27 - Terkuak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari Minggu. Ardi memutuskan menghabiskan waktu untuk merenung di dalam kamar. Ia rindu ibu, tapi ia juga tahu harus menerima kenyataan. Ibunya sudah tenang di alam sana, yang bisa dilakukan hanya hidup sebaik-baiknya. Agar ibunya juga ikut bahagia.

Ia mendekati jendela, membukanya, membiarkan udara segar masuk ke dalam kamar. Di bawah, sebuah mobil avanza berwarna hitam membunyikan klakson. Tak lama kemudian adik sepupu yang seumuran dengannya berlari menghampiri.

Gadis itu mengetuk pintu mobil, sepertinya menyuruh si pengemudi keluar. Sepupunya menghentakkan kaki, tanda sebal karena ucapannya tidak digubris. Tak berapa lama, mobil itu masuk ke halaman rumah. Nia sepertinya berhasil mengajak si pengemudi masuk.

Ardi menyipitkan mata kala melihat siapa yang keluar dari pintu dibalik kemudi. Ia mengucek mata berharap penglihatannya salah. Tetapi gadis yang berdiri di sana tetap tidak berubah. Bukankah itu ... Silvia? Kenapa dia bisa bersama adik sepupunya? Apa mereka dekat? Tapi ... sejak kapan?

***

Siang ini ayahnya kembali datang, lelaki paruh baya itu mengajak Ardi dan kakaknya makan siang bersama di sebuah rumah makan sederhana yang cukup terkenal. Ardi masih tidak tahu harus bereaksi seperti apa pada ayahnya, ia hanya mengikuti arus. Berharap waktu bisa mengubah hubungannya dengan sang ayah menjadi semakin baik.

"Anak-anak, ayah ingin berbicara." Lelaki paruh baya itu menatap kedua anaknya serius setelah mereka selesai memesan makanan.

Ardi dan Reni saling berpandangan, lalu menatap ayah mereka tak kalah serius.

"Ayah ingin ... mengajak kalian tinggal bersama. Apa ... kalian mau?"

Deg.

Ardi dan Rena menatap sang ayah tidak percaya. Selama ini kakak beradik itu memang ingin pindah rumah, tetapi terkendala keuangan dan kesehatan sang ibu. Sekarang kesempatan untuk keluar dari tempat yang terasa seperti neraka itu terbuka lebar. Mereka tidak perlu merasa sakit hati lagi dengan kelakuan semena-mena anggota rumah. Terlebih sekarang setelah ibu mereka meninggal. Mereka dianggap tidak ada, dan kadang disindir untuk segera angkat kaki.

"Rumah ayah memang tidak terlalu besar, ayah juga tidak bisa menjanjikan kehidupan yang mewah, tapi ... ayah ingin hidup bersama kalian, anak-anak ayah." Suara paruh baya itu terdengar lirih. Kurang percaya diri bisa membuat anak-anaknya tinggal bersama.

Rena tersenyum lebar, lalu pindah ke samping sang ayah. Gadis itu memeluk ayahnya erat. Ia ingin memulai hidup baru. Biarkan kesalahan ayah mereka terkubur bersama masa lalu. Ia akan mencoba untuk memaafkan dan menerima keberadaan sang ayah.

Rena tidak berharap terlalu banyak, bisa tinggal bersama keluarga yang tersisa saja hatinya sudah menghangat. Hanya ada dia, ayah, dan Ardi. Tidak perlu ada sepupu-sepupu merepotkan, tidak perlu ada bibi yang setiap hari nyinyir. Hari-hari Rena pasti akan menjadi tenang dan menyenangkan.

Andi juga memeluk putrinya tak kalah erat. Senang karena sudah bisa diterima. Ia berjanji tidak akan egois lagi, tidak akan terobsesi pada uang lagi. Ia hanya akan hidup tenang dan berkecukupan bersama kedua anaknya.

Ah, ya. Dua anak. Lelaki itu menatap putranya yang masih menunduk, diam tidak memberi reaksi. Apa anak lelakinya akan menolak? Hati Andi gelisah, ia ingin sekali memulai hidup baru bersama buah cintanya. Tetapi jika Ardi tidak mau, ia bisa apa?

"Ardi?" Rena memanggil nama adiknya heran. Apa cowok itu masih belum memaafkan ayah mereka? Ia tahu Ardi juga ingin segera keluar dari rumah, tapi kenapa sekarang malah terlihat bimbang? Apa yang menahannya?

Tunggu, kalau dipikir-pikir, adiknya lumayan ceria beberapa minggu ke belakang. Ia juga jadi sering pulang lebih awal. Ia berubah. Rena tidak tahu apa yang mengubahnya.

Tunggu, apa mungkin adiknya punya pacar di sekolah? Rena menggelengkan kepala, Ardi dan kata pacar benar-benar sulit untuk disandingkan.

Kalau dulu pas masih SMP sih ia tahu cowok itu punya pacar, kepribadiannya juga ramah, tidak tertutup seperti sekarang. Tetapi entah karena alasan apa sikap Ardi tiba-tiba berubah menjadi lebih tertutup. Awalnya dia jadi jarang bercerita, jarang tersenyum, dan kemudian bertingkah seolah tidak punya motivasi hidup. Hingga akhirnya jadi sulit didekati. Untuk mengetahui keinginannya saja sangat sulit karena biasanya Ardi hanya akan mengangguk tanpa banyak berkomentar.

Bukan sekali dua kali Rena bertanya, tapi adiknya tidak pernah mau bercerita. Akhirnya ia menyerah dan menganggap adiknya sedang mengalami fase patah hati seperti remaja kebanyakan.

Ardi mengangkat kepala, lalu memasang senyum yang dipaksakan. Ia bingung dengan hatinya sendiri. Ingin sekali rasanya keluar dari rumah itu, tetapi seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tidak pergi. Terlebih jika ikut dengan sang ayah, mereka akan pindah ke luar kota. Ardi belum siap. Ia merasa masih ada sesuatu yang tertinggal di sini. Lelaki itu butuh waktu untuk merenung dan memikirkan segalanya. "Bolehkah beri saya waktu berpikir sampai pembagian raport minggu besok?"

"Tentu." Andi tersenyum maklum, setidaknya cowok itu masih ingin memikirkannya, tidak langsung menolak. Ia lalu menatap Rena dan bertanya, "Bagaimana dengan pekerjaanmu, Sayang?"

Rena nyengir, memamerkan barisan giginya yang rapih. "Tinggal keluar saja, Yah. Nanti aku bisa cari lagi di tempat yang baru."

Andi mengangguk, lalu kembali menatap Ardi. "Kapan raport dibagikan?"

"Hari Sabtu."

"Mau ... ayah ambilkan?"

Ardi berpikir sejenak, lalu mengangguk, membuat senyum lebar terbit di wajah sang ayah.

***

Nia baru pulang ke rumah ketika makan malam sudah selesai, Ardi mengintainya dari balik jendela kamar. Menunggu beberapa lama, ia segera pergi ke kamar gadis itu. Ada sesuatu yang ingin ia pastikan.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk! Enggak dikunci, kok!" Suara Nia terdengar agak lelah, entah aktivitas apa yang sudah gadis itu lakukan dari pagi sampai malam seperti sekarang.

Ardi menarik kenop hingga pintu terbuka, lalu masuk ke dalam. Nia sedang membaringkan tubuh di atas kasur, membuat Ardi mengernyit, gadis itu jorok sekali. Kenapa enggak mandi dulu? Padahal cowok itu sengaja menunggu agak lama karena takut sepupunya sedang membersihkan diri. Nyatanya dia malah sedang rebahan sambil memainkan ponsel dengan baju yang masih belum diganti.

Ardi menutup kembali pintu rapat, lalu duduk di kursi tempat biasanya Nia belajar.

Gadis itu hanya melirik sekilas ketika tahu yang datang adalah sepupunya. Ia sudah memendam perasaan tidak suka sejak mereka kecil karena Ardi selalu diperhatikan oleh nenek mereka. Cowok itu juga pandai melakukan pekerjaan rumah, membuat banyak orang di rumah ini selalu membandingkan mereka berdua, terutama ibunya. Tentunya di belakang Ardi, kalau di depan mereka hanya akan memberi nyinyiran.

"Ngapain ke sini, Anak Manja?"

Ardi mengabaikan sapaan tidak sopan adik sepupunya. Matanya menatap Nia tanpa berkedip, membuat gadis itu jengah dan berganti posisi menjadi duduk. "Apaan, sih? Gak jelas banget! Ngapain ke sini kalau cuma mau melototin gue begitu?"

Ardi membuang napas kasar, lalu membuka mulut ketika sudah selesai menyiapkan mental. Ia ingin menepis rasa curiga di hati, tapi pikiran ini benar-benar mengganggunya sejak tadi pagi.

"Sejak kapan lo kenal sama Via?"

Ina membulatkan mata sebentar, lalu berkedip dan semuanya kembali normal. Ia tidak sadar perubahan rautnya tidak lepas dari tatapan tajam Ardi. Sekarang spekulasi di kepala cowok itu semakin kuat.

"Baru-baru ini, kami sekelas di SMA," balas gadis itu santai.

"Benarkah?" Ardi bertanya tidak percaya. "Bukankah kalian sudah berteman sejak masuk SMP?" ujar cowok itu asal menebak. Jika tebakannya salah, gadis itu pasti hanya akan mendengkus atau memutar bola mata seperti biasa. Menganggap ucapan Ardi tidak penting dan hanya membuat sakit telinga.

Tetapi sesuai yang Ardi harapkan, gadis itu segera menatapnya tajam. "Lo udah tahu?" tanyanya dengan nada yang jauh dari kata bersahabat. Mata gadis itu membola tanda kaget. Tangannya terkepal erat dan tatapan penuh kebencian ia layangkan. Jika Ardi sudah tahu, berarti cowok itu akan segera berubah. Bisa saja ia kembali menjadi pribadi yang ramah seperti dulu. Benar-benar berbahaya. Cowok itu pasti akan bisa hidup bahagia seperti dulu dan Nia tidak suka. Tapi, apa yang mampu menyebabkan cowok ini berubah? Siapa yang dengan bodohnya memberi tahu rahasianya pada Ardi?

Ardi tersenyum miring, tebakannya benar. Sekarang seluruh puzzle di kepalanya sudah lengkap. Dulu ia bertanya-tanya kenapa jawaban PR-nya dengan Via bisa sama persis? Ternyata gadis ini biang keroknya.

Mereka benar-benar ular.

Ardi sudah bisa menebak apa alasan Nia, karena sejak kecil gadis itu sudah tidak menyukainya. Nia pasti ingin membuatnya menderita, dan rencana gabungan gadis itu bersama Via benar-benar berhasil.

Mereka membuat kehidupan SMP Ardi hancur.

"Terkejut, Nona?" tanya Ardi sambil tersenyum miring, lantas segera beranjak meninggalkan ruangan gadis yang saat ini masih menatapnya tidak percaya dan penuh kebencian.

Ardi berhenti sebelum menarik kenop pintu, ia membalikkan badan dan bersedekap. "Rencana lo benar-benar bagus. Terima kasih. Gue emang sempat terpuruk, tapi sekarang udah enggak lagi. Berkat lo sama Via, sekarang gue jadi punya seseorang yang berharga dalam hidup. Gue juga memetik banyak pelajaran dari masalah di masa lalu. Sekarang gue udah bisa membuka lembaran baru dan hidup bahagia. Terima kasih, tolong sampaikan salam gue buat Via. Katakan padanya, gue bakal datang dan menghancurkan peringkat yang ia banggakan itu. Terakhir, sedikit nasihat buat lo adik sepupu, berhentilah menjadi orang menyebalkan. Lo enggak akan pernah punya teman yang tulus. Sekarang silakan nikmati rasa iri dengki lo itu, gue tidak peduli. Gue akan hidup bahagia dan menghancurkan seluruh khayalan lo. Selamat malam."

Ardi segera keluar dari ruangan pengap itu, tadi ia benar-benar kesulitan bernapas. Sedikit tidak menyangka kebencian adik sepupunya ternyata begitu dalam. Padahal ia tidak merasa pernah melakukan hal jahat satu kali pun.

Aaahh, seluruh penghuni rumah ini memang aneh. Selalu melakukan hal-hal di luar akal sehat. Setelah kematian nenek, rumah ini menjadi benar-benar tidak nyaman untuk ditinggali. Mungkin sebaiknya Ardi ikut saja dengan ayahnya keluar kota.

tbc.

Haiiii. Enggak terasa sudah hari ke-27, ya! Untuk teman-teman suju VIII ayo semangat, kita lulus ODOC bareng. Buat para member yang masih ngutang, semoga idenya lancar, ya. Biar bisa cepat lunas.

Oh, iya. Spesial di chapter 27 ini salah satu tokoh di JyP akan bermain ke lapak sebelah, loh. Penasaran siapa yang ada di sana? Langsung cek saja ya work-nya naviegirl dengan judul cerita Drama Queen Life. Sttt, aku kasih bocoran, nih. Scenenya kocak banget dan sedikit kasihan. Emang ya, nasib anak-anakku begini banget, bahkan di lapak orang pun dinistakan. Duh. Haha.

Nah, sudahlah. Biarkan saja. Intinya, selamat membaca!

Salam, Ryn. 🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro