01: Antara Lama dan Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini pertama kalinya Adina menikmati pemandangan dari dalam Land Rover. Pemandangan yang dimaksud bukanlah pegunungan dengan landscape serba hijau, melainkan hanya berupa gedung-gedung sederhana yang dipagari oleh pohon rimbun beraroma jeruk. Mereka bukan pohon jeruk. Aroma jeruk itu berasal dari dalam mobil. Mobil yang kehilangan kesan mewah hanya karena aroma pewangi yang tajam.

Susana kurang nyaman makin ditambah oleh lagu The Smiths yang suara musiknya terlalu riang untuk lirik yang depresif. Adina berusaha mengabaikan fakta kalau ada seseorang yang benar-benar menikmati musik itu. Apalagi ketika jari telunjuk Gary semakin semangat mengetuk-ngetuk setir di genggamannya. Masalahnya, ketukannya sama sekali berbeda dengan ritme musik.

"Banyak yang berubah."

Adina cukup lega. Setidaknya, bukan dia yang mengucapkan kalimat itu duluan karena terdengar terlalu klise di telinganya yang bertindik dua. Gadis kurus itu hanya mengangguk sambil pura-pura sibuk merapikan bando kuningnya.

"Pembangunan berkembang pesat di sini sejak sungai-sungai dirancang bukan sekadar menjadi tempat tumbuhnya eceng gondok," lanjut Gary, seperti seorang pembaca berita, sambil melirik ke kaca spion kanan untuk berbelok.

"Aku harus mencatatnya: eceng gondok berpengaruh dalam pembangunan kota."

Gary terbahak seakan baru saja menonton video 9GAG. "Jangan katakan itu kepada Madam Derida nanti," katanya, masih dengan tawa.

Adina mengerti siapa Madam Derida. Yang dia kurang mengerti adalah kenapa dia harus menceritakan eceng gondok kepada bekas gurunya itu. Sambil berpikir, kilau air di seberang kiri menyambut mereka.

Sungai Abraham dengan air tenangnya.

Spontan Adina memalingkan pandang, memastikan sesuatu dari jendela di kanannya. Gedung dengan aksen merah bata masih berdiri di sana. Masih menjadi gedung yang paling mencolok di kawasan depan sungai terbesar di kota. Hanya bentuk gerbangnya yang telah berbeda, meskipun masih tertulis nama yang sama di atasnya.

"Kau akan sekolah di sana, lagi."

***

Bagian mana yang menarik ketika kau terpaksa tinggal di rumah orang lain yang dulunya adalah rumahmu? Adina tidak tahu harus berbuat apa saat seorang wanita paruh baya menyambut mereka di beranda rumah. Hal itu mengingatkannya kepada rutinitas lebih dari empat tahun yang lalu. Pulang sekolah, disambut dengan kudapan manis, diceramahi karena kotak makan siang masih terasa berat, lalu diberi ciuman karena mendapat nilai B plus.

Andai saja ayahnya dulu  tidak menganut paham harta duniawi tidak akan dibawa mati, dan andai saja ibunya dulu tidak menganut paham lebih baik menjauh dari tempat yang menyimpan banyak kenangan manis, bisa jadi, Adina tidak mesti mabuk darat hanya untuk kembali ke rumah bergaya Scandinavian di hadapannya. Dan bisa jadi, di depan rumah serba putih itu tidak ada wanita yang berdiri dengan tampang terpaksa ramah.

"Bagaimana perjalananmu?"

Bagus, setidaknya dia lebih memilih bertanya tentang perjalanan daripada pemakaman Ibu. "Aku melihat banyak pemandangan," jawab Adina.

"Mila, bisakah perbincangan ini kita lanjutkan nanti? Kami sangat lelah dan Adina sudah muntah tiga kali selama di perjalanan. Dia butuh istirahat." Gary menyeret dua buah koper medium ke dalam rumah.

"Muntah? Apakah cairannya mengotori jok?" Kini Mila terlihat lebih antusias dari saat menyambut keponakannya lima menit yang lalu. Gary hanya tersenyum lebar dan menatap Mila dengan maksud menyuruhnya untuk segera diam.

"Baiklah, kalian istirahatlah. Kau harus benar-benar segar untuk masuk ke kantor besok pagi. Jangan sampai cutimu kau perpanjang seenaknya. Aku akan memasak makan malam."

Adina tidak tahu harus senang atau kecewa karena topik pemandangan, yang memang sama sekali tidak menarik,  kalah dengan topik muntah dan cuti pamannya. Dia hanya menyeret kaki, mengikuti mereka, masuk ke dalam rumah meskipun tidak dipersilakan.

***

"Aku lupa membeli seprai baru untuk kasurnya," kata Mila saat mereka sudah sampai di sebuah kamar yang dulunya, Adina ingat, adalah ruang kerja ayahnya. Ruang itu kini telah menjadi sebuah kamar tidur sederhana. Hanya ada tempat tidur untuk satu orang, sebuah lemari pakaian dengan kayu hampir lapuk, dan satu set meja belajar yang kaki mejanya mulai berkarat. Kemungkinan besar, semua berasal dari gudang.

"Besok akan kupastikan kau mendapat seprai baru," kata Gary sambil mengatur koper-koper di sudut kamar. Setelah basa-basi mengucapkan selamat beristirahat dan berjanji akan membangunkan Adina saat makan malam, mereka meninggalkan Adina di kamar yang penerangannya mulai redup. Jendela kamar itu terlalu kecil untuk memasukkan sinar matahari sore. Namun, Adina tidak peduli pada cahaya redup dan tidak peduli pada tubuhnya yang belum mandi. Dia hanya peduli untuk menjatuhkan diri ke atas kasur yang ternyata bau apak.

***

Dulu, saat Adina masih kecil, keluarga pamannya selalu mengunjungi rumah ini saat tahun baru. Itu karena Gary adalah satu-satunya saudara laki-laki ayahnya. Saat tahun baru, Adina merasa sedang diingatkan akan kehidupan di tahun sebelumnya. Ada senang, ada kecewa, dan ada sedih. Rasa senang diwakilkan saat dia menerima kado natal yang terlambat dari pamannya. Rasa sedih tergambar ketika bibinya dengan semangat membandingkan Adina dengan sepupunya, Evan, dan dia akan kecewa saat orang tuanya setuju ketika bibinya menyuruhnya untuk mengikuti jejak Evan.

"Kau harus seperti Evan di sekolah nanti, dia sangat aktif di organisasi sekolah tanpa menurunkan prestasi akademik. Aku sampai kehilangan kata-kata saat semua guru memujinya di pertemuan orang tua."

Itulah Mila, masih sama seperti yang ada di memori otak Adina. Adina mencoba mengunyah lebih keras untuk menyamarkan suara nyaring bibinya.

"Evan, kau harus menjaga Adina saat di sekolah nanti," kata Gary setelah meneguk air minum dari gelas.

"Sayang, bagaimana bisa? Mereka kan beda sekolah."

"Oh, aku lupa memberitahumu kalau Adina akan sekolah di Golden Lake Institute."

"Tidak, tidak. Biayanya terlalu mahal. Kita hanya mampu menyekolahkan satu anak di sana. Bukan dua." Mila kini benar-benar menghentikan makan malamnya. "Kita harus mempertimbangkan-."

"Aku sudah membayar biaya pendaftaran dan biaya semesternya."

Kali ini, Adina jadi lupa mengunyah saat mendengar penjelasan Gary yang begitu cepat dan jelas. Meja makan bundar di hadapan mereka kini hanya ditemani bunyi piring Evan. Tampaknya,  anak yang kata ibunya adalah seorang jenius itu tidak terlalu peduli dengan perdebatan di depannya. Adina pikir, mungkin Evan terlalu lapar.

"Mm, a-aku tidak terlalu masalah untuk sekolah di manapun itu. Maksudku, tidak mesti di Golden Lake." Adina merasa harus angkat bicara meskipun terpaksa. Mila mengangguk mantap, seolah ucapan Adina adalah jawaban mutlak dari sebuah soal esai.

"Maksudku begini, Nak, kau memang berhak untuk sekolah di sana karena sejak SD kau sudah ada di sana. Suasananya tidak terlalu asing, jadi kau bisa beradaptasi dengan cepat," kata Gary dengan lembut dan tenang meski piring Evan masih berbunyi nyaring.

"Baiklah, baiklah." Mila kembali bersuara. "Apa boleh buat kalau ternyata semua sudah terlanjur terjadi. Meskipun aku masih tidak suka kau melakukan sebuah tindakan tanpa sepengetahuanku," Mila mendelik ke arah Gary, "tapi aku akan sangat senang kalau Dina bisa memanfaatkan peluang ini. Maksudku, kau harus berusaha mendapat beasiswa di sana." Kini mata wanita itu menatap lurus Adina.

Ucapan Mila terdengar mengerikan untuk seorang gadis tanpa keahlian dan kepintaran berlebih seperti Adina. Melihat Adina yang diam saja, Mila seakan bisa menebak masa depan anak itu akan sarat tanpa prestasi apapun.

"Atau, jika itu terlalu berat, kau mungkin bisa mencari pekerjaan paruh waktu. Setidaknya untuk meringankan biaya semester depan." Mila masih berusaha merancang pengurangan uang yang akan keluar dari rekening suaminya.

"Ayolah Mila, tidak perlu terlalu menekannya," sanggah Gary.

"A-aku akan berusaha. Mungkin aku bisa diterima bekerja paruh waktu di Liberty ...."

"Kau tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Fokus saja dengan sekolahmu dulu. Kurasa, di sana akan menyenangkan. Ada beberapa teman lamamu yang masih sekolah di sana. Ah, aku ingat yang paling dekat denganmu dulu, yang punya gigi taring, siapa nama anak itu, Ev?"

"Shad. Namanya Shad, dan berhentilah memanggilku dengan nama cewek, Dad."

Ada tiga hal yang membuat Adina lega setelah mendengar jawaban Evan. Pertama, suara mengganggu dari piring itu sudah hilang. Kedua, paman dan bibinya mulai tertawa, yang berarti diskusi sudah selesai. Dan yang terakhir adalah yang paling tak disangka. Shad.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro