0. ... ini bukan kamarku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JUST LIKE MAGIC
Prolog

Hal pertama yang aku sadari ketika terbangun adalah ... ini bukan kamarku.

Bukan. Sama sekali bukan.

Sejak kapan dinding kamarku yang dicat biru muda menjadi putih bersih dalam semalam? Terlebih, kamarku sempit. Dalam arti sebenarnya. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu, dengan kasur diletakkan langsung di lantai. Tanpa ranjang.

Namun, sekarang? Aku bisa merasakan berbaring di sebuah ranjang. Dengan luas kamar yang mungkin sekitar dua kali kamarku. Lantainya berupa keramik sama putih bersihnya dengan dinding.

Kusisir keadaan sekitar.

Asing.

Benar-benar tidak ada yang bisa kukenali. Hampir semua kecuali satu hal. Bau ruangan ini seperti ... obat-obatan yang khas.

Apa ini rumah sakit?

Dugaan itu makin kuat ketika aku akan mengangkat tangan untuk mengusap wajah. Tepat di pergelangan tanganku, sebuah selang infus tertancap. Bukan hanya itu. Saat kupaksakan untuk menyentuh wajah, seperti ada sesuatu yang menutupi separuh wajahku. Hal yang sempat tidak kusadari awalnya.

Masker oksigen?

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Atau, mungkin lebih tepatnya, denganku?

Apa aku kecelakaan?

Bisa kurasakan kepala berdenyut. Pusing. Rasanya seperti dipukul gada berulang-ulang.

Sempat tebersit niat untuk bangun sebelum urung. Rasanya ... lunglai sekali. Aku meringis. Punggungku seperti mati rasa. Sedetik kemudian, rasa itu berganti menjadi nyeri tak terperikan. Seolah-olah ... seolah aku tertidur lama. Lama sekali dalam waktu yang tidak sebentar.

Hal kayak ini sesekali terjadi kalau aku kelamaan tidur. Lebih dari sepuluh jam, misalnya. Biasanya karena kelelahan membantu Mamak hingga larut malam, dan berakhir tepar.

Kutenangkan diri. Sebisa mungkin, aku merunutkan apa yang terjadi sekarang ini.

Aku, Aria Laraswati, terbaring di sebuah ruangan asing. Kamar yang sama sekali tidak pernah kulihat.

Pertanyaan pertama: apa aku kecelakaan?

Tidak.

Kemarin malam, aku memang mengantarkan Mamak ke salah satu toko langganan untuk membeli bahan berjualan. Namun, kami sampai ke rumah dengan selamat. Sehat sentosa. Kami bahkan juga makan malam sebelum aku, yang biasanya membantu Mamak menyiapkan jualan untuk esok hari, meminta izin tidur duluan karena merasa kurang enak badan. Ingatanku, aku pergi ke kamar dan merebahkan diri. Bermain ponsel sebentar, lantas memejamkan mata.

Tak ada kecelakaan.

Kecuali, sekonyong-konyong, ada meteor besar menghantam rumah kami dan aku menjadi korbannya.

Atau, yang paling masuk akal, terjadi kebakaran dan aku mengalami luka bakar. Namun, dari apa yang bisa kuraba dan kurasa, tubuh ini tidak terasa seperti memiliki bagian yang luka ataupun perih. Pengecualian buat punggung karena jelas sekali itu bukan nyeri karena luka.

Apa jangan-jangan ... aku diculik?

Oke, itu tidak masuk akal. Penculik macam apa yang nekat memboyong korbannya ke rumah sakit?

Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?

Pertanyaan kedua: di mana ini?

Rumah sakit? Sepertinya iya. Terbukti dari masker oksigen dan selang infus di pergelangan tangan. Namun, aku merasa ini seperti bukan rumah sakit daerah yang aku tahu. Aku beberapa kali mengantar dan menjaga Abah yang kerap dirawat di rumah sakit. Aku hafal betul dengan suasananya. Namun, di sini, rasanya asing.

Mengesampingkan nyeri di punggung, aku kembali berusaha bangun. Berhasil meskipun agak terbata. Kutatap sekitar sekali lagi. Tanganku bergerak melepas makser oksigen dari wajah. Setelahnya, dengan perlahan, kutapakkan kaki ke lantai.

Dingin.

Sebelah tanganku bertopang pada tiang infus yang untungnya bisa dibawa sambil berjalan.

Hal pertama yang menyembul dalam kepalaku adalah menghampiri jendela. Suasana di luar sana tampak temaram. Tertutup gorden, cahaya yang masuk kian sedikit dan remang.

Benar saja. Begitu aku membuka gorden, di luar sana tengah mendung. Awan kelabu memenuhi langit. Dari arah sinar matahari yang remang, mungkin ini masih kisaran waktu pagi.

Kuturunkan pandangan dan ... di mana ini?

Sebelah tanganku refleks menyentuh kaca. Jelas sekali ini bukan tempat yang kukenal. Bukan hanya kamar ini, atau rumah sakit ini, tapi juga kota ini.

Kotaku, yang masih terbilang asri dengan pepohonan rimbun, berganti menjadi sebuah tempat dengan tampilan metropolitan. Gedung-gedung tinggi bertebaran. Sebuah kota yang ... asing.

Apa yang terjadi?

Aku refleks mundur dua langkah, murni karena reaksi terkejut. Sekali lagi, kusisir ruangan ini dengan bingung.

Sebenarnya ini di mana?

Tatapanku berhenti pada cermin yang ada di salah satu sisi ruangan. Dan, hal pertama yang kulihat adalah ... itu bukan aku.

Apa-apaan!

Aku terbeliak dan langsung mundur beberapa langkah. Terjatuh dengan pantat menghantam lantai di detik berikutnya. Kendati demikian, cermin full body itu masih bisa memantulkan bayanganku sekarang ini.

Who the hell you are?

Siapa pun yang ada di cermin, itu bukan aku. Seorang cewek dengan rambut hitam legam sepunggung. Matanya besar dan indah. Tirus, berkulit putih, dan bibir senada peach.

Haha. Ha ha ha.

Jelas sekali itu bukan aku kan?

Aku yang berambut pendek di atas bahu, berkulit cokelat terang, dan bermata cenderung sipit, tidak mungkin berganti fitur wajah dalam semalam, 'kan?

Apa mungkin itu semacam cermin ajaib? Seperti di film-film. Di mana ada roh atau seseorang terjebak di sana?

Ha ha ha.

Halo, anyone there?

Aku bahkan sampai melambaikan tangan segala. Namun, yang kulihat, bayangan itu turut melakukan hal serupa dengan yang kulakukan. Sekecil apa pun gerakan itu.

Tidak ada jumpscare. Tidak ada sihir seperti di film-film.

Apa maksudnya semua ini?

Perlahan, aku berdiri. Kudekati cermin dan mencoba menatap lebih lama pantulan di sana. Sebuah bayangan cewek yang kuakui ... sangat cantik. Tipikal lead heroine di film, novel, atau komik. Dari segi fisik, jelas sekali dia tidak memerlukan operasi plastik atau apa pun itu.

Dia ... siapa?

Bayangan itu tampak menyentuh pipinya dengan sebelah tangan. Mengikuti apa yang kulakukan sekarang ini.

Ya Tuhan! Apa aku sudah gila?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Belum habis kegilaan ini, bisa kudengar seseorang membuka pintu. Aku menoleh, mendapati seorang wanita berpakaian serba putih-pakaian perawat-masuk dengan nampan berisi entah apa di tangan. Wanita itu sempat terbeliak saat melihat tempat tidur yang kosong sebelum celangak-celinguk.

Dan, dia menemukanku berdiri di depan cermin.

Tatapan kami bertemu.

Beberapa detik berlalu.

Wanita itu terdiam sebelum terlonjak kecil. Matanya terbelalak. Seakan baru saja melihat sesosok hantu.

Bisa kulihat wanita tersebut berbalik. "Dokter! Pasien sudah siuman!" Dia berseru tertahan, entah pada siapa. Beberapa saat kemudian, terlihat seorang pria dengan jas putih memasuki ruangan. Reaksinya sama persis seperti wanita tadi.

Sebentar.

Apa katanya tadi?

Pasien?

Siuman?

Apa sebenarnya ini!?







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro