Bab 1 Tak Ada Pilihan Selain "Iya"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ridha Rabb tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani).

Sore itu usai pulang bekerja Mutia memilih menyibukkan dirinya dengan membaca novel yang ia beli tempo hari setelah ia membersihkan diri. Ia duduk selonjor di sofa kamarnya.

"Hemm ... Baca novel saja lah dari pada bosen," gumam Mutia sembari meraih sebuah novel.

Sayup - sayup ia mendengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Ia pun membuka gorden mengintip siapa tamu yang datang.

"Sepertinya ada suara mobil, siapa ya yang datang?" ucap Mutia penasaran.

Mutia tersenyum kala melihat tamunya adalah Ustad Imam dan istrinya yang merupakan sahabat dekat kedua orang tuanya sekaligus mertua dari sahabatnya- Anissa. Ia menutup kembali gordennya dan melanjutkan kembali kegiatan membacanya.

Selang beberapa menit kemudian ia mendengar ketukan pintu.

Tok tok tok

Pintu kamar Mutia diketuk dari luar bersamaan dengan suara sang ibu yang memanggilnya.

"Mutia," panggil sang ibu.

"Mutia, kemarilah Nak," ulang seorang wanita paruh baya lembut.

Dia adalah Fitri ibu dari Ikhsan dan Mutia. Wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik meski usianya sudah tak lagi muda.

"Ada apa, Bun?" jawab Mutia santun.

"Ada Ustad Imam dan Bu Anna di luar beliau ingin bertemu denganmu Nak, segeralah keluar," pinta Fitri.

"Oh, kok tumben ada apa memangnya Bun?" tanya Mutia merasa aneh.

"Temui saja dulu," pinta Fitri yang dibalas anggukan kepala oleh Mutia.

Mutia merapikan hijabnya lantas berjalan mengikuti langkah sang ibu menuju ruang tamu. Mutia tersenyum ramah menyapa seorang pria paruh baya dan sang istri yang duduk di sofa bersama ayahnya.

"Assalamualaikum Ustad Imam dan Bu Anna, bagaimana kabarnya?" sapa Mutia santun sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Walaikum salam, Nak Mutia, kabar kami baik," sahut Anna sembari tersenyum simpul.

"Duduklah di sini Nak, kami ingin bicara denganmu," ucap Abdul menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya.

Mutia pun menurut, ia bergerak mendekat dan duduk di samping sang ayah. Ia mendengar baik-baik obrolan sang ayah dengan ustad Imam yang bercerita tentang kondisi Anissa saat ini. Sungguh ia sangat iba mendengarnya.

"Masyaallah jadi sekarang Anissa depresi Ustad?" tanya Mutia tak percaya.

Ustad Imam mengangguk pelan dengan sorot mata yang menggambarkan kesedihan. Mutia tahu persis Anissa adalah menantu kesayangan Ustad Imam dan Bu Anna jelas saja mereka sedih dengan keadaan Anissa saat ini.

"Kalau boleh tau kenapa Anissa bisa sampai depresi?" tanya Mutia penasaran, Mutia benar-benar tak tahu menahu kabar dari sahabatnya ini yang ia tahu hanya Anissa bahagia menikah dengan Adam suaminya,  itu saja. Pasalnya sejak menikah dengan Anissa jarang sekali bergabung dalam acara acara yang sering ia adakan bersama para sahabatnya.

Bu Anna seperti sedang mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Bu Anna lantas menyodorkan selembar kertas yang terlipat kepada Mutia.

"Sebenarnya kami kemari karena ini, Mut," ucap Anna dengan raut wajah sedihnya.

Mutia mengernyitkan dahinya. Ia menerima kertas tersebut lantas membacanya. Air matanya turun begitu saja meresapi kata demi kata yang ditulis oleh sang sahabat. Ia tak menyangka di balik senyuman yang selalu ditampilkan Anissa dulu ada luka yang harus ia tanggung sendiri. Kini ia mengerti mengapa Anissa sampai sedepresi ini. Namun ada satu kalimat yang membuat Mutia terhenyak.

"Menikahlah dengan suamiku dan berikanlah keturunan untuknya."

Mutia melipat kembali kertas tersebut sembari mengusap air matanya.

"Sebenarnya sudah sejak lama Anissa memohon kepada kami agar memintamu untuk menjadi istri Adam tapi kami menolaknya karena kami tahu itu akan menyakitkan untuk kalian berdua," tutur Anna sembari mengusap tangan Mutia.

"Tapi untuk kali ini kami memohon kepadamu. Tolong menikahlah dengan putra kami Adam," pinta Anna dengan tulus.

Sejenak Mutia terdiam, ia menoleh ke arah orang tuanya mencoba meminta bantuan kedua orang tuanya. Namun yang ia lihat justru anggukan kepala dari kedua orang tuanya.

"Menikahlah dengan putra Ustad Imam Mutia!" permintaan tersebut sukses membuat Mutia terkejut.

Ia membelalakkan mata terkejut mendengar permintaan sang ayah itu. Ia tak percaya kedua orang tuanya memintanya menikah dengan suami sahabatnya sendiri.

"Ayah ... Bunda, kalian bercanda kan?" ucap Mutia tak percaya.

Ilyas dan Fitri menggeleng "Kami ...." ucapan keduanya menggantung.

"Dia suami dari Anissa, Yah ... Bun, sahabat Mutia. Meskipun Anissa meminta tapi bagaimana bisa? Menjadi yang kedua itu menyakitkan, Yah ... Bun!" ucap Mutia dengan berderai air mata.

Fitri meraih tubuh sang putri lalu memeluknya dengan erat untuk memberikan ketenangan hati. Ia tahu persis bagaimana perasaan Mutia. Ia tahu apa yang ada di dalam fikiran Mutia saat ini bagaimana pun dia juga adalah seorang perempuan tentu ia tak kan mau untuk menjadi yang kedua. Namun entah mengapa hati Fitri merasa yakin dan mantap menjodohkan Mutia dengan Adam, bukan karena Adam putra sahabatnya tetapi ia tahu Adam adalah lelaki yang baik dan akan adil sehingga ia bisa membahagiakan Mutia serta membimbingnya menuju kebaikan.

"Bunda yakin Adam bisa membuatmu bahagia dan mampu membimbungmu menuju kebaikan, Sayang."

"Apakah Bunda dan Ayah bahagia melihat Mutia menikah dengan Mas Adam?" tanya Mutia dengan mata berkaca-kaca.

Fitri mengangguk mantap yang membuat Mutia tak punya lagi jawaban selain "iya"  Mutia memejamkan matanya sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam sembari menimbang ulang jawaban sang ibu.

"Baiklah ... Jika itu membuat Ayah dan Bunda bahagia Mutia akan mencoba untuk ikhlas," ucap Mutia pada akhirnya.

Anna tersenyum bahagia. Ia lantas memeluk tubuh mungil Mutia dan memberikan kecupan di kedua pipinya sebagai ucapan terima kasihnya.

"Terima kasih, Sayang. Umi janji padamu dan di hadapan kedua orang tuamu bahwa kami tidak akan membeda-bedakan dan kamu juga akan memperoleh kebahagiaan dari kami," ucap Anna sungguh sungguh.

"Sama-sama, Bu," ucap Mutia lembut.

"Umi ... Panggil aku Umi ya? Kamu akan segera menjadi putri kami," ucap Anna mengusap lembut pipi Mutia.

"Baiklah ... Sebaiknya pernikahannya disegerakan saja," ucap Ustad Imam.

"Nanti saya akan bicarakan hal ini dengan Adam dulu, Yas. Kami akan datang lagi untuk mengkhitbah Mutia," lanjut ustad Imam.

"Iya Mam, kami akan menunggu kedatanganmu dan nak Adam untuk mengkhitbah putri kami," ucap Ilyas dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Baiklah kalau begitu kami pamit pulang dulu, kami harus segera memberitahukan kabar baik ini kepada Adam dan juga harus segera mempersiapkannya," ucap ustad Imam berpamitan.

"Iya Mam silahkan."

"Kami pamit dulu ya? Assalamu'alaikum," pamit ustad Imam.

"Waalaikum salam ... Hati-hati di jalan, Mam." Ustad Imam hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.

Mereka semua berjalan menuju ke depan rumah untuk mengantar Ustad Imam dan Anna pulang. Sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil Anna membalikkan tubuhnya lantas menghampiri Mutia. Ia meraih kedua pipi Mutia mengusapnya lembut lantas memeluknya dengan sayang serta berbisik kepada Mutia yang membuat Mutia tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro