10: Kembang Api

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak seperti Adina dan Leah yang masih terpaku di tempatnya masing-masing, Brian dengan sigap melerai pergelutan di hadapannya, tetapi semua usaha itu sia-sia. Tenaga Ed terlalu kuat untuk dikalahkan. Ed terus mendorong Niki di tepi meja bundar, menimbulkan bunyi seretan yang memusingkan.

"Beraninya kau!"

Seruan Ed mengiringi sebuah tinjuan tepat di pelipis Niki. Selanjutnya, pukulan itu datang bertubi-tubi ke manapun yang dia inginkan, sementara Niki menerimanya tanpa perlawanan apa pun. Adegan itu tampak seperti sebuah tayangan ulang bagi Adina. Jika saat pertama kali dia hanya diam saja melihat Ed memukul Niki di koridor, maka kali ini, ada sebuah hasrat untuk melindungi Niki yang muncul dari rongga dadanya.

"Hentikan, Ed!"

Adina tidak tahu entah dari mana keberanian yang dia dapatkan untuk menyerukan dua kata tersebut. Dia juga tidak tahu apakah suaranya terdengar sampai ke ruangan sebelah ataupun ke lantai dasar. Yang dia tahu, setelah itu, Ed menghentikan serangannya. Kini, mata sipit itu menatap Adina dan segera, sebuah senyum puas terukir di bibir laki-laki itu.

"Menarik. Kau sekarang menjadi penghuni gedung ini?"

Di telinga Adina, suara Ed tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Dia melirik Niki, memastikan memar di wajahnya tidak terlalu parah.

"Itu bukan urusanmu," kata Niki lirih. Meski kesakitan, Niki berusaha berdiri tegak dan mendorong Ed hingga punggung Ed menyentuh dinding. Tangan kanan Niki menahan leher Ed, sementara tangan kirinya menahan bahu lelaki di hadapannya itu. Ed hanya memandangnya remeh. "Atas izin siapa kau masuk ke sini?" Suara Niki masih terdengar lirih, namun kali ini lebih percaya diri.

"Kau meremehkanku?" Hanya dengan sebuah dorongan, Ed berhasil keluar dari kungkungan Niki.

Sebelum semuanya kembali menjadi kekacauan yang lebih besar, Adina berlari ke arah mereka dan menarik tangan Ed. "Berhentilah membuat masalah di tempat ini," kata Adina tajam, lalu menghempaskan tangan itu sekuat yang dia bisa.

"Sepertinya kalian sangat bangga dengan semua ini." Ed mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruang studio. Untuk beberapa detik, dia menatap Adina yang masih menatapnya jenuh. "Aku sangat penasaran, seperti apa wajah kalian ketika melihat kanvas-kanvas ini menyatu dengan abu?"

***

"

Aku harap kau tidak membuang-buang waktu dengan hal tidak berguna."

"Sebenarnya, aku ikut klub melukis," kata Adina, mencoba menjelaskan perihal keterlambatannya pulang ke rumah, kepada bibinya.

"Itu bagus." Gary tersenyum antusias.

"Setelah mendapatkan komputer baru, sekarang kau akan meminta peralatan melukis baru?"

Adina mencoba mencerna kalimat Mila. Semua terasa cepat namun terlalu jelas. Dia hanya memberi kabar tentang keikutsertaannya dalam klub melukis, tetapi bibinya menganggap hal itu adalah sebuah beban. Gadis itu hanya berusaha mempertahankan senyumnya untuk merespon spekulasi terburuk yang pernah dikeluarkan bibinya.

"Mila, itu tidak terlalu masalah." Gary mencoba memberi pengertian.

"A-aku akan berusaha mendapatkan beasiswa dari sayembara." Adina menyudahi makan malamnya. Keinginannya untuk kembali ke kamar, seperti yang telah Evan lakukan sebelumnya, dia tahan demi menjaga sopan-santun.

"Kau baru bergabung dan sekarang berharap menang dalam perlombaan."

"Mila, biarkan Adina berusaha."

"Aku rasa, lebih baik kau mencari pekerjaan paruh waktu. Itu lebih pasti."

Sekarang, ucapan Mila seolah keluar dari mulut seseorang yang sedang kekurangan uang di rumah yang tidak kekurangan apa pun. Adina tidak mengerti kenapa dia terlalu serius mendengar ucapan bibinya. Seolah dirinya adalah kembang api dan bibinya berhasil menyalakannya hanya dengan kata-kata yang merendahkannya.

"Ya, aku akan berusaha." Adina memberanikan diri untuk meninggalkan meja makan sebelum percikan apinya semakin membesar.

***

Seharusnya Adina senang ketika melihat seperangkat komputer terpasang di samping meja belajarnya, tetapi bagaimana cara untuk menikmati itu semua jika semua yang ada di hadapannya terlihat kabur dari mata hitam kelabunya yang mulai berair. Semua isi rumah yang diinjaknya memang masih sama, hanya saja dia merasa bukan lagi menjadi bagian dari rumah itu. Adina mencoba mengendalikan napasnya dan segera duduk di tepi tempat tidur. Gadis itu meratapi harinya yang terasa kacau. Sindiran Jory di perpustakaan, serangan Ed di studio, dan sikap pamrih bibinya.

Adina hanya bisa menyesal. Menyesal karena keluarga ayahnya yang memungutnya, bukan keluarga ibunya. Menyesal karena belum cukup umur untuk tinggal sendirian. Menyesal karena usia orang tuanya terlalu pendek. Menyesal karena terlalu mendengar ucapan bibinya. Menyesal karena tidak tahu harus berbuat apa.

Aku tidak hidup untuk ini semua.

Adina mengambil ponselnya dan mencari kontak Kiera di aplikasi chat.

Adina: Bagaimana dengan video itu?

Kiera: Aman. Evan berjanji menyelesaikannya dalam dua hari.

Bahkan Evan tidak mengucapkan terima kasih.

Adina hendak membalas namun sebuah pesan masuk di akun email-nya.

Baiklah. Aku harap kau tidak lupa jalan untuk ke sana.

Setiap kembang api akan padam dengan sendirinya, tetapi percikan api di dalam diri Adina padam hanya dengan balasan email dari Shad.

Shad, bisakah kita tidak berkirim pesan lewat email? Ini terasa kuno.

Selanjutnya, Adina menambahkan nomor ponselnya di balasan tersebut. Dia tidak terlalu berharap kalau pesannya akan dibalas secepat yang dia inginkan. Dia juga tidak berani berharap kalau nomor yang tiba-tiba tertera di ponselnya adalah nomor Shad.

"Halo." Adina mengangkat panggilan telepon itu.

"Jadi, kau tidak lupa dengan jalan menuju Liberty?"

Sekarang Adina sangat yakin, kalau yang sedang didengarnya adalah suara Shad. Menyadari senyuman yang kembali merekah, Adina mengerti kalau dia telah salah paham. Shad bukan hanya memadamkan percikan api di dalam dirinya, tetapi juga menyalakannya kembali. Namun nyala itu menyadarkan Adina akan suatu hal. Ada bunga api yang indah di balik panas yang dia rasakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro