Part 6 Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 6 Kembali 

Vania tercengang dengan keras, menggelengkan kepalanya tak percaya. “T-tidak mungkin,” ucapnya dengan suara tercekik.

Sementara kedua tatapan Lucius jelas tak main-main. Keseriusan menegaskan ekpresinya wajahnya yang tegang. Kemarahan dan kekecewaaan terhadap dirinya dan mamanya bercampur aduk jadi satu. Ya, ia tak pernah menceraikan Calia. Karena itu adalah hukuman untuk wanita itu. Setelah semuanya, ia tak mungkin membiarkan wanita itu bebas dan berbahagia dengan siapa pun di luar sana. Itulah alasannya tak pernah menceraikan wanita itu. Agar wanita itu tak pernah menjadi miliki pria lain. Terutama adiknya sendiri.

“Mama tahu aku tak pernah bercanda,” ucap Lucius dengan bibir yang menipis tajam. “Terutama untuk hal seserius ini.”

Vania tak perlu mempertanyakan keseriusan sang putra sulung. Ketegasan di mata Lucius adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.

“Aku akan membawanya kembali ke rumah ini. Ke tempat seharusnya dia berada.”

Dengan mulut yang membulat penuh ketidak percayaan, wajah pucat Vania menggeleng pilu. Kemarahan bergemuruh di dadanya, tetapi tak bisa ia luapkan melihat ketegasan di wajah sang putra. 

“Bukan hanya dia, tapi juga ketiga anakku. Jika mama belum tahu, anak yang dikandung Calia adalah anakku.”

“Tidak mungkin, Lucius.”

“Mama bisa mempercayai apa pun yang mama inginkan, anakku atau bukan, bukankah dia juga akan tetap menjadi cucu mama.”

Wajah Vania tak bisa lebih pucat lagi. Seluruh kekuatan tubuhnya raib, jatuh terduduk di sofa.

Lucius memutuskan untuk berhenti, kalimat terakhirnya cukup menampar sang mama. Menguatkan hati, hanya sebatas ini ia akan membiarkan mamanya mengambil alih seluruh jalannya. Setelah delapan tahun, satu kebohongan ini berhasil naik ke permukaan dan sang mama adalah dalang di baliknya. Tak menutup kemungkinan kebohongan lain tertumpuk-tumpuk mengelabuinya. 

Ya, ialah yang membiarkan dirinya dikelabui oleh sang mama. Hatinya terlalu sakit mengingat pengkhiatan Calia dengan sang adik. Dan saat itu yang bisa ia lakukan hanya membiarkan mamanya membereskan semuanya. Mengusir Calia dari rumah ini, hanya dengan pakaian yang dikenakan wanita itu. Dengan semua penghinaan sang mama.

Rasa bersalah semakin memperburuk perasaan Lucius. Malam itu di luar tengah hujan deras. Calia sudah memohon untuk memaafkan kesalahan wanita itu. Semua yang dikatakan sang mama, Lukas, Divya, dan Lavina adalah kebohongan, tapi wanita itu tak akan memaksanya untuk percaya.

Melihat wajah mamanya yang sepucat mayat dan terduduk lemah di sofa, rasa ibanya membawa Lucius untuk mengakhiri pembicaraan ini. Ia langsung naik ke lantai dua dan menuju ruang kerjanya.

Lama Vania tercenung di sofa, tatapannya kosong dan masih syok dengan akhir pembicaraan Lucius. Calia Xavera, menantu yang tak pernah diharapkannya, steelah delapan tahun penuh ketenangannya, kenapa wanita sialan itu harus kembali ke hidupnya.

“Anak? Tiga? Anakku?” Lukas muncul dari arah ruang tengah. Wajah pria itu tak kalah terkejutnya dengan sang mama.

“L-lukas?” Vania mengerjapkan mata, segera bangun dari duduknya dan menghampiri putra keduanya. “Kau mendengarnya?”

“Hampir semuanya.”

Vania memegang kedua pundak Lukas. “Lucius, dia hanya tidak tahu apa yang dikatakannya. Dia pasti sedang mabuk.”

“Omong kosong, Ma.” Lukas menyentakkan tangan Vania. “Calia menemui Lucius, aku tahu itu.”

“Apa? S-siapa yang mengatakannya?”

Lukas tak menjawab dan bertanya kembali. “Calia memiliki anak? Anakku?”

“Tidak, Lukas. Wanita itu pasti berbohong. Itu tidak mungkin anak kalian.” Suara Vania mulai diselimuti emosi dan kekalutan di saat yang bersamaan.

Lukas tak ingin mendengar lebih banyak kalimat sang mama yang tak lebih dari sebuah dalih. Ya, tentu saja ia tahu betapa bencinya sang mama terhadap Calia. Ia pun berbalik dan naik ke lantai dua menyusul sang kakak.

*** 

Suara mesin print di meja di sisi lain ruangan membuat Lucius melepaskan kesepuluh jemari yang tenggelam di rambutnya. Wajahnya terangkat, menatap mesin tersebut yang masih sibuk mencetak lembaran. Ia menunggu hingga mesin tersebut benar-benar berhenti sebelum bangkit berdiri menuju meja tempat mesin diletakkan. Tangannya terulur, meraih ketiga lembaran tersebut dengan napas yang tertahan. Ia tak membutuhkan benda ini untuk meyakinkan diri bahwa ketiga kembar adalah miliknya. Kemiripan antara dirinya dan ketiga bocah mungil itu tak perlu dipertanyakan. Hanya satu kali lihat, ia tahu mereka adalah miliknya.

Namun, lembaran ini adalah bukti yang melengkapi fakta tersebut. Ketiga lembaran tersebut memberinya hasil yang tepat. Sampelnya dengan ketiga kembar, 99,99% cocok.

Tepat ketika ia memastikan semua hasil tes DNA tersebut seperti yang diharapkannya, pintu ruangannya terbuka dan sang adik menerobos masuk dengan wajah merah padam.

“Jadi Calia memiliki anak?”

Bibir Lucius menipis dengan kelancangan sang adik. Tetapi ia masih menahan kesabarannya karena Lukas muncul di saat yang tepat. Lucius berbalik dan meletakkan ketiga lembaran hasil tes DNA di tangannya ke meja. “Ya, jika ini bisa membuatmu berhenti ikut campur urusan pernikahan kami.”

Seolah belum cukup keterkejutan yang diberikan sang kakak, wajah Lukas yang mengeras berubah pucat melihat lembaran teratas. Tangannya menyambar lembaran tersebut. Zsazsa, Zaiden, dan Zayn Cayson yang dibandingkan dengan sampel Lucius Cayson. Semuanya memberikan hasil yang sama. 99,99% cocok.

“Tidak mungkin.” Lukas meremas ketiga lembaran tersebut. Saat itulah Vania muncul dan langsung berdiri di samping Lukas. Ketegangan membentang di udara antara Lukas dan Lucius yang berdiri di belakang meja.

“Penyangkalanmu tak akan mengubah apapun, Lukas. Terbiasalah.” Lucius melirik ke lembaran di tangan Lukas dengan kemenangan yang telak. Ya, Lukas bisa menghancurkan semua lembaran itu. Semua usaha Lukas tak akan mengubah apa pun. Sekarang, waktu baginya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukannya delapan tahun yang lalu.

Vania membekap mulutnya ketika mulai menangkap pembicaraan di antara kedua putranya. Ia mengambil lembaran yang sudah diremas oleh Lukas. Kesiap keras teredam oleh bekapan tangannya. “Hasil ini pasti salah, Lucius.”

Lucius mendesah keras akan kekeras kepalaan sang mama dan adiknya. “Ya, anggap saja begitu,” pungkasnya mengakhiri pembicaraan yang sia-sia ini. Ia berjalan ke arah pintu, tapi langkahnya terhenti sebelum mencapai pintu. Berbalik dan menatap kedua orang yang masih membeku di tempat tersebut. “Dan, aku akan menggunakan tiga kamar di sayap barat untuk mereka.”

*** 

Tangan Calia bergerak mengelus jari manisnya yang polos. Tempat cincin pernikahannya dan Lucius pernah tersemat di sana. Lucius masih mengenakan cincin pernikahan mereka. 

‘Kau ingin aku menceraikanmu? Jangan bermimpi, Calia. Aku tak akan pernah menceraikanmu.’

‘Seumur hidup, kau akan terikat dengan pernikahan ini. Kau tak akan menikahi siapa pun. Menginginkan pria mana pun. Itu adalah hukuman untukmu.’

Mata Calia terpejam mengingat semua itu. Dengan perasaan yang tak lagi terbentuk. Ia bahkan tak tahu lagi apa yang seharusnya dirasakannya untuk pernikahan yang masih mengikat mereka. Juga untuk perasaannya terhadap Lucius.

“Kau benar-benar akan melakukan semua ini?” Suara Caleb membangunkan Calia dari lamunannya.

Calia menoleh, menatap wajah sang kakak dan mengeser tempat duduknya lebih dekat pada Caleb. Meletakkan kepala di pundak sang kakak.

“Aku lebih tak sanggup kehilangan Zayn, Caleb. Aku tak ingin menyesali semuanya.”

Caleb mendesah dalam hati, lengannya merangkul pundak sang adik. Calia selalu berusaha terlihat kuat di hadapan ketiga kembar.

“Kita bisa mengusahakan semua usaha untuk membayar biayanya. Kita sudah menjual semuanya, bahkan aku akan menjual diriku sendiri untuk membayar biaya perawatan Zayn. Tapi kau tahu kalau bukan hanya itu yang Zayn butuhkan. Lucius satu-satunya harapan kita. Zsazsa dan Zaiden terlalu kecil untuk dijadikan pendonor.”

“Dia belum melakukan tes untuk kecocokan Lucius sebagai pendonor.”

Calia tahu itu.

“Lalu bagaimana jika hasilnya tidak cocok?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro