9 : Menemukan Dia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari baru, langit biru menyambut pagi. Seperti biasa, Naya dan Dini berangkat bersama-sama dari asrama ke sekolah. Keduanya berjalan santai memasuki gedung utama sambil mengobrol dan sesekali bersenda gurau. Setelah sarapan pagi, mereka memutuskan untuk cepat-cepat berangkat ke sekolah. Hari ini kelas X-5 akan menghadapi ulangan Matematika, Naya dan Dini berangkat lebih pagi agar bisa mempersiapkan diri dengan belajar di kelas. Ketika meletakkan sepatu, mereka melihat ada beberapa sepatu yang sudah berada di loker.

"Wow. Tumben, nih udah rame," ujar Dini.

"Semua pada belajar, kali," ujar Naya. Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Ketika memasuki kelas, mata Naya menangkap sebuah kotak berpita yang ada di atas mejanya.

"Itu apa di mejaku?" tanya Naya sambil menunjuk bangkunya.

"Nggak tahu, Nay. Coba lihat."

Naya dan Dini menghampiri bangku Naya. Ada sebuah kotak berpita berukuran sedang berwarna merah muda. Naya mengambil dan mengamati kotak itu, mencari petunjuk siapa pengirimnya. Alis Naya bertautan, kotak itu sangat ringan.

"Eh, ada suratnya tuh, Nay." Dini menunjuk kertas berlipat dua yang ada di atas meja. "Suratnya diletakkan di bawah kotak."

Naya mengambilnya lalu membaca tulisan yang ada di kertas itu.

'Untuk seorang gadis cantik berlesung pipi dengan senyum yang menawan.

NB : harus langsung dibuka setelah menerimanya.'

"Wah, Naya punya mengagum rahasia, nih" Dini yang mengintip isi kertas itu menggoda Naya dengan kerlingan mata dan sikutan lengan.

"Duh, Din. Apaan sih? Harusnya ngerasa aneh, lah. Aku bukan cewek populer, kenapa tiba-tiba ada yang ngirim kado ini."

Dini manyun, "Nay, jatuh cinta bisa terjadi sama siapa aja kepada siapa aja, nggak memandang cowok atau cewek yang populer. Mungkin kamu itu salah satu cewek yang beruntung bisa punya pemuja rahasia."

Naya terlihat ragu, ia melihat sekeliling, beberapa teman sekelasnya sibuk dengan bukunya masing-masing dan sebagian melakukan tugas piket.

"Gil, Ragil." Naya memanggil Ragil, cowok yang sedang belajar itu mengalihkan pandangan dari buku yang dibawanya kepada Naya. "Udah lama kamu dateng? Kamu tahu siapa yang naruh kotak ini di mejaku?"

Ragil menggeleng, "Kotak itu udah ada waktu aku dateng. Coba tanya Retha. Dia yang pertama datang ke kelas." Ragil menunjuk Retha dengan dagunya, yang sedang sibuk menghapus tulisan di whiteboard.

"Reth!"

Cewek itu masih sibuk dengan kegiatannya.

"Reth!!" Naya sedikit mengeraskan suaranya dan berhasil mendapat perhatian Retha yang menatapnya tak suka karena kegiatan piketnya terganggu.

"Apaan sih?"

"Maaf, kamu yang dateng pertama, kan? Kamu tahu kotak ini dari siapa?" Naya mengangkat kotak berpita itu. Retha menggelengkan kepala lalu melanjutkan kegiatannya.

Naya semakin heran, "Siapa yang naruh kotak ini?"

"Udahlah, Nay. Buka aja. Aku penasaran apa isinya, di suratnya kan ada keterangan buka langsung setelah menerima," ujar Dini semangat. Naya mengalah, ia membuka isolasi yang melapisi penutup kotak lalu membuka kotak kardus itu. Betapa terkejutnya mereka ketika kotak sudah terbuka, keluar puluhan kecoak yang langsung beterbangan dan berlarian ke sana kemari.

"Kyaaa...." Naya melempar kotak itu dan mengibaskan tangan untuk membersihkan badannya yang dihinggapi kecoak, begitu juga Dini. Seisi kelas gempar mengetahui kecoak-kecoak itu, banyak cewek-cewek teman sekelas Naya yang menjerit, panik, dan berlari keluar karena kecoak-kecoak itu menyebar di ruang kelas. Sebagian siswa cowok yang jijik ikut berlari keluar kelas, sedangkan sebagian berusahan mengusir dan membunuh kecoak-kecoak itu. Ragil membuka semua jendela yang mengarah ke halaman utama agar kecoak-kecoak itu bisa keluar.

Entah sejak kapan Naya berada di depan ruang kelas, ia tak sadar sudah berada di luar dari tadi. Jantungnya berpacu cepat, napasnya ngos-ngosan, ia bergidik ngeri melihat puluhan kecoak-kecoak tadi, ia sangat takut berhadapan dengan makhluk kecil itu. Bahkan ada yang masih berlarian di lorong, membuat siswi kelas lain menjerit. Retha yang berada di samping Naya menatap tajam ke arahnya.

"Ini semua gara-gara kamu! Karpet yang udah aku bersihkan sedari pagi kotor lagi gara-gara bangkai kecoak!"

Naya merasa bersalah, "Ma-maaf, Reth. Aku...."

Belum sempat Naya menyelesaikan kalimatnya, Retha berlalu dengan kesal kembali memasuki kelas. Dini merangkul Naya yang masih ketakutan, "Bukan salah kamu kok, Nay. Ini salahku yang mendesakmu membuka kotak itu. Aku minta maaf ya, aku nggak tahu kalau isi kotak itu kecoak. Maaf."

Naya masih syok dengan yang terjadi barusan.

Siapa yang mengirim kecoak-kecoak itu? Dan mengapa?

-----##-----

"Nay?"

Tepukan Dini di pundak Naya menyadarkan pikirannya yang melayang entah kemana. "Kamu masih mikirin kejadian tadi pagi?"

Naya mengangguk, "Aku nggak habis pikir ada yang berbuat iseng kayak gini, Din. Siapapun dia yang jelas udah keterlaluan."

"Udahlah Nay. Jangan dipikirin lagi. Ulangan tadi juga udah memeras otak, mendingan ke kantin, yuk."

"Iya, Nay. Ke kantin aja, yuk," ujar Eli. Tak lama kemudian muncul Hara di kelas mereka, melihat ekspresi teman-temannya yang serius, Hara bertanya-tanya. Eli menceritakan kejadian tadi pagi kepada Hara.

Hara bergidik, "Huh, isengnya keterlaluan. Apalagi melibatkan monster kecil itu. Aku benar-benar jijik, untung tadi aku nggak ketemu sama kecoak-kecoak itu."

Naya mendesah lesu, "Kejadian pagi tadi dan ulangan barusan membuat perutku keroncongan."

"Aku juga. Tenagaku terkuras. Yuk ke kantin aja," ajak Dini. Mereka bergegas keluar kelas menuju kantin. Seperti biasa, suasana kantin ramai.

"Aku dan Eli gantian yang cari bangku ya, kalian pesan dulu."

Naya dan Dini mengangguk. Naya menuju kedai soto, sedangkan Dini ke kedai lain. Setelah memesan, Naya membawa baki berisi semangkok soto. Matanya menyapu sekeliling dan mendapati Hara dan Eli yang duduk di bangku dekat jendela. Baru beranjak beberapa langkah, bakinya terguling, mangkok soto mendarat di tanah, membuat bunyi yang bisa menarik perhatian semua orang. Seragamnya kotor, sisa-sisa nasi menempel di seragamnya, dan tentu saja ia merasakan panas di area badan yang terkena tumpahan soto. Praktis Naya memekik dan mengibaskan tangan.

"Gimana, sih? Makanya kalau jalan itu hati-hati dong, Dik. Sotonya tumpah, kan?"

Naya mengalihkan pandangan dari seragamnya ke orang yang berada di hadapannya sekarang. Kak Elang?

"Ada apaan, Lang?" Bimo menghampiri Elang, "Astaga, sotonya tumpah, piringnya pecah," ujar Bimo dengan nada dan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

"Udah nggak jadi makan, harus ganti rugi pula," imbuh Adit yang menyusul Bimo menghampiri Elang. Naya hanya terpaku, diliriknya sekeliling. Sebagian besar pengunjung kantin kini memperhatikannya.

"Aku nggak ngerasa salah. Ada yang dengan sengaja menampik mangkok itu dari tanganku," ujar Naya memberanikan diri sambil memandang Elang. Elang menyeringai, balas menatap Naya dengan tajam.

"Udah salah nggak mau ngaku? Nuduh-nuduh orang pula? Kamu sendiri yang kurang hati-hati, Elang jalannya biasa aja kok, tiba-tiba main tabrak aja," kata Bimo.

"Yah, gimana dong? Ganti rugi tuh sama penjual sotonya," ujar Adit.

"Udahlah, aku nggak yakin dia bisa ganti rugi." Elang mengeluarkan uang seratus ribuan dan berjalan melewati Naya, menghampiri penjual soto.

"Maaf ya, Bu. Ini mangkok yang pecah saya bayarin, kembaliannya ambil aja, itung-itung buat permintaan maaf. Kasian yang mecahin aja cuma penerima beasiswa, jadi hidup dia tergantung sama duit orang. Maklumin ya, Bu." Elang memperkeras suaranya.

Ibu-ibu penjual soto yang kebingungan memutuskan untuk menerima saja uang Elang. Naya sebisa mungkin menahan air matanya yang sudah muncul di pelupuk mata.

"Oh iya!" Elang menuju kedai di sebelah yang menjual minuman lalu mengambil air mineral botol. "Saya beli air mineralnya juga ya, Bu. Saya bayar di sini aja sekalian, lama kalau harus ke kasir. Nggak usah kembalian." Elang menyodorkan uang Rp. 50.000 kepada penjual kedai minuman. Naya tak kuat lagi, ia berniat pergi. Namun, ketika Naya baru melangkah beberapa langkah, suara Elang menghentikannya.

"Loh? Kemana, Dik? Mau lari dari tanggung jawab?"

Naya berbalik, menatap Elang yang tersenyum puas sudah mempermalukannya. Sekali lagi Naya melihat ke sekeliling. Beberapa pengunjung kantin cengegesan, beberapa berbisik-bisik, ada yang ketakutan termasuk teman-temannya. "Aku nggak ngerasa harus tanggung jawab terhadap apapun." Sebisa mungkin ia berkata dengan tenang, menahan amarahnya.

"Wow, arogan sekali adik ini?" Bimo bertepuk tangan sarkastis. Elang beranjak menghampiri Naya.

"Seragammu kotor, tuh. Aku bantu bersihin, ya." Elang membuka botol air mineral dan mengguyur bagian perut Naya yang terkena tumpahan soto. Elang sengaja menekan badan botol, sehingga air mineral keluar dengan jumlah banyak, membuat seragam Naya basah. "Oops! Sorry, kebanyakan ya."

Adit dan Bimo tertawa, seakan secara sengaja juga mengundang tawa beberapa pengunjung lain. Naya tak menyangka dia akan dipermalukan seperti ini. Ia mengingat cowok berkacamata yang dipermalukan juga. Sekarang, ia mengalami nasib yang sama, ia jadi tahu bagaimana perasaan si cowok berkacamata waktu itu.

Elang melihat tatapan kebencian dari sorot mata Naya, ia tersenyum miring, "Nggak usah berterimakasih. Aku emang baik, kok. Aku kan selalu dermawan," ujarnya mengejek. Ia mendekati Naya yang terpaku, mendekatkan bibirnya ke telinga Naya, sangat dekat sampai Naya bisa merasakan napas Elang menerpa rambutnya. "Aku bisa memberikan kado yang lebih buruk daripada kecoak atau berbuat lebih buruk daripada ini kalau kau mengabaikan pesanku lagi. Camkan itu!"

Elang sengaja menabrak bahu Naya ketika ia beranjak pergi. Bimo dan Adit mengikuti Elang keluar dari kantin.

Jadi, kado berisi kecoak itu dari Kak Elang?

Air mata Naya tumpah tapi ia segera menyekanya. Dilihatnya siswa-siswi yang menertawakannya, mereka benar-benar seperti menonton pertunjukkan komedi dan Naya yang menjadi pemerannya. Naya menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan agar ia tetap tenang. Hara, Dini, dan Eli yang tampak syok menghampiri Naya lalu menuntunnya keluar.

-----##-----

Tiara mendapati Ares berkutat dengan buku-bukunya ketika memasuki kelas. Ia duduk di depan bangku cowok berkacamata itu, menyandarkan dagu di sandaran kursinya. "Lagi belajar apa?"

"Manajemen bisnis. Ayah yang minta mempelajarinya," jawab Ares tanpa mengalihkan padangan dari buku yang dibacanya. Tiara melihat ke sekeliling kelas, "Faizal kemana?"

Ares mengedikkan bahu, "Ke ruang Osis mungkin."

"Oh." Tiara tersenyum sambil memperhatikan Ares yang sedang serius, Dia imut banget kalau lagi serius, batinnya. Beberapa waktu kemudian, ia teringat sesuatu, "Oh iya! Tadi Elang berulah lagi di kantin."

"Hmm? Apa dia melakukan konser dengan meja sebagai panggung lagi?"

"Bukan. Bukan kelakuan iseng kayak gitu. Dia mempermalukan seorang cewek dari kelas sepuluh."

Mendengar itu, Ares mengangkat kepala dan mulai mengenyahkan bukunya. "Apa maksudmu? Dia membuli lagi?"

Tiara mengangguk, lalu mendesah. "Iya, dan kamu tahu? Korbannya adalah anggota junior klub paduan suara. Dia juniorku. Kenapa Elang selalu mengganggunya."

Ares mengerutkan kening, "Selalu mengganggunya?"

Tiara berdecak, "Ingat nggak cewek yang diajak bicara Elang beberapa hari yang lalu di halaman utama? Aku tanya sama kamu, kan? Apa Elang mengerjai anggotaku."

Ares mencoba mengingat, "Oh! Iya, aku ingat. Apa cewek itu yang diganggunya?"

Tiara mengangguk, "Namanya Naya. Aku kasihan, tapi nggak bisa berbuat apa-apa juga. Nggak ada yang bisa menghentikan adikmu itu kecuali kamu. Bilang sama dia, jangan mengusili juniorku, dia udah keterlaluan, tahu."

"Keterlaluan? Memangnya apa yang dilakukannya tadi?"

"Elang sengaja menabrak Naya. Akibatnya semangkuk soto yang lagi dibawa Naya itu jatuh, sialnya selain mangkuknya pecah, kuah soto tumpah mengenai seragam Naya. Nah, situasi itu yang digunakan Elang buat mempermalukan Naya. Sampai mengungkit-ungkit kalau Naya adalah penerima beasiswa yang hidupnya bergantung sama duit orang lain. Bukannya itu udah keterlaluan?"

Ares mengembuskan napas dengan kesal, "Iya, dia udah keterlaluan. Aku akan menasihatinya nanti."

"Nggak cukup cuma menasihati, Res, kamu juga harus dengan tegas menghentikan Elang. Aku tahu kamu nggak pernah bisa bicara kasar apalagi memperingati Elang dengan melibatkan kekerasan fisik."

"Udahlah, serahkan aja padaku. Dia adikku, aku tahu apa yang harus dilakukan sebagai kakak."

Tiara mengerucutkan bibir, Sebagai kakak yang punya adik sebandel Elang, Ares terlalu baik, pikirnya.

Ares mulai meraih bukunya lagi, belum semenit ia membaca buku, dengan cepat ia menutup buku itu. Ares teringat suatu hal yang mengganjal.

"Apa kemarin ada latihan paduan suara di ruang klub?"

Tiara heran dengan pertanyaan Ares, keningnya mengkerut, "Bukan latihan, sih, cuma persiapan jadwal latihan buat festival sekolah sama pembagian suara. Kenapa?"

"Sampai jam berapa?"

"Hmm..." Tiara mengingat-ingat, "sekitar jam tiga sore. Kita kan berpapasan di depan GKS, sekitar waktu itu. Kenapa, sih?"

"Apa semua anggotamu waktu itu udah meninggalkan ruang klub?"

"Hmm.. waktu itu semua sudah pulang, kecuali Naya. Dia tetap di ruang klub entah sampai kapan, aku pulang duluan."

Ares terhenyak, "Naya? Naya yang dibuli Elang di kantin?"

Tiara mengangguk, "Iya. Dia murid penerima beasiswa karena bakatnya menyanyi. Karena itu dia ikut paduan suara, suaranya lumayan kok."

Nggak hanya lumayan. Suaranya luar biasa. Ares menghembuskan napas lega, ia sudah menemukan pemilik suara malaikat yang didengarnya kemarin.

"Hei!" Tiara mengibaskan tangan di depan wajah Ares. "Malah ngelamun. Oh, ya. Gimana persiapan mini konser amalmu?"

"Udah sekitar enam puluh persen."

"Apa udah menemukan orang yang cocok buat menyanyi di konsermu? Kamu bisa mengadakan audisi kalau masih belum ketemu."

"Nggak. Nggak perlu audisi, itu sangat merepotkan. Aku udah menemukannya dan akan memintanya langsung."

"Hah? Udah ketemu? Siapa, Res?" degup jantung Tiara tiba-tiba mencepat.

Aku... aku... semoga aja Ares memilihku buat nyanyi di konsernya. Ia menunggu jawaban Ares, tapi Ares malah tersenyum tanpa menjawabnya dan menepuk pelan kepalanya dengan buku.

"Aresss!" Tiara manyun.

Ares tertawa melihattingkah Tiara.

-----##-----

Deru motor Ares dan Elang terdengar nyaring memasuki pintu gerbang yang lumayan tinggi dan kokoh. Setelah memarkir motornya di garasi, keduanya memasuki rumah mereka yang luas dan penuh perabotan mewah. Namun, rumah sebesar itu nampak sepi. Mereka sudah terbiasa berada di situasi itu. Elang memperhatikan kakaknya yang saat ini berjalan di sampingnya. Sesekali dilihatnya Ares tersenyum, wajahnya juga tampak ceria.

"Kakak kenapa? Apa yang bikin kakak seneng? Menang lomba piano?"

Ares menghentikan langkah dan memandang adiknya yang menatapnya dengan heran.

"Aku udah menemukan dia." Tanpa berkata lebih lanjut, ia kemudian berlalu menaiki tangga lebar, menuju kamarnya di sisi kanan, mendahului Elang yang masih kebingungan melihat tingkah anehnya.

"Hah? Kakak ngomong apa, sih? Dia siapa?" Elang menggelengkan kepala dan bergegas menuju kamarnya ke arah berlawanan.

Di kamarnya, Ares melempar tasnya dan duduk di ranjang, di depannya ia memandang kertas yang disematkan dipin board-nya. Kertas lirik lagu yang ditulis Naya.

-----##------

To Be Continue

-----##-----  

28 Mei 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro