3. Sesuatu yang Penting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharusnya, aku tidak perlu kaget.

"Daripada kamu bengong begitu, lebih baik kamu istirahat." Niel sukses membuyarkan lamunanku.

Aku mengerjap.

Di depanku, Niel sudah membukakan pintu. Sebuah ruangan yang diklaim merupakan kamarku terpampang.

Sejenak, aku ragu. Tatapanku beralih kepada Niel yang memberi isyarat dagu. Masuk aja. Begitu kira-kira isyarat yang aku tangkap. Usai menarik napas satu helaan, aku melangkah pelan.

Kesan pertamaku terhadap ruangan ini ... yah ini memang kamar. Besar dan luas, itu kesan pertama. Girly dengan nuansa ungu lembut dipadukan merah muda yang di mataku tampak cukup kalem. Dinding-dindingnya menampilkan lukisan gumpalan awan. Benar-benar dreamy.

"Kalau perlu sesuatu, aku ada di bawah." Setelah mengatakan itu, Niel menutup pintu. Bisa kudengar derap langkahnya menjauh. Semakin lama, kian menghilang. Setelahnya, sunyi.

Mungkin dia sudah pergi ke bawah.

Setelah memastikan dia benar-benar pergi, aku berjalan ke tengah ruangan. Err ... jujur, aku sedikit tidak menyangka. Kamar ini terlalu luas. Mungkin sekitar tiga kali ukuran kamarku. Dengan single bed berukuran besar, lemari kayu yang tampak artistik, dan lampu gantung mewah. Suasananya persis kayak kamar-kamar orang kaya di sinetron.

Awalnya, aku memang ingin istirahat. Namun, rasa penasaranku jauh lebih besar. Karena itulah, hal pertama yang kulakukan begitu menginjakkan kaki di sini adalah menjelajahi setiap sudut dan inci.

Mungkin saja aku bisa mendapatkan pentujuk. Iya kan? Tidak ada salahnya mencoba.

Dengan cermat, aku memeriksa setiap hal yang aku lihat. Tidak ada yang aneh. Meja belajar, lemari, pajangan estetik, dan perintilan lainnya. Semua terlihat normal. Tidak ada yang aneh atau apa.

Satu hal yang pasti.

Barang-barang di sini menguarkan kesan girly yang kuat. Membuatku mengira-ngira kalau pemilik ASLI benda-benda berikut ruang kamar ini memang sefeminin itu.

Selain hal tersebut, tidak ada lagi yang bisa ditemukan. Tepat setelah aku menyelesaikan pencarian, keningku berdenyut. Sedikit tidak nyaman. Awalnya denyutan pelan. Lama-lama, terasa sakit. Denyutan yang lantas membuatku memutuskan merebahkan diri ke kasur.

Dengan sebelah tangan, aku memijat kening. Beberapa menit kemudian, rasanya sudah lebih baik. Tatapanku lurus memandang langit-langit kamar. Lagi-lagi motif awan mendominasi seluruh langit-langit. Sepertinya, pemilik asli kamar ini sangat menyukai benda langit yang satu itu.

Hmm .... Pemilik asli kamar ini, ya?

Ah, benar juga.

Saat sampai di depan rumah-sebelum melangkah masuk, rasa-rasanya, sempat tebersit satu pertanyaan. Namun, apa ya?

Hmm ....

Aku lupa.

Ayo, Aria! Diingat-ingat lagi.

Oh, iya! Aku ingat sekarang.

Mari kita runutkan.

Jika aku terbangun sebagai Aksara Nada, maka, apakah Aksara Nada itu sungguhan ada?

Harusnya memang ada sih. Mengingat, aku terbangun sebagai cewek yang punya badan dan muka. Mustahil kalau Aksara Nada ini semacam karakter fiksi.

Baiklah.

Jika memang Aksara Nada ini benar-benar ada, ke mana dia sekarang?

Oh, juga. Kalau aku terbangun sebagai dia, apa yang terjadi dengan tubuhku yang asli?

Damn .... Apa aku sempat bilang yang tebersit itu cuma satu pertanyaan?

Oke, oke. Fokus.

Dari semua pertanyaan itu, sejujurnya, ada satu dugaan yang melintas di pikiranku. Dugaan yang ... kalau boleh jujur, terkesan fiktif. Khayalan. Sesuatu yang tidak bisa dipercaya nalar.

Bagaimana ... bagaimana kalau aku dan Aksara Nada sebenarnya bertukar tubuh? Dengan kata lain, jiwa kami tertukar.

AAAH! Namun, itu tidak masuk akal. Iya kan?

Apa jangan-jangan aku hanya terpengaruh tontonanku akhir-akhir ini? Terakhir kali, aku sempat menonton Kimi no Nawa. Di mana kedua lead character jiwanya tertukar.

Iya, mungkin. Bisa jadi.

Ha ha ha.

Pasti gara-gara itu aku jadi berpikiran aku mengalami hal serupa.

Namun ... apa ada penjelasan lain yang lebih masuk akal?

Aku terbangun di sebuah rumah sakit asing. Kota yang tidak kukenal. Dan, sebagai seorang cewek yang bahkan namanya baru kudengar.

Aksara Nada.

Sekali lagi, aku mengeja nama itu.

AAAH!

Pusing! Pokoknya pusing!

Aku menggaruk kepala dengan gusar.

Suara ketukan dari luar membangunkanku.

Niel.

Dia bilang, makan malam sudah siap. Mama dan Papa sudah menunggu. Begitu katanya.

"Lima menit lagi," kataku, masih setengah mengantuk.

Setelah aku berkata begitu, ketukan sudah tidak terdengar lagi. Niel mungkin membiarkanku dan bergegas turun.

Aku menguap seraya mencoba duduk di tepi ranjang. Sebelah tanganku mengucek mata. Hal pertama yang aku sadari adalah hari sudah gelap. Hanya ada cahaya remang dari luar yang menerobos masuk ke kamarku. Kualihkan tatapan ke jam dinding. Pukul enam lewat lima puluh.

Kuusap wajah dengan kedua tangan. Jujur, ketika aku terbangun gara-gara suara Niel, aku sempat seperti orang linglung. Kayak siapa yang barusan memanggilku untuk bangun. Lalu, ini di mana? Apa aku sudah mati? Kenapa rasanya asing?

Setelah beberapa menit, barulah aku tersadar.

Aku sedang di kamar Nada. Dan, Nada itu adalah aku.

Di sinilah aku sekarang. Bangun dan menutup semua jendela beserta gorden. Awalnya, aku sempat terpikir untuk berganti pakaian. Namun, rasanya ... canggung.

Oleh karena itu, aku hanya pergi menuju kamar mandi dan mencuci muka. Tidak sulit kok mencari di mana kamar mandi. Kamar mandinya ada di dalam. Ada tiga pintu di sini. Satu, pintu utama untuk keluar masuk. Pintu kedua adalah ruangan berisi ... entahlah. Di mataku kelihatan kayak gudang pribadi. Pintu terakhir baru menuju kamar mandi.

Usai mencuci muka, aku sempat ragu apakah aku harus turun dan bersikap seolah semuanya normal. Jujur saja, rasanya masih aneh. Namun, aku sadar, aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin membuat gelagat yang menimbulkan kecurigaan. Bukan mustahil Mama dan Papa akan menyeretku kembali ke rumah sakit itu.

Dan, aku ogah untuk kembali ke sana.

Aku menghela napas seraya memantapkan hati ketika membuka pintu. Baru juga ingin melangkah keluar, tanpa disangka, aku menabrak sesuatu.

Ralat, seseorang.

Niel.

Aku mengaduh. "Hei!" protesku.

"Kamu terlalu lama." Niel menatapku lurus. "Om sama Tante udah nungguin dari tadi," katanya lagi.

Aku mengembuskan napas pendek. "Maaf, aku ketiduran," kataku, jujur.

"Simpan maafnya buat orang tua kamu." Niel merespons dengan kedikkan bahu. "Kamu mau turun apa berdiri di situ sepanjang malam?"

Aku tanpa sadar memajukan bibir, manyun.

"Ini baru mau turun."

"Baguslah." Setelahnya, Niel berbalik dan pergi.

Meninggalkan aku yang cengo mendadak.

Astaga orang itu! Rasanya, aku ingin melemparkan sesuatu ke kepalanya.

Oke. Tenang, Aria.

Akhirnya, aku tetap mengikuti Niel turun ke lantai satu. Tentu saja aku menjaga jarak. Tidak terlalu dekat. Namun, cukup untuk bisa mendengarnya ketika memanggilku,

"Nad?"

"Ya?" sahutku.

Kayaknya, aku mulai terbiasa dengan panggilan Nad, Nada, Aksara Nada, dan sebagainya itu.

Ada jeda hening yang cukup lama. Langkah kami terus menuruni anak tangga, tapi percakapannya terhenti.

"Bukan apa-apa." Niel bersuara. "Lupakan."

Aku mengernyit sebelum akhirnya mengangkat bahu, tidak tertarik bertanya.

Dari lantai tiga, kami turun ke lantai dua. Terus menuju lantai satu. Melangkah menuju ruang makan. Di sana, Mama dan Papa duduk bersampingan. Menunggu. Begitu melihat kami, mereka tersenyum dan melambaikan tangan. Ada juga Bik Listi yang berdiri, tampak siap siaga.

"Gimana keadaan kamu, Nad?" Papa bertanya saat aku menarik kursi dan duduk. "Udah mendingan?"

Aku tersenyum kikuk, mengangguk. "Lumayan, Pa."

"Istirahat yang cukup, Nad." Kali ini, Mama yang bersuara.

Aku kembali mengangguk.

Makan malam pun dimulai. Dibantu Bik Listi yang cekatan, makan malamku sudah tersaji di depan mata. Sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk.

Sayangnya, porsinya sedikit. Banget.

Duh!

Aku melirik Mama dan Papa yang sudah sibuk dengan piring masing-masing. Aku ingin tambah nasi karena jelas ini tidak cukup. Namun, gengsi bo! Terlebih, ini bukan rumahku. Ada rasa malu tersendiri.

"Nad, kok enggak makan?" tanya Mama, sadar kalau aku bergeming. "Kamu enggak suka menunya?"

"Ah, eh." Aku tergelagap. "Nggak, Ma."

"Eh? Mau Bibik masakin yang lain, Non?" Gantian Bik Listi yang bertanya.

Aku menggeleng. "Nggak usah. Ini udah cukup, kok," kataku, setengah terburu-buru.

Duh, mulut!

Untuk meyakinkan, aku dengan sigap menyuap makan malamku dengan sendok. Meninggalkan garpu. Gerak-gerik yang, aku sadar betul, mengundang lirikan Mama dan Papa. Namun, keduanya tidak mengatakan apa pun. Hanya diam dan melanjutkan makan.

Begitu pula aku. Berusaha menikmati makan malam yang jauh dari porsi normalku.

Semoga lambungku tidak berteriak sepanjang sisa malam ini.

"Oh ya, Nad." Papa menarik perhatianku. "Kamu ada perlu sesuatu? Mungkin sesuatu yang menurut kamu penting, misalnya. Atau apa."

Sesuatu yang penting?

Sesuatu yang menurutku penting, ya?

Hmm ....

Rasa-rasanya, yang kuperlukan di sini hanyalah jawaban.

Kenapa aku bisa berada di sini, dan mengapa harus terbangun menjadi seorang Aksara Nada.

Hampir aku mengatakan tidak sebelum urung. Ada jeda saat aku berpikir ulang. Ah, sepertinya aku memang memerlukan benda tersebut. Mungkin saja, aku bisa mendapat petunjuk.

Perlahan, aku memantapkan diri ketika bilang, "Kalau boleh, Nada perlu handphone."

Sudah ditetapkan. Aku harus mengeceknya. []







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro