matanya dengan malas.

Nandara pun berjalan melewati Xilon. Ia mengabaikan lelaki yang sudah menolongnya dari pikiran bodoh. Mati? Entahlah itu benar-benar jalan yang terbaik. Buktinya, ia sendiri ragu melakukan hal itu. Sungguh lucu.

Terabaikan, Xilon pun mengejar langkah gadis itu. Lalu ia menyematkan jemarinya di sela-sela jemari Nandara. Sontak saja gadis itu kaget. Ia berniat melepas tautan tangan mereka, tetapi Xilon semakin mempereratnya.

Xilon membawanya ke sebuah mobil. Berulang kali memberontak pun tidak mendapatkan hasil. Lelaki itu bahkan menulikan telinganya saat Nandara berteriak minta dilepaskan.

Xilon mendorong Nandara masuk ke dalam mobil. Saat Nandara berniat untuk keluar, Xilon dengan cepat sigap menahannya. Sungguh, lelaki itu benar-benar aneh. Apa ia memiliki kekuatan super hingga bisa bergerak dengan sangat cepat?

Xilon melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan, keheningan mendominasi keduanya. Nandara memilih memandangi langit. Satu hal yang terbesit di pikirannya. Jika ia mati, maka kegelapan tidak akan seindah langit malam. Hanya ada kehampaan.

"Mati itu seperti apa?" tanya Nandara lebih seperti gumaman pada diri sendiri. Xilon sempat menoleh pada gadis itu, lalu kembali memfokuskan dirinya pada jalanan.

"Bagi lo, mati itu gimana?" tanya Xilon memutarbalikkan pertanyaan.

Nandara memandang lelaki yang berada di sebelahnya. Seolah sedang mencari jawaban di wajah lelaki itu.

"Yang pasti, saat mati beban hidup kita akan menghilang," sahut Nandara.

"Oh, gitu, ya? Itu artinya lo memang nggak pantes hidup di dunia," ucap Xilon dengan nada sinis. Nandara mengernyitkan. Ia sedikit tersinggung dengan ucapan Xilon.

"Semua manusia di bumi ini terlahir atas perjanjiannya dengan Tuhan. Lo hidup di dunia ini bukan untuk diri lo sendiri aja, tetapi lo hidup juga untuk orang lain. Mati itu bukan urusan lo. Urusan lo itu adalah beribadah sama Tuhan. Kalau lo bunuh diri, itu artinya lo meragukan Tuhan. Dengan sombongnya lo memilih untuk mati, padahal amalan lo untuk Tuhan belum cukup. Jadi, gue rasa lo pantes mati kalau pemikiran lo sedangkal itu. Mati untuk lari dari masalah. Otak lo udah kebanyakan air kayaknya."

Nandara terdiam merenungi ucapan Xilon yang memang terdengar sinis dan menohok ulu hati. Namun, di balik ucapannya, tersirat beribu makna. Ia melupakan satu hal, yaitu Tuhan.

"Lo boleh merasa nggak adil sama cobaan yang dikasih Tuhan. Tapi, coba lo pikirin, apa lo pantas menghakimi Tuhan? Semua udah diatur, dan lo hanya perlu ngejalaninnya. Tuhan nggak pernah memberatkan hamba-Nya dengan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan. Semua masalah yang ada sama diri lo, sudah ada jalan keluarnya. Lo aja yang sombong dengan memilih mengubah jalur hidup sendiri. Ck, masih merasa ingin mati, heh?" tanya Xilon masih dengan nada sinis.

Nandara benar-benar tertohok. Semua ucapan Xilon itu benar. Tanpa ia sadari, air matanya kembali menetes turun. Sial, akhirnya ia terlihat lemah di depan salah satu kaum Adam.

Xilon menghentikan mobilnya. Lelaki itu keluar dari mobil. Nandara yang penasaran pun ikut keluar dari mobil. Ia mengikuti langkah Xilon yang pergi entah ke mana.

Nandara tertegun tatkala mendapati pemandangan indah di depannya. Hamparan kota yang terlihat indah dengan gemerlap cahaya di mana-mana. Ia baru tahu ada tempat seperti itu yang bisa melihat seluruh kota. Apalagi di malam hari seperti ini, benar-benar indah.

Nandara menyenderkan tubuhnya di pagar seperti yang Xilon lakukan. Lelaki itu terlihat bahagia melihat pemandangan di hadapannya.

"Semua manusia itu akan mati. Dan setelah itu, akan ada dua pilihan untuknya. Go to the hell or the heaven. Lo yakin masuk surga kalau matinya aja dengan cara sombong?" tanya Xilon dengan arah tetapan masih ke depan.

Nandara bergeming. Ia merenungi ucapan Xilon. Lelaki itu benar-benar sulit ditebak. Tidak disangka, lelaki itu mampu menyihir Nandara dengan kata-katanya.

Kagum. Ia kagum dengan kebijakan Xilon. Bisakah hal itu menjadi alasan jantung Nandara berdetak sangat cepat? Antara nyaman dan tidak nyaman dengan perasaan itu saat ini.

Xilon menepuk-nepuk kepala Nandara dengan lembut. Tinggi badan mereka yang jauh berbeda, memudahkan Xilon melakukan hal itu. Senyuman Xilon mengembang membuat Nandara menghentikan waktunya sesaat untuk menikmatinya.

"Lo pendek banget," kekeh Xilon membuat Nandara menjadi kesal. Sontak ia menepis tangan Xilon yang berada di atas kepalanya. Tak lama dari itu, ia mendengar suara tawa Xilon.

"Ternyata lo nggak semisterius itu. Hanya karena jarang senyum dan penampilan yang kaku. Termasuk dengan rambut lurus lo ini, buat orang-orang mikir lo misterius. Padahal menurut gue, lo biasa aja," cibir Xilon dengan kekehan di sela-sela ucapannya.

"Gila," desis Nandara mengalihkan pandangannya.

"Lo tahu kenapa gue disebut 4G?" tanya Xilon.

"Gila, gesrek, gokil, dan ...."

"Dan?"

"Goblok!"

Nandara kembali mengalihkan pandangannya pada Xilon untuk melihat reaksinya. Lelaki itu memanyunkan bibirnya. Terlihat imut dan amit-amit secara bersamaan. Nandara menahan tawanya.

"Kalau tawa itu jangan ditahan, lho." dengus Xilon memperingatkan.

"Kenapa?"

"Perut lo sakit," ketusnya.

Langsung saja Nandara menyemburkan tawanya. Untuk pertama kalinya, ia tertawa lepas seperti itu. Suatu keajaiban yang sempat membuat Xilon terperangah tidak percaya. Nandara itu benar adik tingkatnya yang terkenal pendiam dan misterius, kan?

Menyadari reaksi yang diberikan Xilon padanya, Nandara langsung merubah raut wajah. Hanya saja, perubahan raut wajah itu memunculkan samar-samar merah jambu di pipinya.

"Lo ngelupain satu arti G," ucap Xilon mengubah suasana agar tidak canggung.

"Apa?"

"Ganteng."

"Pffft ...."

"Jangan ketawa lagi, lho. Cuma si kembar Val dan Cal yang nyiptain makna G lain yang menjelek-jelekkan gue. Aslinya itu, 4G itu singkatan dari ganteng, ganteng, ganteng, ganteng. Empat kali ganteng. Sebenarnya sih unlimited. Tapi, empat kali sebutan ganteng juga udah cukup. Toh, enggak ada cowok lain yang bisa menyamai kegantengan gue," jelas Penuh kepercayaan diri.

"Ada satu lagi G."

"Apa?" tanya Xilon penasaran.

"Gede rasa alias GR!"

Xilon memasang wajah cemberut. Sementara Nandara mencoba menahan tawanya. Ekspresi Xilon benar-benar lucu.

"Berhubung gue udah memperbaiki mood lo, sekarang saatnya pulang," ucap Xilon membuat Nandara menjadi khawatir.

Nanda tidak mau pulang. Ia tidak mau bertemu dengan papa, mama dan Oktan. Ia masih merasa tidak pantas berada di antara kehangatan keluarga Granitama. Ia memang tidak berniat untuk bunuh diri lagi, tetapi tetap menganggap dirinya sebagai pembawa sial.

"Kenapa? Lo gak mau pulang?" tanya Xilon menaik turunkan alisnya.

Nanda menundukkan kepalanya. Xilon mendesah pelan. Ternyata masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Memang, perlu tindakan untuk menyelesaikan masalah. Tidak hanya mengandalkan mulut yang berbicara.

"Gue gak mau pulang, Kak," lirih Nanda dengan mengubah cara bicara formalnya. Xilon merasa beruntung karena Nanda tidak lagi memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'. Sungguh, itu sangat mengerikan. Terkecuali jika mereka sedang melangsungkan kegiatan perkuliahan.

Nanda mengangkat wajahnya memandang Xilon dengan tatapan mengiba. Xilon menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres jika seorang gadis memberinya tatapan seperti itu.

"Gue tinggal sendirian di apartemen. Lo jangan macam-macam ya, Markonah!" tegas Xilon bergidik ngeri.

Sialnya, Nanda masih memandangnya dengan tatapan yang membuatnya tidak tega.

"Gue cowok normal, Dara. Gue gak jamin lo bakal keluar dari apartemen dalam keadaan gadis, ya?" ancam Xilon.

Seketika, Nanda terpaku. Jika masalahnya seperti itu, lebih baik ia tinggal di bawah jembatan saja.

"Ya udah deh. Gue tidur di jalanan aja," lirih Nanda pasrah.

"Gila aja lo! Lo cewek tau! Lumayan sama gue ketimbang digilir di jalanan!" tegas Xilon seraya menarik tangan Nanda untuk masuk ke dalam mobil.

Nanda bergidik ngeri mendengar ucapan Xilon yang mengarah ke vulgarisme. Dasar mesum, umpat Nanda di dalam hati.

Lebih baik mati daripada merusak masa depan. Sekalipun dengan lelaki yang ia kagumi tersebut. Nanda pun melepaskan tangannya dari genggaman Xilon.

"Kenapa?" tanya Xilon heran dengan gerakan mendadak Nanda.

"Mesum!" ketus Nanda membuat Xilon tertawa.

"Gak minat gue sama lo. Tadi aja sok-sokan mau nginap sama gue," sinis Xilon.

Nanda berdecak kesal. Lelaki itu memang plin-plan. Tadi aja bersikap manis dan bijak, setelah itu mesum, dan terakhir menjadi sinis padanya.

Nanda memundurkan langkahnya saat Xilon malah mendekat padanya. Ia menjadi takut dengan tatapan Xilon yang tidak bisa diprediksi. Sialnya, Nanda tidak bisa memundurkan tubuhnya lagi karena tertahan oleh mobil di belakangnya.

Xilon menyunggingkan senyum miringnya.

"Masuk atau gue gendong sekarang?"

###
9 September 2019
To be continued.

Repost: 05 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro