5 - Tentang Ardi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hah! Akhirnya selesai juga!" Reira duduk menyelonjorkan kaki usai melakukan tugas di hari pertama yang diberikan tukang kebun kemarin, merawat kebun selama satu minggu.

Sungguh, terkadang ia berpikir dirinya perlu diruqyah. Sepertinya ada jin-jin jahil yang menempelinya, membuat ia jadi sial terus. Semoga jin itu tidak jatuh cinta padanya, karena hati Reira sudah digembok oleh Ardi. Kan kalau mereka rebutan nanti jadi berabe.

Mengingat cowok satu itu, sontak pipi Reira berubah merah. Ia jadi malu saat ingat kemarin akan menyatakan cinta, tetapi gara-gara semut sialan yang dengan tidak tahu dirinya menggigit betis mulus Reira, ia malah mendapat hukuman.

Untungnya ia dihukum bersama Ardi, jadi pekerjaan melelahkan ini terasa seperti sedang rekreasi. Anggap saja kencan sambil mengerjakan hukuman. Hati Reira benar-benar bahagia, berbanding terbalik dengan pujaan hatinya yang berwajah mendung.

Untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun, ia dihukum tanpa tahu apa salahnya. Bukankah kemarin gadis itu yang memecahkan potnya? Kenapa ia juga harus kena getahnya?

Ardi berusaha sebisa mungkin menjaga jarak sejauh sepuluh meter dari Reira, ia tidak ingin memberikan kesempatan lebih pada Reira untuk merisaknya. Lihat saja wajah gadis itu, dari tadi tersenyum terus. Apa sebegitu bahagianya membuat Ardi dihukum?

Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, sekolah pun semakin sepi. Hanya tersisa beberapa anak yang sedang mengikuti ekskul. Ardi merasa sedikit kesal karena seharusnya sekarang ia sudah selesai mengerjakan PR dan kembali ke rumah.

Rumah Ardi sangat ramai, jadi ia sebisa mungkin untuk menyelesaikan tugas di sekolah. Di rumah sangat tidak aman, terutama jika sepupu-sepupunya yang masih kecil datang ke kamar, dijamin ruangan itu langsung berubah menjadi kapal pecah.

Ardi terkadang ingin mengeluh, kenapa mereka tidak pindah rumah saja? Satu rumah dengan keluarga lain sangat tidak menyenangkan. Ada saja hal yang patut digunjingkan. Menyimpan makanan saja harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin dicuri.

Saat di rumah, hal yang paling haram dilakukan adalah menyimpan makanan di kulkas, karena jika makanan berada di sana, itu berarti sudah direlakan untuk dimakan oleh siapa pun. Hal yang cukup menyulitkan Ardi karena ia sangat menyukai es krim. Tidak mungkin, kan, ia menyimpan stok es krimnya di rak buku?

Ardi menyimpan gunting rumput dan pot penyiram tanaman ke atas meja di dalam gudang. Lantas segera menjauh dari halaman belakang. Terutama saat matanya melihat gadis itu melambaikan tangan.

Koridor di sore hari lumayan sunyi, hal yang cukup biasa bagi Ardi karena ia selalu pulang telat. Terkadang sering terlintas di otaknya untuk mengikuti suatu ekskul agar waktunya lebih produktif. Namun ia terlalu bingung untuk masuk ekskul apa, dan di pertengahan semester seperti sekarang tidak ada ekskul yang membuka pendaftaran.

Saat SMP dulu Ardi bergabung dengan ekskul Olimpiade, satu-satunya ekskul yang memberi ia kenyamanan karena bisa bercumbu dengan buku setiap hari. Bukan berarti ia tidak punya teman, malah ada banyak orang yang ingin menjadi sahabatnya. Terutama setelah ia mendapatkan juara dua olimpiade matematika tingkat kota.

Ardi berhenti melangkah ketika tiba di depan tangga, matanya menatap undakan-undakan itu hampa. Letak kelasnya masih jauh karena jurusan IPA di tempatkan di ujung lantai dua. Ia kembali mengingat kejadian tidak menyenangkan di masa lalu. Kejadian yang membuat hatinya menjerit pilu.

Kakinya kembali melangkah, otaknya mulai membuat spekulasi, andai kejadian itu tidak terjadi, mungkin Ardi tidak akan terpuruk seperti sekarang. Terlalu waspada dan selalu berpikiran buruk kepada orang lain.

Sepanjang lorong lantai dua hanya ada beberapa anak yang sepertinya tidak suka berada di rumah, tapi juga tidak suka nongkrong di kafe. Ardi melewati mereka sambil menunduk. Padahal ia laki-laki, tapi pikirannya tidak bisa mencegah spekulasi-spekulasi bahwa orang lain akan merisaknya.

Kadang Ardi benci pada diri sendiri, kenapa ia lemah sekali? Di rumah, ia bahkan tidak punya kekuatan suara. Untuk sekadar memakan makanan kesukaannya pun ia tidak bisa. Menu selalu ditentukan oleh mereka yang berkuasa.

Ardi masuk ke dalam kelas, mengambil tas di meja yang terletak paling ujung. Bangku yang ia pilih dengan datang ke sekolah tepat pukul enam. Bukan karena ia termasuk anak-anak bandel yang hobi tidur saat jam pelajaran, tapi karena ia tidak ingin diperhatikan.

Untunglah kelas ini ganjil, jadi Ardi bisa duduk sendiri. Tapi terkadang ia merasa kesusahan juga kalau ada pembentukan kelompok, karena kebanyakan tidak ada yang mau mengajaknya.

Ardi menghela napas berat, lantas keluar dari kelas. Hari ini ia tidak akan mengerjakan tugas, biar besok saja. Badannya sudah berteriak ingin segera diistirahatkan.

Tenggorokannya terasa kering, ia pun membuka tas untuk mengambil botol minum. Sayang, isinya sudah tidak tersisa. Akhirnya ia terpaksa membelokkan kaki ke arah kantin di lantai satu, berharap tempat itu masih buka.

Dari kejauhan tampaknya kantin akan segera tutup, terlihat dari bibi kantin yang sedang membereskan barang dagangannya. Ia lantas mempercepat langkah.

"Bi, air mineral satu," pintanya sambil mengangkat jari telunjuk.

Bibi kantin segera menghentikan gerakan tangannya, lalu bertanya, "Dingin atau enggak?"

Ardi berpikir sejenak. "Yang dingin aja, Bi. Sekalian sama es krim cokelatnya satu, ya, Bi."

"Ini." Bibi kantin mengangsurkan satu botol air mineral dan satu cup es krim. Lelaki itu segera membayarnya, lalu berjalan menuju meja terdekat.

Ardi meminum airnya sedikit, lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia lantas membuka penutup cup es krim, bersiap untuk menyantapnya.

Bisa menikmati es krim setelah panas-panasan sungguh membuat hati bahagia. Ia begitu menghayati suap demi suapnya.

"Ardi! Aw!"

Ardi menoleh, lalu ....

Byur.

Cairan berwarna kuning yang terasa lengket mengenai wajahnya. Ia memejamkan mata sebentar. Lalu mengerjap sambil membersihkan area mata dengan punggung tangan.

"Aduh, gue sial banget, sih!" Ardi menatap sekeliling saat mendengar sebuah suara yang familiar. Tidak ada siapa-siapa. Kok dia jadi merinding, ya?

Namun saat ia akan meratapi nasib bajunya yang berwarna kuning, ia melirik ke bawah. Di lantai ada seorang gadis yang sedang telungkup sambil menggerutu. Seorang gadis yang benar-benar ia kenal, tapi tidak tahu namanya.

Ah, kenapa dia suka sekali membuat Ardi kesusahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro