40 : Taruhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunyi samsak yang dihantam memenuhi ruang olahraga rumah keluarga Gunadarma. Butir keringat mengalir di wajah Elang, rambutnya basah, matanya fokus tertuju pada samsak, sedangkan tangannya yang mengenakan sarung tinju terus menyerang targetnya. Tiba-tiba ia memekik, meringis menahan rasa ngilu di lengannya. Sudah sejam lebih ia menghantam benda mati itu tanpa henti. Entah kenapa ia tak mau berhenti, ia ingin terus memukul sesuatu hingga rasa sesak di dadanya menghilang. Elang pun tak tahu apa yang sedang dirasakannya sekarang. Bayangan kejadian yang dilihatnya di rooftop sekolah tiba-tiba muncul dan membuat dadanya kembali terasa sesak. Sialan! Ia mengenyahkan lamunannya dan mulai memukuli targetnya kembali.

-----##-----

Ares berjalan di sepanjang lorong kelas X menuju kelas Naya, mengabaikan tatapan siswa-siswi kelas X yang hendak pulang. Ia lega ketika melihat Naya baru saja keluar kelas bersama Dini dan Eli. Melihat Ares, Dini dan Eli berpamitan dan meninggalkan mereka.

"Udah makan?" tanya Ares.

Naya mengangguk, "Kakak?"

"Hmm, belum. Gimana kalau kamu temenin aku makan dulu?" Ares tersenyum. Naya terhenyak ketika cowok itu meraih tangannya dan mengajaknya pergi. Ia merasa canggung dan hanya membiarkan cowok itu menggenggam tangannya.

Ketika sampai di parkiran, pandangan Naya menangkap sosok Elang dan teman-temannya yang mengobrol di atas motor. Ia melihat Zizi yang duduk di jok belakang motor Elang dan bersandar di bahu cowok itu. Ares mengulurkan helm ke arah Naya, namun gadis itu tak merespon. Ia mengikuti arah pandang Naya dan menyadari bahwa yang dilihat gadis itu adalah adiknya.

"Nay?"

Naya terkesiap dan langsung meraih helm yang diulurkan Ares. Begitu Naya naik di jok belakang, Ares langsung melajukan motornya pergi.

-----##-----

"Ciee... yang beberapa hari ini diantar jemput, jadi sering ngelamun," Dini menggoda Naya yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk jus alpukatnya sambil melamun.

"Hah? Apaan, sih? Siapa yang ngelamun coba?"

"Kamu, lah, Nay. Akhir-akhir ini kan sering ngelamun, di kelas juga sering nggak konsen. Ini saking senengnya dijemput pangeran atau gimana, sih?" Dini terkekeh.

"Iya, dong, Din. Siapa yang nggak seneng diantar jemput tiap hari sama pangeran ganteng kayak kak Ares," Eli ikut menggoda Naya. Naya hanya tersenyum canggung dan menyedot minumannya.

"Yah, Nay. Kamu jadi ngaak bisa nemenin aku nonton kak Adit latihan, dong," ujar Hara. Mendengar itu, Naya baru sadar beberapa hari ini ia tak ke ruang klub bola. Sebenarnya, ada kekosongan yang kini menghampiri perasaannya, itu sebabnya ia jadi sering melamun dan tak bisa konsentrasi di kelas. Ia bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu hampa. Akhir-akhir ini ia tak bisa mengartikan perasaannya sendiri. Hatinya berkecamuk, tak tahu apakah yang dilakukannya benar atau salah.

Lamunannya buyar ketika pandangannya menangkap sosok Elang yang baru saja memasuki kantin. Cowok itu berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan saku, di sampingnya ada Zizi yang menggamit lengan cowok itu. Naya melihat mereka duduk di meja tak jauh di depannya. Elang dan Zizi terlihat akrab, bahkan sesekali ada tawa di sela obrolan mereka. Tak sadar, Naya memegang gelasnya dengan erat, ia tak tahu kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak.

Di sisi lain, Ares memasuki kantin dan menangkap sosok Naya, ia tersenyum dan melambaikan tangan, namun gadis itu tak kunjung melihatnya. Menyadari tatapan Naya tak mengarah padanya, Ares mengikuti arah pandang gadis itu. Senyumnya menghilang ketika menyadari arah pandang Naya adalah ke arah meja adiknya. Pandangannya mengarah ke Naya lagi, ia melihat arah pandang gadis itu masih sama, tangannya mengepal.

-----##-----

Ares membolak-balik halaman dokumen yang sedang diperiksanya. Sekilas ia terlihat sibuk, tapi pikirannya mengarah ke hal lain. Naya. Naya. Naya. Semakin ia berpikir tentang Naya, gadis itu semakin mengacaukan pikirannya. Ingatannya terlempar saat ia menemui Naya di rooftop.

Ares memberanikan diri meminta jawaban Naya, "Ya. Aku hampir gila karena kau tak memberi jawaban soal perasaanku."

"A-a-aku... aku..." Ares melihat gadis itu gemetar, ia bertanya-tanya apakah ia melakukan kesalahan dengan meminta jawaban gadis itu sekarang? "Sebenarnya aku..."

Tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi? Satu-satunya cara agar kegilaannya berhenti adalah dengan mendengar jawaban Naya. "Kalau kau tak bisa menjawabnya dengan kata-kata, aku bisa membuatmu menjawab dengan cara lain."

Ares mendekatkan wajahnya pada gadis itu, tapi ketika bibir mereka hampir bersentuhan, Naya memalingkan wajahnya. Gadis itu mundur selangkah. Gadis itu bergerak rikuh, "A-aku, maaf. Aku-"

"Jangan katakan apapun," potong Ares. Sulit dikatakan perasaan Ares saat itu, apa ia baru saja menerima penolakan?. "Maaf aku nggak maksud membuatmu jadi canggung," sambungnya.

"Kak Ares, aku-"

"Aku akan memberimu waktu. Jangan katakan apapun." Ares tersenyum simpul dan mengusap lembut kepala Naya. "Mulai besok, aku antar jemput kamu, ya."

Ingatan Ares kemudian meloncat ketika ia sering menyadari arah pandang Naya yang selalu mengarah ke adiknya. Ingatan itu benar-benar mengganggunya. Semakin ia berpikir, ia semakin sadar bahwa ia sering merasa Naya tak benar-benar bersamanya ketika mereka bertemu. Ia merasa Naya begitu canggung dan tak fokus ketika ia mengajak gadis itu bicara.

Bayangan Elang dan Naya tiba-tiba muncul secara bergantian dengan cepat, awalnya bayangan Elang yang menarik Naya keluar kantin, lalu beralih ketika keduanya mengobrol akrab di depan cafe, kemudian bayangan-bayangan ketika ia menangkap pandangan Naya yang mengarah ke adiknya. Bayangan itu terus berulang, membuat kepala Ares tiba-tiba sakit. Cowok itu meraih kepalanya, ia meringis menahan sakit.

Bayangan yang bergantian secara cepat itu baru berakhir ketika ketukan pintu menyadarkannya. Napasnya menderu, ia melihat sekeliling dan lega masih di ruang kerjanya. Sesaat ia benar-benar merasa tak sadarkan diri. Seseorang mengetuk pintunya lagi, Yanu membuka pintu perlahan.

"Maaf. Anda ditunggu dewan direksi untuk presentasi."

Ares merapikan dokumennya dan bangkit keluar ruangan, meskipun begitu, entah kenapa pikirannya belum benar-benar waras. Yanu menyadari butiran keringat di dahi Ares, "Anda kurang sehat?" tanyanya. Ares menggeleng dan melanjutkan langkahnya menuju ruang presentasi, sedangkan Yanu menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya.

Sekitar satu jam kemudian, Ares keluar dari kantor perusahaan Gunadarma, diikuti Yanu di belakang dan beberapa anak buahnya. Sebuah mobil mewah menjemput mereka di depan kantor. Yanu merangkul Ares, menepuk pundaknya berkali-kali. Ia merasa bangga presentasi Ares berjalan dengan baik dan diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari dewan direksi.

"Kau tahu? Kau benar-benar hebat tadi, materi yang kau pelajari berbulan-bulan tidak sia-sia. Selamat atas keberhasilanmu."

Sesaat Ares tidak merespon, pun tidak ada senyum di wajahnya. "Jaga sikapmu di area kantor," katanya tanpa menoleh. Sesaat Yanu terkejut mendengar kata-kata Ares, ia segera melepaskan rangkulannya dan mundur selangkah.

"Maaf," katanya singkat.

Ares terpaku sejenak, kemudian memasuki mobil. Yanu mengikuti Ares, ia tak menanyakan apapun dan memilih diam selama mobil melaju, meskipun benaknya bertanya-tanya tentang sikap Ares yang tidak biasa.

-----##-----

Ares terhuyung memasuki kamar, kepalanya benar-benar terasa sakit. Ia terus mendengar suara-suara riuh di kepalanya. Ia meraih botol obat di meja dan menelannya dengan air. Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata, suara-suara yang bersahut-sahutan itu makin lama makin menghilang. Ia menarik napas dan mengembuskan napas secara beraturan, seperti saran dokter pribadinya ketika ia gelisah.

Ketukan pintu membuatnya membuka mata. Elang masuk dan bertepuk tangan, "Selamat kau berhasil presentasi, Kak," ujarnya.

Ares bangkit dan duduk di tepi ranjang, ia tersenyum, "Terimakasih."

"Paman Yanu memberitahuku kalau presentasimu luar biasa," Elang menempatkan diri di samping Ares, "gimana rasanya diberi standing applause dari dewan direksi?"

Ares tertawa pendek, "Lumayan."

Elang merangkul kakaknya, "Kau benar-benar hebat, Kak. Lebih hebat lagi kalau kau mau mentraktirku makan sebagai perayaan keberhasilan." Elang tertawa renyah, sedangkan Ares tertawa kecil mendnegar kelakar adiknya. Merasa Ares tak seceria biasanya, Elang memperhatikan kakaknya, baginya, kakaknya itu terlihat lelah. Ia melihat butiran keringat di dahi Ares.

"Maaf, kau pasti lelah. Tidur saja, Kak, nikmati hari Minggumu."

Ares melirik adiknya yang berjalan keluar, "Hei! Mau kutraktir?" pertanyaan Ares sukses membuat adiknya berbalik. "Udah lama kita nggak ke Orion Shooting Range, heh?" sambungnya.

Elang tersenyum miring, "Oke."

-----##-----

Bunyi tembakan terdengar bersahut-sahutan di sebuah area menembak outdoor. Ares dan Elang yang memegang pistol saling membidik target 10 meter di depan.

"Tembakanmu mulai menunjukkan kemajuan sejak kita datang terakhir ke sini," ujar Elang.

"Bukannya aku yang lebih jago darimu?" ujar Ares tanpa melepaskan pandangan dari target.

Elang tertawa keras, "Oh, ya? Kau yakin? Lihat aja kemampuanku."

Tentu saja Ares tahu bahwa adiknya itu lebih jago olahraga menembak daripada dirinya. Ia membidik papan target di depan, tapi ketika ia berusaha konsentrasi, bayangan Naya dan Elang tiba-tiba muncul. Ia menarik pelatuk dan berhasil mengenai papan target, tapi hasilnya bukan yang diharapkannya. Tangannya mengepal, tiba-tiba saja ia merasa marah. Ares memandang adiknya yang sedang membidik target, Kenapa harus adikku?

"Woahh, benar, kan? Kemampuanku masih belum berubah. Kau lihat?" Elang terlihat senang.

Ares tersenyum kecut. "Mau bertaruh?"

Kening Elang mengkerut mendengar ajakan kakaknya. Ia memandang kakaknya dengan seksama, sorot mata kakaknya tidak seperti biasanya. Apa kakaknya sedang tidak sehat? Ia merasa Ares tidak seceria biasanya. Ia bertanya-tanya. Elang tertawa pendek, "Kenapa jadi taruhan? Bukannya kita ke sini untuk senang-senang?"

"Kau takut?"

"Apa? Yang benar saja!" Elang tertawa.

"Kalau gitu, ayo bertaruh. Pemenangnya berhak meminta sesuatu kepada yang kalah. Deal?"

Elang tersenyum miring, "Deal."

-----##-----

Sambil berjalan perlahan melewati lorong GKS, ingatan Naya memutar kejadian di rooftop. Ares begitu tiba-tiba menagih jawabannya, ia benar-benar tidak siap dan tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada cowok itu. Ia marah kepada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia tidak mengenali perasaannya sendiri? Bukannya Ares adalah orang yang selama ini ia kagumi? Lalu kenapa hatinya seolah berubah?

Ketika Ares mendekatkan wajah kepadanya, ia berharap bisa menerima Ares. Matanya perlahan menutup. Namun, ketika menutup mata, bayangan orang lain muncul dalam benaknya.

"Hey, Kumal, selesai pertandingan tunggu di gerbang sekolah, ya. Kuantar pulang."

Kata-kata itu terdengar di kepalanya. Ia memalingkan wajah dan mundur selangkah. Bisa ia ingat bagaimana ekspresi kekecewaan Ares. Ia meminta maaf dan lega ketika Ares tidak marah padanya. Ia bisa lolos hari itu, tapi, ia tidak yakin bisa menjawab ketika Ares menanyainya lagi. Naya mengacak-acak rambutnya. Ia benar-benar frustasi. Setelah itu, Ares malah menawarinya diantar jemput. Sebagai permintaan maaf, Naya menerima tawarannya dan berpamitan. Naya ingat Elang menyuruhnya menunggu di gerbang, tapi ketika Naya ke sana, ia tidak menemukan cowok itu.

Sekarang, langkahnya membawanya ke ruang klub bola. Ia merasa bersalah dan ingin meminta maaf karena tidak datang waktu itu. Ketika ia masuk ke ruang klub, ia melihat Elang yang sedang tertidur bersandar pada dinding. Naya mendekati cowok itu, dilihat dengan seksama, cowok itu sepertinya sedang tertidur pulas, ia tidak mau membangunkannya.

Ia hendak bangkit, tapi tiba-tiba Elang meraih pergelangan tangannya dan menariknya ke depan hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Bahkan Naya bisa merasakan embusan napas Elang di wajahnya. Mata cowok itu terbuka. Ia mencoba melepaskan diri, namun cengkeraman cowok itu semakin kuat. Bertatapan dengan cowok itu dari dekat membuat jantung Naya berdebar, ia mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kakak apa-apan, sih?" tanyanya.

Tak ada jawaban dari cowok itu.

Naya menarik kuat tangannya hingga lepas dari pegangan Elang dan bangkit berdiri, ia bergerak rikuh. "Kakak kenapa, sih?"

Elang bangkit perlahan, "Nggak. Cuma mau mastiin sesuatu." Ia berjalan hendak keluar, tapi ketika mencapai pintu, ia berbalik.

"Oh ya, mulai sekarang, aku bebasin kamu dari hukuman. Kau nggak perlu datang ke sini dan bersih-bersih lagi."

Apa?

"Ke-kenapa?" hanya itu yang keluar dari mulutnya. Kok kenapa sih, Nay? Harusnya kamu seneng, kan? Suara dalam benaknya muncul.

Kening Elang mengerut mendengar pertanyaan Naya, "Ya nggak kenapa-kenapa. Bukannya harusnya kamu seneng, ya, nggak jadi piyik lagi?"

"Hah? I-iya."

Kenapa Elang tiba-tiba menyuruhnya tak datang ke ruang klub lagi? Apa Elang marah karena ia tak datang ke gerbang waktu itu? Tapi rasanya nggak mungkin, Naya bertanya-tanya dalam hati.

"Kunci ruang klub balikin kapan-kapan aja ke Bimo atau Adit," ujar Elang sambil berlalu, meninggalkan Naya yang terpaku.

Elang berjalan pelan melewati lorong GKS. Ingatannya memutar saat ia dan kakaknya bertaruh di area menembak. Ia yang kalah bertaruh harus menuruti keinginan kakaknya.

"Wow, gimana bisa kemampuan menembakmu maju dengan pesat? Baiklah, apa yang kakak inginkan?"

Ares bergeming sejenak, "Naya."

Sebelah alis Elang tertarik ke atas, "Naya? Maksudmu?"

"Aku tak ingin kau menyuruh Naya mengurusi klubmu lagi. Bebaskan dia dari hukumanmu."

Elang menggaruk kasar kepalanya yang tak gatal. Sial! Kenapa aku jadi kacau gini?

-----##-----

To Be Continue

-----##-----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro