RP Log 06 - Detak Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

=========
===

Anyir dan hangus menyebar di udara. Sesekali terdengar rentetan tembakan ditengahi jeritan di sekitar Tri-Way Outer Circle. Orang-orang berdesakan berusaha memasuki Inner Circle, sementara dua jalan menuju distrik lain terbuka lebar.

Kendaraan AYX yang mereka tumpangi perlahan menyusuri jalanan Liberté, melewati kerumunan orang-orang yang berebut masuk inner circle, entah sebagai pengungsi atau pemberontak. Saat itu di mata Ducky mereka tak ada bedanya. Yang lebih mencemaskan adalah pasukan penjaga berpakaian tempur lengkap di sekitar barikade.

"Itu bukan perlengkapan anti huru-hara," gerutunya cemas. Tak yakin shotgun model lama di tangannya mampu menembus pelindung dengan sekali tembak.

Owen bicara soal rute memutar dan mereka harus turun lewat pintu belakang pada pengemudi. Ducky memperkirakan mereka harus melintas area pemukiman untuk mencapai tujuan. Dan benar saja, kendaraan dihentikan.

"Ducky, Raz. Kita harus turun di sini, ada banyak penjaga di depan. Kita akan memutar lewat pemukiman," ungkapnya sambil mempersiapkan pistol di saku, mengisyaratkan mereka agar turun perlahan dan hati-hati dari belakang kendaraan.

Ducky mengangguk lalu menarik tuas pintu kedua, perlahan membuka akses keluar. Tak perlu terlalu besar, cukup asalkan mereka dan barang bawaan bisa turun tanpa tersangkut.

Telapak kakinya menginjak permukaan padat dan mulus jalanan Liberté, tak ada debu kuning kecokelatan atau tanah kering. Sensasi yang aneh.

Dia melangkah, meninggalkan jejak tanah gurun kering di aspal hitam.

Beberapa kali langkahnya terhenti untuk memastikan para penjaga tak menemukan mereka ketika mengendap-endap menuju bangunan-bangunan rumah penduduk sipil.

Hidungnya agak mengernyit ketika jalan yang diinjak tak lagi hitam mulus. Bagaimana pemandangan di salah satu sudut area pemukiman, terlihat tak jauh berbeda dengan medan perang, bukannya dia tak mengerti. Namun tak bisa tidak dia merasa menyayangkan saat melihat kondisinya saat ini.

Dulu tempat itu salah satu yang terbersih dan paling rapi di Liberté.

Ducky melirik pada Owen, menduga-duga sejauh mana lelaki itu memperkirakan korban jiwa yang akan terjadi. Melihatnya berjingkat berusaha tidak menginjak sisa-sisa manusia masih belum jadi penilaian yang akurat.

"Kita ke arah rumah sakit atau langsung ke lab utama, Owen?"

"Prioritas pertama kita Lab Utama, ada banyak ilmuwan di dalamnya. Aku ... curiga mereka akan menjadikan salah satu dari dua bangunan itu untuk kuburan massal dengan memancing kita ke sana. Bagaimanapun juga, kita mesti berhati-hati," ucap Owen sepelan mungkin, matanya sempat melirik Raz dengan tatapan khawatir.

"Aku nanti akan berjaga di pintu belakang Lab sementara kalian mencari Tilia. Jika ada bahaya, gunakan ponselnya, oke?" ucap Owen yang menghela napas menilik bangunan Lab Utama di kejauhan.

"Nomor mana yang harus kupanggil?" Ducky balik bertanya, mengabaikan pandangan khawatir Owen pada Raz, fokus pada gawai mungil di tangannya. "Apakah cukup menekan redial saja?"

"Redial saja sudah cukup, nanti akan tersambung langsung dengan ponselku yang satunya lagi," jawab Owen sembari mengamati sekeliling pemukiman penduduk yang sepi.

"Kau pernah jadi warga sipil Liberte, 'kan, Tuan Ducky? Kau pasti tahu di mana pintu belakang Lab Utama. Firasatku mengatakan, penjagaan di sana tidak akan seketat di Inner Circle," lanjut Owen sambil berjalan cepat menuju bangunan besar, menjulang sepuluh lantai ke atas di kejauhan.

Kokoh, menjulang tinggi, dengan kaca-kaca yang berkilauan memantulkan cahaya matahari yang memanjat naik dari cakrawala. Tilia Branch ada di tengah-tengah semua kekacauan di distrik ini.

Sudut mata Ducky sempat menangkap ketika seseorang buru-buru menutup korden di salah satu jendela ketika mendengar jawaban Owen. Sepertinya masih ada penduduk sipil yang tertinggal-karena tak ada hawa permusuhan, hanya ketakutan dan kepanikan yang terasa.

"Aku tak begitu ingat," gumamnya pada pertanyaan Owen. "Sebelum masuk akademi area laboratorium bukanlah tempat yang didatangi orang bodoh sepertiku."

"Aku perlu bantuan kalian untuk melumpuhkan para penjaga nanti. Jika tidak ada pilihan ... bersiaplah menembak duluan."

Raz yang sedari tadi hanya diam dengan wajah sedikit pucat saat mengikuti mereka, mengangguk pada permintaan Owen.

Sementara Ducky tak menjawab. Dia memencet tombolnya redial. Menunggu nada sambung.

Sesuatu bergetar di saku Owen. Benda tersebut diambil dan angkat ke depan muka. "Ah, kau meremehkan dirimu sendiri, Tuan Ducky," katanya seraya mempertunjukkan gawai di hadapan laki-laki berambut ijuk itu.

"Hanya memastikan," gumam Ducky seraya mengantongi ponsel ke balik mantel pelindungnya.

"Ayo, kita mesti bergegas," kata Owen tegas, matanya menyisir barisan pohon tabebuya dan ki hujan di sepanjang halaman samping Lab Utama. Keadaan nyaris sepi senyap, tiada suara selain derap langkah para penjaga dan angin yang menyapu pelataran. Penjagaan tidak terlalu ketat di sana. Setidaknya untuk sekarang.

Ducky mengokang shotgun dan mulai berjalan sambil membiarkan perisai dari papan selancar disangkutkan ke lengan kirinya. Mode perisainya ini tak terlalu melindungi tetapi lebih praktis untuk dibawa-bawa saat dia harus menggunakan kedua tangan.

"Raz," tegurnya pada lelaki besar yang terlihat berusaha keras untuk tidak memedulikan pemandangan tak menyenangkan yang mereka lihat sepanjang jalan.

"Angkat dagumu, mengawasi musuh yang datang jadi tugasmu kali ini!" perintah Ducky. "Biar aku yang awasi serangan dari kanan dan kiri."

"Siap ... Ducky ...." Jawab Raz.

Masih terdengar lemah tetapi tetap menghunuskan pisau dan pistol di kedua tangan, mengekor dua yang lain.

Setelah berjalan menyusuri rumah-rumah warga tanpa ketahuan, mereka akhirnya tiba. Owen menyeberang terlebih dahulu ke dekat bangunan tujuan, baru menyuruh mereka menyusul dengan isyarat tangan.

Mereka tiba di depan sebuah pintu besar. Ada alat elektronik dengan tombol-tombol di sebelah gagang dan lubang kunci. Ducky melihat bagaimana lampu merah yang biasanya menyala sebagai indikator bahwa pintu masih terkunci, berkedip.

"Ada yang sudah memasukkan kode, tapi masih kurang angkanya," gumam Ducky.

Dia ingin tahu apa yang sebetulnya terjadi, apakah siapapun yang hendak masuk itu batal karena dikejar sesuatu, tetapi mereka tak punya banyak waktu. Dia membaca monitor kecil di dekat angka. Ada 6 slot, dua di antaranya masih kosong.

Dia punya tiga kali kesempatan.

Ducky menurunkan senapannya, lalu menekan dua tombol.

Suara bip keras.

[Password Salah!], tegur suara mesin.

Dia menelan ludah, lalu menekan dua tombol yang lain.

Suara bip keras.

[Password Salah!], tegur suara mesin lagi.

Ducky mengumpat lirih. Keringat dingin mulai mengucur. Tinggal satu kesempatan lagi. Dia pun menekan dua angka yang sama tetapi dengan urutan berbeda.

[Password Berhasil!]

Terdengar suara klik keras, tanda slot kunci terbuka.

"Raz," tegurnya tanpa menoleh. "Siapkan picu pistolmu!"

Tangan kiri menggenggam erat perisai, tangan kanan meraih gagang pintu.

"Sekarang, berlindung di belakangku. Tapi acungkan pistolmu melewati atas bahuku. Tembak saat kuberi aba-aba."

Gagang pintu ditarik, pintu pun terbuka dengan suara derit lirih. Perisai Ducky maju memasuki ruangan terlebih dahulu, diikuti langkah hati-hati.

Ketiganya menelan ludah, bersiap menghadapi jebakan yang barangkali sudah disiapkan. Namun, nyatanya, di balik pintu tersebut, tidak ada seorang pun.

Dengan gerak cepat Owen mendahului, masuk ke dalam ruangan, disusul dua yang lain.

Benar-benar pintu belakang. Hanya ada dua lorong, dan peralatan kebersihan yang digunakan para janitor. Mungkin yang memasukkan kode tak selesai itu juga salah seorang dari janitor yang batal memasuki gedung.

Owen tersenyum ringan pada yang lain, lalu berkata bahwa dia hanya mengantar sampai di situ saja. Memang terlalu berbahaya bila jalan keluar mereka tak dijaga.

"Aku akan menunggu bala bantuan. Jika kalian butuh apa-apa, ingat, pakai ponselku," ucap Owen seraya berjaga di samping pintu belakang.

Ducky mengangguk sebagai jawaban.

Suster Tilia ada di lantai 5. Berarti pilihan untuk naik melalui tangga atau lift kini ada di tangan Ducky dan Raz.

Dia menurunkan sedikit senapannya. Membawa perisai sekaligus senapan sambil menaiki tangga jelas akan membebani rusuknya. Apalagi mereka harus selalu siap menodongkan laras, bila sewaktu-waktu ada serangan.

"Raz, kau bisa bawa perisaiku?" tanya Ducky. "Kita akan naik tangga, aku perlu mengurangi beban bawaan ... Tapi itu artinya kau yang jalan di depan."

"Siap, Kapten," jawab Raz setelah mengambil alih perisainya. Lalu mulai menapakkan kaki, menaiki tangga.

Ducky seharusnya segera mengikuti sambil berjaga dari belakang, tetapi dia malah tertegun. Sebelum Raz melangkah lebih jauh, dia buru-buru meraih bahu lelaki besar itu.

"Tunggu!" panggilnya. "Kurasa ... sebaiknya aku saja yang di depan. Kau gunakan perisai untuk berjaga-jaga serangan dari belakang saja."

Ducky berusaha keras agar suaranya terdengar biasa saat mengusulkan itu. Dia tak boleh terdengar ketakutan.

Benar, sebaiknya dia yang lebih berpengalaman saja yang berjalan lebih dulu untuk antisipasi serangan dari berbagai arah. Namun Ducky juga jadi ingat bahwa dia kehilangan seorang anggota timnya, ketika sedang di luar jangkauan pandangan.

Lelaki itu terpaku.

Tak tahu pilihan mana yang harus dia ambil.

Kening Raz mengerut. Mungkin kebingungan dengan perubahan sikap Ducky. Pada akhirnya lelaki besar itu mengangguk pelan.

"Ba ... baiklah," jawabnya sebelum berjalan ke belakang Ducky dengan perisai.

Melihat Raz yang langsung patuh mengikuti sarannya tidak membuat Ducky merasa lebih tenang. Samar, tetapi lututnya masih terasa lebih gemetar daripada saat kali pertama pelajaran menggunakan senjata api di akademi dulu. Dia ingin lari.

"Om Ducky tahu di mana posisi Suster Tilia itu?"

Pertanyaan Raz menyentaknya, mengingatkan alasan Ducky berada di tempat itu.

"Menurut artikel orang bernama Phinix ini," dia menjawab setelah menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam. "Suster Tilia kemungkinan disekap di lantai 5."

Ducky tak pernah punya kenalan wartawan, apalagi dari keluarga kalangan atas seperti Phinix. Bahwa dia yang bukan siapa-siapa sampai bisa diketahui oleh wartawan itu saja sudah sangat mencurigakan. Namun saat ini, hanya tulisan Phinix itu saja yang menjadi sumber informasinya, selain Owen-yang tak kalah mencurigakan juga.

"Perjalanan kita masih panjang," ujarnya lagi, melihat pada deretan anak tangga, menjulang berlantai-lantai ke atas sana.

Berkat pembicaraan barusan, dia sudah mendapatkan kembali ketenangannya.

"Hemat tenagamu, tetapi tetaplah waspada!" ujar Ducky, sebelum kembali memimpin langkah sembari bersiap dengan senjata, kali ini tergenggam stabil dengan kedua tangannya.

Dua set anak tangga, untuk satu lantai. Begitu selesai dilintasi, Ducky mencapai pintu besar dan berat. Pintu itu terbuka, lorong di baliknya terlihat lengang.

"Clear," desisnya setelah memastikan tak melihat seorangpun terlihat.

Kemudian lanjut melangkah menuju lantai berikutnya.

Beberapa langkah lagi mencapai lantai tiga. Telinga Ducky menangkap suara derap langkah sepatu bot.

"Hold!" desisnya, seraya mengepalkan tangan. Lalu memberi aba-aba agar Raz ikut menempelkan punggung ke dinding belakang mereka.

Ducky mengacungkan telunjuk di depan mulut, meminta Raz untuk tak bersuara. Menunggu derap langkahnya berlalu.

"Clear!" gumam Ducky, setelah yakin situasi cukup aman. Melanjutkan melangkah menuju lantai berikutnya.

Mereka sedang menyusuri setengah set anak tangga ketika Ducky mendengar suara pintu terbuka. Reflek dia merunduk, berusaha untuk mengecilkan diri. Sebelah tangannya dia gunakan untuk menyuruh Raz merunduk juga.

Antisipasi pada siapapun yang akan datang, Ducky bersiap meraih pisaunya yang terselip di pinggang. Jantungnya berdegup semakin kencang. Keningnya mulai basah oleh keringat.

Kemudian terdengar langkah menjauh. Dia masih menunggu hingga betul-betul sunyi. Baru memberi aba-aba pada Raz untuk bangkit.

"Ayo!" bisiknya sembari melanjutkan langkah.

Kali ini Ducky tak membuang waktu untuk melongok ke lorong lantai 4. Khawatir siapapun tadi mendahului mereka untuk sampai ke lantai tujuan.

Lantai lima. Pintu tertutup. Ducky dengan hati-hati menarik gagang pintu, menggunakan cermin kecil untuk melihat ujung-ujung lorong, memastikan tak ada yang menghadang.

Sepi.

Perlahan dia buka lebar pintunya. Senjata teracung waspada. Tak ada siapapun. Hanya lorong kosong dengan deretan pintu. Tak seperti area penelitian, karena ada mesin penjual makanan di salah satu ujung. Dan kopi di ujung lain.

"Clear," gumamnya memberi aba-aba pada Raz.

Lengang sekali. Terlalu sepi malah. Bahkan decit sol sepatunya dan ketukan sepatu Raz bisa terdengar ketika beradu dengan lantai licin lorong.

Haruskah dia mulai membuka pintu-pintu itu satu-persatu, Ducky menoleh pada Raz.

"Salah satu pintu ini," dia memberi tahu. "Aku akan buka dari yang terdekat."

Raz menelan ludah. "Apa sebaiknya aku saja?"

Ducky tercenung mendengar saran lelaki besar di hadapannya.

"Aku yang memegang perisai sekarang," tambah lelaki itu lagi.

Raz terlihat yakin, tetapi Ducky tak tahu seberapa kuat perisai di tangannya menahan berondongan senapan mesin. Dia baru akan mengusulkan untuk mengambil alih perisai itu ketika sudut matanya menangkap sesuatu.

Jauh di ujung lorong yang lain, di area dinding sekitar pintu lift berada. Ada benda elektronik dengan lampu merah berkedip.

Napasnya tercekat.

Segera saja dia melangkah secepat mungkin, bahkan berlari. Mendekati benda yang kelihatan tak lebih besar dari kunci elektronik itu.

Berharap penglihatannya salah, Ducky berkali-kali mengucek mata. Namun apa yang terpampang di hadapannya tak berubah.

Komponen itu ... Kabel-kabel mungil yang tersambung ... Benda seperti lempung yang membungkusnya. Tak salah lagi.

"Demi semua gurun Direland," ratapnya.

Apakah benda itu hanya ada di lantai tempat mereka berada ataukah .... Ducky tak berani berspekulasi lebih jauh.

Mungkin sebaiknya dia menghubungi Owen

Saat Raz datang menyusul, Ducky meraih ponsel di sakunya. Hanya perlu menekan satu tombol, opsi redial langsung muncul. Mungkin Owen memang sengaja mengeset begitu.

"Apa itu ...." gumam lelaki besar, terlihat cemas juga ketika melihat benda yang sama.

Ducky tak menanggapi. Fokusnya tersita ketika menemukan icon bergambar kamera dekat icon memanggil.

Entahlah apakah fungsi kamera dan mengirim pesannya bekerja atau tidak. Ducky menekan icon tersebut lalu mengambil gambar benda mencurigakan di hadapannya lalu menekan icon berbagi.

Muncul deretan icon lain. Dia tak tahu harus menggunakan yang mana. Tak ada yang dikenalinya.

Akhirnya Ducky memutuskan untuk menekan tombol redial saja.

"Cepatlah ... Owen!"

Di sisi lain bangunan, Owen tengah mengatur napas, melirik kanan-kiri, atas-bawah, khawatir akan ada kamera tersembunyi yang memantau pergerakan mereka. Baru saja hendak membuka pintu belakang kembali untuk memastikan tidak ada penjaga, sakunya bergetar.

Ia bergegas mengangkat dan mengusap gawainya, hanya untuk disambut oleh suara Ducky yang kelihatannya panik.

"Tuan Ducky? Ada apa?"

Baru kali ini Ducky merasa lega mendengar suara Owen.

"Apa kau bisa beritahu cara untuk mengirim foto? ada yang perlu kutunjukkan sekarang juga."

"Ada aplikasi kamera darurat di sana. Mestinya kau bisa langsung memotret lewat sana, dan fotonya akan terkirim langsung padaku lewat galeri," jelas Owen. "Ada apa? Apa yang ingin kautunjukkan?" desak lelaki di seberang telepon.

Mendengar penjelasan Owen, Ducky langsung membalas, "Kalau begitu, seharusnya sekarang gambarnya sudah terkirim padamu. Aku menggunakan icon kamera pertama yang muncul, kuasumsikan itu yang kau maksud."

"Kuharap bantuan yang kau bicarakan itu bisa memberi kita jalan keluar untuk masalah yang baru saja kutemukan."

"Om Ducky ...." panggil Raz, terdengar ragu. "Bagaimana kalau kita selamatkan Suster Tilia sebelum bom itu meledak?"

Suaranya yang menyarankan itu bergetar, tak perlu melihat ekspresinya Ducky tahu bahwa lelaki besar itu sedang ketakutan. Tak heran. Dia sendiri pun sama.

Suster Tilia. Orang yang sangat dia harapkan keselamatannya sekaligus yang paling dirindukan. Dia yang dulu tanpa ragu akan langsung menyetujui saran Raz itu.

Mendengar jawaban dan penjelasan dari seberang telepon, sesungguhnya hanya sebagai alasan tambahan bagi Ducky. Semacam pengalihan.

Dia menginginkan jaminan. Harapan. Tak peduli sekecil apapun.

"... mereka dari awal tak berniat menang."

Getir terasa di pangkal mulutnya. Dia tahu, kemungkinan kecil sekali apa yang mereka sebut dengan revolusi itu berhasil, tetapi dia tak menyangka perkembangannya akan memburuk sejauh itu.

Tak ada yang lebih menakutkan dari lawan yang tak punya hal yang dilindung, nothing to lose. Dan pihak paling berkuasa di Liberté saat ini terlihat seperti itu menurut pengamatannya.

"...Tim penjinak akan segera ke sana ...."

Sebuah harapan.

"...Temukan Suster Tilia ...."

Sebuah tujuan.

"Selamatkan juga para scientist yang kalian temukan di lantai lima."

Sebuah kewajiban.

"Mereka pasti sudah memasang banyak bom. Berhati-hatilah!"

Sebuah peringatan.

Lalu pembicaraan terputus. Nada berulang terdengar beberapa kali sebelum dia menekan icon menutup panggilan.

Ducky berbalik, berjalan menjauh dari benda berbahaya tadi. Wajahnya muram.

"Ayo, Raz!" panggilnya. "Ada misi yang harus kita selesaikan."

Dia memasang kacamata pelindung, lalu lanjut berjalan ke salah satu pintu tertutup di lorong. Sambil tetap bersiaga.

Raz mengangguk. Seperti seorang prajurit mendengar perintah kaptennya, dia lekas mengikuti Ducky menuju salah satu pintu tertutup di lorong.

Gagang pintu bergeming walau Ducky sudah menarik cukup kuat. Dia melirik pada kotak-kotak dengan tombol di setiap pintu. Kunci elektronik yang lebih kecil dan lebih canggih dari yang dia coba di pintu belakang tadi. Sepertinya ada pemindai sidik jari juga.

Ducky mengunci senapannya lalu ...

DUAKKK!!!

Beberapa kali pukulan dilakukan dengan menggunakan popor senapan.

Percikan listrik kecil-kecil berlompatan. Rusuknya berdenyut, tetapi dia meneruskan dengan menarik pintu geser hingga terbuka.

Kosong.

Ducky berdecak. Masih ada 5 pintu lagi. Rusuknya tak akan tahan.

"Raz, tembak benda elektrik di sebelah pintu berikutnya!" dia memerintahkan. "Pastikan arah tembakanmu tak langsung ke dalam tembok, sebisa mungkin sejajar dengan arah lorong!"

Raz mengangguk. Dia mempersiapkan pistol untuk pintu kedua. Dibidiknya kunci pintu itu seperti yang Ducky bilang. Mata agak memicing. Pelatuk dilepaskan.

Dar!

Kunci berhasil dihancurkan. Ducky masuk dan memeriksa.

Kosong.

Pintu ketiga, bahkan yang keempat pun, kosong semua. Beberapa seperti pernah dihuni, sisanya seperti ruang model contoh untuk iklan apartemen. Indah tetapi steril.

Setiap kali pistol mungil di tangan Raz menyalak, harapannya naik dan turun dengan cepat. Dia mulai lelah dan tak sabaran.

Ketika sampai di pintu ke lima, Ducky langsung menerjang masuk tanpa memeriksa terlebih dahulu.

Sepertinya ruangan itu berpenghuni, tetapi dia tak melihat siapa-siapa, walau sudah mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Ketika bermaksud berbalik untuk mencari ke balik pintu, di hadapannya berdiri sosok yang selama ini dicari-cari.

Dia terpesona pada wajah yang masih sama cantiknya dengan terakhir kali diingatnya. Bahkan saat memandang dengan tatapan garang seperti itu.

"Sust- ...."

Sapaannya tak selesai. Sesuatu membuatnya hilang kesadaran.

===oo000oo===

Perempuan itu menggenggam erat kaki-kaki kursi. Kamar itu tak lagi mendapat akses internet maupun telepon. Bahkan acara TV hanya menayangkan lagu-lagu membosankan.

Namun dari pembicaraan orang-orang yang keluar-masuk, dia memperkirakan di luar sana sudah terjadi huru-hara. Seharian ini, tak seorang pun datang ke kamarnya. Masih ada makanan dan minuman, tetapi terasa janggal.

Lalu suara letupan dan keributan yang samar-samar didengar dari luar membuatnya waspada. Apakah dari pihak rakyat yang masuk ataukah dari pihak pemerintah, dia tak peduli. Dia sudah menyiapkan perbekalan dan akan keluar dari situ.

Satu suara letupan yang cukup kencang. Penyerangnya sudah di luar pintu.

Bersyukur pintu kamarnya tipe lama, bukan jenis pintu geser. Tilia berdiri di balik pintu, menahan napas.

Begitu pintu terbuka sesosok lelaki tanpa seragam menerobos masuk, nyaris mendobrak pintu. Perempuan itu segera menghantamkan kursi di tangannya sekuat tenaga.

Orang itu roboh seketika, dengan kepala benjol.

"Sebaiknya jangan diguncang seperti itu," tegur Tilia pada lelaki yang menyusul masuk dan ribut memanggil nama, berusaha membangunkan korbannya. "Kalau gegar otak parah, berbahaya."

"Apa Anda Suster Tilia?" tanya lelaki yang panik itu. Membuatnya mengernyit.

Bertanya-tanya darimana mereka tahu namanya. Bahkan mulai berpikir bahwa pihak pendukung revolusi juga mengincar nyawanya.

"Kalau iya, tolong guruku ini!"

Wajah penuh kekhawatiran. Tak seperti orang jahat, malah terlihat lugu. Tilia menurunkan kursi di tangan.

"Minggir," ujarnya seraya berlutut ke sosok yang terkapar di lantai. "Biar kuperiksa!"

Pertama-tama, prempuan itu memeriksa denyut nadi di leher. Masih hidup.

Lalu melepas kacamata pelindung yang dikenakan lelaki itu dan membuka paksa kelopak mata korbannya untuk memeriksa kondisi pupil dengan senter mungil dari sakunya.

Iris mata cokelat yang familier.

Kemudian dia memeriksa area kepala yang mengalami benturan.

Sepertinya hanya luka di dalam kulit, sedikit benjol tapi tak apa-apa. Pukulan perempuan itu kurang kuat, seharusnya korbannya tak sampai pingsan. Lebih lemah dari dugaannya.

Tunggu, siapa namanya tadi?

"Anak muda, jawab aku ... Siapa orang ini?" tanyanya.

Lelaki besar yang kedua terdiam sesaat seperti berusaha mengingat sesuatu, kemudian ragu-ragu menjawab, "Ducky."

Nama yang sepertinya pernah dia dengar, siapa yang mengucapkan ... Ah, dirinya sendiri. Ketika ada pasien aneh hasil pungutannya, mengaku bernama Drake. Saat itu dia langsung tertawa.

Kali ini Tilia pun tergelak karena ingatan yang menurutnya lucu itu, lalu berkomentar, sama persis dengan saat itu, "Bebek jantan?"

"Astaga, Tuan Bebek ... kukira dia sudah mati entah di tengah gurun mana," tambahnya masih terkekeh.

"Lalu, kalau bersama Tuan Bebek, berarti kau dari luar Liberté, ya ... Ada urusan apa dengan kriminal Liberté ini?" tanyanya, ringan. Seraya bangkit lalu mengambil tempat duduk terdekat.

"Ah biarkan saja si Bebek itu. Nanti juga dia sadar sendiri."

Raz hanya bisa menatap bingung. Dia memperhatikan wanita di hadapannya dan Ducky yang tak sadarkan diri, sebelum menjawab. "Kami ke sini untuk menyelamatkan Suster Tilia dan para ilmuwan. Katakan, apa benar Anda Suster Tilia?"

"Namaku memang Tilia Branch," perempuan itu menjawab. "Hanya saja aku tak paham, kenapa kalian repot-repot kemari untuk seorang suster biasa ini-seorang kriminal pula ... Bukankah lebih baik menyelamatkan para ilmuwan?"


=====
===========
Gambar Bonus

===========

Cerita semakin mendekati klimaks

Jangan lupa untuk mampir ke karya pemilik karakter lain, baik yang muncul di log role play ini maupun yang berada di lokasi berbeda.

Raz, adalah karakter milik rafpieces, di karyanya berjudul: Faith in the Desert

Ducky, adalah karakter milik Catsummoner

Xi, adalah karakter milik amelaerliana, di karyanya berjudul: In Transit

J, adalah karakter milik justNHA, di karyanya berjudul: Le' Inanite

Bintang tamu:
Owen, karakter yang digerakkan oleh nozdormuHonist

Tilia Branch, karakter yang digerakkan oleh Catsummoner

Jangan lupa untuk mampir juga ke jurnal (wasiat) para scientist yang sedang dalam kondisi sangat genting.

shireishou, boiwhodreams_, dan frixasga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro