[Cerpen] The Boy Next Door oleh R. Wahyu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Boy Next Door
Penulis: rachmahwahyu

Undin tetangga sebelah kamarku itu memang menyebalkan. Semua orang di kos membencinya, termasuk aku. Dia itu sombong dan suka mencela orang lain. Seolah dirinya adalah pribadi maha sempurna padahal tidak. Dia suka menumpuk sampah di depan kamarnya, menyalakan musik heavy metal keras-keras pada subuh-subuh, dan kakinya bau sekali.

Hampir tidak ada anak di kos kami yang suka berinteraksi dengan dia. Jika dia keluar dari kamar saat kami sedang berkumpul di ruang tengah, maka seketika kami akan membubarkan diri. Herannya dia tidak pernah peka sekalipun bahwa dirinya sedang dikucilkan. Tampaknya dia memang muka tembok. 

Aku ingin dia segera pindah dari kos ini. Lalu hari ini harapanku itu terkabul. Dia telah pindah ke alam baka. Ya, dia ditemukan tewas di kamarnya pagi ini.

Jam tiga pagi aku terganggu karena bunyi musik heavy metal itu. Aku sedang belajar untuk konsultasi skripsi dengan dosen nanti siang. Aku ini sudah semester empat belas hampir drop out. Tidak bisakah dia tidak mengangguku barang sehari saja? Aku kesal setengah mati. Akhirnya aku keluar kamar dan menggedor pintu kamarnya.

"Udin! Matikan musikmu itu! Polisi telinga!" teriakku sambil mengumpat-umpat dan berusaha membuka engsel pintu.

Aldo keluar dari kamarnya dengan mata yang terbuka sedikit. Tampaknya masih mengantuk. Cowok hanya mengenakan boxer. 

"Apaan sih, Kak? Berisik banget!" serunya kesal. Anak itu vokal band indie yang sedang naik daun Pheromones. Tiap malam selalu manggung di kafe X dan biasanya baru pulang sekitar jam dua pagi. Kutebak dia baru saja tidur.

"Tahu nih si Udin! Kalau jam segini selalu aja rame!" tuturku.

"Ada apa sih?" Kak Geri keluar dari pintu kamarnya sembari menguap lebar. Aku yakin karyawan bank yang merangkap gamer sejati PUBG itu habis begadang. 

"Ini si Udin!" seruku sembari menunjuk pintu kamar bocah tengik itu.

Kak Geri berdecak-cedak. Dia maju ke depanku lalu menggedor kamar Udin.
"Hei, Udin! Matikan musik salahmu itu! Matikan!" hardiknya jengkel namun tak ada reaksi dari dalam kamar.

"Si brengsek ini apa sengaja? Aku ini ngantuk masih mau tidur!" keluh Kak Geri.

"Mungkin dia mati," seloroh Aldo ikut jengkel.

"Kita dobrak saja pintunya!" usulku.

"Kalau pintunya rusak nanti kita diomeli Bapak kos," tolak Kak Geri ragu-ragu.

"Terus mau kakak biarin aja? Kakak bisa balik tidur dengan musik sebising ini?" geramku.

Kak Geri mendesah. Jelas dia sudah nggak bisa balik tidur lagi, tapi membiarkan musik heavy ini bisa membuat kepalanya makin pusing.

"Ya udah, kita dobrak aja," putusnya.

Kami bertiga mengambil ancang-ancang. Lalu menabrakan tubuh kami ke pintu bersama. Pintu itu akhirnya terbuka. Betapa terkejutnya kami ketika melihat apa yang ada di dalam kamar. Udin tergantung di sana dengan lidah yang terjulur. Dia mati, sesuai dengan harapan kami semua. Kami panik dan segera memanggil Bapak Kos. Pria tua itu juga gemetaran. 

"Panggil ambulans dan polisi," ucapku. Aku tak berani masuk ke kamar itu. aku hanya berdiri dengan gamang melihat Kak Geri, Aldo dan Pak Santoso yang memandangi mayat Udin yang masih bergelantungan.

"Kita apakan dia? masak dibiarkan menggantung begitu?" tanya Aldo.

"Turunkan saja dia, Nak Aldo, katanya mayat pun masih bisa merasakan rasa sakit," kata Pak Santoso.

Aldo menurut saja. Dia mengambil kursi dan naik ke atasnya untuk menurunkan mayat si Udin.

"Ini suara berisik sekali," kata Geri. Kepanikan kami sesaat tadi membuat kami lupa pada musik rock dari kamar Udin yang menganggu tidur kami semua. Rupanya itu berasal dari alarm dari ponsel Udin. Kak Geri mengambil ponsel itu lalu mematikannya.

Tak lama berselang, polisi akhirnya datang dan langsun memeriksa TKP. Maka sekarang kami didudukkan di ruang tengah bersama seorang polisi berpangkat inspektur satu, kalau nggak salah tadi namanya Raka. Pria dengan muka masam itu menatap kami semua dengan penuh curiga.

"Apa yang kalian lakukan pada pukul satu sampai pukul tiga dini hari tadi?" tanya polisi itu.

"Saya tidur, kecapekan setelah pulang dari manggung," ucap Aldo.

"Saya juga," aku Kak Geri.

Polisi itu menoleh padaku yang belum memberikan penjelasan. "Dan Anda?"

"Saya sedang belajar, hari ini saya mau konsultasi skripsi," jawabku.

"Oh, berarti Anda tidak tidur?" Dia terlihat antusias. "Apa Anda mendengar sesuatu dari kamar sebelah.

"Ya, pukul satu seperti ada benda keras yang jatuh. Saya nggak tahu apa itu, tapi saya abaikan saja," terangku.

"Itu tepat pukul satu?" tanyanya.

Aku melenggut khidmat.

"Anda sekalian terbangun pukul tiga pagi karena mendengar suara musik keras dari kamar korban?" ucapnya mengklarifikasi. Kami semua mengangguk.

"Lalu kalian berkumpul di depan kamar dan berusaha membangunkan korban, karena tidak ada tanggapan kalian mendobraknya?" 

"Ya, musiknya itu benar-benar menganggu pendengaran kami," aku Kak Geri membela kami semua.

"Saat itu pintu kamar korban dalam keadaan terkunci?"

Kami bertiga mengangguk dengan kompak. 

"Dia memang selalu mengunci kamarnya walaupun hanya pergi ke toilet," kata Aldo. Itu benar. Aku masih ingat peristiwa Minggu lalu saat Udin kehilangan uang. Dia menuduh kami semua sebagai pelakunya. Namun karena tak menemukan bukti dia lalu berkoar-koar bahwa sekarang dia akan mengunci kamarnya walaupun hanya pergi ke toilet.

Polisi itu memegangi dagunya. "Anda sudah mengeceknya? Bahwa pintunya benar-benar dikunci?" 

Aku mengerutkan kening tak paham dengan maksud polisi itu. 

"Ya, saya sudah melakukan itu," jawabku. Aku memang sudah membuka engsel pintunya yang terkunci.

Polisi itu mengangguk lalu menulis sesuatu di buku catatannya. "Ketika masuk ke dalam kamar apa yang kalian lakukan? Siapa yang mematikan alarm dan menurunkan mayat korban?"

"Saya mematikan alarm musik heavy metal itu dari ponselnya. Karena kalau dibiarkan saja kepala saya pusing," tutur Kak Geri.

"Saya yang menurunkan dia, saya di suruh Pak Santoso yang katanya ngeri kalau melihat mayatnya gelantungan," jelas Aldo.

Raka menoleh pada Pak Santoso, Bapak Kos kami yang hanya meringis.

"Mestinya Anda tidak melakukan itu, Pak! Anda telah merusak TKP," ucap polisi itu sembari berdecak.

"Anu ... tapi bukankah dia bunuh diri? Dia gantung diri dan kamarnya terkunci," ucap Pak Santoso.

"Kami yang berhak menyimpulkan itu," geram polisi bernama Raka itu kesal.

Aku terdiam sejenak. Ini seperti di drama detektif yang sering aku lihat. Walau bagaimanapun aku ini mahasiswa kriminologi. Aku selalu tertarik dengan kasus-kasus seperti ini. Sungguh tak kusangka kejadian seperti ini bisa terjadi di sekitarku. 

Apakah ini bunuh diri? Ataukah kejahatan di ruang tertutup? Jika ya, siapa pelakunya? Apa motifnya dan bagaimana triknya? Ini kasus yang menarik. Seandainya aku mengajukannya sebagai judul penelitian apa kira-kira akan diterima? Sudah puluhan judul kusetorkan ke meja dosen pembimbing tapi hanya berakhir dengan penolakan. Mungkin saja kalau aku mengajukan judul ini bakal diterima, kan? Tiba-tiba aku merasa tertarik. Aku harus lulus tahun ini bagaimanapun caranya. Hanya tahun ini kesempatan terakhirku.

Aku terdiam sembari mengamati Aldo dan Kak Geri yang duduk di sebelahku. Mereka berdua adalah tersangka utama kasus ini. Aldo yang menurunkan mayat korban. Kak Geri yang mematikan ponsel korban. Mereka berdua menyentuh TKP dengan sengaja. Mungkinkah itu dilakukan agar mereka tak dicurigai bila sidik jari mereka tertinggal di sana?

"Anda tidak menyentuh apa-apa?" tanya polisi itu padaku sehingga membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng. "Saya seorang calon kriminolog, saya tahu TKP tidak boleh disentuh sebelum polisi datang," ucapku penuh percaya diri. Barangkali saja polisi ini nanti bisa membantuku untuk menjadikan kasus ini bahan skripsiku, kan? Aku harus menunjukkan etika yang baik.

"Tapi Anda membiarkan saja yang lain merusaknya?" tegur polisi itu.

Aku terdiam. Polisi ini sedang menyalahkan aku? Sialan! Sebenarnya waktu itu aku cukup syok dan tak sempat berpikir. Aku bahkan hanya berdiri di luar kamar saat Pak Santoso, Aldo dan Kak Geri menjelajahi dan merusak TKP. Aku terlalu takut untuk masuk. Baru pertama kali aku melihat kasus pembunuhan benar-benar terjadi di depan mataku! Tidakkah dia merasa sedikit simpati pada tekanan psikologis yang kurasakan ini?

"Saya masih syok dan tidak mampu berpikir," ucapku menjelaskan. 

Polisi bermuka masam itu bangkit lalu berbicara sesuatu dengan sang dokter forensik. Dokter itu cukup cantik. Aku penasaran apa yang mereka obrolkan tapi volume suaranya terlalu kecil sehingga aku tak mampu mendengarkannya dari sofaku ini. Polisi itu lalu beralih pada petugas yang sedang memotret di depan pintu dan mengambil sampel sidik jari. Dugaanku petugas itu pasti seorang analis. 

Setelah mengobrol sebentar, Iptu Raka itu kembali duduk di depan kami. Dia memandangi kami semua dengan nanar. Apakah dia mencurigai kami? Berarti ini memang kasus pembuangan di ruang tertutup? Wah, aku harus bisa menjadikannya judul skripsiku. Aku yakin dosen pembimbingku yang banyak omong itu pasti tertarik. Looked room misteri gitu loh! Siapapun pasti ingin mengungkap kasus sekeren ini.

"Saudara Aldo, bagiamana hubungan Anda dengan korban?" tanya polisi itu.

"Biasa saja sih, kami juga jarang mengobrol."

Aku memicingkan mata mendengar jawaban Aldo itu. Bocah itu berbohong! Jelas-jelas dia kesal setengah mati setelah Udin menuduhnya mencuri uang Minggu lalu. Apa dia sengaja melakukan itu untuk membuat dirinya tak dicurigai? Hm, itu masuk akal! Bisa jadi dia memang mencuri, jadi dia membunuh Udin untuk menghilangkan barang bukti.

"Bagaimana dengan Anda? Saudara Geri?"

"Saya pun jarang berinteraksi dengan dia," aku Kak Geri. Ckckck! Dia juga berbohong. Jelas-jelas kemarin juga kesal saat dituduh mencuri uang Udin. Aku memegangi daguku. Dua orang ini benar-benar mencurigakan. Jelas salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Aku harus ikut mengungkap kasus ini dengan begitu akan mudah bagiku mendapatkan akses untuk menjadikan kasus ini sebagai skripsiku. Hm ... Aku akan menghubungi si polisi diam-diam nanti dan akan kuberitahukan informasi yang aku ketahui ini.

"Kalau Anda bagaimana?" tanya polisi itu padaku.

"Saya juga tak sering bicara dengannya," akuku.

Polisi itu memandangi kami semua dengan nanar. Ya, sepertinya dia memang mencurigai bahwa ucapan kami ini bohong. Memang itulah tugas seorang polisi. Mencurigai semua orang.

"Baik, terima kasih atas informasi yang Anda sekalian sampaikan hari ini, untuk sementara kamar ini tidak boleh digunakan. Kami mungkin masih memerlukan keterangan dari Anda. Bila Anda mengingat suatu informasi silakan hubungi saya." Polisi itu membagikan kartu namanya masing-masing selembar pada kami semua.

"Kami menghimbau kepada seluruh warga kos agar tidak meninggalkan kota ini selama proses penyelidikan kasus ini masih berlangsung. Selamat melanjutkan aktivitas Anda," tambah polisi itu.

Maka semua anak kos membubarkan diri dari ruang tengah. Aku terdiam dan melirik polisi itu diam-diam. Aku harus menghubungi dia nanti. Untunglah dia memberikan padaku kontaknya tadi.

***

Siang itu aku berjanji bertemu dengan Iptu Raka di Warkop X. Saat aku mengatakan bahwa aku punya informasi tambahan untuk mengungkapkan kasus kematian Udin ini, dia tampaknya antusias.

Ketika aku sampai di Kafe berkonsep perpustakaan itu, aku melihatnya duduk di salah satu sudut ruangan. Pria itu hanya sendirian sembari menyesap kopinya.

"Selamat siang, Pak Raka," sapaku.

"Oh, selamat siang," ucapnya. Dia menyalamiku dengan ramah dan mempersilakan aku duduk di depannya.

"Jadi Anda punya informasi tambahan tentang korban?" tanyanya to the point.

Aku mengangguk. "Tapi sebelum itu bolehkah saya minta tolong?" tanyaku. Informasi dariku ini jelas berharga, kan? Jadi aku harus yakin akan mendapatkan imbalan yang setimpal.

"Minta tolong apa?" tanya Iptu Raka sembari mengerutkan keningnya.

"Saya ingin menjadikan kasus ini sebagai judul skripsi saya. Apakah kira-kira boleh? Kebetulan saya jurusan kriminologi," tanyaku takut-takut. 

Iptu Raka memegangi dagunya tampak berpikir. "Kita lihat dulu seberapa penting informasi yang bisa Anda berikan."

Aku bergerak dalam hati. Dasar polisi nggak mau rugi. Akhirnya terpaksa aku buka mulut duluan.

"Tentang Aldo dan Kak Geri. Mereka berbohong bahwa hubungan mereka dengan korban baik-baik saja. Nyatanya mereka pernah berseteru dengan Udin!" tegasku.

Iptu Raka memandangiku dengan serius lalu mengangguk. "Saya mendengarkannya dari Pak Santoso. Minggu lalu korban kehilangan uang sebanyak satu juta di dalam kamarnya. Dia juga sempat heboh ingin menggeledah semua kamar. Anda, Saudara Geri dan Saudara Aldo salah satu yang paling dicurigai korban."

Aku menelan ludah. Aku? Ternyata aku dibawa-bawa lagi sialan. Huh! Pak Santoso, ternyata dia sudah memberitahukan hal ini. Jadi sekarang info dariku sudah tidak penting lagi dong. Apa kira-kira polisi ini mau membantuku? Aku berpikir keras. Aku harus bisa meyakinkan Iptu Raka bahwa aku bisa membantunya,agar aku diberi akses untuk menjadikan kasus ini skripsiku. Setidaknya aku sudah tahu trik bagaimana cara membuka dan menutup pintu dari kamar Udin sehingga membuatnya seperti ruang tertutup, kan? Jika mendengar ini polisi itu pasti bertepuk tangan. 

"Pak Santoso bilang kalau Udin mencurigai saya?" tanyaku memastikan.

"Ya, karena siang itu ketika korban menghitung uang di dompetnya di ruang tengah, Anda bertiga kebetulan lewat. Hanya Anda bertiga yang diyakini korban tahu bahwa dia menyimpan sejumlah uang yang cukup banyak di dalam kamar."

Aku berdecih. "Tapi saya sungguh tidak mengambil uang itu."

"Lalu Anda punya informasi lainnya?" 

Aku menggerutkan kening. Informasi apa yang kupunya selain motif ini? Sebentar aku tak boleh langsung membuat trik ruang tertutup itu. Ini kartu as-ku. "Mereka sengaja merusak TKP," ucapku yakin.

"Kak Geri yang mematikan ponsel yang berisik itu dan Aldo yang menurunkan mayatnya. Mungkin mereka ingin meninggalkan jejak bahwa mereka adalah pelakunya."

Aku tersenyum melihat wajah Iptu Raka yang tampak tertarik dengan teoriku. Walau begini nilaiku cukup bagus. Hanya karena dosen pembimbingku yang terlalu perfeksionis saja sampai hari ini aku tak bisa lulus.

"Kenapa Anda berpendapat begitu?" tanya polisi itu.

"Mungkin saja karena mereka takut meninggalkan sidik jari atau semacamnya ketika membunuh Udin. Jika mereka merusak TKP polisi tak akan langsung mencurigai mereka sidik jari mereka ditemukan pada TKP," jelasku.

Iptu Raka mengangguk-angguk. "Itu masuk akal," jawabnya setuju.

"Lalu seandainya memang mereka adalah pembunuh korban, menurut Anda bagaimana mereka keluar dari kamar korban?" tanya 

Aku tersenyum. Akhirnya polisi ini menanyakan hal ini juga. "Pintu kamar Udin sebenarnya sangat istimewa," tuturku. "Bagian engselnya rusak, kalau skrupnya ditarik, pintu bisa terbuka seperti biasa. Aku, Kak Geri dan Aldo pernah mendengar Udin mengeluhkan hal ini pada Pak Santoso.

"Jadi menurut Anda si pelaku keluar dari masuk dengan cara itu?" tanya Raka.

Aku lenggut khidmat. "Coba saja Anda teliti pintu kamar Udin sekarang."

"Baik, terima kasih ata informasi Anda." Iptu Raka tersenyum kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia berbicara pada seseorang tentang engsel pintu itu. Mungkin pada anak buahnya yang masih memeriksa TKP. Setelah mengakhiri pembicarannya di telepon pria itu tersenyum lebar padaku.

"Bagaimana? Apa bawahan Anda menemukan buktinya pada pintu itu?" tanyaku.

"Anda benar, Ada sebuah sidik jari yang di temukan di sana," ucap Raka. 

Aku menyeringai lebar. "Bagaimana informasi dari saya? Sangat bergunakan, kan?" tanyaku.

"Cukup berguna," angguk Iptu Raka.

"Jadi apakah Anda mengijinkan saya menjadikan kasus ini sebagai judul skripsi saya?" tanyaku antusias. Aku sudah tidak sabar menunjukkan judul ini pada dosen pembimbingku. Orang tua itu pasti tak akan menolak judul sekeren ini, kan? The Secret Of  the Locked Room Mystery. Rasanya seperti judul sebuah novel ya?

"Saya punya hipotesis yang lebih sederhana daripada memanfaatkan engsel pintu yang rusak itu, sayangnya," kata Iptu Raka.

Aku mengerutkan kening dengan bingung. "Hipotesis sederhana?"

"Ya. Si pelaku membunuh korban pukul satu pagi dengan menggantungnya di langit-langit kamar dan memasang alarm musik rock pada pukul tiga pagi. Si pelaku kemudian kembali ke kamarnya. Pukul tiga saat alarm itu berbunyi, dia keluar dari kamar dan berpura-pura menggedor pintu kamar korban karena merasa terganggu. Penghuni kamar yang lain bangun dan ikut merasa kesal. Si pelaku mungkin berpura-pura memainkan kenop pintu sehingga penghuni kamar yang lain akan berpikir bahwa kamar korban benar-benar dalam keadaan terkunci, padahal sebenarnya tidak. Pintu itu pun akhirnya didobrak atas usul dia. Alarm musik rock yang keras akan mengganggu telinga, jika dibiarkan saja pasti ada orang yang mematikannya. Begitu pula dengan mayat korban, orang awam tak akan tahu bahwa TKP tak seharusnya di rusak."

Aku tercengang mendengarkan penuturan Iptu Raka itu. Pria itu ini menatapku dengan nanar. "Wah, itu hipotesis yang cukup sederhana, tapi masuk akal," ucapku sambil tertawa kering. Entah kenapa nada suaraku jadi terdengar aneh dan tubuhku jadi gemetaran.

"Akuilah perbuatan Anda, Anda yang membunuh korban, bukan?" ucap Iptu Raka.

Aku terpana. Aku? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku yang dituduh melakukan semua ini?

"Apa maksud Anda?" geramku. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini.

"Sesuai dengan hipotesis saya tadi, Andalah yang menggedor kamar Udin dengan suara keras sehingga penghuni kamar yang lain terbangun. Anda juga yang mengusulkan untuk mendobrak pintu. Lalu meskipun Anda tahu bahwa TKP tidak boleh dirusak, Anda membiarkan sama yang lain meninggalkan sidik jari mereka di TKP sementara Anda sendiri berpura-pura ketakutan dan berdiri di luar pintu. Semuanya terjadi sesuai dengan skenario Anda."

Mataku membelalak. "Jangan bicara sembarangan menuduh! Atas dasar apa Anda menuduh saya seperti itu?" amukku marah.

Si brengsek Raka itu hanya tersenyum simpul. "Anda sendiri bagaimana? Atas dasar apa Anda begitu yakin bahwa saudara Geri adalah pelakunya hanya karena dimematikan ponsel korban yang berisik? Tuduhan Anda sendiri sama sekali tidak berdasar."

Aku tertawa dengan suara sumbang. "Baiklah, Anda boleh mencurigai saya, memang tugas seorang polisi untuk mencurigai semua orang," ucapku. "Tapi tidak ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa saya ini pelakunya, Anda hanya sekadar berspekulasi. Sementara bukti konkret tentang sidik jari Kak Geri yang ada diengsel pintu itu jelas membuktikan bahwa Kak Geri adalah pelakunya!" tegasku penuh emosi. 

Iptu Raka malah tertawa. "Bagaimana Anda bisa tahu bahwa sidik jari yang ada di engsel pintu itu adalah milik Saudara Geri?" tanyanya.

Hatiku serasa mencelus. Keringat dingin mulai membanjiri dahiku. Aku gugup. Tidak! Tidak! Aku harus membantah omongan polisi laknat ini. Aku harus membuktikan bahwa diriku tidak bersalah. Tapi bagaimana caranya?

"Kalau begitu tunjukkan bukti bahwa saya adalah pelakunya, Anda seorang polisi, kan? harusnya Anda berbicara berdasarkan fakta bukan sekadar spekuasli semata!" tegasku.

Iptu Raka tersenyum dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam saku bajunya dan menunjukkannya kepadaku. Aku mengerutkan kening menatap foto itu. Sebuah gambar anak panah yang ditulis dengan darah di atas tali carmatel.

"Ini adalah pesan kematian yang ditinggalkan korban. Usaha terakhirnya sebelum dia meregang nyawa. Dia memberitahukan bahwa sang pembunuh adalah  orang yang berada di samping kanan kamarnya," ucap Iptu Raka penuh keyakinan.

Aku terperanjat. Mataku terbelalak dan seluruh tubuhku gementaran. Bagaimana bisa begini? Mestinya tidak begini? Sejak kapan si brengsek Udin meninggalkan pesan ini? kenapa aku sama sekali tidak menyadarinya? Aku sudah mengecek semuanya sebelum keluar dari kamar itu. Seharusnya tidak ada bukti bahwa aku yang membunuh dia. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ini terjadi. Seharusnya kasus ruang pembunuhan di ruang tertutup ini sempurna. Seharusnya aku bisa menggunakannya menjadi judul skripsiku. Bagaimana bisa? Kenapa tak ada satupun yang berjalan sesuai dengan keinginanku?

"Bagaimana? Anda masih tertarik menjadikan kasus pembunuhan ini sebagai judul skripsi Anda?" tanya Iptu Raka.

Aku tak dapat menjawab pertanyaan pria itu. Aku hanya menunduk memandang lantai. Kenapa sebenarnya aku membunuh Udin? Kenapa aku membenci dia? Seharusnya aku tidak melakukan hal ini? Seharusnya aku menjadi seorang jurnalis atau bekerja di KPK kenapa aku malah harus berakhir menjadi seorang pembunuh? Kenapa?

"Mengapa, Anda bisa mencurigai saya?" tanyaku pada Iptu Raka.

"Menurut kesaksian saudara Aldo, Geri dan Santosa, Andalah yang mengusulkan untuk menghubungi ambulans dan polisi. Anda sepertinya sudah yakin bahwa Korban sudah lama mati," ungkap Raka.

Kepalaku kembali tertunduk. "Jadi hanya karena hal kecil itu? Seandainya aku tidak mengatakan hal itu apakah Iptu Raka tidak akan mencurigaiku?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro