08. Makin Ke Sini Makin Ke Sana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siang itu Kala tidak langsung pulang ke rumah. Pun baru kali pertama ikut ke rumah orang lain selain teman kelasnya. Bertamu ke rumah Jiwa. Rumah berlantai dua yang pernah dilihatnya dari luar saja. Benar, keluarga Jiwa ternyata termasuk orang berada. Lihatlah garasi yang penuh dengan dua mobil di sana. Belum lagi mobil lain yang terparkir di halaman depan.

Dugaan Kala tidak meleset. Ternyata benar kalau Jiwa itu anak orang borjuis. Tiba di sana pun mereka disambut oleh pembatu dan langsung dibuatkan minuman dingin. Sementara Jiwa menuntun keduanya menuju lantai dua, tepat di mana kamar Jiwa berada.

"Ortu lo ke mana? Sepi amat rumah gedong begini."

"Kerja," jawab Jiwa cuek.

Kala mengangguk takzim, maklum orang kaya. Kalau tidak kerja, ya pergi liburan barangkali. Ia melirik Raga yang langsung menjatuhkan tubuh ke kasur Jiwa. Sikapnya santai sekali, seakan-akan rumah itu sudah seperti rumah sendiri.

"Sejak kapan kalian saling kenal?" tanyanya penasaran.

"Dari TK." Raga yang menjawab seraya memejamkan mata.

Sudah Kala duga kalau mereka berdua akrab cukup lama. Kala melirik rak buku di kamar Jiwa. Isinya rata-rata buku pelajaran. Ada piagam dan piala penghargaan yang terpajang di rak lain. Kala berdecap-decap kagum karena spek Mbay versi cowok ternyata ada di sekolah mereka. Siapa lagi kalau bukan Jiwa?

Bersamaan dengan itu datanglah seorang pembantu dan membawakan mereka minuman dingin. Si Mbak berpamitan setelah tersenyum ramah dan meletakkan minuman di meja belajar anak majikannya. Kala buru-buru membasahi kerongkongan dengan air dingin itu. Sejak tadi dia sudah haus bukan main.

"Gue rasa lo cuma ada perlu sama Kala. Ngapain gue diajak segala?" tanya Raga yang entah sejak kapan bangkit dan duduk bersila di ranjang.

Si pemilik kamar berjalan mendekat setelah mengganti seragamnya dengan kaus hitam tipis. "Memangnya nggak boleh? Gue pengin berteman sama kalian."

Dengan Kala lebih tepatnya sebab hanya dia anak baru di sana. Tentu Kala tidak masalah. Enggak peduli dia orang kaya atau sebaliknya. Makin banyak teman makin seru. Apalagi berteman sama duo ngenes di hadapannya.

"Ini karena cewek lagi, kan?" Raga melirik Jiwa dengan malas. "Udah gue bilang, fokus aja belajar. Lupain Anye. Emang dia pernah ingat lo lagi? Nggak, kan?"

"Tapi, Anye itu pacar pertama gue, Ga."

"Pacar pertama bukan berarti pacar terakhir. Cewek banyak di dunia ini."

Kala terbahak-bahak mendengar penuturan Raga. Untung minuman di mulutnya sudah tertelan semua. "Lo juga ngaca. Cewek di dunia ini bukan Binar aja."

"Tuh, ada kaca. Lo ngaca juga. Cewek di dunia ini bukan Mbay aja."

Hanya Jiwa yang menghela napas melihat cek-cok singkat itu. Ia berbaring di kasur. Di tengah-tengah Kala dan Raga yang duduk bersila. Mengamati langit-langit kamar yang putih mulus.

"Sebenarnya kita ini sama aja." Jiwa menggerakkan kacamatanya sebentar. "Gue juga pengin bebas. Males kayak gini terus. Anye bentar lagi kayaknya jadian sama Si Jatmiko itu. Dia udah nggak peduli sama gue. Lo berdua harus tahu, kalau gue pengin fokus belajar kayak dulu. Bukan jadi seperti sekarang yang terbagi fokus antara Anye dan belajar.

"Gue pengin nggak peduli sama Anye, tapi nggak bisa. Kenapa gue jadi berharap sendiri, ya? Gue pengin ngajak dia balikan, tapi gue nggak punya nyali. Sekarang keputusan gue udah bulat. Gue pengin bebas dari semua ini. Dari makhluk ribet bernama cewek."

Penuturan Jiwa yang demikian panjang membuat Kala dan Raga bertukar tatap. Kasihan juga melihat Jiwa yang tersiksa karena perasaannya sendiri.

"Lo berdua memangnya nggak merasa capek dengan keadaan sekarang? Benar, cewek banyak di dunia ini. Kenapa kita harus diperbudak perasaan hanya karena satu cewek? Kita bisa mendapatkan kebebasan. Urusan cewek bisa belakangan karena untuk saat ini kita hanya butuh terbebas dari perasaan sialan ini."

Raga menghela napas dan menyusul Jiwa. Ia berbaring di sisi kiri kasur seraya menatap plafon. Lamat-lamat hanya terdengar detak jarum jam karena tidak ada yang bersuara. Sampai akhirnya Raga memecah suasana hening.

"Binar juga kayaknya nggak peka dan nggak peduli sama sikap gue. Padahal gue baik dan perhatian sama dia karena gue suka. Lo tanya apa gue nggak capek? Capeklah, Goblok. Lemah banget gue kalau urusan dia. Apa-apa selalu dia yang gue prioritaskan. Kalau dia lagi pengin jalan sama Nino, selalu gue yang mencarikan resto atau kafe buat mereka."

Jiwa menghela napas lagi. "Ini udah saatnya kita bebas. Cewek-cewek itu bakal seenak jidat menginjak kita kalau kita lembek begini."

Gue nggak lembek. Kala mengamati kedua temannya. Sudah resmi berteman hari itu tepatnya dan merasakan bagaimana mengenaskannya mereka.

"Ayo, kita bebas dan mulai sekarang harus tegas sama mereka!" ajak Jiwa berapi-api.

Raga dan Jiwa kemudian kompak melirik Kala yang sejak tadi tak berkomentar. Harus banget dia terseret segala?

"Kalau gue masih pengin baik-baik aja sama Mbay. Jadi, gue kayaknya nggak ikut, deh."

"Ah, susah emang kalau sama bulol," celetuk Raga malas.

"Bukannya apa-apa. Masalahnya gue sama Mbay nggak sepelik kalian. Masalah di antara kami hanya masalah kecil. Jadi, dalam waktu dekat pasti bakal kelar, kok."

"Kapan?" tanya Jiwa dan Raga kompak.

"Bentar lagi."

Sebenarnya Kala juga ragu, mengingat sikap Mbay yang makin ke sini, makin ke sana. Apalagi siang tadi. Mbay terlihat sangat marah. Di sisi lain Kala berpikir jernih, mengapa Mbay terkesan sangat tidak suka melihat Kala dengan teman-temannya?

-oOo-

"Jangan pulang terlalu malam, Kal. Sudah kelas dua belas, harusnya kamu di rumah aja belajar yang bener."

Pesan dari ibunya terngiang dalam kepala Kala. Sudah diingatkan berkali-kali, tetapi Kala jarang betah di rumah untuk belajar. Padahal rumah selalu ramai dengan kehadiran ibu dan bapaknya. Juga Indy, adik perempuan satu-satunya, tetapi Kala merasa harus keluar rumah sesekali.

Malam itu ia bertolak ke rumah Mbay. Aksi cuek di antara mereka harus diselesaikan. Kala tidak tahan lagi karena sikap Mbay yang diam saja. Bahkan tidak membalas puluhan pesan yang dikirimnya ke WhatsApp. Kala kangen berbincang dengan Mbay. Duduk di depan laptop atau buku paket untuk belajar bersama.

"Kalian lagi berantem, ya?" tanya Namira-mamanya Mbay.

"Dikit, Tante."

"Dasar anak muda. Duduklah! Tante panggilkan Lembayung dulu. Sekalian Tante bikinkan minum."

"Terima kasih, Tante."

Sepeninggal Namira dari hadapannya, Kala mengamati keadaan sekitar. Tertuju pada jendela kamar Mbay. Lampu ruangan itu masih menyala dan tidak mungkin Mbay akan tertidur secepatnya. Pasti masih sibuk mempelajari ulang materi tadi siang.

Berselang dua menit, Kala mengalihkan atensi. Sosok yang ditunggunya keluar membawa segelas teh hangat. Kala berusaha memamerkan senyum terbaiknya, tetapi Mbay masih dengan wajah datar. Sabar, Kala.

"Maaf aku ganggu waktumu. Lagi belajar, ya?" tegur Kala.

Mbay mengangguk singkat, melengos saat Kala menatapnya. Perasaan Kala nyeri bukan main. Padahal kesalahannya tidak fatal, tetapi Mbay seakan-akan menunjukkan bahwa Kala telah melakukan kesalahan yang luar biasa. Dia tidak berselingkuh, tidak berbohong, atau kesalahan apa pun yang cukup bikin cewek murka berhari-hari.

"Mbay, sampai kapan mau kayak gini? Aku minta maaf, Mbay. Janji nggak bikin kamu marah lagi. Hari itu aku memang kesal dan nggak berpikir jernih udah marah-marah ke kamu."

"Iya, aku maafin."

"Bohong. Kamu masih ketus begitu ke aku."

Kali ini Mbay berbalik menatap Kala dengan sorotnya yang super serius. Ada setitik harapan dalam diri Kala. Semoga saja Mbay juga tidak betah dan ingin segera memecahkan dinding kebisuan di antara mereka selama beberapa hari ini.

"Kamu sebenarnya sayang nggak sama aku, Kal?"

"Sayang, dong. Kalau nggak, mana mungkin aku kayak gini? Berhari-hari pengin kita baikan."

"Tapi, begitu aku cuekin malah dicuekin balik. Aku kayak nggak ada di mata kamu tahu nggak!"

"Mbay, nggak begitu. Aku ...."

"Cuma membalas sikapku?" Mbay dengan cepat memotong ucapan Kala. "Padahal aku minta kamu fokus belajar juga demi kebaikan kamu sendiri. Niat baik aku kayaknya nggak tersampaikan ke kamu, ya? Kamu lebih suka main-main sama teman-temanmu yang nggak jelas itu."

Kalimat terakhir dari ucapan Mbay membuat Kala agak kaget. Terlihat jelas bahwa Mbay sangat tidak suka melihat Kala bermain dengan Heksa dan yang lain. Baru kali itu Kala melihat pacarnya berbicara demikian ketus dengan ekspresi kentara tidak suka.

"Mbay, tapi mereka teman-teman kita juga. Kita sekelas."

"Aku nggak pernah berteman dengan mereka, tuh."

"Mbay?" tegur Kala. Tak percaya kalau perkataan pacarnya cukup keterlaluan. "Oke, nggak usah bahas mereka. Sekarang bahas kita dulu. Kamu mau aku melakukan apa biar dimaafin?"

"Kalau kamu sayang sama aku, jauhin teman-temanmu." Mbay tanpa ragu berkata demikian. Tentu membuat Kala terkesiap kaget. "Main sama mereka nggak ada untungnya. Memangnya kegiatan mereka bisa menjamin masa depan kamu bagus? Kalau kamu nggak bisa menjauhi mereka ...." Mbay berdiri dari tempat. "Jauhin aku."

Loh, yang benar saja. Makin ke sini, kok, makin ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro