14 : Babak Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hayo! Naya ngelamun!" suara Hara membuat Naya tersentak. Ia mendongak, melihat Dini, Eli, dan Hara yang sudah berdiri di sampingnya sedang memandangnya sambil menahan senyum. Pipi Naya memerah dan ia menghindari tatapan ketiga temannya.

"Mikirin apa sih, Nay? Akhir-akhir ini kamu banyak ngelamun, tahu," tanya Eli sambil beranjak duduk di depan Naya.

"Ya iyalah kebanyakan ngelamun. Karena apa? Mikirin kak Ares lah," ujar Dini.

"Ciee, emang udah mulai latihan, Nay?" tanya Hara.

Naya menggeleng, "Belum kok, Ra. Kemarin kak Ares menghubungiku, mungkin besok sepulang sekolah."

"Ehem ehem. Latihan nyanyi sama kakak tampan pasti betah, tuh," goda Eli sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Naya.

"Apaan sih kalian? Nggak gitu juga, lah. Oh, iya, kalian nggak ke kantin?" tanya Naya.

"Masih males, Nay. Rasa-rasanya, aku jadi trauma mau ke kantin kalau inget kamu pernah dipermalukan di sana," ucap Eli.

"Sama," imbuh Dini, "eh! Aku baru inget Nay." Dini menarik kursi dan duduk di sebelah Naya, Hara juga mengikuti. "Ada lowongan part time di cafe, nerima anak SMA. Deket pula dari asrama, jadi nggak makan biaya transpor. Lumayan lho kalau kamu mau."

"Oh, ya? Mau lah, Din," ujar Naya bersemangat, "tapi, kenapa nggak kamu ambil aja?"

"Enggak, Nay. Beberapa hari ke depan, aku bakal sibuk mempersiapkan acara diklat dan pertandingan klub voli. Mendingan kamu cepat masukin lamaran sebelum ditutup. Bentar, aku kasih lihat informasinya yang kufoto."

Dini mengeluarkan ponselnya, beberapa waktu kemudian ia memperlihatkan foto yang dimaksud kepada Naya.

"Mau banget, Din. Oke nanti sepulang sekolah aku langsung ke sana, kirim fotonya ke aku, ya.Thanks banget infonya," kata Naya.

"Sip!"

"Eh, ngomong-ngomong tentang informasi, aku baru ingat kalau di klub aku dikasih tugas buat meliput klub sepak bola," ujar Hara.

"Hah?! Klub sepak bola?? Klubnya kak Elang?!" tanya Eli dengan mata membeliak.

Hara mengangguk lesu, bibirnya manyun. "Iya, dengar-dengar bakal ada pemilihan ketua klub yang baru, aku dan seorang temanku ditugasin buat nyari informasi yang nantinya buat bahan mading rubrik berita klub." Pandangan Hara beralih ke Naya, "Nay, kamu kan pernah ke ruang klub sepak bola, paling enggak kamu kenal anggota-anggotanya. Nanti atau besok mau antar aku, kan? Aku belum kenal siapapun di sana," ujar Hara memelas.

Naya mengangguk, "Iya, aku baru sekali ke sana, sih. Tapi nanti kita temui aja kak Bimo atau kak Adit. Mending daripada minta izin langsung ke kak Elang."

"Eeehhh!!!" suara Eli mengagetkan ketiga temannya, pandangan Eli mengarah ke pintu kelas.

Dini, Hara dan Naya mengikuti arah pandang Eli, "Apaan sih, El? Ngagetin tahu, nggak ada apa-apa juga. Nggak usah teriak kali, El," ujar Dini.

"Jangan-jangan aku cuma berhalusinasi," kemudian Eli melihat beberapa teman sekelasnya yang berada di luar koridor gaduh, "ralat. Kayaknya aku nggak berhalusinasi."

Hara, Dini, dan Naya saling berpandangan dengan tatapan bertanya. Hara mengibaskan tangan di depan wajah Eli, "El, ada apaan, sih?"

Eli mengalihkan perhatiannya kepada Hara, Dini, dan Naya bergantian, "Kalian nggak dengar apa di luar banyak yang berisik?"

"Kan kalau istirahat juga mereka yang di koridor selalu berisik," ujar Dini.

Eli gemas, "Duh, mendingan keluar aja, yuk." Tanpa mengacuhkan pandangan bertanya dari teman-temannya, Eli beranjak keluar kelas. Hara, Dini, dan Naya mengikuti. Setelah sampai di luar kelas, mereka mengikuti arah pandang sebagian siswa-siswi yang mengarah ke kelas X-3. Dan akhirnya mereka tahu apa yang sebenarnya menyita perhatian. Di antara siswa-siswi yang berlalu lalang dengan garis ujung lengan seragam warna hijau, ada seseorang yang berwarna lain. Elang terlihat mengobrol di depan pintu kelas X-3 dengan seorang gadis.

Sadar bahwa kelasnya menjadi pusat perhatian, mulut Hara membuka lebar-lebar, "Luna?"

"Hah? Luna?" ulang Eli yang sama terkejutnya dengan Hara.

"Hah? Siapa?" tanya Dini sambil melihat kedua temannya itu dengan tatapan heran.

Hara menunjuk gadis yang sedang berbicara dengan Elang, "Itu Luna, teman sekelasku."

"Iya, itu Luna, dia yang berperan jadi Sinta di pertunjukkan teater," imbuh Eli.

Mulut Naya dan Dini membentuk huruf O.

"Jadi itu toh yang membuat heboh," ujar Naya.

"Makanya aku tadi kaget, aku melihat sekilas kak Elang melewati kelas kita. Kukira aku cuma berhalusinasi, ngapain juga dia ke gedung kelas sepuluh. Eh, ternyata beneran dan dia ke kelas sepuluh tiga," terang Eli.

Perhatian mereka berempat masih ke arah Elang dan Luna yang mengobrol sambil sesekali tertawa.

"Pantesan aja jadi incaran kak Elang, cantik gitu. Dia aja jadi pemeran utama di klub teater nanti, padahal masih kelas sepuluh. Kirain malah kakak senior yang meranin, soalnya kebanyakan kelas sepuluh cuma jadi pemeran pembantu," kata Eli.

"Ya, elah. Iri, El?" tanya Dini.

"Enggak, lah. Aku sadar diri kali, Din. Masa yang jadi Sinta pendek dan hidung pesek gini," ujar Eli, keningnya berkerut.

Dini menahan tawa, "Terus, kamu jadi apaan nanti?"

Bibir Eli mencebik ke bawah, "Mbok emban, pembantunya Sinta."

"Pffftt...." Dini dan Hara menahan tawa.

"Gitu juga udah bagus kok, El. Daripada nggak dapet peran," hibur Naya. Eli ingin mengatakan sesuatu, tapi belum sempat terucap, perhatian mereka teralihkan kepada Elang dan Luna yang sedang berjalan ke arah mereka. Sontak saja keempat gadis itu masuk ke kelas. Mereka berpura-pura mengobrol di dalam kelas. Setelah Elang dan Luna melewati kelas mereka, Eli yang masih penasaran melongokkan kepala dari pintu kelas sempat melihat punggung Elang dan Luna yang menjauh.

-----##-----

"Elang!" dari arah belakang, Zizi menggamit lengan Elang, "ngantin, yuk."

Zizi sekilas melirik Bimo dan Adit yang sedang sibuk memakai sepatu.

"Aku mau rapat di klub," jawab Elang.

"Rapat?" Zizi sejenak berpikir, "oh, buat pemilihan ketua baru, ya?"

Elang mengangguk.

Zizi mengamati mereka bertiga. Elang, Adit, dan Bimo malah mengobrol tentang klub bola yang tidak dipahami Zizi. Zizi tersenyum miring dan menyibakkan poninya. "Ehem...." deheman Zizi yang cukup keras mengalihkan perhatian ketiga cowok itu, "melihat sikap kalian yang biasa aja, pasti belum tahu soal berita ini, ya?" ujar Zizi.

Bimo dan Adit mengerutkan kening karena penasaran. Sedangkan Elang tampak tak tertarik, alih-alih ia mengeluarkan ponsel dari saku dan mengutak-utiknya.

"Hah? Maksudmu?" tanya Adit, "emangnya ada berita apaan, Zi?"

Zizi tersenyum puas karena berhasil membuat mereka penasaran, diliriknya Elang lalu melipat tangannya di depan dada, "Tentang bintang utama di konser amal kak Ares. Udah ada yang kepilih lho," ujar Zizi dengan volume yang sedikit dibesarkan.

"Halah! Kirain apaan!" Bimo mengibaskan tangan di udara dengan kesal "bukannya udah jelas siapa yang kepilih, ya?" lanjutnya, ia terlihat tak tertarik, begitu juga Adit.

Zizi semakin merasa puas, Kena, deh, batinnya. "Yaps! Pasti kalian mikir kalau kak Tiara yang bakal kepilih, kan? Nggak hanya kalian kok, satu sekolah juga akan mengira hal yang sama. Tiara Suroso, penyanyi solo berbakat dengan suara merdu yang udah nggak diragukan lagi kemampuannya, terpilih sebagai bintang utama Ares Maheswara Gunadarma, pianis berbakat yang akan mengadakan konser," Zizi tertawa lalu bertepuk tangan sarkastis, detik kemudian senyumnya menghilang, "tapi salah, tuh."

"Hah?" Bimo dan Adit saling berpandangan. Elang mulai menunjukkan perhatiannya, keningnya berkerut, dimasukkannya ponsel ke dalam saku.

"Maksud kamu?" tanya Elang.

"Orang lain yang terpilih," Zizi mendekati Elang dan mengelus lembut lengannya, "Naya Kumala. Cewek kelas sepuluh yang jadi babumu itu, dia yang bakal jadi bintang utamanya."

"Hah? Si miskin itu?!" ujar Bimo setengah berteriak. Bimo tertawa, "Tahu darimana? Jangan bercanda, deh. Mana mungkin kak Ares milih cewek itu buat nyanyi di konsernya?"

Zizi memutar bola matanya hiperbolis, "Terserah! Kalau mau, tanyakan aja langsung sama kak Ares atau kak Tiara."

Elang tahu bahwa Zizi berkata jujur. Ia tak menampik kalau Zizi adalah cewek licik, tapi ia tahu Zizi tak mungkin sengaja membuat lelucon seperti itu. Elang tidak bisa menutupi rasa terkejutnya, ia terlihat tidak suka, tangannya terkepal. Pikirannya melayang, ia mengingat sikap Ares di rumah sepulang sekolah waktu itu yang berkata bahwa telah menemukan 'dia'. Jadi, yang dimaksud Kakak adalah anak itu?

Sesuai dugaan Zizi, melihat ekspresi Elang, cowok itu pasti tidak menyukai berita ini, "Duh, gimana, ya? Masa sih, cewek macam dia yang mendampingi kak Ares di atas panggung. Bukannya dia itu piyik-mu ya, Lang? Kalau dia berkeliaran di sekitar kak Ares, kamu nggak bakal bisa menendangnya keluar. Atau jangan-jangan emang itu tujuannya? Biar kamu nggak berbuat macem-macem, dengan kak Ares sebagai tameng? Berarti, dia cuma manfaatin kak Ares, dong?" ujar Zizi.

"Wow, menarik. Gimana menurutmu, Lang?" tanya Adit.

Elang tersenyum miring, "Kita pikirin itu setelah rapat." Elang melenggang pergi. Bimo dan Adit saling berpandangan, Bimo mencebik dan mengedikkan bahu, kemudian mereka berdua menyusul Elang. Zizi menatap punggung mereka bertiga yang menjauh, bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman, Babak pertama baru aja dimulai.

Seorang siswi kelas XI yang lewat memanggil Zizi, mengalihkan perhatiannya.

"Apa?" jawab Zizi dengan pandangan tidak suka.

"Wus, slow aja kali, nggak usah galak-galak. Aku cuma mau ngomong, hati-hati, Elang kayaknya udah nebar jaring lagi, tuh," ledeknya sambil tersenyum miring. Bagi sebagian cewek-cewek kelas XI, memanas-manasi Zizi adalah hiburan tersendiri. Apalagi yang tidak begitu menyukai sifat arogan Zizi, termasuk cewek itu.

"Hah? Maksud kamu?" tanya Zizi.

"Tadi aku lihat dia jalan bareng anak kelas sepuluh ke kantin," siswi itu mengeluarkan ponsel, sejenak mengutak atiknya, kemudian memperlihatkan sebuah foto kepada Zizi. Zizi mengamati foto itu, dengan sekali lihat, Zizi tahu bahwa itu Elang. Namun, seorang gadis di samping Elang membuat raut muka Zizi berubah tidak suka, keningnya berkerut. Siapa lagi cewek bodoh yang Elang goda? Zizi paham betul bahwa Elang hanya bermain-main saja, seperti yang dilakukannya selama ini. Namun, tetap saja Zizi tidak suka melihat Elang bersama cewek lain.

Zizi mengembalikan ponsel yang digenggamnya kepada cewek itu. "Kirim foto itu ke kontakku.Thanks," kata Zizi yang kemudian berlalu. Sambil berjalan, ia menyibakkan rambut dan menyeringai singkat.

-----##-----

Elang berjalan cepat memasuki gedung kelas X, menerjang sekumpulan siswa-siswi kelas X yang berlawanan arus, sesekali mengamati siswa-siswi kelas X yang berpapasan dengannya. Begitu juga Bimo dan Adit yang mengekor di belakangnya menuju lantai 3.

"Gimana kalau dia lewat tangga utara, Lang?" tanya Bimo.

"Nggak mungkin! Kelas sepuluh lima lebih deket sama tangga selatan," ujar Elang.

Setelah sampai di kelas X-5, Elang mendesah lega karena orang yang dicari-cari masih asyik mengobrol di kelas.

"Keluar kalian!" bentak Elang kepada beberapa teman sekelas Naya.

Melihat beberapa yang bengong dan terkejut, Bimo menepuk-nepukkan tangan, "Keluar! Keluar, woii! Keluar! Ngerti bahasa manusia nggak, sih?!"

Beberapa teman sekelas berhamburan keluar. Begitu juga Eli, Dini, dan Hara yang kebingungan, mereka lebih memilih pergi meskipun enggan karena melihat ekspresi Elang yang terlihat marah.

"Maju!" perintah Elang kepada Naya setelah kelas kosong, sambil menunjuk bangku paling depan. Naya menelan ludah, Salah apa lagi sih, aku? Naya duduk di bangku depan sesuai perintah Elang. Melihat ekspresi Elang, Naya cemas, ia tak yakin sudah membuat kesalahan. Naya mendesah keras.

"Rencananya hari ini aku ke ruang klub, kok. Aku memutuskan hari Rabu dan Jumat buat bersihin-"

Braakk!! Elang menggebrak meja di depan Naya dengan keras, memotong kata-kata Naya dan membuatnya tersentak. Tatapan tajam Elang seakan menusuk bola mata Naya.

"Jangan... pernah... bicara sebelum aku yang memintamu!!" bentak Elang, rahangnya mengeras menahan amarah, ia membenci cara Naya menghadapinya, Demi Tuhan! Kalau aja dia bukan cewek, aku pasti udah merobek mulutnya, "Ngerti?!"

Naya mengangguk, ia kemudian menunduk daripada membuat Elang semakin marah.

"Itu yang harusnya kamu lakuin kalau aku lagi ngomong sama kamu," ucap Elang, ia menjauh, "jawab setiap pertanyaan yang bakal aku ajukan." Elang mondar-mandir di depan Naya, tangannya dimasukkan saku.

"Apa sebenarnya tujuanmu?"

Hah? Bukannya harusnya aku yang tanya?, pikir Naya. "Maaf, aku nggak ngerti maksud Kakak."

"Kak Ares," Elang berhenti sejenak, "kenapa kamu mau jadi penyanyi di konsernya?"

Deg! Kenapa dia mengungkit-ungkit kak Ares?, "Kak Ares yang memintaku membantunya dan nggak alasan aku menolak tawarannya."

"Apa? Cuma itu? Jadi, karena kak Ares yang memintamu, kamu nggak bisa nolak? Hah?!"

Naya bergeming. Naya tidak mengerti kenapa menjadi penyanyi di konser Ares adalah masalah bagi Elang.

"Apa tujuanmu, Kumal?" tanya Elang lagi, kali ini ia menekankan setiap kata-katanya.

"Maksud Kakak?" tanya Naya.

Elang seakan frustasi ketika mengajak bicara gadis ini, dia meremas rambutnya dengan kesal dan mendesah keras, "Denger, aku nggak pengen basa-basi lagi. Batalkan kesepakatan kalian! Aku nggak pengen kamu jadi bintang utama di konser kak Ares," ujar Elang penuh ancaman.

Naya tercekat, Apa yang barusan dikatakannya? Apa dia udah gila? "Nggak mau!" jawabnya lantang.

"Apa kamu bilang?" nada Elang meninggi.

Naya bangkit dari tempat duduknya, "Kakak nggak berhak ngatur-ngatur pilihanku. Apapun yang kulakukan itu adalah urusanku."

"Apa?" Elang tertawa sarkastis, "kamu kira aku mau mengurusi masalahmu sampai sejauh ini? Persetan apapun yang kau lakukan, aku nggak peduli. Tapi itu adalah hal lain kalau kau berurusan dengan kakakku." Jari telunjuk Elang tepat mengarah ke wajah Naya. "Mundur dari konser kak Ares atau siap-siap aja beasiswamu dicabut," ancam Elang.

Naya terhenyak, tangannya mengepal, Punya hak apa dia mengancamku kayak gini? Dadanya sesak diliputi amarah, sampai menelan ludah pun sulit. Ia menahan diri sekuat tenaga agar tidak menimbulkan keributan.

Elang mendekati Naya, "Dekat sama kak Ares nggak bikin kamu lepas dariku, Mal. Ancamanku nggak main-main. Nasibmu di sekolah ini tergantung keputusanmu. Mundur atau kehilangan beasiswa, simpel kan?"

Elang menyeringai singkat, lalu berbalik, dan meninggalkan Naya yang terpaku seorang diri.

-----##-----

To Be Continued 

-----##-----


31 Mei 2018   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro