RP Log 03 - Berpisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

==========
  DIRELAND
==========

Setelah melintasi padang gurun selama empat hari, kalian memutuskan berkemah di bentangan padang pasir. Tidak terlalu aman, tapi kalian tidak memiliki pilihan.

Ketika pemimpin konvoi memerintahkan tenda dipasang, kalian ikut membantu sementara matahari perlahan menghilang di balik cakrawala. Api unggun mulai dinyalakan sementara kalian melakukan aktivitas kalian. Ada yang mendirikan tenda, memasak, mengecek kendaraan atau bahkan hanya duduk beristirahat sambil menghangatkan diri.

Namun tiba-tiba, pasir terasa bergerak. Sebelum kalian sempat melakukan sesuatu, sebuah mulut raksasa bergigi tajam membuka di bawah kaki kalian.

=======
Task 06
=======

Tujuan kalian adalah mengalahkan monster dan melanjutkan perjalanan.
Silakan roleplay di ruangan yang telah disediakan.

Timeline in RP: Malam setelah matahari tenggelam

=======

GIGANTIC SANDWORM

Monster yang sering berkeliaran di sekitar perbatasan Direland dengan Terra. Populasinya sedikit sehingga tak banyak yang sial dan bertemu dengannya tapi jika ada manusia yang melewati teritorinya, Sandworm akan menyerang lebih dahulu.

Ukuran:

Diameter: 2.6 Meter
Panjang: 6 Meter
Special Trait:
- Memiliki mulut lebar dengan barisan gigi tajam.
- Bisa bersembunyi di pasir sebelum menyerang tiba-tiba.
- Dapat bergerak di bawah pasir yang menyebabkan pasir ikut bergerak dan sulit untuk berdiri di atasnya.
- Tubuhnya liat dan suka membanting tubuh sebagai serangan.

============
======

"Ducky," sapa J, ketika dirinya sedang membersihkan pisau dan peralatan masak yang lain. "Mana Ven?"

Dia perlu melihat sekeliling untuk mencari keberadaan gadis itu.

"Aku belum melihat dia sejak makan malam tadi," gumamnya. "Mungkin sudah kembali ke tenda?"

Perhatian Ducky kembali pada barang-barang di hadapannya, usai J pergi mencari Ven. Dia sedang memikirkan alat apa yang akan dia gunakan untuk menyiapkan sarapan—sebisa mungkin yang ringkas atau bisa ditinggal sehingga besok mereka bisa langsung berangkat tanpa banyak buang waktu membereskan lagi. Saat itu, walau samar, dia merasakan ada getaran kecil di bawah kaki.

Melihat sekeliling, tanah terbuka tempat mereka berkemah seharusnya tak mungkin ada bebatuan longsor. Pada saat mengedarkan pandangan, salah satu kendaraan besar AYX terlihat berguncang. Samar-samar terdengar suara ribut dan teriakan dari kendaraan lain yang memiliki radar paling canggih di antara tiga kendaraan pelintas Direland di konvoi mereka.

"Ducky! Mau ke mana?"

Ven yang bertanya ketika dia melintas area tak jauh dari tenda. Bocah J juga ada di sebelahnya. Ducky tak suka bila dirinya yang masih sorangan melihat orang-orang akrab dengan pasangan mereka, tetapi ada sedikit rasa lega bila melihat dua bocah itu sedang bersama. Seolah-olah semua akan baik-baik saja.

Karena itu walau mendengar namanya dipanggil, perhatian Ducky segera beralih pada burung gurun peliharaan J yang tiba-tiba saja terbang bertengger di atap kendaraan AYX. Lelaki itu menyipitkan mata, mencoba mengamati lebih teliti. Hewan itu terlihat gelisah.

Persepsi manusia walau sudah terlatih, tetap ada batasnya. Dia butuh bantuan pengamatan yang lebih canggih. Ducky memutuskan untuk melanjutkan melangkah menuju kendaraan radar. Goncangan di kendaraan yang lain sudah berhenti, tepat sebelum Ducky mengetuk pintunya.

Mendadak pintu kendaraan radar terbuka, di hadapan Ducky tampak wajah pucat kru AYX. Seingatnya orang itu yang bertanggungjawab mengawasi radar.

"A-a-ada sesuatu!" seru pengawas radar itu panik. "Gerakannya terlalu cepat, tapi radar sempat menangkap sesuatu!"

Belum sempat Ducky menimpali, terdengar suara derak kencang dari belakang.

Mendengar jeritan Ven memanggil nama J, Ducky segera menoleh. Mengira telah terjadi sesuatu pada bocah itu, akibat apapun yang menyebabkan suara derak kencang tadi. Anehnya J terlihat baik-baik saja. Hanya terduduk di tanah.

Namun di tempat seharusnya Ven berada, berdiri sesuatu yang menjulang, sepintas terlihat seperti kuncup atau tunas tanaman raksasa. Dia termanggu. Otaknya tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi.

Mata Ducky bergerak liar kesana-kemari, mencari sosok yang biasanya sibuk berlompatan bila sedang menghadapi bahaya. Tumpukan kain di ujung sana adalah barang bawaan gadis itu. Bocah tampan yang biasanya sering bersama-sama dengan gadis itu juga ada. Namun sosok Ven tetap tidak ditemukan.

Hanya ada kuncup raksasa yang menimbulkan perasaan tak nyaman yang janggal.

Ducky bergerak maju, melangkah pelan sembari mencoba menajamkan penglihatannya di tengah cahaya remang senja.

Kuncup itu terlihat bergerigi di tiap helai kelopaknya. Gerigi yang tajam dan meneteskan cairan gelap dan kental.

Seperti

....

"Darah?" gumam Ducky, tanpa sadar menyuarakan pikirannya.

"M-m-mo ... MONSTER!" seru kru AYX di ambang pintu. Suara melengking fals karena gemetar ketakutan.

Dalam sekejap, monster kepala bunga  yang tadi tampak tinggi menjulang, meluncur turun lalu lenyap ke dalam tanah gurun.

Seperti baru saja tersadar dari mimpi panjang, Ducky berlari menuju barang-barang bawaannya. Di situ ada papan selancar yang bisa jadi perisai dan shotgun andalannya.

"CEPAT BUNUH! SERANG DIA SEBELUM KEMARI!!!" seru kru AYX yang lain.

"JEEEI!!!" Ducky berseru sekencang mungkin, berharap pemuda yang masih tak bergerak segera bereaksi. "MUNDUR DARI SITU!"

Ducky baru mencapai senapan dan papan selancarnya ketika kepala bunga terkutuk itu kembali muncul. Untungnya tak seorangpun terkena serangan. Tanah di sekitar mereka tampak bergejolak di beberapa tempat yang berbeda bergantian.

"JEI!!!" panggilnya lagi pada pemuda yang masih terlihat duduk mematung di tempat semula. "HATI-HATI, DIA AKAN MENYERANG LAGI!!!"

Baru juga dia berkata begitu, tiba-tiba sesuatu muncul dari salah satu area tanah yang bergejolak. Ducky mencoba melompat menghindar tetapi tetap terkena hantam, walau berkat lompatannya itu serangan yang diterima tak fatal.

Terbatuk karena hamburan debu pasir di tempatnya mendarat tadi, tetapi Ducky bisa dengan mudah bangkit berdiri. Berbeda dari waktu terhempas oleh udang gurun jumbo, kali ini dia berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Memang sedikit nyeri di area yang terkena hantaman serangan saja—mungkin hanya memar.

Si Kepala Bunga baru saja muncul lagi di hadapan J. Ketika dia mengira pemuda itu akan dilahap juga, tiba-tiba monster itu berjengit mundur, seperti agak kesakitan. Namun berkat itu Ducky melihat J berhasil berguling menjauh.

Kesempatan itu tak disia-siakan. Dia segera mengokang senapan, membidik lalu menembak tepat ketika kepala bunga yang jelek itu kembali terbuka.

DARRR!

Letusan shotgun menggema. Ada cipratan cairan kental tersembur ketika butiran peluru menghantam sisi dalam mulut yang seperti bunga bergigi itu. Setelah mengeluarkan suara gerungan panjang, monster itu kembali meluncur masuk ke dalam tanah.

"Jangan lengah, Jei!" serunya. "Si Kepala Bunga mungkin akan muncul lagi dari tempat lain!"

Bagaimana monster sebesar itu bisa dengan cepat muncul dan hilang menenggelamkan diri ke dalam tanah, Ducky tak mengerti. Dia tak cukup pandai untuk jadi bagian dari tim peneliti, karena itulah dia memilih untuk jadi bagian dari militer dulu. Orang tuanya sempat marah besar karena itu. Dianggap anak tak berbakti karena bergabung dengan anjing-anjing yang menuruti apa saja kata pemerintah, orang-orang tanpa perasaan yang mau saja bila disuruh menggigit kaumnya sendiri.

"Tapi coba lihat, kalau tak pernah menjadi anjing pemerintah, mana bisa bebek sepertiku bertahan hidup?" gumamnya getir.

Tanah di sekeliling mereka lagi-lagi bergoncang seperti ada yang mengaduk kubangan lumpur dari dalam. Tak ada batu yang cukup besar untuk pijakan. Bahkan batu-batu seukuran kepalanya sendiri lenyap tertelan pusaran pasir.

Ducky berlari menghindari kubangan-kubangan pasir hisap itu ke arah salah satu kendaraan AYX, berharap mendapat perspektif yang lebih luas. Dia baru menaiki bagian belakangnya ketika kendaraan yang akan dia jadikan pijakan, tiba-tiba doyong ke satu sisi. Pasir bergerak baru saja muncul di bawah roda-rodanya.

Sosok tinggi menjulang muncul dari pasir, membuat kendaraan miring ke posisi yang berbahaya. Panik menyergap tetapi sudut matanya melihat kendaraan lain di dekat situ, tempat burung gurun milik J bertengger.

Monster itu meluncur cepat dan muncul ketika beberapa orang kru berlarian. Dua orang tertelan ke dalam mulutnya begitu saja. Kemudian kembali tenggelam seperti mencari tempat lain yang belum terjamah olehnya. Beberapa meter dari perkemahan kembali mengekspos dirinya, tetapi tak mendapat apa-apa.

Ducky mengerahkan segenap tenaga untuk melompat ke tempat burung gurun itu, tetapi papan selancar yang dibawanya terlalu berat, keseimbangannya goyah. Dia terpaksa melepas papan itu untuk bisa mencapai atap mobil sebrang tanpa terjatuh.

Condor di sebelahnya mengepakkan sayap, terlihat terganggu. Ducky hanya meringis minta maaf. Namun sepertinya dia belum bisa tenang.

Begitu menoleh, dua meter di hadapannya terbuka lebar bunga raksasa dengan kelopak penuh gigi tajam. Refleknya membuat senapan di tangan segera terkokang dan menembak persis ke tengah-tengah mulut.

DARRR!!!

Tembakannya jitu mengenai dinding mulut yang lain, menambah lubang luka lagi.

Kepala bunga bergigi tajam itu mengeluarkan rintihan memekakkan telinga. Bergoyang ke sana-sini, terlihat kesakitan. Di tengah-tengah aroma busuk menyengat dan semburan cairan anyir dan kental yang dicipratkan oleh bunga itu, mata Ducky terpaku pada kain yang sangat dia kenal, melambai dari kegelapan rongga mulut.

Itu adalah salah satu dari kain tudung yang dikenakan Ven.

Kain ungu itu melambai perlahan. Terlihat seperti hendak menyampaikan sesuatu di mata Ducky. Mengucapkan selamat tinggal ataukah justru mengundangnya datang mendekat.

Sungguh aneh. Selagi pemiliknya masih berlarian dan mengata-ngatai Ducky dengan pedas, dia tak pernah terlalu memikirkan keberadaan kain itu. Kini warna ungu pudar bahkan cenderung kecokelatan di kain itu terlihat jauh lebih mencolok daripada tetesan merah pekat bercampur dengan cairan tubuh monster berkepala bunga.

"DUCKY!!!"

Seruan J dari bawah sana membuatnya tersentak. Dia berhasil menarik tangan tepat sebelum bunga bergigi banyak itu mencaplok seluruh lengan kanannya.

Ducky merutuki kebodohannya sendiri. Apanya yang mantan militer. Hanya karena kematian seorang gadis kecil saja sudah membuatnya kehilangan ketenangan. Dia tak berhak untuk mendapatkan kemewahan berduka atas kematian rekan, sebagai orang yang lari dari tanggung jawab dan meninggalkan mayat seluruh anggota unit beserta para peneliti yang seharusnya dijaga.

Sabetan ekor raksasa monster yang datang berikutnya berlangsung seketika, dia tak sempat menghindar. Namun ketika tubuhnya masih terlontar dari atap kendaraan AYX, mulut busuk yang terbuka lebar ke arahnya terlihat seperti kesempatan yang sangat bagus. Dia mengokang senapan sekali lagi.

"Enyah kau, kepala bunga keparat!"

Letusan shotgun kembali membahana.

Tubuh Ducky terhempas jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, mungkin ada rusuknya yang retak juga. Namun dia tak peduli. Rasa kesalnya pada makhluk berkepala bunga itu sudah terlampiaskan.

Monster itu meraung. Tubuh raksasa itu bergoyang cukup kencang sebelum jatuh berdebam dalam keadaan menggelinjang. Darah pekat masih mengalir dari mulut kembangnya yang bergigi rapat, terbuka lebar menampilkan isinya.

Ada dua bilah senjata tertancap di sana. Dua senjata yang masih dipegang pemiliknya yang sudah terbujur kaku dalam keadaan terkoyak.

Setelah monster cacing itu berhenti menggelepar, perlahan dari salah satu kendaraan AYX yang masih berdiri utuh, pintu terbuka. Penghuninya mengintip memastikan situasi sudah cukup aman. Kendaraan radar mereka yang paling canggih setengah tenggelam dalam kubangan pasir dalam posisi miring, entah apakah masih ada kru yang selamat di dalamnya.

Pintu dari kendaraan lain, yang bagian tangkinya dipakai mengangkut 3 orang pengawal dari Direland juga terbuka. Hanya ada satu orang yang keluar. Mereka yang cukup punya keberanian untuk mendekat bangkai monster, bisa melihat kepala yang seperti bunga terkulai dalam kondisi terbuka lebar.

Pintu dari kendaraan radar akhirnya terbuka. Tiga orang isinya selamat, walau terlihat luka-luka karena sempat terkocok dalam mobil akibat amukan monster.

Pimpinan konvoi mengernyit. Dua orang anggota mereka masih ada di dalam perut monster. Melihat dari jumlah pengawal mereka yang tersisa, sepertinya seseorang juga tak selamat.

Tergopoh-gopoh J berlari mendekati salah satu pegawai di sana. "Bisa ... Bisakah kalian mencari temanku, V-ven?" tanyanya.

Pegawai AYX itu mengangguk.

Pemuda itu diam mengamati bagaimana tubuh para korban dikeluarkan secara bergantian. Hingga dirinya bertemu dengan Ven.

Di pangkal kembang bergerigi itu, sosok berbalut kain itu tersungkur. Kedua tangannya masih menggenggam erat pedang yang menancap dalam di antara geligi tajam, bergeming meski sejak tadi monster itu keluar-masuk pasir, terlempar, dan bergoyang hebat.

Berkat itu Ven tak terjatuh ke dalam lambung monster itu. Meski begitu, tubuhnya koyak. Hancur. Darah di mana-mana. Mustahil nyawa masih bersarang di dalam jasad itu.

J menghampiri tubuh yang baru saja dikeluarkan dengan hati-hati oleh pegawai AYX.

Gadis itu kini terbaring di pasir yang dingin. Genggaman tangan pada kedua gagang senjata, dilepaskan.

Pemuda itu membeku, membisu, tidak mampu berbuat apa-apa selain terduduk di sebelah tubuh yang terbaring, mengenggam lengan kanan gadis itu dengan erat. J memanggil lirih namanya, lalu diam seperti menunggu ada jawaban.

Berulang-ulang dia memanggil. Genggaman tangan berubah menjadi pelukan. Tak lama tangisnya pecah.

Perempuan tangguh itu telah pergi.

"Kau ... tak perlu ke sana juga?" tanya kru AYX hati-hati. Orang itu sedang membantu Ducky membebat area dada untuk menopang rusuknya.

Baru kali ini kru AYX mau berurusan dengan orang-orang yang mereka pekerjakan. Biasanya, makan bersama pun mereka tak mau. Sekalinya buka mulut selalu urusan kerjaan.

Ducky bungkam, jengah dengan perhatian canggung yang ditujukan padanya.

"Aku akan tahan perbannya, tolong diikat!" adalah satu-satunya kalimat yang Ducky ucapkan setelahnya.

Kru AYX itu menghembuskan napas panjang. Mencoba memaklumi keengganan Ducky, dia hanya menuruti permintaan.

"Kurang erat," geram Ducky di tengah rintih kesakitan yang tertahan. "Aku tak mau rusukku meleset posisinya saat ada serangan mendadak lagi."

Wajah kru AYX yang membantunya terlihat enggan, tetapi melakukan juga seperti apa yang Ducky minta.

"Uhh ... kami akan mengubur temanmu bersama dua rekan kami," ujar orang yang baru saja membantunya mengikat perban. "Akan kubantu memapah ke sana. Jadi, kalau tak keberatan dengan upacara pemakaman singkat, kau bisa ...."

Ducky menggertakkan gigi kuat-kuat sebagai jawaban. Lalu bangkit berdiri seraya menepis lengan yang bermaksud menawarkan bantuan lagi.

Seperti tak pernah terluka, dia berjalan menuju puing-puing bekas pertempuran. Kemudian mulai memungut dan memilah barang mana saja yang masih bisa digunakan dan yang akan dibuang.

Selain dirinya kru AYX juga melakukan hal serupa. Barang-barang yang bisa menjadi identitas korban, seperti lencana, papan nama, dan kartu identitas, diambil untuk dikembalikan pada keluarga bersama barang-barang pribadi yang lain.

Empat orang kru AYX menggali tiga lubang kubur bersebelahan di tanah gurun yang relatif stabil—mencegah kemungkinan ada monster atau hewan gurun yang menggali. Tiga orang sisanya memeriksa dan mencoba mengoperasikan kendaraan, sepertinya kendaraan radar utama masih bisa berfungsi hanya perlu diberdirikan kembali, dengan bantuan dongkrak, katrol dan pengungkit yang selalu ada di setiap kendaraan lintas gurun milik AYX.

Satu persatu jenazah korban dibersihkan sebisanya lalu dibawa dengan hati-hati untuk diturunkan ke liang kubur. Pemimpin konvoi memberi pidato singkat ucapan belasungkawa. Lalu semua yang hadir diberi waktu untuk menyampaikan doa atau kalimat perpisahan bila ada, sebelum makam mereka ditutup dengan tanah.

"Apa ada yang hendak kalian ambil dari barang-barang pribadi mendiang atau mau dikuburkan semua?" tanya seorang kru AYX ketika melihat Ducky datang membawa wadah berisi barang-barang milik Ven.

Sebuah jurnal dan sebilah belati, hanya itu yang diambil oleh J. Ducky mengamati dari barang-barang Ven ada juga obat-obatan dan sebilah pedang. Pedang itu terlihat berkarat tetapi masih bisa diperbaiki, bahannya cukup bagus.

"Kau tak mau pedangnya juga, J?" Itu pertama kalinya Ducky bicara pada pemuda itu sejak pertempuran berakhir. "Aku akan ambil obatnya juga, kalau kau tak mau," tambahnya.

J terdiam sejenak. "Aku ambil," jawabnya setelah tampak berpikir agak lama.

Melihat sifatnya Ducky menebak alasan pemuda itu akhirnya mengambil pedang Ven mungkin sebagai perwakilan keinginan gadis itu untuk mencapai Liberté.

"Ducky, lukamu tidak apa?" tanya pemuda itu. Melihat J tetap mengkhawatirkan kondisi dirinya, walau tanpa nada riang dan senyum cerahnya yang biasa membuat Ducky membatalkan keluhan soal nyeri di rusuknya yang berdenyut-denyut.

"Bukan masalah besar," jawabnya pendek.

Melihat senyum lemah yang sekuat tenaga disunggingkan oleh J sebagai tanggapan, membuat Ducky merasa keputusannya menahan diri adalah tepat. Toh, mereka tak bisa melakukan apapun pada kondisinya dengan pengobatan yang ada—kecuali, mungkin pil pereda sakit.

"Pedang itu, nanti kuajari cara merawat dan menggunakannya. Jaga baik-baik."

Setelah mengatakan itu Ducky menyerahkan semua sisa barang-barang Ven pada kru AYX untuk dikubur bersama jenazah gadis itu. Sepertinya beberapa hal yang terlihat cukup tahan cuaca akan dijadikan pengganti nisan.

"Ini saja, tak ada pesan terakhir pada mendiang?" orang dari AYX itu memastikan, karena dia tinggal memberi tanda pada yang sudah bersiap dengan sekop mereka.

Mendengar pertanyaan itu, J terlihat berkomat-kamit. Dia mengucapkan sesuatu nyaris tanpa suara. Mungkin kalimat perpisahan panjang yang hanya pemuda itu dan Ven yang paham.

Mata kru AYX kini tertuju pada dirinya. Ducky mengernyit karena merasa dipaksa untuk memilih kalimat perpisahan. Sejak dulu dia paling tak tahan dengan pandangan semcam itu, seperti mengharapkan untuk melakukan sesuatu apabila tidak, dirinya akan dihakimi sebagai manusia paling tercela.

Apa yang dulu dia biasa katakan dalam kondisi seperti ini, Ducky mencoba mengingat-ingat. Percuma. Semua kalimat yang bisa diingatnya terasa palsu.

Bisa-bisa bukannya beristirahat dengan tenang, arwah gadis galak itu mungkin akan menerjang kembali dari sungai kematian lalu memberinya omelan panjang.

Ducky melirik obat-obatan di tangannya dan senjata peninggalan Ven di tangan J.

"Kau sudah bekerja dengan baik," ucapnya nyaris datar, setelah cukup lama terdiam. "Sekarang, kau bisa beristirahat sepuasmu!"

Ducky menelan kembali kalimat selanjutnya. Dia hendak berkata, selanjutnya serahkan saja pada kami. Namun dirinya sendiri tak yakin bagaimana kondisi mereka ke depannya nanti.


===========
======

Gambar Bonus

======
===========

Jey, karakter milik: justNHA, bisa dibaca di karyanya Le' Inanite
Ven, karakter milik: zzztare, bisa dibaca di karyanya Into Dust
Ducky, karakter milik: Catsummoner

Silakan mampir ke karya milik dua penulis lain untuk membaca rekap RP log menurut sudut pandang dua karakter selain Ducky.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro