48 : Asmaradana (Part 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lilani tan bisa lali

Suwe-suwe saya nglela

Katon wae sak solahe

Gembili gung wong ing tawang

Sayup-sayup, Elang mendengar seorang wanita bernyanyi tembang Jawa, tapi ia sangat malas membuka mata. Ia baru membuka mata ketika merasa badannya didesak oleh Adit yang sedang tidur di sampingnya.

"Tulul! Apa-apaan, sih?!" bentaknya kepada sahabatnya itu.

Adit meringkuk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya semakin mendekat pada Elang, "Ada kuntilanak, Lang."

"Kuntilanak pala lu!"

"Itu yang nyanyi Jawa siapa lagi kalau bukan kuntilanak?" Adit bergidik ngeri.

"Makanya jangan kebanyakan nontonin tontonan alay! Minggir!" Elang mendorong Adit menjauh dan menarik selimut, hendak melanjutkan tidurnya. Baru beberapa detik, ia merasakan Adit mendesaknya lagi. Sialan si Adit! batinnya. Suara wanita yang bernyanyi itu masih bisa didengarnya.

Gedebugan ra geng wang

Jenange sela reca kayu

Mbalenjet nggoleki sira

Sial! Kenapa rumahku ada suara cewek nyanyi? Seingatku, ibu nggak bisa nyanyi Jawa.

Elang membuka matanya dengan cepat kemudian bangkit terduduk. Diamatinya kamar yang ia tempati. Ia baru ingat bahwa ia berada di rumah Naya dan menginap di kamar adik cewek itu. "Pantes aja," ujarnya sambil mengucek mata, ia mengambil ponsel yang terletak di bawah bantal, matanya membelalak ketika tahu bahwa jam sudah menujukkan puku 1 siang. Elang menggaruk kepalanya dengan kesal, "Sialan! Gara-gara si Kunyuk ini ngajak mabar tengah malem sampe pagi."

Cowok itu segera keluar dari kamar. Suara nyanyian itu membawanya sampai ke dapur. Melihat cowok itu memasuki dapur, sang pemilik suara menghentikan nyanyiannya dan tersenyum hangat.

"Apakah Ibu membangunkanmu, Cah Bagus?" tanya Asih. Sesaat, Elang terpaku, kemudian menjawab dengan rikuh, "Ng-nggak, Tante. Maksud saya 'Bu'."

Elang memandangi Asih yang sedang mengupas bawang merah. "Ngomong-ngomong, tadi lagu apa, Bu?" tanya Elang membuka pembicaraan.

Asih tersenyum, "Tembang macapat Asmaradana. Tembangnya kehidupan dan orang kasmaran."

Elang mengangguk pelan.

"Kalau kita semakin ingin melupakan seseorang, malah semakin kita mengingatnya, toh, Cah Bagus?" tanya Asih.

"Hmm? I-iya, Bu." Elang tergagap menjawab pertanyaan tak terduga dari Asih. Ia tak tahu arah pembicaraan wanita setengah baya itu.

"Itu adalah arti dari lagu yang tadi Ibu nyanyikan."

"Oh ..." Elang tersenyum kikuk, "I-iya, Bu."

"'Semakin ingin melupakan, akan semakin mengingat' sama saja seperti 'semakin ingin menghindar, malah akan semakin dekat'."

Elang menaikkan kedua alisnya, perkataan Asih mengingatkannya pada Naya yang sedang menghindarinya bahkan hingga keluar dari sekolah. Sampai kapan gadis itu menggantung perasaannya? Sampai kapan gadis itu bisa memaafkannya?

Asih meletakkan bawang merah yang sedang dikupasnya dan bangkit berdiri, "Ayo makan dulu." Ia menyiapkan piring di meja makan, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, "Ayo duduk, kamu harus makan yang banyak. Jadi anak sekolah itu otaknya mikir keras, jadi harus makan banyak."

Elang perlahan duduk di meja makan, sedangkan pandangannya tak lepas dari Asih yang sedang menyiapkannya makanan. Elang tertawa pendek, ibu kandungnya saja seingatnya tak pernah menyiapkannya makanan. Ia mengerutkan kening ketika piring berisi makanan itu sudah ada di hadapannya. Makanan apa ini?

"Kenapa, Cah Bagus? Belum pernah mencoba sayur cirang dan ikan asin?"

Elang menggeleng pelan, Apaan tuh sayur cirang?

"Coba saja masakan Ibu."

Elang menyendok satu suapan, rasanya sedikit aneh, tapi lama-lama lidahnya terbiasa. Enak juga, batinnya. Ia tersenyum, entah kenapa makanan yang sederhana ini bisa terasa enak. Tak butuh waktu lama ia menghabiskan makanannya. Pandangannya kemudian menyapu dapur. Sejak ia bangun, ia tak melihat Naya dan Eli. "Naya ke mana, Bu?"

"Hmm? Oh, Naya dan Eli sedang memanen ketela di kebun bersama pak Jaya. Sebentar lagi pasti pulang karena dia harus berlatih gamelan di pendopo."

"Berlatih gamelan?" tanya Elang penasaran.

"Iya, untuk persiapan pekan seni besok."

"Tanu pulang, Bu." Teriakan Tanu mengalihkan perhatian mereka. Tanu yang masih berseragam memasuki dapur dan tampak tak suka ketika pandangannya menangkap sosok Elang.

"Teman-temannya mbak Naya belum pulang, Bu?" tanya Tanu.

"Hush! Diam. Ganti bajumu sana."

Elang tersenyum miring, iaberpamitan dengan Asih dan mengikuti Tanu yang sedang menuju kamarnya.

***

Naya mengembuskan napas panjang, ia berusaha menahan rasa kesalnya. Pandangannya kini terpaku kepada cowok yang duduk di sampingnya. Elang masih saja sibuk ketawa-ketiwi bersama Adit sambil memperhatikan kelompok Lastri yang sedang menari di bagian tengah pendopo. Naya tertawa pendek, pikirannya melayang ke beberapa waktu sebelumnya.

"Kakak ngapain, sih, ikutan ke sini?"

"Yee, emangnya ada larangan kalau aku nggak boleh ke sini?"

"Ya enggak, tapi Kakak kan nggak bisa main gamelan."

"Tadi Tanu udah janji kok ngajarin aku." Sekilas Elang melirik Tanu yang dibalas dengan kerlingan mata oleh adik Naya itu. "Lagipula, masa aku sama Adit ditinggal sendirian di rumahmu? Sedangkan kamu sama Eli bisa pergi main-main?"

"Kita nggak lagi main-main, Kak. Lagipula, siapa juga yang suruh Kakak main ke rumahku? Yuk, El." Naya menarik Eli menuju pendopo.

"Apa-apaan, sih, kak Elang? Ngapain juga dia ikutan ke sini? Tanu juga kenapa jadi dukung dia?" Naya mengingat momen di mana adiknya itu bersikeras mengajak dan akan mengajari Elang.

Eli tersenyum menggoda, "Udah dibilang kak Elang tuh suka beneran sama kamu, Nay."

"Issh, mana mungkin playboy kayak dia bisa suka beneran sama cewek? Yang ada dia cuma mainin perasaan cewek."

"Tapi aku yakin kak Elang suka beneran ma kamu, Nay. Dia aja sampai bela-belain ke sini, kan?"

Mata Naya menerawang, ia mengingat perkataan cowok itu. Bayangan Elang pun tiba-tiba muncul dalam benaknya. "Nay, aku nggak main-main sama pengakuanku di pesta kemarin. Aku benar-benar suka sama kamu."

Naya menyingkirkan pikirannya, "Tauk, deh, nggak usah ngomongin dia." Gadis itu segera mengajak Eli memasuki pendopo. Pendopo yang merupakan aula terbuka itu lumayan luas. Suasana pendopo sangat ramai dengan para peserta yang akan mengisi acara dalam Pekan Seni yang diadakan Desa. Sekelompok gadis sedang berlatih tari-tarian di bagian tengah dengan diiringi gamelan yang dimainkan secara langsung oleh beberapa pemuda-pemudi di bagian tepi.

Naya melirik Elang yang sudah berdiri di sampingnya bersama Adit. Menoleh ke sisi yang lain, Eli sudah tidak berada di sampingnya. Sahabatnya itu sibuk mendekati para pementas dan mengabadikan momen di ponselnya. Naya mengembuskan napas panjang, ia tahu Eli memang menyukai hal berbau seni dan budaya, karena itulah sahabatnya masuk klub teater, tentu saja ia akan tertarik dengan pementasan ini.

Perhatiannya kemudian beralih ke arah Elang dan Edit. Naya mengikuti arah pandang kedua cowok itu yang ternyata adalah gadis-gadis yang sedang menari di tengah pendopo. Kelompok tarinya Lastri? batinnya setelah menangkap sosok Lastri di antara gadis-gadis yang sedang menari.

"Yang baju item tuh cantik banget."

"Ah itu namanya Lastri. Pernah kenalan waktu nemenin Naya ke rumah pak Lurah."

"Serius? Wih, baru tahu gadis desa ada yang cantik. Mirip selebgram siapa, tuh? Anya Geraldine?"

"Lebih cantik kali, Dit."

Naya menyingkirkan poninya dengan kesal. Dasar cowok! Mereka tuh ke sini belajar gamelan atau sibuk nonton cewek, sih?

"Mbak Nay." Perhatian Naya teralihkan kepada adiknya yang sudah berada di sampingnya. "Tanu sakit perut, nih. Tanu pulang dulu, yak. Tolong ajarin kak Elang sama kak Adit main gamelan pas waktu istirahat nanti."

"Hah?! Gilak, apa? Nggak mau!"

"Plis, Mbak. Aku udah janji sama kak Elang. Aku janji juga deh bakal ngajarin Mbak teknik baru main gitar. Ya ya? Udah ya, aku nggak tahan. Daa..."

Tanpa menunggu jawaban Naya, Tanu berlari pergi, bahkan remaja cowok itu tak menggubris panggilan kakaknya.

Lamunan Naya membuyar, karena kejadian itu lah ia berakhir harus mengajari Elang dan Adit tentang gamelan. Tapi kenyataannya kedua murid dadakannya itu tak pernah memperhatikannya. Naya memukul kepingan besi 'Saron' dengan kencang sehingga kedua cowok itu berjingat sambil mengumpat.

"Kamu apa-apaan, sih, Nay? Bikin orang jantungan tahu, nggak?" ujar Elang.

"Kalian serius belajar nggak, sih?" tanya Naya.

"Serius, lah! Ya, kan, Dit?" pertanyaan Elang diikuti anggukan Adit.

"Serius? Maksud kalian serius nontonin cewek-cewek yang lagi nari di sana?"

"Hah? Siapa yang nontonin cewek-cewek? Kita lagi diskusi tentang yang kamu ajarin tadi."

"Oh ya? Kalau gitu, coba sebutin nama alat yang ada di hadapan Kakak ini namanya apa."

Elang menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Ini ... 'Demung'?"

Naya tersenyum hiperbolis, "Udah kuduga. Ini namanya 'Saron', 'Demung' itu alat yang sebelumnya. Kakak bener-bener bikin waktuku terbuang." Naya hendak berdiri, tapi Elang menahannya.

"Eh! Eh! Iya iya, gitu aja marah. Kita serius belajar, kok. Jangan ngambek, dong."

Naya mendengus kesal. Dengan terpaksa ia mengulangi penjelasannya tentang gamelan tanpa mengetahui Elang menatapnya sambil tersenyum.

"Permisi."

Perhatian mereka kemudian teralihkan oleh sapaan Lastri.

"Mas Elang juga ke sini?"

"Iya, Lastri. Lagi belajar gamelan," jawab Elang.

"Oh ... gini, tadi teman-teman penasaran sama Mas Elang dan teman-temannya yang dari kota. Kalau nggak keberatan, mau nggak menyapa teman-teman Lastri? Sekalian kenalan gitu," ujar Lastri sambil menunduk malu. Pipinya bersemu merah. "Tapi, kayaknya Mas Elang masih sibuk, ya."

"Eh, enggak. Siapa yang sibuk?" Elang dan Adit bangkit berdiri, kemudian menerima tawaran Lastri dan menuju ke tengah pendopo. Naya yang melihat sikap keduanya hanya bisa membuka mulutnya tanpa bersuara. Mereka apa-apaan, sih? Tangannya mengepal.

Pandangannya tak beralih dari Elang di seberang. Cowok itu mengobrol intens dengan Lastri, sesekali tertawa. Naya meraba dadanya, seperti ada sengatan kecil di dalam sana hingga ia merasa berat bernapas. Pemandangan itu lama-lama mengganggunya. Bahkan ketika jam istirahat telah usai dan ia siap bermain gamelan bersama kelompoknya untuk mengiringi tarian. Pandangan matanya sesekali menuju ke arah Elang dan Lastri yang asyik mengobrol sambil menonton kelompok lain bermain.

Ia terhenyak ketika Lastri memberikan botol minuman yang dibawanya kepada Elang dan cowok itu meminumnya.

Kenapa aku jadi kesel gini?

---##---


Akhirnya update :) Part 2 udpate kapan ya enaknya? :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro