3. Janji yang Ditepati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ratna!"

Berlari cepat, kemudian menangkap. Memeluk erat kedua kaki, memastikan posisi badan tetap dalam keadaan melayang tidak terjerat. Sepersekian detik terlambat, seorang kakak laki-laki akan kehilangan adik perempuannya yang sangat berharga.

“Cepat turun, Ratna! Kamu sudah gila!? Untuk apa kamu melakukan ini?”

“Lepaskan, Kak! Biarkan aku pergi! Untuk apa hidup dalam keadaan seperti ini!? Aku adalah perempuan kotor dan hina!”

"Aku tahu betapa menyakitkan hal yang kamu rasakan, tetapi bunuh diri bukan jawabannya. Kamu masih punya masa depan yang cerah.”

Isak tangis pecah. Tidak ada lagi perlawanan. Kakak sudah bisa mengangkat perlahan adiknya, sehingga leher terlepas dari jeratan tali. Dengan hati-hati, dia membaringkan adiknya di atas kasur. Menggenggam tangannya dengan erat. Ikut menangis karena dapat merasakan kesedihan mendalam yang tengah dirasakan adiknya.

***

Sebatang kayu hitam terus menghantam besi berulang-ulang. Kebisingan yang diciptakannya tidak membuat penghuni sel terbangun. Matanya terpejam dan tubuhnya terpaku. Begitu nyenyak dia terlelap.

“Tahanan 227, bangun! Bangun! Bangun! Aku mendapatkan perintah dari Pak Aji.”

Kedua mata terbuka lebar. Bangkit dari tempat tidur dalam satu detik. Joseph dan sipir berhadapan cukup dekat. Hanya jeruji besi yang memisahkan mereka.

“Kau keluar hari ini. Perintah dari Pak Aji. Aku diperintahkan untuk mengantarkanmu ke ruang ganti. Jadi, berbaliklah agar aku bisa memasangkan borgol.”

Melakukan apa yang diminta tanpa berkata atau mengelak. Joseph keluar dari sel dan berjalan mengikuti sipir. Pemandangannya masih belum berubah. Para tahanan yang ada di dalam sel bertingkah waras. Bermeditasi, memperdalam spriritualitas, dan melakukan hal baik lainnya. Menjauhkan diri dari pikiran-pikiran jahat.

Beberapa di antaranya masih berbuat tidak waras. Merinding ketakutan di lantai, bahkan bersembunyi di bawah tempat tidur. Satu hal yang sama dari mereka adalah tidak ada yang berani menatap Joseph.

Sepuluh menit waktu yang diberikan kepada Joseph untuk bersiap-siap. Kamar mandi umum untuk para tahanan sementara waktu dikuasai olehnya. Secara terus-menerus wajahnya dihantam oleh air. Bermaksud untuk menyadarkan diri dari mimpi yang mengganggu. Meski tidak benar-benar membantu, setidaknya mata menjadi lebih segar.

Tetesan darah menetes. Mengubah genangan air yang mengantre untuk turun dari wastafel menjadi merah. Menetes tanpa henti dan tidak ada satu pun yang mengenai kepala Joseph. Meski menyadarinya, dia memilih untuk tidak menghiraukan. Tetap membasuh muka seakan tidak terjadi apa-apa.

“Apa kau akan keluar dari sini, Joseph?”

Terdengar tiga suara dengan intonasi yang berbeda. Namun, asal suara itu dari titik yang sama. Tepat di atas kepala Joseph.

“Iya, aku akan keluar dari sini. Lebih cepat tiga hari dari yang aku tahu.”

Seekor laba-laba berukuran cukup besar tiba-tiba saja mendarat di atas punggung Joseph. Delapan kakinya melekat kuat. Kepalanya yang berjumlah tiga tepat berada di samping kiri wajah Joseph. Mulut dari salah satu kepala terus mengeluarkan darah. Sebuah buntut setengah berbulu dan setengah tidak menjuntai keluar. Tersangkut di sela-sela gigi.

“Kalau kau keluar, dengan siapa lagi aku harus berbicara? Orang-orang di sini tidak ramah. Baru mendengar suaraku saja sudah menjauh. Apa lagi jika aku menunjukkan tubuhku yang indah ini? Mereka pasti akan menutup mata karena tidak berani menatap keindahannya.”

“Turun.”

“Tidak mau. Aku ingin berdekatan denganmu lebih lama lagi.”

Tanpa basa-basi, tangan kanan Joseph mencengkeram kepala laba-laba yang mulutnya terus mengeluarkan darah. Kepala terputus dalam sekejap mata. Cairan ungu mengucur deras membasahi kaca dan dinding di sekitarnya. Laba-laba yang terkejut, melompat menjauh dan mengerang kesakitan.

“Apa yang kau lakukan, Anak Sialan!? Apa maksud tindakanmu ini!?”

Joseph melepaskan cengkeraman. Kepala laba-laba memantul beberapa kali, kemudian menggelinding ke bawah wastafel. Mata laba-laba dari kepala yang terputus bergerak ke sana ke mari seperti mencari keberadaannya.

Kedua tangan menari di bawah kucuran air. Cairan ungu yang menempel perlahan menghilang. Wajah Joseph masih belum menatap balik. Terlihat tetap tenang seperti danau di musim semi saat mengelap tangannya dengan handuk kecil.

“Tikus yang kau makan itu bernama Alexander III. Alexander I tewas karena diinjak salah seorang sipir tanpa sengaja. Alexander II tewas karena digigit salah seorang tahanan yang sudah gila. Jadi, aku berjanji untuk menjaga adik bungsu mereka. Tikus yang mengalami kelainan genetik. Buntutnya setengah berbulu dan setengah tidak.”

“Jadi, kau memutuskan kepalaku hanya karena seekor tikus!?”

Keran dimatikan. Handuk yang sudah tidak berguna dilempar begitu saja. Air yang menggenang sudah turun seutuhnya. Tidak ada lagi suara yang mengusik perbincangan antara mereka berdua. Joseph memosisikan diri menghadap laba-laba itu.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Kurang ajar!”

“Ventus.”

Angin kencang berhembus dan menghilang dengan sekejap. Tubuh laba-laba yang menerjang ke arah Joseph tercincang-cincang jadi bagian yang sangat kecil.

Satu-satunya bola mata laba-laba yang masih utuh menangkap penampakan yang mengejutkan. Sayap hitam berukuran cukup besar dengan bulu-bulunya yang terlihat seperti susunan bilah pisau, tersemat di punggung Joseph. Hanya terlihat sekilas, karena kembali masuk ke dalam tubuhnya.

Penglihatan laba-laba mulai hilang. Bagian demi bagian tubuhnya berubah menjadi abu. Menghilang tanpa jejak. Menyisakan genangan cairan ungu di lantai yang hanya bisa dilihat orang-orang tertentu.

Kembali melanjutkan tujuan utamanya. Joseph mengganti pakaian tahanan dengan pakaian di dalan sebuah tas yang telah disediakan sipir. Bukan seleranya, tetapi tidak ada pilihan lain. Begitu keluar dari kamar mandi, dia disambut oleh dua sipir tambahan. Sipir yang mengantarnya menerima pakaian tahanan bekas dirinya, sementara dua sipir yang baru datang berjalan mengawalnya.

“Apa Pak Aji tidak ingin bertemu sebelum aku pergi?”

“Dia sedang memenuhi panggilan polisi terkait tahanan yang bunuh diri. Kami diberi perintah untuk mengantarkanmu, itu saja. Dia hanya meninggalkan sebuah pesan. Aku akan memberitahukannya saat kau sudah keluar dari gerbang.”

Terakhir kali Joseph bertemu dengan Kepala Penjara adalah tiga tahun lalu, saat hari pertama dirinya tiba. Selama berada di sini, dia hanya bertemu dengan para sipir dan tahanan lain. Selalu dijauhi oleh mereka. Tiga tahun dilalui hampir tidak berkomunikasi sama sekali.

Pintu belakang terbuka, sinar matahari menusuk sekujur tubuh. Joseph lupa bagaimana rasanya disiram ultraviolet secara langsung.  Biasanya, ultraviolet yang menyerang kulit sudah tersaring oleh kaca jendela. Sel, kamar mandi, ruang kerajinan, lapangan, dan berbagai ruangan lainnya benar-benar tertutup rapat. Kakinya sampai terdiam berhenti melangkah. Menikmati sensasi yang sangat dirindukan.

“Aku baru tahu kalau sinar matahari rasanya senyaman ini.”

Kedua sipir saling menatap. Mereka tidak bisa marah atas apa yang Joseph lakukan. Dapat memahami apa yang sedang dirasakannya. Memutuskan untuk memberi waktu baginya menikmati hidup sejenak.

Satu menit berlalu, Joseph berjalan kembali. Diikuti oleh kedua sipir yang menemaninya. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti. Bukan karena keinginan pribadi, tetapi karena diinterupsi.

“Tunggu! Tunggu!”

Sipir penjaga gerbang masuk ke dalam pos. Cukup lama sampai akhirnya dia keluar kembali. Berlari dengan membawa sebuah tas jinjing. Napasnya terengah-engah begitu sampai di hadapan Joseph.

“Kau … sudah … keluar? Aku ingin membayar hutangku kepadamu.”

Tas jinjing diterima Joseph. Senyum tipis tergambar. Tidak bisa menutupi bagaimana pemberian sederhana itu berhasil membuatnya merasakan sedikit kehangatan.

“Di dalamnya ada 36 batang cokelat dengan merek dan rasa yang berbeda. Aku tidak tahu apa seleramu, jadi aku beli cokelat yang berbeda-beda. Aku hanyalah penjaga gerbang. Tidak punya wewenang untuk menemuimu. Jadi, aku memutuskan untuk memberikannya saat kau keluar. Aku mengetahui kapan kau keluar dari Pak Aji. Aku sudah memeriksa tanggal kadaluarsanya. Aku rasa kau bisa menghabiskannya sebelum mereka semua tidak bisa dimakan.”

Tidak semua cokelat di dalam tas jinjing disukai Joseph. Tetapi karena itu adalah pemberian yang tulus, tidak etis baginya untuk tidak memakan semua cokelat yang ada.

“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Yang jelas semenjak kita bertemu, tangan kananku tidak lagi mengalami kesialan. Aku bisa hidup dengan tentram dan menjalani kehidupan dengan baik. Terima kasih.”

Tawaran untuk berjabat tangan terlontar ke hadapan Joseph. Tanpa pikir panjang ataupun ragu, tawaran itu diterimanya. Bonus pelukan pun juga diberikan sipir itu.

“Semoga kau menjalani kehidupan yang baik setelah keluar dari sini. Jika butuh bantuanku atau sekedar mengajakku untuk minum kopi, hubungi saja aku. Aku memberikan nomor ponselku di dalam tas jinjing. Jangan lupa untuk menghubungiku. Jangan lupa juga untuk menyimpan semua cokelat itu di kulkas sebelum mencair.”

Puas meluapkan rasa terima kasihnya, sipir itu melepaskan pelukan dan memberikan ruang untuk Joseph lewat. Matanya yang berkaca-kaca seperti ingin menangis terlihat sangat jelas oleh Joseph dan kedua sipir lain.

“Terima kasih cokelatnya.”

Suasana yang semula kaku, mulai melemas. Penjaga gerbang berlari kembali menghampiri pos. Lupa terhadap tugasnya membukakan gerbang. Cukup lucu untuk dilihat. Cukup heran melihat kelakukannya yang unik, padahal pernah dipenjara selama dua tahun.

Kini, ketiga sipir dan Joseph terpisahkan garis gerbang.

“Ini pesan dari Pak Aji.”

Joseph mengambil secarik kertas yang terlipat rapi dari genggaman sipir. Pintu gerbang tertutup dan semua kembali melanjutkan kehidupan masing-masing. Setelah menyeberang jalan, Joseph membaca secarik kertas yang baru diterimanya.

 “Berjalanlah ke arah jalan di mana kau datang tiga tahun lalu. Ikuti jalan sampai tiba di hutan. Akan ada orang yang menjemputmu di sana. Maaf aku tidak bisa mengunjungimu secara langsung, karena ada kode etik yang harus aku penuhi. Terima kasih juga aku berikan padamu. Semenjak kau di sini, entah kenapa penjara terasa lebih sejuk dari biasanya. Tidak perlu dipikirkan soal kata-kataku di pertemuan pertama kita. Itu hanya salah paham semata dan aku sudah memaafkanmu. Semoga kau menjalani kehidupan dengan baik setelah keluar dari sini.

“Fuego.”

Percikan api membakar sudut kanan atas kertas. Terbakar seutuhnya menjadi abu begitu Joseph melepaskannya. Surat itu cukup berarti karena berisi ungkapan hati yang tulus dari seseorang terhadapnya, namun tidak bisa disimpan karena berisi informasi yang bisa membahayakan Kepala Penjara. Jika polisi melakukan penyelidikan secara mendalam sampai tiba di hadapannya, bukan tidak mungkin mereka menemukan keberadaan kertas itu. Meski kemungkinannya kecil, tidak ada salahnya waspada.

Cokelat pertama dibuka. Cokelat dengan merek dan rasa yang belum pernah Joseph coba. Menyisakan yang terbaik di akhir sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging.

“Rasanya lumayan untuk ukuran cokelat tidak terkenal dan gratis.”

Membunuh kaum Djinn untuk seekor tikus yang sudah mati?

Suara serak yang menakutkan. Bernada rendah seperti makhluk-makhluk menyeramkan pada umumnya. Berbicara di dalam pikiran Joseph.

“Aku memberi makan tikus itu setiap hari, Moz. Berjanji juga untuk menjaganya. Kalau dia terbunuh, sudah jadi tanggung jawabku untuk balas dendam selagi ada kesempatan.”

Kau pasti sudah tahu kalau tikus-tikus di sana sengaja dilepaskan oleh mereka. Tujuannya untuk memberi makan makhluk-makhluk seperti kami. Jadi, kau sudah jelas melindungi sesuatu yang salah.

Fokus dengan cokelat. Dengar, namun tidak peduli. Joseph tidak berminat membicarakan benar dan salah dengan sosok yang tidak memahami konsepnya.

Cukup kesal karena dihiraukan, Moz menyerap rasa dari cokelat yang dimakan oleh Joseph. Apa yang dilakukannya tidak membuahkan hasil apa pun. Joseph tetap memakan cokelatnya seakan tidak terjadi apa-apa. Berbuat jengkel dan masih dihiraukan. Mengganti topik pembicaraan adalah pilihan selanjutnya.

Jika benar perempuan yang menyuruh Agus untuk bertemu denganmu dan memberikan tes ini adalah perempuan yang kita temui, apa yang akan kau lakukan?

Langkah kaki Joseph terhenti, namun tidak dengan mulutnya yang terus mengunyah. Otaknya mencoba mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu saat bertemu dengan perempuan misterius itu.

“Aku menggunakan kemampuanmu untuk menghilangkan hawa keberadaan sampai benar-benar tidak bisa dilihat siapa pun. Akan tetapi, dia tetap bisa melihatku. Aku tidak tahu seberapa kuat dia, jadi belum tahu harus berbuat apa saat bertemu dengannya.”

Di tengah obrolan antara manusia dan Djinn itu, lingkaran hitam muncul di belakang mereka. Menarik sangat kuat. Saking cepat kejadiannya, Joseph tidak sempat melakukan apa pun. Tubuhnya masuk ke dalam tanpa perlawanan.

Belum bisa memahami apa yang terjadi, Joseph muncul di sebuah ruangan. Kaki kirinya dengan cekatan berpijak mendorong lantai. Menggagalkan badannya terhempas jauh ataupun terjatuh.

“Selamat datang.”

Penglihatan seketika terpaku ke asal suara. Tidak asing bagi ingatan Joseph. Meski sedikit berubah, tetapi senyuman yang mengandung glukosa mematikan itu masih tetap sama.

“Hai, Joseph. Aku, Clarine. Senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro