Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kedua bola mata Kina sontak menatap lurus pada Kasyap.

"Nggak ada lagi waktu membaca selain buku pelajaran sampai beberapa hari—ah bukan, tapi sampai dua pekan ke depan."

Wajah Kina seketika berubah menjadi reaksi memprotes. "Mana bisa begitu, Pa."

"Itu hukuman untuk kamu. Kecuali kamu mau berjanji nggak akan mengulanginya."

Setiap hari Kina selalu membaca buku. Di mana pun dia berada, dalam pelukannya selalu tersemat sebuah buku. Lantas dengan kehilangan hal yang disukainya itu, Kasyap yakin setelah ini Kina akan menyadari kesalahannya.

Gadis itu menatap Kasyap dengan kedua matanya yang berkilat merah dan tangannya yang mengepal.

Dering ponsel menginterupsi situasi itu. Sebelum deringan tersebut mengambil alih perhatian Kasyap, dia lebih dulu memastikan tidak ada pembangkangan yang akan terjadi melalui reaksi Kina tadi. Kemudian dari luar pintu, diraihnya ponsel yang tak sengaja tertinggal di bawah dasbor ketika menemui wali kelas Kina tadi.

"Ya, Rara?" sapanya setelah sekilas menatap layar yang menampilkan panggilan berasal dari toko bakery istrinya.

"Barusan ada telepon dari sekolah Kintar, Pak,” ujar suara di ujung sambungan.

Kasyap otomatis memperhatikan jam di pergelangannya yang kini sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Setelah memutus sambungannya dengan Rara, Kasyap mengecek ponselnya sambil berjalan ke sisi kemudi. Ada tiga panggilan tak terjawab dari sekolah Kintar. Kasyap mengumpat pelan, sebelum mengembalikan ponsel ke tempat semula dan banting setir menuju sekolah putranya.

***

Setibanya di sekolah Kintar, koridor sekolah itu tampak lengang. Tentu saja karena proses belajar di sekolah itu telah berakhir empat puluh menit yang lalu. Saat dia hendak menuju kelas Kintar, dia melihat seorang anak laki-laki berambut ikal sedang berada di ruangan yang penuh dengan permainan. Ada seorang guru yang menemaninya.

"Papa!" anak laki-laki berambut ikal berumur lima tahun itu berteriak ketika melihat keberadaannya, tapi tetap tidak beranjak dari tempatnya berada.

"Selamat siang Bu Rayi, maaf saya terlambat menjemput Kintar," ujar Kasyap seraya memasuki ruangan itu.

"Nggak apa-apa, Pak," perempuan itu tersenyum. Senyum yang tidak hanya tampak di bibirnya tapi juga matanya.

Masih dengan senyum yang belum menyurut, perempuan itu mengalihkan pandangan kepada Kintar.

"Nah, karena Papa Kintar udah datang, jadi mainnya udahan dulu ya." Perempuan itu menunjuk ke permainan balok susun yang sedang dimainkan bocah itu.

"Tapi kan mainnya belum selesai, Bu. Kata Papa, kalo mengerjakan sesuatu itu nggak boleh setengah-setengah, semua harus diselesaikan sampai tuntas,” lalu Kintar mengangkat kepala menatap Kasyap. "Ya kan, Pa?"

Kasyap mengangguk canggung. "Ya, itu benar. Tapi situasinya berbeda dengan sekarang."

"Bedanya apa?"

Satu hal yang Kasyap pelajari ketika dia mulai mengasuh dua anaknya. Jangan pernah menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang berpeluang munculnya pertanyaan baru. Hal itu akan membuat sesi tanya jawab tidak akan menemui kata akhir, apalagi jika anak itu adalah Kintar, bocah lima tahun yang mau tahu semua hal. Dan lucunya, kali ini dia melupakan hal itu.

"Tadi bukannya Kintar janji mainnya cuma sampai Papa Kintar datang?” Beruntung Bu Rayi segera menengahi. "Sekolah juga udah sepi, kan? Memangnya Kintar mau jaga sekolah sama-sama Pak Ucup? Ibu sih nggak mau ah, enakkan juga di rumah."

Kintar akhirnya mengangguk-angguk setelah mendapat penjelasan dari gurunya.

"Di dalam mobil ada Kak Kina. Kalau dia menunggu lama, nanti dia bisa marah." Kasyap menambahkan.

Mata sipit Kintar yang mirip seperti ibunya melebar seketika. "Kok Kak Kina nggak di sekolah, kan belum waktunya pulang?"

"Papa jawab setelah kita di mobil. Oke?”

Kintar menggerak-gerakkan kepalanya, tanda setuju. Bu Rayi meraih tas berlambang tokoh super hero favorit Kintar dan membantu memakaikannya pada anak itu. Setelah tas itu terpasang sempurna, anak laki-laki itu mengulurkan tangan pada gurunya, yang segera disambut hangat.

"Hati-hati, Kintar. Sampai ketemu besok," Bu Rayi melepas kepergian Kintar seraya tersenyum lebar.

Kintar balas melambai. Lalu dengan riang berlari menyusuri koridor dengan memanggul Captain Amerika di punggung.

"Pak Kasyap, boleh saya bicara sebentar?" cegah Bu Rayi sebelum Kasyap beranjak menyusul langkah Kintar.

Kasyap mengangguk.

"Begini, Pak, di waktu istirahat tadi, Kintar berebut mainan dengan salah seorang temannya dan lutut kirinya terluka. Lukanya sudah saya obati dan saya minta maaf untuk kelalaian ini."

Kasyap memperhatikan punggung Kintar yang masih terlihat sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

"Melihat dia masih begitu aktif, saya rasa lukanya bukan masalah."

"Walupun cuma luka ringan, saya perlu memberitahukan ini sebagai bentuk tanggung jawab saya."

"Harusnya saya berterima kasih karena Bu Rayi masih mau direpotkan menjaga Kintar meskipun jam sekolah sudah selesai."

Bu Rayi tersenyum penuh pengertian. “Saya sama sekali nggak keberatan. Saya sangat mengerti bagaimana kondisi Bapak sekarang."

Setelah kembali mengucapkan terima kasih, Kasyap berpamitan.

Ketika dia sampai di dalam mobil, Kintar sedang menodong Kina dengan pertanyaan-pertanyaan. Begitu melihat keberadaannya, Kintar langsung bersandar di samping jok kemudi.

“Katanya kalau udah di mobil, Papa mau kasih tahu aku kenapa Kak Kina nggak sekolah? Daritadi aku tanyain, tapi Kakak nggak mau jawab.”

Kasyap memperhatikan Kina yang kini menjadikan sweater rajutnya sebagai penutup kepala. Salah satu kebiasannya jika ingin mengabaikan Kintar.

“Kak Kina sedang kurang fit, jadi boleh pulang lebih awal.”

“Masa?” bola mata Kintar mengarah ke atas mengindikasikan dirinya sedang berpikir keras. “Kalau begitu, nanti kalau aku lagi malas belajar, bisa alasan sakit ya, Pa, biar dibolehin pulang lebih awal.”

Kasyap yang sudah duduk di jok kemudi, langsung menoleh ke belakang. “Tidak boleh menggunakan cara curang seperti itu.”

“Tapi Kak Kina bohong,” protes Kintar. “Kalau lagi sakit, seharusnya badan Kak Kina lemah, lesu dan nggak bertenaga, tapi Kak Kina masih bisa teriak-teriak tadi.”

“Shut up, Kintara Xian Malik,” jerit Kinara dari balik sweaternya.

“Tuh, kan, Pa.”

Kasyap hanya bisa mengembuskan napas pendek.

“Oke, sebaiknya kamu duduk tenang, Boy,” tegur Kasyap mulai bersiap menyalakan mesin mobil.

“Papa, panggil aku ‘man' bukan boy. Boy cuma untuk anak laki-laki, aku sudah dewasa,” Kintar kembali memprotes.

“Dari mana kamu tahu sudah dewasa? Umurmu aja baru lima tahun.”

Secepat kilat Kintar berdiri di belakang jok yang diduduki kakaknya. “Kak Kina sendiri yang bilang, kalau ada laki-laki yang mimpi basah, itu artinya sudah dewasa. Minggu lalu aku mimpi basah.”

Dari dalam sweater Kina mendecak. “Itu bukan mimpi basah, tapi kamu ngompol.”

“Memang apa bedanya? Aku mimpi lagi buang air, terus pas bangun kasurku basah,” Lalu Kintar kembali bersandar di jok kemudi, memusatkan perhatiannya pada Kasyap. “Papa laki-laki kan, berarti Papa tahu dong mimpi basah itu gimana?”

Kasyap yang tidak siap mendapat pertanyaan itu, menatap dasbor agak lama. Termenung lama sambil memikirkan jawaban yang tepat. Harusnya setelah lima bulan meluangkan seluruh waktunya mengurus kedua anaknya, dia tidak perlu terkejut lagi, mengingat ini bukan kali pertama Kintar menanyakan hal-hal ajaib. Beberapa minggu yang lalu, Kintar juga pernah datang kepadanya dengan pertanyaan yang membuatnya harus berpikir keras untuk jawabannya.

“Oh ya, ngomong-ngomong kalian sudah pikirkan akan kasih hadiah apa ke Tante Nova?” merasa belum memiliki jawaban yang tepat untuk diberikan, Kasyap mencoba mengalihkan percakapan.

“Oh, Tante Nova yang baru melahirkan adik bayi itu?”

Kasyap mengangguk. “Gimana kalau kita cari kado dulu?”

Kintar langsung mengangguk semangat. “Ayo, Pa. Let's go!”

Tak lama setelah mobil meninggalkan gerbang sekolah Kintar, anak laki-laki itu sudah sibuk memikirkan tentang hadiah yang akan diberikan. Diam-diam, Kasyap mengembuskan napas lega. Kasyap tahu pertanyaan Kintar tadi tidak akan berhenti di sana saja. Suatu waktu anak itu pasti akan mengulang pertanyaan yang sama sampai dia mendapatkan jawabannya. Sembari itu, Kasyap mempunyai waktu untuk mempersiapkan jawabannya.

Mobil yang dikendarai Kasyap berhenti ketika traffic light menunjukkan warna merah. Kondisi lalu lintas tidak begitu padat, jadi Kasyap menaksir dia bisa sampai di toko peralatan bayi paling tidak lima belas menit dengan kecepatan sedang. Dan mereka hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk memilih hadiah. Jadi tidak sampai satu jam ke depan dia akan sampai di toko bakery istrinya. Kasyap melirik arlojinya, sebelum sore hari, ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.

“Pa, Pa, tahu nggak adik bayi itu asalnya dari mana?” tanya Kintar begitu tiba-tiba.

Urat-urat di kepala Kasyap yang semula sudah melonggar, mendadak mengencang kembali mendengar pertanyaan Kintar itu. Tatapannya tertuju pada Kintar yang sedang bersandar di sisi jok kemudi.

Melihat Kasyap tak kunjung menjawab, Kintar menambahkan. “Aku tahu adik bayi itu asalnya dari mana.”

"Oh, ya?" tanya Kasyap, setengah terkejut.

Kintar mengangguk mantap. "Kak Kina bilang, adik bayi itu asalnya dari pertemuan antara sel sperma dan sel telur lalu menghasilkan embrio. Embrio itu nantinya setelah beberapa minggu disebutnya janin. Teruuuusss...." Anak laki-laki itu berhenti sejenak untuk menarik napas. "Janin itu tumbuh dan membuat perut ibu jadi besar seperti balon." Kintar bicara sambil membuat lingkaran dengan kedua tangan di depan perutnya. "Setelah sembilan bulan sepuluh hari, janin di dalam perut lahir dan jadilah adik bayi. Begitu, Pa."

Untuk waktu yang cukup lama Kasyap tercengang. Lalu, tatapannya tertuju pada Kina yang masih menutup wajahnya dengan sweater, sama sekali tidak tergubris dengan penjelasan yang dilontarkan adiknya. Setelah itu matanya berpindah pada dua bola mata Kintar yang berwarna kecoklatan seperti miliknya.

"Pa, embrio itu apa sih? Apa embrio akan tumbuh di perut waktu kita makan sesuatu?" tanya Kintar lagi.

Kasyap mengerjap. Semakin takjub oleh kemampuan menyerap banyak kosakata yang dimiliki Kintar. “Bukan seperti itu."

"Kalo bukan, terus gimana, Pa?" Suara Kintar mulai terdengar tidak sabar. "Kalo dari makanan, aku harus menghindari makanan itu. Aku nggak mau perutku jadi besar seperti badut, itu nggak keren," Kintar menatap Kasyap dengan wajah serius. "Papa mau kalo perutnya membesar?"

"Laki-laki nggak mengandung, Tar. Cuma perempuan yang mengandung.”

"Beneran gitu, Pa?" tanya Kintar, wajahnya terlihat lega.

"Tentu aja. Kita nggak punya rahim seperti perempuan."

Kening Kintar kembali berkerut. Melihat ekspresi itu, langsung saja Kasyap merutuki keteledorannya. Seharusnya dia tidak perlu memberi penjelasan seperti itu. Pastilah sekarang ada tanda tanya baru lagi di kepala Kintar.

"Rahim?"

Benar, kan.

"Semacam kantung di dalam perut.” Daripada Kintar mendapatkan jawaban dari Kina, lebih baik Kasyap yang turun tangan. Setidaknya dia bisa membatasi informasi yang masuk di memori anak laki-lakinya itu.

"Seperti kanguru?" tanya Kintar, wajahnya terlihat penuh minat.

"Bukan. Kanguru punya kantung di luar tubuhnya, sementara perempuan di dalam perut."

Kintar tampak ragu, beberapa kali menelengkan kepala ke kiri dan kanan. "Aku punya teman di sekolah, namanya Rahim, dan dia laki-laki bukan semacam kantung, Pa."


***

Hai kalian, happy weekend.
Nggak bosen-bosen ngingetin tekan ⭐ kalau kalian suka dan nunggu lanjutan cerita ini.

Salam sayang,
Kakahy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro