2 : Pertemuan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naya, Hara, Dini dan Eli sedang duduk di kantin. Mereka mengobrol sambil menunggu Hara menghabiskan makanannya.

"Kalian yakin nggak mau nyemil atau makan sekalian? Aku yang traktir, deh," kata Hara di sela-sela aktivitas makannya.

"Wah, beneran?" tanya Dini, namun belum sempat ia bertanya lebih jauh, Naya menyenggol lengannya.

"Nggak, Ra, kita udah kenyang kok. Udah, kamu makan aja," ujar Naya. Dini nampak kecewa, selama beberapa minggu ia mengenal Naya, ia tahu memang Naya mempunyai harga diri yang tinggi. Naya selalu menekankan bahwa meskipun ia hanya murid penerima beasiswa di sekolah yang mayoritas berisi anak-anak orang kaya ini, Naya harus tetap menjaga harga dirinya. Dini memahami itu.

"Kok aku jadi laper, aku beli cemilan dulu, ya," Eli beranjak pergi.

Sepeninggal Eli, mereka mengobrol. Namun, tiba-tiba perhatian Hara beralih ke orang yang baru saja memasuki kantin, matanya melebar melihat siapa sosok itu, bahkan ia tidak jadi memasukkan makanan di sendok yang sudah diangkatnya ke dalam mulut. Melihat ekspresi Hara, Naya dan Dini juga mengalihkan pandangan kepada sosok itu, "Cowok yang barusan masuk, yang ada di tengah itu adalah Kak Ares," kata Hara.

Ares, cowok tinggi berkacamata itu melenggang masuk bersama kedua teman cowok yang lain.

"Wah, ternyata aslinya lebih ganteng daripada di foto," gumam Hara.

Jadi, dia yang namanya Kak Ares? Hara sama Dini bener, dia ganteng banget, apalagi jago main piano. Aku jadi penasaran gimana permainan pianonya. Tak sadar Naya menyunggingkan senyum. Perhatian mereka masih tertuju kepada cowok itu sampai Ares dan teman-temannya duduk di salah satu bangku kantin.

"Sumpah, keren banget," ujar Dini.

Eli muncul dan segera duduk di tempat duduknya semula, "Hei, kalian pasti udah melihat Kak Ares yang duduk di sana itu, kan?"

"Kamu tahu, El?" tanya Naya.

"Cewek-cewek angkatan kita yang tadi berdiri di dekatku juga lagi heboh. Mereka nunjuk-nunjuk orangnya dan menyebut nama Kak Ares, jadinya aku tahu."

"Oke. Satu pangeran udah kita tahu. Ternyata mudah banget, ya nemuin orang famous," Dini terlihat puas.

"Nah, ada hikmahnya juga kan aku ngajak kalian ke kantin?" kata Hara dengan bangga.

"Iya, Ra. Berarti tinggal satu pangeran lagi, kan?" tanya Naya.

"Yups. Gimana kalau istirahat kedua nanti kita mulai nyari pangeran yang satunya?"

"Setuju!"

-----##-----

Mata Elang terbuka perlahan. Lampu kamarnya yang masih menyala membuat matanya menyipit. Masih tetap berbaring, tangannya terulur ke arah nakas di samping tempat tidurnya mencari jam beker, tapi tentu saja ia tidak menemukan benda itu. Ia sadar dan mengangkat kepala, dilihatnya sisa-sisa kemarahannya kemarin masih berserakan di lantai.

Sial! Jam berapa sih ini?

Ia bangkit dan membuka laci yang penuh dengan jam tangan berbagai merk dan mengambil salah satunya. Matanya melebar setelah tahu letak jarum jam. Segera saja ia berlari menuju kamar mandi di salah satu sudut kamarnya.

Beberapa waktu kemudian, setelah berpakaian seragam lengkap, Elang menyambar helm full face-nya dan keluar kamar. Ketika baru saja menutup pintu kamarnya, ia berpapasan dengan Jono, pemuda seusianya yang menjadi salah satu asisten di rumahnya. Melihat Jono, amarahnya meledak.

"Jon, lu mau dipecat??!! Kenapa nggak membangunkanku, bego!" bentak Elang. Tentu saja Jono kena marah, karena ia adalah orang yang biasa membangunkan Elang setiap pagi untuk sekolah. Jono, si pemuda ceking itu mulai gemetar.

"Ma-maaf, Mas Elang. Tapi... saya nggak berani. Mas Ares melarang saya membangunkan Mas Elang," ujar Jono takut-takut.

Kemarahan Elang melunak, Kakak? Sampai kapan dia berhenti memperlakukanku seperti anak kecil? Dasar! Elang mengembuskan napas pendek, menepuk pundak Jono, kemudian berlalu.

"Pak Amin, antar saya ke sekolah," kata Elang kepada seorang lelaki setelah sampai di garasi. Pak Amin, pria setengah baya yang sedang mengelap kaca mobil itu sudah hapal dengan kebiasaan Elang. Setiap terlambat sekolah, Elang selalu memintanya mengantar. Tapi kini ia merasa heran, sudah terlalu siang untuk berangkat ke sekolah. Namun, ia hanya menyimpan rasa herannya itu dalam hati dan menuruti anak majikannya itu. "Baik, Mas." Tak lama kemudian, mobil Toyota Land Cruiser 200 melesat ke jalanan.

-----##-----

"Nayaaa! Cepet tangkep!" teriak Dini kepada Naya. Saat ini, kelas X-5 sedang mengikuti pelajaran olahraga. Semua warga kelas bermain kasti dan grup Naya sedang berjaga. Bola melambung terlalu tinggi di atas Naya dan melesat jauh sampai hilang di balik rerumputan di luar lapangan.

"Biar aku ambil," ujar Naya diikuti anggukan Dini. Naya berlari menuju luar lapangan yang dipenuhi tanaman teh-tehan yang pendek. Ia harus membungkuk dan mencari bola di sela-sela tanaman yang berbatasan dengan tembok sekolah itu. Ketika ia sedang fokus mencari bola, tiba-tiba terdengar suara dari pohon lebat di sampingnya.

Sreeekkk... bugh!!

Ada sesuatu yang berat terjatuh tepat di belakang Naya. Naya menegakkan badan. Ketika menoleh ke belakang, Naya baru tahu bahwa itu bukan benda yang jatuh, tetapi seseorang yang mendarat dengan selamat. Ia berhadapan dengan seorang cowok yang berdiri sangat dekat dengannya. Naya sedikit mendongak untuk melihat siapa cowok yang lebih tinggi darinya itu, namun, wajahnya tidak kelihatan karena ia memakai helm full face.

Cowok itu mengacungkan jari telunjuk dan meletakkannya di depan helmnya, jika saja ia tidak memakai helm, mungkin ia sedang meletakkannya di depan bibir. Tanpa bersuara, ia memerintahkan Naya untuk diam. Namun, Naya begitu takut dan kaget, jantungnya saja kini berpacu dengan cepat.

"Ma... maa... maling! Ada maling!" teriak Naya secara spontan. Dengan cepat, cowok itu membungkam Naya dan mendorongnya sampai punggung Naya membentur pohon. Cowok itu menyembunyikan Naya di balik pohon agar tidak terlihat oleh murid-murid yang sedang berolahraga di lapangan sepak bola.

"Dasar, bego! Disuruh diam malah teriak!" bentak cowok itu. Melihat wajah Naya yang ketakutan dan meronta, ia membuka helmnya. "Nih, lihat! Aku bukan maling, aku juga murid di sini," ujarnya sedikit memelankan suaranya. Pandangannya terbagi antara Naya dan siswa-siswi yang ada di lapangan.

Naya mengatur napasnya, ia melihat cowok itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia tampak ragu meskipun cowok itu memakai celana dan kemeja seragam. Benar, cowok itu hanya memakai celana dan kemeja seragam putih yang ditutupi dengan jaket jins, tidak ada dasi dan jas rapi seperti seragam identitas sekolah. Seakan tahu pikiran Naya, cowok itu membuka tasnya dan mengambil jas seragam atasannya.

"Nih, jasnya aku taruh di tas. Dasar cewek tolol!" cowok itu menatap Naya dengan tajam kemudian berbalik dan menjauh meninggalkan Naya. Naya yang masih tampak syok berusaha menenangkan diri. Sekilas, Naya melihat garis kuning di ujung lengan jas yang tadi diacungkan cowok itu.

"Garis kuning? Berarti kelas sebelas? Astaga, aku kira dia maling. Lagian, kenapa ke sekolah pake helm gitu dan manjat tembok sekolah, sih? Gerbang kan masih buka, bikin takut aja," Naya mengusap dagu dan berpikir sejenak, "tapi wajahnya itu..." Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat dan mengenyahkan hal yang mengganggunya.

Naya lanjut mencari bola kasti yang belum sempat ditemukannya tadi lalu segera kembali ke lapangan setelah menemukan benda itu. Ternyata, teman-temannya sudah mulai bermain lagi dengan bola cadangan.

"Kamu ke mana, sih, Nay? Lama banget, sampai Pak Wawan nyuruh kita make bola cadangan," tanya Dini.

"Nyari bolanya susah. Dan...." Naya menghentikan kata-katanya.

"Dan apa?" tanya Dini.

"Nggak papa. Lanjut aja mainnya, tuh bolanya udah dipukul." Naya mengurungkan niatnya untuk menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya tadi.

-----##-----

Elang berjalan dengan santainya menuju kelas XI-7, kelas IPS. Ia meletakkan helm, tas, jaket, dan sepatu di lokernya di lorong depan ruang kelas. Lantai ruang kelas di Saint Sirius dipasang karpet, jadi murid-murid wajib melepas sepatunya. Elang merapikan kemejanya yang sudah mencuat keluar dari celana dan memakai jas seragam serta dasinya, lalu mengetuk pintu kelas.

"Selamat siang, Pak Anton." Elang menyapa guru ekonominya yang sedang mengajar di depan kelas.

Anton menghentikan kegiatan menulis di papan, lalu menoleh ke arah sumber suara. Matanya menyipit di balik kacamatanya, "Elang! Kamu pikir sudah jam berapa ini?!" bentaknya.

"Maaf, Pak. Tadi sebelum istirahat pertama saya izin ketua kelas ke klinik sekolah karena saya sakit. Nih, Pak, saya luka-luka, kan?" Elang menunjukkan luka-luka di wajahnya. Anton diam sejenak dan tampak tidak percaya.

"Saya nggak bohong, Pak. Bapak bisa lihat sendiri di bangku saya ada tas saya, Pak. Kalau saya telat, nggak mungkin tas saya ada di kelas, " imbuh Elang.

Anton melihat bangku di pojok belakang, ia melihat ada tas tersampir di kursi. "Baiklah, masuk!" perintah Anton. Elang melenggang masuk menuju bangkunya dengan sukses, sejenak ia melakukan tos kecil dengan teman di samping bangkunya sebelum beranjak duduk. Yang harus dilakukannya kini adalah mengikuti pelajaran dengan tenang karena ia yakin tak akan ada yang berani mengadukannya.

-----##-----

Bel istirahat kedua berbunyi pada pukul dua belas tepat.

"Guys, gimana kalau kita ke gedung kelas sebelas aja?" ajak Dini dengan bersemangat.

Naya dan Eli saling berpandangan sejenak, "Ke gedung kelas sebelas? Yakin?" tanya Eli.

"Yakin seratus persen."

Gedung utama sekolah berbentuk U, sisi kiri gedung kelas XI dan sisi kanan gedung kelas X, sedangkan gedung kelas XII merupakan penghubungnya. Gedung kelas XI ada di seberang gedung kelas X, jika menuju ke sana harus melewati gedung kelas XII atau langsung lewat pintu gedung di lantai dasar.

"Gila kamu, Din. Kita anak kelas sepuluh ke sana gitu? Kamu mau kita jadi pusat perhatian kakak kelas?"

"Iya juga, ya? Kenapa nggak kepikiran," kata Dini.

"Yaelah. Ya udah, kita coba aja jalan-jalan, ke halaman utama kek, ke lapangan sepak bola atau belakang gedung, kali aja ketemu. Katanya Kak Elang biang onar, pasti cepet ketemunya kayak tadi kita nemuin Kak Ares."

"Tumben pinter kamu, El," ujar Dini sambil menahan tawa. Eli, cewek berambut keriting itu manyun.

"Tapi Hara belum ke sini," kata Naya. Hara memang tidak sekelas dengan mereka, dia kelas X-3. Tapi sudah menjadi kegiatan rutin ketika jam istirahat Hara mengunjungi mereka di kelas X-5. Hara sudah menjadi teman mereka sejak tes masuk sekolah. Tes yang bertujuan untuk menentukan kelas jurusan mereka.

"Eh, tuh Hara," ujar Eli.

"Nah, udah lengkap, nih. Yuk!"

Mereka mulai berkeliling sekolah, tapi sudah lama mereka berkeliling, tetap tidak menemukan apa-apa. Ketika sudah putus asa dan memutuskan untuk ke kantin, di depan gedung kelas XI, mereka melihat Ares sedang berhadapan dengan seorang cowok. Mereka menghentikan langkah dan melihat dari jauh, penasaran dengan apa yang dilakukan kakak kelas mereka itu.

"Kak Ares kayaknya lagi nyeramahin cowok itu, serius banget tampangnya. Dia siapa, sih?" tanya Hara.

"Nggak tahu. Mungkin lagi negur kali, Kak Ares kan masih menjabat Ketua Osis. Jadi, wajar aja kalau ada anak yang nggak disiplin terus ditegur," jawab Naya.

"Tapi kok cowok itu kayak nggak ada takut-takutnya? Nunduk aja enggak. Malah kayak mereka lagi debat gitu," kata Hara.

"Apa lagi ngobrol sama temannya?" tanya Naya. Ia tidak bisa melihat garis ujung lengan cowok itu untuk mengetahui tingkatan kelas karena cowok itu memasukkan tangannya ke dalam saku.

"Eh, kita agak deketan gimana? Kali aja kita bisa nguping apa yang mereka bicarain?" ajak Dini. Mereka pun perlahan berjalan mendekat. Naya memperhatikan cowok di hadapan Ares, ia menyipitkan matanya, berusaha memperhatikan lebih seksama.

Kayaknya pernah lihat tuh cowok, deh. Semakin mendekat, Naya mulai mengenali cowok itu. Dia? Cowok berhelm full face! Naya tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Tapi rasa terkejutnya yang belum sempat ia kendalikan itu bertambah, ketika cowok itu mulai berpaling pergi meninggalkan Ares.

"Lang?! Elang!!" Ares mengejar adiknya yang tak menggubris panggilannya itu.

Tak hanya Naya, ketiga temannya juga terkejut.

"Jadi, cowok itu adalah Kak Elang?!" ujar Eli setengah berteriak.

Ya, Tuhan! Orang yang aku teriaki maling itu Kak Elang? Mati aku. Naya mulai merasakan aliran darahnya mencepat dan membuat tubuhnya terasa panas. Ia teringat kata-kata Dini, "Jangan pernah berurusan sama dia kalau nggak mau stres, gila, terus keluar dari sekolah ini."

-----##-----

Elang menghentikan langkahnya dan berbalik, memandang Ares yang mengejarnya sedari tadi.

"Aku sudah bilang jangan bersikap terlalu berlebihan."

"Berlebihan katamu?" Ares menatap adiknya dengan tajam.

"Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Luka kayak gini nggak ada apa-apanya, kenapa akhir-akhir ini kakak begitu ikut campur?"

"Aku nggak mengkhawatirkan lukamu. Aku lebih mengkhawatirkan suasana hatimu." Ares menghela napas. "Mendingan kau pulang. Kau ingat kata-kata ayah, kan? Kau tak bisa kemana-mana tanpa persetujuanku."

Elang menatap kakaknya dengan marah, "Aku nggak harus minta ijinmu hanya karena berangkat ke sekolah. Aku tak mau berada di rumah yang lebih mirip goa itu. Dan satu lagi, sepulang sekolah aku berlatih klub, jadi Kakak pulang saja dulu." Elang berbalik dan pergi.

Ares mengembuskan napas panjang. Ia sedikit terhenyak ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Gimana?" tanya orang itu.

"Masih sulit diatur, Zal. Kalau suasana hatinya masih kacau seperti itu dia pasti akan mencari pelampiasan dan mungkin saja dia bisa menyakiti dirinya sendiri. Karena itu aku mencoba menahannya di rumah," kata Ares kepada temannya yang bernama Faizal itu.

"Ya. Dia bisa saja membully lagi untuk melampiaskan amarahnya. Kalau bisa kau juga larang dia bergabung dengan geng-geng motor nggak berguna itu, Res."

"Aku tak bisa melarangnya, Zal."

Alis tebal Faizal tertarik ke atas, "Kenapa?"

Karena itu adalah caranya untuk melampiaskan rasa kesepiannya, Zal.

Bibir Ares tertarik ke samping membentuk satu garis lurus, "Sudahlah, ayo masuk kelas." Ia bergegas pergi, sedangkan Faizal sejenak menatapnya heran sebelum menyusulnya.

-----##-----

To Be Continued

-----##-----


23 Mei 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro