Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Abaikan typo, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Hara membolak-balik majalah di pangkuannya dengan gelisah. Matanya sesekali terarah pada pintu masuk, meskipun tidak ada suara mesin kendaraan yang terdengar memasuki halaman. Dia juga sudah berkali-kali melirik pergelangan tangan. Seharusnya Pelita dan Robby sudah selesai nonton. Mengapa mereka belum kembali juga?

Hara tahu Pelita akan aman saja bersama Robby, karena meskipun terkesan tertutup, kelihatannya laki-laki itu tampak perhatian kepada Pelita. Dia tidak mungkin menawarkan diri mengajak Pelita nonton kalau tidak peduli, kan? Hara lebih khawatir Pelita akan membuat Robby sebal dan tidak nyaman dengan kecerewetan anaknya. Pelita selalu berlebihan. Mungkin saja tidak semua orang bisa menerima sikap itu.

"Mereka belum pulang?" Inggrid muncul dan mengambil tempat di depan Hara. "Jangan khawatir, mereka pasti baik-baik saja."

"Saya hanya nggak enak kalau Pelita menyusahkan Mas Robby, Dok. Dia cerewet banget." Hara mengemukakan pikirannya terus-terang.

Inggrid tersenyum. "Pelita itu manis banget. Dia nggak akan menyusahkan. Oh ya, kamu harus berhenti memanggil saya dengan sebutan itu. Sudah beberapa kali saya bilang, panggil Ibu saja. Kita nggak sedang di kantor."

Inggrid memang sudah sering mengingatkan Hara soal sapaan itu. Hanya saja, Hara masih sungkan mengubah panggilannya. Kadang-kadang dia memang berusaha menata kalimat dan mencoba menghindari kata sapaan saat bicara dengan Inggrid.

"Saya harap kamu nggak keberatan kalau Robby mendekati Pelita." Inggrid terdiam, mendesah beberapa kali, seolah mencari kata-kata yang cocok untuk melanjutkan kalimatnya. "Ini pertama kalinya dia tertarik kepada orang lain setelah sekian lama."

Hara sama sekali tidak mengerti apa yang Inggrid katakan, tetapi tidak menyela untuk menanyakan. Dia hanya duduk terpaku.

"Saya melakukan satu kesalahan fatal di masa lalu dan Robby kehilangan banyak hal karenanya," lanjut Inggrid. Dia memang seperti tidak membutuhkan respons Hara.

Hara masih tidak mengerti.

"Dulu, pacar Robby hamil." Inggrid menerawang, seperti sedang menggali kenangan yang meyakitkan. Terlihat jelas dari rautnya yang tidak nyaman. "Waktu itu mereka masih sangat muda, dan saya salah menangani situasinya. Yang saat itu terpikir oleh saya adalah menyelamatkan masa depan Robby, tidak terlalu melihat dari sudut pandang pacar dia."

Sekarang Hara bisa menangkap dengan jelas. Dan dia sedikit menggigil. Bukan karena AC yang memang cukup dingin, tetapi kesadaran bahwa kisah yang sedang diceritakan dokter Inggrid ini terasa familier. Dia kenal seorang perempuan yang tidak diinginkan oleh ibu kekasihnya.

"Pacar Robby lantas menghilang dan Robby menyalahkan saya. Iya, memang sepenuhnya salah saya."

Jadi itu alasan mengapa Hara tidak menemukan foto pernikahan Robby di rumah ini, padahal ada foto pernikahan kedua kakaknya.

"Seperti yang kamu sudah tahu, pacar Robby dan anak mereka meninggal di Sulawesi. Dia mengalami Post Partum Depression. Belum sempat mendapat terapi saat dia memutuskan mengakhiri hidup dengan membawa bayinya." Inggrid menyusut mata. "Dia ke sana menyusul kakaknya untuk menghindari Robby. Namanya Desha, dia adik Mika."

Hara tidak bisa menahan bibirnya yang sedikit terbuka. Itu memang terdengar mengejutkan. Keluarga tempatnya menumpang ini ternyata punya kisah yang rumit. Robby pasti masih menyalahkah ibunya. Hara bisa melihat dari kakunya hubungan mereka. Anehnya, laki-laki itu terlihat lebih dekat dengan Mika dan ibu perempuan itu, padahal seharusnya tidak seperti itu. Apakah Mika dan ibunya tidak sakit hati dengan kehilangan mereka?

"Mika dulu menolak Rajata karena kepergian Desha dan bayinya," Inggrid melanjutkan, seolah bisa membaca kebingungan Hara. "Kalau dipikir lagi, mereka bisa bersama seperti sekarang adalah keajaiban, setelah sekian banyak air mata, sakit hati, dan kehilangan yang memisahkan. Tapi itulah hidup. Pelan-pelan, semua orang melanjutkan hidup. Tidak, tidak semua. Robby masih belum menerima kehilangannya."

Keheningan mengisi ruangan itu setelah Inggrid juga terdiam. Benar-benar senyap yang bisu. Hara bahkan menarik dan mengembuskan napas sepelan mungkin, takut menghancurkan hening yang terpeta. Dia tidak bergerak sedikit pun.

"Saya menceritakan ini untuk meminta pengertian kamu dan membiarkan Robby mendekati Pelita." Akhirnya Inggrid sendirilah yang memecah kebisuan. "Dia mungkin teringat pada anaknya sendiri yang tidak pernah dilihatnya."

Ingatan Hara terbang saat dia melihat Robby bersimpuh dengan bahu terguncang di makam. Kelihatannya itu memang kehilangan yang berat. Bayaran untuk kesalahan yang sudah dia lakukan. Setiap orang memang harus membayar kesalahan, kan? Seperti dirinya sendiri yang tertatih-tatih menapak hidup untuk menghidupi anaknya. Termasuk dengan bergantung pada belas kasih orang lain. Satu kesalahan, dan dia mengorbankan harga diri untuk menghadapinya.

"Ayah Pelita benar-benar nggak pernah menghubungimu?" Inggrid membelokkan arah percakapan.

Kali ini Hara mempermainkan jari-jari di atas pangkuan. Kalau tadi dia menggigil, sekarang rasanya sedikit panas. Dia pernah bercerita sedikit kepada Inggrid dan Mika sebelum setuju pindah ke rumah ini. Dia berterus-terang kalau dia tidak pernah menikah, dan waktu itu, baik Inggrid atau Mika tidak menanyakan lebih lanjut. Mereka terlihat menghargai privasinya. Tidak ada tatapan meremehkan atau penghakiman. Sekarang Hara bisa mengerti mengapa. Baru kali ini Inggrid mengungkit hal itu.

Hara mengembuskan napas melalui mulut, menghalau mata yang terasa panas. "Dia... dia nggak pernah tahu saya hamil," katanya lirih. Sedikit kasar, dia mengusap pipi. Air mata sialan.

Mata Inggrid membesar. Dia berpindah di sisi Hara. "Kenapa kamu nggak bilang sama dia? Kamu nggak harus menanggungnya sendiri."

"Ibunya... ibunya datang dan mengatakan bahwa saya bukan orang yang cocok untuk anaknya." Pipi Hara benar-benar basah sekarang, air matanya tak bisa dihalau oleh jari-jari dan punggung tangan. "Saya tetap nggak akan diterima meskipun bermaksud menjebak anaknya dengan kehamilan. Bagaimana saya bisa mengatakan kalau saya hamil? Saya sudah ditolak sebelumnya."

Inggrid spontan memeluk Hara. Perasaan bersalah serta-merta kembali mendera. Ini seperti déjà vu. Dia kembali diingatkan tentang bagaimana dia menolak dan membuat Desha memutuskan menghilang. Sakit hati gadis itu pasti teramat sangat besar. "Mereka akan menyesal sudah menolakmu. Pasti." Seperti penyesalannya yang tidak putus-putus. Dia kehilangan calon menantu dan cucu. Anaknya masih ada, tetapi tidak benar-benar terhubung lagi dengannya. Miris. Hanya saja, dia harus menerima akibat untuk apa yang sudah dia lakukan.

"Saya nggak mau berhubungan dengan mereka lagi." Hara menggeleng kuat-kuat. "Saya harap, saya nggak perlu bertemu mereka lagi. Saya bisa menghidupi Pelita. Sekarang saya mungkin belum semandiri yang saya inginkan karena masih tergantung kepada orang lain, tetapi saya yakin, nanti kami akan baik-baik saja berdua."

"Kalian nggak hanya berdua." Inggrid mengusap punggung Hara. "Kalian punya kami semua. Kamu dan Pelita sudah menjadi bagian dari keluarga. Nggak usah berpikir macam-macam. Tempat kalian di sini. Cara orang saling menemukan itu bermacam-macam, dan takdir sudah membawa kalian ke sini. Kalian nggak akan ke mana-mana lagi."

Air mata Hara semakin deras. Dia punya pemikiran yang berbeda, karena tidak berniat menggantungkan diri selamanya, tetapi dia memilih tidak mengungkapkannya. Nanti saja, ada waktunya sendiri.

Hara akhirnya berhasil menenangkan diri saat Inggrid kemudian kembali ke kamarnya. Perempuan itu terlihat bergumul dengan emosinya sendiri. Hara bisa merasakan pergulatan batinnya. Pasti tidak mudah hidup dengan membawa penyesalan.

Suara halus mesin kendaraan yang berhenti persis di depan teras membuat Hara berdiri untuk membuka pintu. Memang mobil Robby. Hara melihat laki-laki itu keluar dari pintu sopir dan memutar ke pintu di sebelahnya. Sesaat kemudian, dia sudah menggendong Pelita dan berjalan menuju Hara.

"Dia ketiduran," katanya menjelaskan. "Mungkin kekenyangan. Tadi kami mampir makan setelah nonton. Makanya agak lama."

Hara mengulurkan tangan. "Sini, biar saya gendong."

Robby terus berjalan masuk, melewati Hara. "Nggak apa-apa. Biar saya antar ke kamarnya. Di atas, kan?"

"Iya." Hara membuntuti dengan kikuk. "Maaf kalau dia merepotkan. Dia cerewet banget." Entah sudah berapa kali dia mengulang hal yang sama setiap kali membicarakan Pelita.

Robby tidak menjawab.

Hara tergesa mendahuluinya untuk membuka kamar. Dia menunjuk ranjang. "Baringkan di sini saja." Bodoh, memangnya mau dibaringkan di mana lagi, di lantai?

Robby perlahan meletakkan tubuh Pelita di atas ranjang. Setelah itu, dia berdiri tegak dan mengawati gadis kecil yang tampak lelap itu. Dia begitu tenang, tidak terlihat seperti anak yang tidak bisa berhenti bicara yang bersamanya tadi. "Dia sama sekali nggak merepotkan kok. Kami... kami bersenang-senang tadi." Dia lantas berbalik dan pergi, tidak menunggu Hara merespons.

Hara mengikutinya dengan pandangan, sampai akhirnya Robby menutup pintu kamar dari luar. Laki-laki dan penyesalan yang mendalam. Tidak banyak yang seperti itu. Setidaknya, laki-laki yang pernah dikenalnya tidak seperti itu. Tanpa sadar dia mendesah. Mengapa dia harus teringat lagi? Tolol!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro