Enam Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Robby mengawasi perempuan yang tampak tenggelam dalam lamunan di depannya. Entah apa yang dia pikirkan.

"Menolak seseorang dengan alasan jujur mungkin nggak gampang, tapi itu jauh lebih baik daripada berbohong. Karena sekali kamu berbohong, maka kebohongan itu akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan di awal tadi," Robby memutuskan mengulang ucapannya, karena tidak yakin perempuan itu menyimak apa yang dia katakan tadi. Ibu Pelita itu masih tampak terguncang. Reaksi yang sepertinya terlalu berlebihan kalau laki-laki tadi hanya sekadar mantan pacar yang hendak dihalau.

"Saya... saya hanya nggak mau dia bertemu Pelita." Hara tahu dia seharusnya tidak perlu menjelaskan urusan pribadinya kepada Robby. Hanya saja, anak dokter Inggrid itu seperti menyalahkan keputusan Hara untuk melibatkannya. Kalau saja Robby tidak muncul tadi, Hara tentu tidak akan membawa-bawa dia. Robby hanya kebetulan hadir di saat yang tepat saat dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan tameng.

"Dia ayah Pelita?" tebak Robby. Kalau tebakannya benar, berarti laki-laki tadi adalah mantan suami Hara dan perempuan itu tidak hendak berbagi hak asuh Pelita dengannya. Pasti perpisahan mereka buruk. Biasanya kalau pasangan berpisah baik-baik, hak asuh anak tidak pernah menjadi masalah.

"Dari mana kamu tahu?" Hara sama sekali tidak menduga Robby akan sampai pada kesimpulan itu setelah hanya bertukar beberapa kalimat. Apakah dia begitu gampang terbaca?

"Hanya tebakan." Robby mengedik, seolah apa yang dikatakannya tidak penting. "Jadi, beneran dia ayah Pelita?"

Meskipun tidak ingin, Hara akhirnya mengangguk. Berbohong di saat seperti ini tidak akan menolong. "Iya, dia ayah Pelita."

Entah mengapa, keputusan Hara untuk menjauhkan Pelita dari ayahnya mengusik Robby. Dia tahu kalau itu sama sekali bukan urusannya meskipun Hara keluarganya, dan sekarang tinggal di rumah orangtuanya. "Kamu seharusnya nggak membatasi pertemuannya dengan Pelita. Hubungan kalian sebagai pasangan bisa saja berakhir, tapi hubungan ayah dan anak tidak akan pernah dan boleh terputus begitu saja."

Hara mundur lagi, membuat jarak yang semakin jauh. Kata-kata Robby yang menyalahkan terasa menohoknya. "Sejak awal dia nggak pernah menginginkan Pelita," katanya membela diri. "Jadi, wajar kan kalau sekarang saya nggak ingin dia tahu tentang keberadaan Pelita? Dia sama sekali nggak berhak atas diri Pelita. Hanya saya yang boleh memiliki Pelita."

Robby terkesiap. Jawaban Hara di luar dugaannya. "Kalian nggak menikah?" Ini memang seperti mengorek informasi pribadi Hara, dan biasanya dia tidak suka melakukan hal seperti itu. Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan pertahanan dirinya. "Mengapa?"

Pertanyaan itu membuat emosi Hara semakin tumpah ruah. Dia mengusap mata yang terasa basah. Dia tidak suka menangis di depan orang asing, dan meskipun Robby adalah anak dokter Inggrid, tempatnya sekarang menumpang, laki-laki itu tetap saja orang asing. "Mengapa? Karena saya hanyalah godaan sesaat yang mampir dalam hidupnya. Karena ibunya meyakinkan saya kalau anaknya tidak butuh orang seperti saya. Tidak ada satu alasan pun yang membuat saya pantas untuk hadir dalam hidup mereka."

"Mereka nggak tahu kamu... hamil?" Gambaran itu seperti meremas hati Robby. Ini seperti mengingatkan dia kepada Dhesa yang ditolak ibunya.

"Memangnya akan ada bedanya kalau mereka tahu? Ibunya sudah mengatakan jika seandainya saya hamil sekali pun, saya nggak akan dibiarkan masuk kehiduppan mereka. Kehamilan hanya menegaskan kalau saya benar-benar hanya perempuan murahan. Jadi, lebih baik membiarkan mereka nggak pernah tahu."

Robby merasa dia harus berpegang pada sandaran sofa di dekatnya. Sedikit banyak, kisah Hara dan Desha tampak mirip. Mereka sama-sama menerima penolakan. Bedanya, Robby dan ibunya tahu kalau Desha hamil. "Maaf, saya tidak tahu."

Hara kembali mengusap mata. "Saya sebenarnya nggak mau membahas ini dengan orang lain kalau situasinya nggak kayak gini. Menceritakan aib sendiri sama sekali nggak gampang."

Robby tidak segera merespons. Dia bukan orang yang percaya karma, tetapi rasanya sedikit menyentil saat tahu dia menyebabkan Desha harus menderita, dan saudaranya yang lain mengalami hal yang sama. Penerimaan mereka terhadap kehamilan memang berbeda –mungkin karena pengaruh umur— tetapi harga diri mereka yang terluka tetap saja sama.

Ponsel Hara yang berdering membuyarkan keheningan yang sempat tercipta. Hara melihat ponselnya lalu bergerak mundur, semakin menjauhi Robby. " Saya harus ke bawah. Terima kasih untuk bantuannya tadi." Dia setengah berlari menuju tangga.

Robby terus mengawasinya sampai menghilang di balik pintu. Rasanya aneh saat saudaranya itu kembali mengingatkannya kepada Dhesa.

**

Robby tidak tahu persis apa yang membuatnya menyetir ke rumah orangtuanya sepulang kantor. Biasanya dia menghindari ke sana kalau tidak ada keperluan yang sangat penting. Terakhir kali dia tinggal lumayan lama di sana adalah saat proses penyembuhan cedera setelah kecelakaan lalu lintas yang dialaminya. Begitu sembuh, dia segera kembali ke apartemennya. Rasanya masih sulit menghadapi ibunya sendiri, terutama setelah tahu dia tidak akan pernah bertemu Dhesa dan anak mereka lagi. Dia sudah menerima kehilangannya, tetapi sakitnya tidak serta-merta menghilang. Lubang itu masih menganga.

Saat mobilnya memasuki pintu gerbang dan melewati pos satpam, Robby melihat Pelita di halaman bagian samping rumahnya. Seketika dia mengerti alasan mengapa dia datang ke sini. Untuk melihat Pelita. Entah mengapa, anak cerewet itu beberapa kali hinggap dalam benaknya setelah percakapan emosional dengan Hara di atap rumah sakit kemarin.

Robby memarkir mobil dan menuju ke halaman samping, tempat Pelita sedang bermain ayunan. Ibunya pasti sudah berada di dalam rumah juga. Ada mobilnya di garasi, dan Robby malas memulai basa-basi.

"Om Robby... Om Robby...!" Pelita turun dari ayunan dan berlari menyongsong Robby, seolah mereka memang sangat akrab.

Robby menatap anak itu. Kalau anaknya masih hidup, umurnya pasti tidak jauh berbeda dengan Pelita. "Hai..." Apakah dia harus mengusap kepala Pelita seperti yang selalu dilakukan Mika saat bertemu dan bicara dengan anak itu? Tapi rasanya akan aneh. Dia tidak pernah dekat dengan anak kecil.

"Om Robby datang makan, ya?" Pelita sudah memegang tangan Robby sebelum dia memutuskan apakah akan memegang kepala anak itu atau tidak. "Tapi makanannya belum siap tuh, Om. Pelita dong mau makan sate. Tadi udah dibikinin sama si-Mbak. Tapi kata Mama, makannya harus tunggu Eyang dulu. Mama nggak asyik deh."

Robby tersenyum. "Kalau sudah lapar, bisa minta makan duluan kok."

"Mama pasti bilang nggak sopan." Pelita cemberut, seolah mengadukan ibunya. "Mama banyak nggak bolehnya. Nggak asyik deh. Oh ya, Pelita dong, sekarang udah jago berenangnya. Om Robby nggak mau berenang?"

Anak ini benar-benar melompat-lompat saat membicarakan sesuatu. "Ini sudah malam untuk berenang, kan?" Robby menjawab tanpa merasa terpaksa seperti biasa. "Anak kecil nggak boleh berenang malam-malam." Apakah anak ini tidak pernah bertanya-tanya tentang ayahnya? Pertanyaan itu menyelinap dalam benak Robby. Untuk anak seaktif dan secerewet Pelita, dia pasti ingin tahu mengapa dia tidak punya anak seperti teman-temannya yang lain.

"Iya sih." Wajah Pelita kembali tertekuk. "Pasti nggak boleh sama Mama. Mama kan nggak asyik gitu." Dia mengedik pasrah. Bahunya melorot.

"Kamu datang, Rob?" suara itu membuat Robby menoleh ke pintu di teras samping. Ibunya berdiri di dekat kusen pintu.

"Om Robby datang buat makan, Eyang," Pelita yang menjawab. Bahunya sudah tegak lagi. Dia setengah menarik tangan Robby untuk masuk ke rumah. "Boleh makan sekarang, Eyang? Kasihan Om Robby-nya udah lapar banget. Iya kan, Om?"

"Tentu saja boleh." Inggrid tersenyum kepada Pelita. Dia tahu kalau kalimat tadi hanya karangan anak itu. Robby tidak datang ke sini kalau hanya butuh makanan. Jujur saja, kedatangannya malah mengagetkan Inggrid. Dia tadi tidak melihat Robby masuk lewat pintu depan, dan tiba-tiba saja sudah bercakap-cakap bersama Pelita di taman samping rumah. "Ayo kita makan sekarang."

Pelita meloncat-loncat. "Asyik. Om Robby boleh kok makan sate Pelita, asal jangan banyak-banyak."

"Pasti satenya cukup kok," Inggrid mengusap kepala Pelita yang sudah menggapai tangannya, sementara tangannya yang lain masih menarik Robby. Hal itu membuat Inggrid merasa terhubung dengaan anaknya. Sudah lama dia merasa kehilangan koneksi dengan Robby. Jadi, meskpun dalam hati dia merasa waswas dengan kedatangan Robby, karena sudah lama anak itu tidak menginjak rumah ini dengan alasan spontanitas, ada perasaan hangat di hatinya melihat Robby.

"Pelita panggil Mama dulu, ya." Pelita melepaskan tangan Robby dan Inggrid saat mereka sampai di kaki tangga.

"Jangan lari di tangga, Pelita!" Inggrid berseru mengingatkan saat melihat Pelita yang bersemangat mulai menapaki anak tangga. "Nanti jatuh!"

"Nggak jatuh dong, Eyang!" Pelita menjawab nyaring. "Pelita udah biasa kok."

Inggrid lantas mengalihkan perhatian kepada Robby. "Kamu duluan di meja. Biar Mama panggil Papa kamu dulu."

Robby mengikuti langkah ibunya yang menjauh dengan pandangan. Apakah ibunya tahu kisah Hara? Lalu bagaimana perasaan ibunya saat tahu keluarga mereka ada yang menerima penolakan seperti Dhesa? Tapi tentu saja Robby tidak akan menanyakan soal itu.

Robby tahu ibunya menyesali kejadian Dhesa, tetapi memaafkan secara ikhlas masih tetap sulit. Dia menjadi alasan Robby merampok hidup Dhesa. Juga mengambil kebahagiaan Mika dan Gita. Ya, dia sudah dimaafkan, tetapi ganjalan itu tetap saja masih terasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro