46 : Kata Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang berbaring di kursi lounger dekat kolam renang rumahnya. Matanya menerawang menatap bintang, sedangkan pikirannya memutar kejadian beberapa waktu lalu ketika ia mengungkapkan perasaannya kepada Naya. Ia mengacak rambutnya kasar, menyesali perbuatannya.

Bego! Ngapain aku bilang suka ke dia?

Perasaannya benar-benar kacau saat melihat Naya dan Ares terlihat dekat. Bayangan Ares dan Naya yang bergandengan di kantin hingga berdansa dengan mesra di pesta, membuat dirinya seakan hilang akal. Sejak mengetahui Ares menyukai Naya, hatinya bergejolak. Ia hanya ingin kakaknya itu bahagia dan menjauhi gadis itu mungkin saja bisa menghilangkan perasaannya. Tapi sebesar apapun usaha untuk menahan perasaannya, pada akhirnya ia benar-benar menyerah.

Tiba-tiba saja kata-kata Naya terngiang di benaknya, "Jadi, gini, ya, cara Kakak buat mempermainkan hati cewek? Setelah Kakak bikin cewek berbunga-bunga, terus jatuhin dia ke dasar jurang, sekarang Kakak bikin cewek itu seakan terbang bebas lagi? Iya? Terus selanjutnya apa lagi, Kak? Bikin dia masuk neraka?"

Memikirkan kata-kata Naya itu, ia bertanya-tanya tentang perasaan gadis itu kepadanya. Bagaimana perasaan Naya padanya? Bagaimana perasaan gadis itu setelah tahu perasaannya yang sebenarnya? Ia terlalu banyak menyakiti Naya, apakah Naya akan membencinya?

Arrgh!!

"Kau kenapa?"

Kedatangan Ares mengalihkan perhatiannya. Sedikit salah tingkah karena Ares melihatnya mengacak rambut dengan frustasi. "Eng... nothing."

"Belum tidur, heh?" Ares beranjak duduk di kursi lounger di samping Elang.

"Nggak ngantuk."

Suasana hening, keduanya rebahan sambil melihat bintang di langit malam.

"Kau ingat dulu kau sering kali membuat pak Dirman dan bu Dirman khawatir? Kau ngajak mereka bermain petak umpet dan kau bersembunyi dengan sempurna sampai mereka kewalahan mencarimu." Suara Ares memecah keheningan.

Elang tertawa pendek, "Bu Dirman sampai nangis dikira aku hilang beneran. Kalau ingat, aku nggak habis pikir kenapa aku bisa nakal banget ngejahilin orang tua."

"Aku tahu kau sembunyi di mana sampai mereka nggak bisa menemukanmu."

"Oh ya?"

"Kau sembunyi di ruang piano, kan? Ada sedikit ruang antara piano dan tembok, cukup buat sembunyi anak kecil."

Elang tertawa renyah, "Jangan-jangan, pak Dirman nggak pernah bisa nemuin aku karena Kakak sengaja menunjukkan tempat sembunyi yang salah."

Ares tertawa, "Memang. Sejujurnya, aku juga senang melihat ekspresi mereka yang kebingungan mencarimu."

"Apa?" Elang tertawa terbahak-bahak, "ternyata sifat jahilku menurun darimu."

Suasana hening kembali, mereka tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.

"Selesai pesta tadi, aku dapat email dari Score Art University."

Elang terhenyak, ia bangkit terduduk, "Hah? Beneran?"

Ares bangkit dan memandang adiknya itu dalam, "Kenapa kau melakukannya?"

"Hah?" Elang tertawa sumbang, "Apa yang kau bicarakan?"

"Sudahlah, Lang. Aku tahu kau ke Austria untuk menyerahkan resumeku. Kenapa?"

Elang mengembuskan napas panjang, "Karena itu keinginanmu, kan?"

Ares menggeleng, "Bukan."

"Kalau kau memang nggak pengen ke sana, kenapa kau sudah menyiapkan resume yang ditujukan ke Austria, bahkan menyiapkan video konsermu?"

Ares menghela napas panjang, "Kau tahu posisi kita sebagai apa, kan? Kau nggak bisa melakukan sesuatu semaumu cuma untuk menuruti keinginanmu sendiri."

"Aku sangat tahu."

"Ayah nggak mungkin membiarkannya, Lang."

Elang tersenyum miring, "Aku yakin ayah nggak bakal melarangmu lagi, Kak."

Ares menatap adiknya dengan tatapan menyelidik, ia tahu dari ekspresi adiknya bahwa adiknya itu sangat yakin dengan ucapannya, "Apa yang kau janjikan padanya?"

Elang tertawa keras, "Kenapa kau langsung mengintrogasiku begitu?"

"Ayah ingin kita mendalami bisnis, dia nggak main-main melarangku bermusik. Kalau ayah membiarkannya, berarti ada sesuatu yang menguntungkan untuknya. Apa yang kau janjikan?"

"Yah... aku cuma bilang kalau aku akan mulai peduli dengan perusahaan dan membantumu mengurusnya. Aku juga akan menuruti semua keinginannya dengan membuatku memperdalam ilmu bisnis."

"Apa? Kau benar-benar membuat keputusan yang salah. Kau tahu resikonya, kan?"

"Kita nggak punya pilihan. Ayah juga. Aku lahir sebagai bagian dari keluarga Gunadarma, jadi aku cuma bersikap selayaknya jati diriku." Elang tersenyum, "kau nggak harus menanggung beban sendirian. Ada Gunadarma lain yang siap berbagi beban denganmu, ayo kita buat cita-cita ayah terwujud tanpa harus ninggalin keinginan kita. We can do it."

Ares tertawa pendek, "Kenapa aku mikir lagi ngomong sama Mario Teguh, sih?"

"Sialan!" pekik Elang.

Tawa keduanya kemudian mengudara.

"Jadi, kau bakal ikut tes di Austria, kan? Jangan sampai usahaku mengelilingi Austria sia-sia."

Ares tersenyum dan mengangguk, "Oke. Aku nggak akan mengecewakanmu."

Elang melirik jamnya yang menunjukkan pukul 1 dini hari. "Udah pagi. Kenapa kau belum tidur?"

"Entahlah, mungkin nggak akan bisa tidur karena memikirkan pasangan dansaku yang tiba-tiba menghilang dibawa adikku di pesta tadi."

Elang terbatuk, tersedak ludahnya sendiri. "Kakak aku..." Ia bangkit dari rebahan, "aku nggak bermaksud... aku... itu..." Kenapa aku jadi gagap gini?

Ares tertawa, "Nggak papa, kok. Aku tahu kau coba nylametin dia dari situasi sulit. Aku juga tahu kau menyuruh paman Yanu buat menyusul dan mengantarnya pulang."

Elang menelan salivanya dengan susah payah, ia benar-benar mengutuk diri menyesali kebodohannya membawa lari pasangan dansa kakaknya.

"Kakak, aku-"

"Kau suka padanya, kan?"

Elang terkejut mendengar pertanyaan Ares, ia tertawa sumbang, "Apa yang kau bicarakan?"

Ares memukul ringan lengan adiknya, "Hei, ayolah, kau mau main rahasia-rahasia dengan kakakmu ini? Baru kali ini aku melihat adikku sangat peduli sama cewek."

Elang tertawa pendek, "Apa baru kali ini Kakak melihatku peduli sama cewek? Perasaan, setiap kali ada cewek cantik aku selalu peduli."

Ares tertawa renyah, "Ya... ya... aku tahu kau selalu menyebut diri sendiri sebagai playboy berkelas. Tapi aku lebih tahu dirimu dibanding siapapun. Kau mungkin bisa menarik banyak cewek dengan pesonamu, tapi saat kau benar-benar jatuh cinta sama seorang cewek, kau nggak bakal main-main. Dan aku tahu kalau cewek itu adalah Naya."

Elang menelan salivanya dengan susah payah, "Apa yang kau bicarakan, Kak? Bukannya Naya adalah gadis yang kau suka, bukan aku."

"Ya, aku memang menyukainya, tapi aku sadar kalau rasa sukaku itu karena obsesi. Suara indahnya membuatku terobsesi dengan sosoknya dan suka karena obsesi itu berbahaya. Aku membutuhkan cewek yang benar-benar membuatku suka karena cinta. Dia juga mungkin membutuhkan cowok yang menyukainya karena cinta." Ares memandang adiknya, "sepertimu misalnya."

Elang tertawa pendek, "Nggak, Kak, aku-"

"Kau harus ikuti kata hatimu, Lang," Ares merangkul Elang, "kalau kau melewatkan kesempatan, kau bisa kehilangan dia."

Selama beberapa detik Elang terpaku memandang kakaknya, kemudian ia tersenyum.

"Bagus. Sekarang waktunya kita tidur. Kau ingat permainan kita waktu kecil dulu?" Ares tiba-tiba mengingat permainan semasa kecilnya menjelang tidur.

"Jangan bilang kau mau memainkannya sekarang?" Elang tersenyum miring.

"Memang. Dalam hitungan ketiga kita mulai. Yang paling akhir sampai ke kamar, harus mentraktir yang menang."

"Deal."

"Satu..."

Elang melompat dari kursinya dan lari mendahului kakaknya. "Dah, Kak," serunya sambil tertawa.

"Hash! Kau curang!! Baru hitungan satu." Ares sontak mengejar adiknya itu. Derai tawa mereka pun memecah keheningan malam.

-----##-----

Elang mempercepat langkahnya melewati lorong kelas X, setelah bel pulang sekolah berbunyi, ia segera menuju gedung kelas X, dan mengabaikan tatapan siswa-siswi kelas X yang heran dengan keberadaannya.

Ia melongok ke dalam ruang kelas X-5, mencari keberadaan Naya. Sepanjang hari ini, ia tak melihat Naya di sekolah, karena itu ia ingin menemui gadis itu di kelasnya. Tapi yang ia temukan hanya Dini dan Eli yang sedang membereskan buku. Ketika kedua gadis itu hendak keluar kelas, ia menahannya.

"Kalian temennya Naya, kan? Naya ke mana?"

Dini dan Eli saling berpandangan sejenak. "Kenapa Kakak nyari Naya? Bukannya sekarang dia nggak ada urusan lagi sama klub sepak bola?" ujar Dini.

"Emang aku nggak boleh nyari dia kalau dia nggak ada urusan sama klub sepak bola?"

Dini dan Eli saling berpandangan lagi, Dini menatap Elang dengan tatapan tak suka, "Mendingan Kakak nggak usah nyari dia lagi. Dia nggak di sini. Yuk, El."

Dini dan Eli beranjak menuju rak sepatu.

"Hei, apa maksudmu?"

Tak ada respon sampai keduanya selesai memakai sepatu dan hendak pergi, Elang mengejar dan menghalangi jalan mereka. Ia mulai tak sabar, tapi mencoba menahan emosinya. "Naya ke mana?" tanyanya dengan penuh penekanan.

Dini mengembuskan napas panjang, tangannya dilipat di depan dada, "Kan tadi udah dibilang dia nggak di sini."

"Ke mana? Apa hari ini dia nggak masuk?"

"Udahlah, Kak. Kalau Kakak nyariin cuma mau nyakitin dia, mending nggak usah nyari Naya lagi, deh," kata Eli.

"Maksud kalian apa, sih?" Elang mulai kesal.

"Kakak nggak bisa nyari dia di sini. Dia udah mutusin nggak sekolah di sini lagi."

Elang terhenyak, "Dia nggak sekolah di sini?"

Dini mengangguk, "Iya. Makanya Kakak nggak usah nyari dia. Yuk, El."

"Tunggu. Kalau dia udah nggak di sini, di mana dia sekarang?"

"Mana kita tahu." Dini dan Eli beranjak pergi, sedangkan Elang masih terpaku di tempat. Nggak mungkin. Dia keluar dari sini? Kenapa?

-----##-----

Eli terhenyak ketika tangannya diraih seseorang saat baru saja keluar dari gedung kelas X. Ia tambah terkejut setelah tahu siapa orang yang menarik tangannya.

"Kak Elang?" Ia melirik Adit dan Bimo yang berada di belakang Elang. "ini ada apaan, ya?" ujarnya takut-takut.

"Kau tahu di mana Naya sekarang berada, kan?" tanya Elang.

Eli menggeleng, "Emang kemarin nggak cukup jelas, ya?"

"Aku nggak percaya, kalian pasti tahu sesuatu."

"Udah, kasih tahu aja, El. Daripada kamu nanti dapet masalah," ujar Bimo di belakang.

Eli bergantian memandang mereka, "Aku beneran nggak tahu, Kak, dan jangan ganggu aku lagi." Eli beranjak pergi, tapi Elang menahannya.

Elang menarik napas panjang, "Aku nggak pernah memohon sama orang lain, tapi kali ini aku mohon sama kamu. Please, kasih tahu aku di mana Naya berada." Tatapannya melunak, tak setajam biasanya.

"Kenapa sih Kakak tetep nyariin Naya? Buat nyakitin dia lagi? Apa belum cukup kemarin-kemarin nyakitin dia?"

"Karena itu aku pengen nebus semua kesalahanku. Aku janji nggak akan nyakitin dia lagi, jadi, please, kasih tahu aku di mana dia berada."

Melihat tatapan Elang, Eli mulai berpikir bahwa Elang berbicara yang sesungguhnya. "Janji nggak akan nyakitin dia?"

"Janji. Aku emang cowok brengsek, tapi aku nggak pernah ingkar janji. Kau bisa pegang kata-kataku."

Eli mengangguk, "Tapi tolong jangan bilang ke Dini, ya. Sebenarnya Naya..."

-----##-----

"Woaaaaa..."

"Huaaaaa...."

"Anjir! Ini jalan apa rintangan panjat tebing yang dibikin jalan, sih?" pekik Adit, tubuhnya tergoncang-goncang. "El, beneran nggak sih ini jalan ke rumah Naya?"

Eli yang terlihat senang tertawa keras, "Iya, lah, Kak. Seru, kan?"

Elang yang sedang menyetir tertawa, "Untung aku bawa Rubicon, kalau enggak, mobilku bisa masuk bengkel, nih, ngelewatin jalanan beginian."

"Udah ngelewatin gunung mendaki lembah masa belum sampai-sampai juga, sih?" tanya Adit.

Sudah lebih dari 2 jam mereka dalam perjalanan menuju daerah pinggiran kota. Setelah berkali-kali bertanya kepada warga sekitar, mobil mereka sampai di halaman sebuah rumah bercat kuning. Mereka turun dan segera menuju rumah itu. Elang mengetuk pintu, beberapa waktu kemudian pintu dibukakan oleh seorang wanita berusia sekitar awal 40 tahunan. Wanita itu tampak bertanya-tanya.

"Permisi, apa ini rumahnya Naya?" tanya Elang sopan.

Wanita itu mengangguk, "Benar, saya ibunya. Adik-adik ini dari mana?"

"Kami dari kota, Tante. Teman Naya di sekolah," ujar Eli.

Ibu Naya memperhatikan wajah mereka satu per satu, hingga tatapannya terkunci ke arah Elang, tangannya terulur menyentuh pipi cowok itu, "Bocah bagus. Seperti perawakan Raden Arjuna." Ia tersenyum ramah.

Elang terpaku, ia berpikiran bahwa senyum ibu Naya adalah senyum paling hangat yang pernah ia tahu. Sentuhan tangan di pipinya pun terasa hangat, seperti sentuhan ibunya sendiri yang sudah lama tak ia rasakan.

"Ayo, masuk." Ibu Naya mempersilakan mereka masuk, mereka dijamu dengan teh hangat dan mengobrol ringan.

"Ayo diminum, jangan sungkan."

Elang mengedarkan pandangan ke sekitar ruang tamu, "Naya ke mana ya, Tante?"

"Kalau sore begini, Naya masih berada di pendopo, berlatih gamelan dengan ayahnya."

"Gamelan?" ulang Eli.

"Iya. Sebentar lagi pasti datang. Oh ya, panggil saya Bu Asih saja."

Selama beberapa waktu mereka mengobrol hingga pandangan mereka teralihkan ketika Naya memasuki rumah dan terkejut melihat mereka.

"Kalian?" mata Naya membulat. "Kalian kenapa bisa ada di sini?"

"Surprise!!" ujar Eli, "kita datang buat kamu, Nay."

Tatapan Naya bertemu dengan sepasang netra Elang, cowok itu tersenyum miring. Naya mengalihkan pandangannya, Kenapa dia ke sini, sih?

Beberapa waktu kemudian, atas suruhan ibunya, Naya menunjukkan kamar adiknya kepada Elang, "Nanti Kakak sama Kak Adit bisa tidur di sini."

Elang mengedarkan pandangan ke sekeliling, Elang tersenyum ketika melihat banyak merchandise klub sepak bola Barcelona dan poster pemainnya di dinding.

"Jadi, adikmu fans Barca juga?"

"Hah? Nggak tahu, iya kali. Udah, kan? Silakan istirahat."

Naya hendak pergi tapi Elang meraih tangannya.

"Kenapa nggak masuk sekolah?"

"Jawab dulu pertanyaanku, kenapa Kakak jauh-jauh ke sini?"

Elang tersenyum, ia maju selangkah mendekati Naya, membuat jarak mereka sangat dekat. Naya mundur hingga punggungnya menabrak tembok, tapi Elang mendekatinya lagi. Ia bergerak rikuh ketika tahu Elang masih menatapnya. Belum sempat ia berkata-kata, ucapan cowok itu sukses membuat apa yang ingin dikatakannya tertelan lagi ke kerongkongan.

"Aku ke sini karena mengikuti kata hati," jawab cowok itu.

-----##-----

To Be Continue

-----##-----


Mas Elangg.... adek padamu :*

Btw, udah follow ig dia belum?

Bonus : Mas Ares juga nggak kalah ganteng. Siapa fans diaa angkat tangaann!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro