-TUJUH-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Berikan aku jalan untuk melupakanmu~

"Lo nangis?"

Nata langsung menghapus air matanya, tetapi sialnya cairan bening itu terus berderai, sangat sulit untuk dihentikan. Sekarang, berbohong pun ia tidak bisa. Rasa sesak yang menghimpit dadanya sungguh membuat Nata kesulitan mengontrol emosi.

Tirta menatap gadis di depannya, tidak ada suara, hanya isakan yang terdengar. Jujur, ini adalah pertama kali ia melihat Nata menangis. Ia ingin tertawa karena ekspresi gadis itu terlihat lucu saat terisak seperti ini, di satu sisi ia juga kasihan karena apa yang membuat Nata terisak sudah jelas sangat memukul hati cewek berumur dua puluh tahun itu.

"Lo pengen pulang?" tanya Tirta. Ia bingung harus berbuat apa. Tirta tidak tahu seni membujuk seseorang agar berhenti menangis.

Nata menggeleng sebagai jawaban. Nata seharusnya segera pergi dari sini, tetapi entah kenapa ia seakan tidak bisa bergerak. Ada rasa malu karena menangis di depan cowok yang ia sukai, tetapi Tirta sudah terlanjur melihatnya kacau seperti ini.

"Ngomong, dong, Nat," ucap Tirta sehati-hati mungkin.

"G-gue ma-" Nata menggantung ucapannya kala Tirta tiba-tiba beranjak dari atas motornya ke arah seorang gadis anggun yang sedang berderap ke mobilnya.

Hatinya mencelos. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi. Nata menghapus air matanya dengan kasar. Harusnya ia tidak di sini, harusnya ia sudah pergi. Nata terus mengumpat di dalam hati, mengatai dirinya bodoh.

Kenapa suka sama lo bisa sesakit ini, sih, kesal Nata dalam hati.

Cowok berjaket bahan parasut itu seketika berhenti melangkah, tersadar akan sesuatu. Ia baru saja meninggalkan Nata yang sedang menangis. Dengan perasaan bimbang, ia melirik gadis itu sedang menghapus air matanya kemudian ia berbalik menatap Disya.

Betapa kagetnya Tirta saat melihat seorang cowok datang dari arah belakang Disya dan langsung merangkul pacarnya. Ia ingin menghampiri keduanya, tetapi dari balik punggungnya terdengar bunyi mesin motor, Tirta sontak berlari menghampiri Nata yang sudah membelokkan motornya. Dengan sigap, ia menahan besi jok belakang motor gadis itu. Menahannya agar Nata tidak pergi begitu saja.

"Ikutin gue," suruh Tirta saat melihat Nata menoleh sembari mengangkat kaca helmnya.

Kedua alis gadis itu bertaut tanda sedang bertanya. Tirta menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu tersenyum singkat sembari menatap Nata. Tirta tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi ia yakin tindakannya tidak akan salah.

"Ikutin gue dari belakang," pinta Tirta.

Nata menoleh ke kanan dan kedua netranya langsung melihat kehadiran Disya dan seorang cowok yang ia lihat tadi siang bersama Disya. Ia kemudian beralih menatap cowok di belakangnya. Otaknya berpikir berkali-kali lipat seperti pada saat mengerjakan soal matematika. Tirta sama sekali tidak mengampiri Disya dan malah mengajaknya entah ke mana.

"Ke mana?" tanya Nata. Ia pikir akan lebih baik jika mengikuti Tirta. Ia sedang tidak ingin pulang ke rumah.

***

Butuh sepuluh menit untuk tiba di tanah kosong yang dipenuhi oleh rumput liar. Kata Tirta, ini adalah tempat serbaguna. Biasa dijadikan lapangan bermain sepak bola, acara tujuh belas agustusan, kemah, dan masih banyak lagi. Nata yang masih duduk di jok motor mengerjap perlahan, matanya memandang hamparan lahan luas di depannya.

"Kenapa lo ngajak gue ke sini?" tanya Nata sedikit penasaran. Biasanya cowok-cowok akan mengajak ke tempat yang romantis dan indah dipandang. Akan tetapi, Nata tersadar, ia bukan siapa-siapa Tirta. Seharusnya Tirta tidak perlu mengajaknya ke tempat yang tidak ada indah-indahnya ini sama sekali, bukan?

Bola matanya hanya melihat rumput liar, kotoran sapi, beberapa pohon ketapang yang begitu besar dan juga podium di pinggir lapangan. Mengerti dengan apa yang dipikirkan Nata, Tirta lalu tertawa kencang.

Tirta memperbaiki letak ranselnya di pundak sebelum berjalan ke tengah lapangan. "Gue tau tempat ini malah makin ngerusak mood lo. Karena gue mau lo nangis, ngeluarin semua kesedihan lo di sini," teriak Tirta karena Nata sama sekali tidak mengikutinya.

Nata merasakan jantungnya berdegup cepat. Ia bahagia, tatapi juga sedih mengingat kata-kata kasar sang Ayah kepada ibunya beberapa saat lalu. Nata menunduk bersamaan dengan air mata yang kembali terjatuh.

Benar kata Tirta, tempat ini membuat perasaannya semakin buruk. Cowok itu sama sekati tidak berubah. Selalu memiliki pemikiran berbeda dari yang lain. Dalam keadaan terisak, Nata berjalan ke tengah lapangan, menghampiri Tirta. Hanya tersisa beberapa langkah antar dirinya dan cowok di depan sana, tetapi ia tiba-tiba terjatuh tanpa ada sesuatu yang menyandung kakinya.

Tirta yang melihat Nata terjatuh, langsung berlari mendekati gadis itu. Tirta berjongkok tepat di depan kaki Nata dan memeriksanya. Tidak ada batu atau apa pun yang bisa membuat Nata terjatuh, kecuali gadis itu tersandung sendiri dengan kakinya.

"Sakit?" tanya Tirta, memastikan kondisi Nata.

Nata menggeleng. "Kaki gue gak ngerasain apa pun," lirih Nata. Ia ingin marah, kenapa kesedihan datang di saat bersamaan seperti ini. Ia butuh kakinya sebagai tumpuan, setidaknya berjalan sembari menendang angin sudah cukup membuatnya tenang. Hatinya sudah tidak sanggup menahan kesedihan hari ini.

Tirta mengernyit, tetapi ia tidak ingin bertanya. Ia tahu kondisi hati Nata sedang tidak baik-baik saja. Ia lalu duduk di samping Nata, mengikuti gadis itu yang sedang bersusah payah meluruskan kakinya. Tirta mendongak menatap langit. Ternyata sudah berganti warna menjadi jingga.

"Liat. Ini yang gue sebut indah." Tirta menunjuk langit senja dengan senyum merekah. Nata yang tadinya sibuk memukul-mukul kakinya, kini menoleh menatap Tirta. Hatinya menghangat, darahnya berdesir hebat kala melihat senyum cowok di sampingnya. Dari jauh, Nata selalu melihat senyum itu saat bersama Disya. Namun, sekarang ia dapat melihatnya dengan jelas.

Nata tidak memandang senja, baginya Tirta selalu menjadi objek yang menarik untuk dipandang. Ia berusaha merekam wajah dengan senyum lebar itu, berharap bisa melihatnya setiap hari. Nata tersentak saat Tirta berdecak.

"Senjanya di sana, Nat. Bukan di wajah gue," kekeh Tirta seraya memalingkan wajah Nata menggunakan kedua tangannya untuk melihat langit sore yang kini menampakkan bias jingga.

Lama terdiam, akhirnya Tirta memilih membuka suara. "Lo udah gak nangis, kan?" Nata menoleh sembari menampakkan senyum tipis. Entah sihir seperti apa yang Tirta gunakan sehingga ia bisa melupakan masalahnya untuk sejenak.

"Kalau pengen nangis lagi, nangis aja. Kalau lo malu karena diliatin gue, gue bisa balik badan, sekalian jadi tameng biar gak diliatin orang," ujar Tirta, merasa konyol dengan ucapannya sendiri. Akan tetapi, ia melakukan itu karena ingin menghibur temannya, tidak salah bukan?

Nata tertawa. "Sejak kapan lo bisa kayak gitu?"

"Makanya jadi cewek gak usah cuek-cuek sama gue. Semua orang juga tau kalau gue ini ramah, hangat, tapi kadang judes juga, sih," seloroh Tirta.

Nata menatap Tirta bingung. Dari ketiga sifat cowok itu, hanya judes dan sikap dingin yang paling menggambarkan Tirta jika berhadapan dengannya. Kenapa Nata tidak bisa menebak kepribadian Tirta yang sebenarnya?

"Judes dan dingin itu lo banget," sambar Nata pada akhirnya.

Tirta terdiam, mencoba mencerna ucapan Nata. Benar. Ia memang judes, tetapi bersikap judes dan dingin hanya dihadapan gadis itu saja. Tirta selalu yakin bahwa sikap Nata yang cuek, seolah-olah tidak peduli dan juga kekakuan gadis itu yang membuatnya bersikap berbeda di hadapan Nata.

"Cuek dan kaku. Gue rasa dua sikap lo itu cuma diperuntukkan buat gue doang. Oke, kalau cuek gue ngerti, lo emang cuek, tapi cuek dan kaku lo ke gue itu beda," tebak Tirta tepat sasaran.

Nata merasakan jantungnya sedang digedor-gedor kencang. Bagaimana tidak? Tirta merasakan perbedaan tingkahnya. Nata pikir, Tirta tidak sepeka itu, tetapi ternyata cowok di sampingnya ini cukup peka.

"Dih, emang lo spesial harus dibedain," cibir Nata sambil melengos.

Tirta tampak berpikir. "Bisa jadi." Nata menahan napas kala Tirta menoleh ke arahnya, menatapnya penuh selidik.

Nata mengerjapkan matanya berulang kali. Bisakah ia menghilang sekarang? Andai pintu ke mana saja nyata adanya, Nata ingin selalu membawa pintu itu bersama dirinya untuk kabur kapan pun ia mau.

"Ck. Pd lo kebangetan." Jelas saja Nata berbohong. "Gue pengen pulang, makasih buat hari ini." Setelah itu, Nata mencoba menggerakkan tungkainya, ia berharap kedua kakinya sudah pulih. Biasanya tidak butuh waktu lama untuk menunggu kakinya normal kembali.

📘

The seventh day ODOC wH
.
.
Aku gemes sendiri sama Nata😑

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro