[Cerpen] Something, I Don't Know oleh Fairyhope

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Something, I Don't Know
Penulis: Fairyhope18


Ini tidak lucu. Aku sebagai manusia tidak bisa berbuat apa pun, padahal makhluk yang saat ini duduk memeluk lututnya di pojokkan dekat pintu sangat mengganggu. Sedari malam sampai pagi begini dia terus saja meraung dan menangis—hampir-hampir merusak gendang telingaku. Percayalah, tangisannya sangat tidak wajar. Sebenarnya aku kasihan, tetapi berada di satu ruangan dengannya lebih lama lagi, akan membuatku lebih tidak berdaya. Sehingga aku buru-buru keluar kamar dan sebaiknya pergi ke sekolah lebih awal.

Omong-omong memang ada begitu hantu yang masih memikirkan tentang perasaan? Bahkan dia masih ingat rasa sakit hatinya setelah tahu jika calon suaminya ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, di hari mereka akan menikah. Setiap mengingat itu, maka dia akan menangis semalaman. Aku benci hantu cengeng sepertinya. Lebih benci lagi pada diriku yang tidak berani mengusirnya.

Kenapa? Karena dia yang telah membantuku dalam segala hal setelah aku mengalami hilang ingatan. Mencarikanku tempat tinggal, walaupun hanya sebuah ruangan persegi dengan kamar mandi berukuran kecil. Tidak bagus, bahkan tempat tinggal itu tidak layak untuk ditempati manusia. Pengap, lembap, kotor, dan bau. Hanya saja aku tidak punya pilihan lain. Saat aku bertemu dengannya, aku hanya tahu namaku dari baju seragam sekolah yang kukenakan. Lewat baju seragam itu juga, hantu cengeng bernama Bae Ryejin itu menemukan sekolahku.

Lalu, apa aku menyesal mengandalkan seorang hantu? Tidak. Karena pada kenyataannya aku memang tidak memiliki siapa-siapa. Aku tidak diinginkan setelah Ayah meninggal.

Menurut gosip teman-teman sekelas yang tidak sengaja aku dengar, Ibu dan saudara tiriku tidak menginginkanku. Mereka hanya mengincar harta Ayah dan mengusirku dari rumah. Setelahnya mereka pergi ke Seoul dan meninggalkanku sendirian di Busan. Anehnya, yang mereka bicarakan tidak satu pun terekam dalam otakku.

Namun, setelah aku amati. Sepertinya bukan hanya Ibu dan saudara tiriku saja yang tidak menyukaiku, teman-teman di sekolahku pun begitu. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau bicara denganku. Acuh tak acuh dan menganggapku tidak pernah ada. Apa aku memang ditakdirkan untuk hidup sendirian, atau aku memang terlalu menjijikkan untuk mereka jadikan teman?

“Sepertinya kau terlalu sedih setelah Ayahmu meninggal dan mengalami gangguan mental saat Ibu dan saudara tirimu mengusirmu. Mungkin itu sebabnya kau mengalami hilang ingatan. Otakmu tidak mampu berpikir terlalu keras,” simpul Ryejin, yang usianya tentu saja jauh di atasku, setelah aku menceritakan semua kepadanya.

Aku mengembuskan napas lemah, mengalihkan pandangan pada sisi taman yang dipenuhi pohon-pohon Cherry blossom yang sedang mekar dan sangat indah.

“Lalu tentang kelebihanku yang akhirnya bisa melihat hantu, apakah itu akibat dari tingkat stres yang tinggi juga?”

“Mungkin saja,” jawabnya lalu tertawa seperti orang bodoh. “Seseorang bisa melihat hantu setelah mengalami keterkejutan dan guncangan batin yang hebat.”

“Yang benar saja?” protesku merasa tidak masuk akal. Karena waktu itu aku pernah menemukan bekas luka menganga yang cukup besar. Aku tidak tahu jelasnya, karena luka itu ada di kepala. Jadi, mungkin sebelumnya kepalaku pernah membentur sesuatu dan akhirnya terluka. “Jangan membodohiku.”

Aku segera beranjak dari kursi besi menuju stasiun untuk segera pergi ke sekolah. Walau bagaimanapun dulu aku adalah siswa yang pintar, berkat kepintaranku itu, aku bisa mendapatkan beasiswa. Jadi aku harus tetap bersekolah agar bisa lulus dengan nilai bagus, mendapatkan Universitas terbaik, dan bekerja untuk mendapatkan banyak uang—nantinya.

Omong-omong tentang kelebihanku itu, sesungguhnya aku masih penasaran. Jika kalian berpikiran sangat menyenangkan, maka kalian salah besar.  Ini merepotkan, sungguh. Apalagi jika bertemu dengan hantu yang memiliki tingkat keusilan yang tinggi. Bahkan sampai sekarang pun aku masih sering terkejut, ketika mereka muncul dengan tiba-tiba dan menunjukkan wujud aslinya yang buruk rupa.

Misalnya seperti saat aku berada di kereta, lalu mendadak dari gerbong sebelah muncul seorang perempuan bergerak merangkak dan langsung mengarahkan pandangannya padaku. Mungkin dia sadar jika aku bisa melihatnya. Awalnya dia menunjukkan senyuman manis, tetapi selang beberapa detik wajahnya yang cantik itu berubah sangat menyeramkan. Muncul darah mengalir dari pelipis membasahi wajah sampai leher, rambutnya lepek seperti habis kena air. Yang paling menakutkan adalah satu bola matanya keluar.

Sontak aku memejamkan mata. Aku tidak sanggup melihat semua itu. Sampai aku menyadari jika bau amis yang ditimbulkan oleh hantu itu sudah menghilang. Mungkin dia sudah pergi, pikirku. Perlahan-lahan aku membuka kedua mata, Namun, saat kedua mataku sudah terbuka sempurna. Sosok yang tadi, muncul lagi dengan cepat tepat di depan wajahku. Tentu saja aku menjerit sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Aku tidak sadar jika yang kulakukan membuat orang-orang di sekitarku merasa takut. Sehingga mereka beranjak dari duduk dan berlari menjauhiku.

Malu, akhirnya aku memutuskan untuk turun lebih awal dari stasiun tujuanku. Aku berjalan menunduk dengan perasaan yang sangat pilu. Apa karena keanehanku, maka itu mereka menjauhiku? Jika bisa memilih, aku ingin menjadi manusia normal yang hidup dengan tenang.

***

Bel tanda dimulainya pelajaran sudah dibunyikan. Aku yang awalnya menumpukan kepala di atas meja segera mengambil posisi duduk yang tegap. Beberapa murid yang masih di luar pun segera memasuki kelas dan duduk di kursi masing-masing. Bahkan makhluk tidak kasat mata pun ikut melakukan hal yang sama.

Tidak lama seorang guru masuk dengan seorang siswa yang berjalan tepat di belakangnya. Kelas langsung heboh, terutama para siswi saat melihat cowok yang tampan berdiri di depan kelas. Tidak termasuk aku yang sama sekali kurang antusias. Karena siapa pun dia, tidak akan mengajakku berteman, bukan? Lalu untuk apa repot-repot menyambutnya.

“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru. Silakan perkenalkan diri kamu!”

“Halo semuanya. Perkenalkan, namaku Kang Soon Bin. Aku pindahan dari Seoul. Semoga kita bisa berteman,” tuturnya diakhiri dengan membungkukkan setengah badan.

Semua mata terkagum-kagum. Ternyata, selain tampan dia juga sangat ramah dan sopan.

“Baiklah. Kamu bisa memilih tempat dudukmu.”

Cowok itu mulai mengedarkan pandangannya. Tidak ada yang bisa ia pilih selain kursi barisan paling belakang. Terutama yang di dekat jendela, pojok sebelah kiri dan kanan. Di depan dan di sampingku juga kosong. Aku harap dia tidak memilih tempat duduk yang dekat denganku. Sampai kemudian mata kami bertemu. Dia mengernyitkan alisnya dan menajamkan penglihatannya saat menatapku agak lama. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman.

“Di sana kosong, kan, Bu?” tanyanya sambil menunjuk kursi tepat di depanku.

Ibu guru itu melihat ke arah yang ditunjuk Soon Bin dan mendadak berekspresi cemas. Sikap biasa, setiap kali melihat kursi di sekitarku. Mereka bilang, kursi yang kosong itu berhantu. Sering terdengar suara wanita dan benda terjatuh lalu bergerak dengan sendirinya. Tidak ada yang berani menempati tempat di sekitar ini kecuali aku. Mereka tidak berbohong, karena itu adalah ulah hantu-hantu tersebut. Terkadang mereka juga sering menggangguku dan mengajakku bermain.

Pernah, saat aku diam saja dan menolak berinteraksi dengan mereka. Aku tidak tahu jika salah satunya—yang memiliki kulit begitu pucat—merasa marah denganku. Alhasil, dia menunjukkan wujud seramnya tepat di depanku dengan kedua mata yang merah menyala. Sontak saja aku berteriak dan berlari dari kursi sampai tempat dudukku bergeser dengan keras. Karena ulahku, semua yang ada di kelas ikut berteriak dan berlarian ke luar kelas.

“Kamu yakin?” tanya Ibu guru itu kembali meyakinkan.

“Iya.” Soon Bin mengangguk dengan semangat.

Memang perlu aku beri nilai seratus untuk keberaniannya. Sampai kemudian dia tiba di kursinya dan memberikan senyum ke padaku sebelum duduk. Aku sampai terkejut dan canggung sekali. Semenjak aku kembali bersekolah, baru dia satu-satunya orang yang mau mengakui keberadaanku.

***

Seperti biasa, saat istirahat, aku akan memilih berdiam diri di atap gedung olah raga sendirian. Kadang hanya dengan membaca buku, kadang sambil makan roti yang aku beli di minimarket dekat tempatku tinggal. Kebetulan hari ini cuacanya sangat menyejukkan, sehingga aku bisa bersantai dengan nyaman—menyandarkan punggung pada dinding dekat pintu menuju atap, lalu memejamkan mata. Entah kenapa, aku merasa sangat lelah akhir-akhir ini.

“Apa aku boleh duduk di sini?”

Seketika aku terkesiap. Membuka mata dengan cepat dan hampir melonjak saat menyadari jika anak baru itu ada di sini.

“Ka-kamu.” Gugup, tentu saja. Ini pertama kalinya aku berbicara dengan selain Ryejin Eonnie.

Tanpa menunggu jawabanku, dia lantas mengambil posisi duduk bersila di atas lantai—sama sepertiku, tepat di sampingku.

“Mau apa?” tanyaku spontan, karena merasa takut.

“Jangan bersikap seperti itu. Aku bukan orang yang jahat. Aku hanya ingin menemanimu di sini.”

“Kamu?” Tentu saja aku tidak percaya.

Dia malah tertawa, dan itu membuatnya semakin terlihat tampan karena tiba-tiba lesung pipinya tergambar dengan jelas. 

“Kamu orang pertama di sekolah ini yang mau dekat-dekat denganku. Aku ini aneh, makanya aku tidak punya teman.”

“Sungguh kamu berpikir begitu?”

Aku mengangguk dengan lugunya. Wajahku mungkin seperti bayi, makanya dia tertawa lagi.

“Han Yoo Ra,” ucapnya setelah melirik seragam sebelah kananku. “Kamu sangat lucu.”

“Hum?” Sontak saja pujian itu membuat wajahku memanas. Aku sangat malu dan tidak berani menatapnya.

***

Aku rasa baru pertama kali Ryejin Eonnie menangis lebih dari dua puluh empat jam. Entahlah, tetapi sepulang sekolah aku menemukan hantu cengeng itu masih duduk di tempat yang sama, ketika aku meninggalkannya. Tidakkah ini keterlaluan? Memang dengan menangis akan membuat semua yang sudah terlewati kembali lagi? 

Merasa tidak tahan dengan kelakuannya, akhirnya aku putuskan untuk mendekat dan mungkin menghiburnya. Aku memang belum bicara lagi dengannya, dan bisa saja dia sedang menungguku.

Sehingga aku melepas tasku dan menaruhnya di atas ranjang kecil. Perlahan aku menghampiri hantu berbaju pengantin itu dan berjongkok di hadapannya. 

“Eonnie, berhentilah menangis. Kenapa kamu seperti ini?” kataku, tetapi sepertinya dia belum menyadarinya. “Orang yang sudah menyakitimu, tidak seharusnya disesali lagi, bukan?”

Hantu itu tetap tidak berkutik, tetapi suara tangisannya sudah lumayan mengecil. “Kamu harus mengikhlaskan semuanya, Eonnie. Jika kamu terus membawa dendam, maka jiwamu seterusnya tidak akan tenang.”

Tiba-tiba Ryejin Eonnie berhenti menangis, dan suasana langsung hening. Bahkan aku sampai tidak bisa mendengar deru napas dan detak jantungku sendiri, ketika hantu itu perlahan menaikkan wajahnya.

“Ah! Eonnie!” Tubuhku refleks terduduk ke belakang setelah melihat seluruh wajahnya, yang awalnya cantik dan mulus, lalu berubah menjadi buruk rupa. Hitam dan hancur, bahkan hampir tidak bisa dikenali lagi. “A-apa yang terjadi dengan wajahmu?”

Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia kembali menunjukkan wujud aslinya. Baju pengantin yang semula putih dan bersih, mendadak berubah sangat kumal, sobek-sobek, dan ada banyak bercak darah di sekelilingnya.

Aku benar-benar sangat takut. Wajah lugu yang selama ini ia tunjukkan, berubah jadi sangat menakutkan dan menyimpan banyak dendam. Ya, dia sedang marah.

“Kamu harus bertanggung jawab!” katanya bernada berat sambil berusaha merangkak untuk meraih kakiku.

Kakiku yang gemetaran, mencoba untuk menghindari dengan menarik bokongku agar ke belakang. “Ke-kenapa aku?” Namun, dia terus merangkak sampai akhirnya punggungku membentur dinding. “Jangan lakukan ini aku mohon! Bukankah kita berteman?”

Merasa terancam, aku pun berusaha bangun. Setidaknya aku harus pergi dan menjauh darinya. Akan tetapi, sebelum kakiku berhasil mengangkat tubuhku untuk berdiri, Ryejin Eonnie sudah lebih dulu memegang pergelangan kakiku dan kembali menjatuhkanku dengan keadaan terlentang.

Kejadiannya begitu cepat sampai jari-jarinya yang panjang dengan kuku yang tajam itu sudah melingkari leherku. Ya, dia mencekikku membuatku kesakitan karena sulit bernapas. Bahkan untuk bicara pun tidak bisa karena tekanannya begitu kuat. Aku meronta-ronta dengan berusaha melepaskan tangannya dari leherku, sampai akhirnya kakiku bergerak naik dan menendang perutnya lumayan kuat, karena setelah itu dia terjungkal.

Kesempatan ini aku manfaatkan untuk segera berdiri dan berlari sejauh mungkin darinya, walaupun kakiku rasanya tidak sanggup untuk bertumpu pada tanah lagi. Entah karena energi yang aku keluarkan tadi cukup besar atau karena memang sudah sangat lelah, sampai aku merasa tubuhku sangat lelah.

Namun, aku harus pergi. Aku tidak ingin mati konyol di tangan seorang hantu walau pada kenyataannya sangat tidak logis. Dia hantu dan bisa saja muncul tiba-tiba di mana pun dia mau.

Sekarang aku hanya perlu mencari tempat yang ramai dan meminta bantuan. Akan tetapi, setia orang yang kutemu sama sekali tidak ada yang mau menolongku. Mereka malah berlari setiap kali aku berteriak bahkan hampir menangis.

Sampai kemudian, di sebuah jalanan yang sunyi dekat danau, mendadak tubuhku tumbang dan jatuh di pelukan seseorang.

“Yoo Ra, ada apa denganmu?” tanya orang itu cemas, dan aku pastikan dia mengenalku.

Ketika aku membuka mata lebih lebar, aku tahu dia adalah Soon Bin.

“Tolong aku, to-tolong,” kataku dengan napas tersendat-sendat. Bersamaan dengan itu, dari ujung mata aku melihat Ryejin Eonnie menghampiriku. “Di-dia, bawa aku jauh dari dia.”

Mungkin aku bodoh berkata seperti itu. Namun, pikiranku salah karena justru Soon Bin menanggapi perkataanku. Ya, sepertinya dia melihat hantu wanita berbaju pengantin itu, dan segera menggendongku di pundaknya.

Dia terus membawaku berlari dari kejaran Ryejin Eonnie yang katanya sudah merasuki tubuh manusia. Sementara aku hanya bisa menahan rasa lelah, sungguh aku sudah tidak berdaya. Hingga akhirnya kami sampai di atap sebuah gedung yang sudah terbengkalai di pinggiran kota.

“Tunggu di sini dan jangan pergi ke mana pun,” katanya setelah mendudukkan aku di dekat dinding pembatas atap.

“Kamu mau melawannya, hah?”

“Tentu saja.”

“Tidak, kamu tidak akan sanggup. Dia sangat jahat.”

“Aku manusia, dan manusia lebih mulia dari pada hantu.”

Soon Bin mulai berdiri membelakangiku. Dia menempatkan tangan di depan dada, dengan sebuah kalung—seperti jimat—yang diapitnya. Entah apa yang dia lakukan, karena selanjutnya dia memejamkan mata, menunduk, dengan bibir yang bergerak.

Apa mungkin dia sedang membaca sebuah mantra? Karena setelahnya, dia menggunakan sebuah batu untuk menggambarkan sesuatu pada lantai gedung yang sudah berlumut tersebut.

Selesainya dia membentuk sebuah persegi seperti garis penangkal, dari pintu muncul hantu Ryejin Eonnie yang sudah merasuki tubuh manusia. Dia membawa senjata seperti gunting untuk memotong rerumputan. Dari jauh saja aku udah gemetaran dan ketakutan, lebih lagi aku takut Soon Bin celaka hanya karena ingin menolongku.

“Ayo, datang kemarin hantu jahat!” Dengan beraninya Soon Bin menantang hantu itu—yang mulai berjalan semakin mendekat.

“Soon Bin, Ayo lari. Kita tidak akan bisa melawannya!” teriakku yang ingin berdiri, tetapi tidak mampu.

Namun, saat kaki sosok manusia yang dirasuki itu menginjak garis yang digambar Soon Bin, hantu itu langsung berteriak dan angin besar muncul mendadak. Dia seperti kesakitan dan menahan sesuatu yang menarik tubuhnya untuk pergi. Saat itu juga Soon Bin kembali berdoa dan membacakan sesuatu, lalu tidak lama hantu Ryejin Eonnie berubah menjadi gumpalan hitam dan menghilang—bersamaan dengan angin besar yang menerbangkan seluruh debu dan benda-benda yang ada di sekitar.

“Apa yang aku lihat barusan? Kenapa dia menghilang? Ke mana dia pergi?” tanyaku berturut-turut karena penasaran.

Soon Bin tersenyum, lalu menjawab, “Dia sudah pergi ke alamnya. Kalian tidak akan bertemu lagi, karena kalian akan pergi ke tempat yang berbeda.”

“Jadi kamu punya kemampuan sama sepertiku, huh? Bisa melihat hantu?”

Sekarang pandangan dan senyumnya terasa memilukan. “Di sini yang bisa melihat hantu hanya aku. Kamu sama sepertinya. Kamu adalah hantu Han Yoo Ra. Kamu sudah meninggal, bukan lagi manusia. Jadi bukan karena kamu dikucilkan, tetapi karena mereka memang tidak bisa melihatmu.”

“Hmm?” Jujur saja aku terkejut mendengar perkataannya. Bagaimana bisa dia menyakiti perasaanku seperti ini?

“Kamu hanya alat yang dimanfaatkan oleh Ryejin Noona. Banyak energi negatif yang mempengaruhinya sehingga dia berubah sangat jahat. Dia ingin balas dendam dan membawamu menjadi pengikutnya. Kemarahan yang dia bawa sebelum meninggal sangat berbahaya. Syukurlah aku datang tepat waktu dan menyelamatkanmu.”

“Apa kamu baru saja berbicara omong kosong?” sanggahku mencibirnya.

“Aku serius. Kakekku adalah seorang yang pintar, dia cenayang. Dia bisa melihat masa lalu dan meramal masa depan. Dan dia menurunkan kemampuan itu padaku sekarang.”

Aku mulai menatapnya nanar. “Jika kamu bisa melihat masa lalu, ceritakan padaku bagaimana bisa aku meninggal dan menjadi hantu yang tersesat?”

Napasnya ditarik panjang, lalu mengembus perlahan. “Di malam setelah kamu diusir dari rumahmu sendiri, kamu mengalami kecelakaan. Sebuah mobil melaju sangat cepat dan tidak bisa terkendali ketika kamu tiba-tiba menyeberang jalan. Mobil itu menabrak pembatas jembatan dan jatuh ke dalam air setelah menabrakmu yang tubuhnya terpental lumayan jauh. Kepalamu membentur aspal, itu sebabnya kamu mengalami hilang ingatan.”

Aku hanya diam, walau pada kenyataannya saat Soon Bin bercerita, rekaman kejadian itu tergambar dalam ingatan. Bahkan dia bisa merasakan bagaimana tubuhnya menegang meregang nyawa. Saat darah dari kepala menggenang di aspal dekat tubuhku, saat itu juga mataku terpejam.

“Dan orang yang mengendarai mobil itu, adalah Ryejin Noona.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro