15. SALING TUDUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meja kantin yang mereka tempati terasa seperti lokasi pertemuan antara dua kubu yang tengah perang dingin. Sejak duduk di meja ini, Monita dan Delia saling melemparkan tatapan penuh prasangka tanpa henti, bahkan setelah Kana menghabiskan setengah mi dalam cup-nya dan Priska telah menandaskan bekal roti isinya. Kemarin, setelah memergoki Monita mengorek informasi dari Kevin, Delia tidak sekali pun berusaha menemui Monita. Baik di jam istirahat kedua maupun saat pulang sekolah. Entah karena dia tidak punya kesempatan, atau karena sengaja menghindar. Monita lebih percaya dengan kemungkinan yang kedua. Soalnya, Delia juga tidak berusaha menghubunginya untuk memastikan apa saja yang telah diutarakan Kevin, atau sekadar menanyakan kenapa dia bisa berakhir duduk di meja Kevin. Tidak mungkin Radar Ingin Tahu dan Ingin Ikut Campur Delia tiba-tiba tercerabut dari jiwanya. Sudah pasti dia khawatir dan memilih bersembunyi.

Namun, di sisi lain, Monita tidak terlalu ambil pusing. Dengan begitu, dia bisa punya waktu untuk menganalisis semua informasi.

Setelah merenung semalaman, kira-kira beginilah gambaran besar kemelitan yang sedang terjadi:

Delia dapat kado dari Dirga di malam ulang tahunnya dua bulan lalu. Isinya jam tangan DAN sesuatu yang HARUS dirahasiakan. Setelah mendengar Monita mendapatkan kado "spesial", dia merasa tersaingi dan ingin tahu lebih detail hal spesial apa yang berhasil mengalahkan jam tangannya (dan sesuatu yang dirahasiakan). Namun, karena Monita terlalu gigih menyembunyikannya, dia jadi curiga apakah kado itu benar-benar istimewa.

Semakin bernilai yang lo dapetin, semakin lo banggain hal itu di depan banyak orang.

Penilaian Delia tentang Monita tidak sepenuhnya salah. Namun, dia tidak sadar kalau mereka sebelas-dua belas. Dengan mengatakan itu, secara tidak langsung Delia juga mengekspos kerentanannya. Jika Monita selama ini tutup mulut karena memang tidak tahu apa yang ada di dalam kado itu, lain halnya dengan Delia. Bisa jadi dia merahasiakan kadonya karena itu adalah sesuatu yang bisa menurunkan harga dirinya. Sesuatu yang bisa mengubah pandangan orang terhadapnya.

Tiba-tiba pertanyaan Aceng melintas di benaknya. Bagaimana jika kado itu bukan hal yang bisa dipamerkan ke orang-orang? Apa mungkin Monita juga mendapatkan kado serupa dengan milik Delia?

"Mau sampe kapan saling pelototan gitu? Mata kalian nggak kering? Ayo kedip, Girls." Kana melambai-lambaikan tangannya di antara Monita dan Delia, seolah mengisyaratkan perang mata telah berakhir.

"Iya nih, lo masih bete karena masalah kemarin, Mon?" timpal Priska.

"Gue nggak bete," jawab Monita.

"Terus?"

"Penasaran aja."

"Tentang?"

"Kalian bilang, Kevin yang minta datang ke pesta gue. Tapi, setelah gue perhatikan, dia itu orang yang bakal bergerak kalau diminta. Jadi, gue kepikiran aja, kok bisa dia inisiatif nanya apa dia bisa datang ke pesta gue, padahal kita aja nggak saling kenal."

"Kok masalah ini lagi sih yang dibahas?" Kana terdengar agak kecewa.

Priska juga menunjukkan ekspresi yang sama, lalu mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, entah sedang mencari jalan keluar atau menunggu tanggapan Delia. Tak lama kemudian, Priska memberi usul, "Udah Del, saran gue, kasih tau aja. Biar di antara kita nggak ada curiga-curigaan lagi."

Delia tidak langsung tergerak. Dia masih melayangkan tatapan penuh pertimbangan, seolah sedang menilai sebenarnya ke mana arah pertanyaan Monita.

Setelah berdeham kecil Delia akhirnya buka suara. "Okay. Gue yang undang dia."

Monita tersenyum sinis mendengar pengakuan itu.

"Itu karena gue ditantang Dirga," lanjut Delia.

"Maksud lo?"

"Gue sama Dirga bikin kesepakatan: kalo gue berani undang Kevin ke ultah lo, dia juga bakal datang ke sana. Gue tadinya mikir 'nggak usah deh, biar Moni rasain apa yang gue rasain'. Tapi, karena gue tau lo desperate banget buat mastiin Dirga datang, sampe-sampe ngundang semua anak prom night, finally gue lakuin."

Monita sedikit merasa ada yang aneh dengan penjelasan Delia. "Untuk apa Dirga kasih tantangan itu? Dan kenapa harus Kevin?"

Tatapan yang tadinya terlalu hati-hati kini berubah menjadi sirat memuaskan. Apalagi dengan bersandar penuh di kursinya dan melipat kedua tangannya, dia seolah sedang menyambut kemenangan besar.

"Anggap aja kami lagi main Dare or Dare. You know, sesama teman kadang kita suka nantangin hal-hal unik. Sebenarnya bisa aja Dirga cuma bercanda, tapi gue nggak mau ambil risiko kalo dia ujung-ujungnya nggak datang ke pesta lo. Gue nggak mau merasa bersalah. Lagian, cuma undang Kevin, it was not a big deal.

"Kalo soal Kevin, yeah, mungkin aja karena di kelas dia yang paling ... outsider? Kalo lo nggak percaya, tanya aja ke Dirga."

"Bener, Mon. Delia itu nggak ada maksud macem-macem."

"Kenapa mesti ditutup-tutupi?"

"Oh, Mon, lo mestinya lihat sepede dan se-happy apa muka lo begitu Dirga tiba di pesta lo. Dan gue mesti ngerusak itu dengan bilang, hello, dia datang karena GUE, gitu?"

Ini semua di luar perkiraannya. Alih-alih mengungkap kebenaran, penjelasan Delia lebih terdengar seperti pembelaan diri, upaya menyelamatkan nama baik, menaikkan statusnya dari tersangka menjadi pahlawan. Apalagi Kana sempat melontarkan senyum simpati. Padahal, belum tentu semua itu benar 100%. Masih ada yang dia sembunyikan: kado yang dia dapat dua bulan lalu.

Baru saja Monita hendak mengutarakan keberatan, Delia dengan cepat melayangkan peringatan, "Dengar, ya Mon, gue nggak akan kepo lagi sama kado atau urusan lo dengan Dirga. Dan gue janji nggak akan nyinggung soal ini lagi, kecuali lo yang mulai. So, gue harap kita bisa saling ngerti."

Monita menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu dini. Baru saja Delia menawarkan kesepakatan untuk saling tutup mulut. Setelah berhasil memojokkannya. Setelah berhasil membuat semua Anak Raja melirik penuh selidik ke arahnya. Jelas semua itu hanya demi keuntungannya sendiri. Namun, Monita tidak bisa membayangkan isu miring apa lagi yang bisa Delia produksi jika bersikeras mengirim tembakan balasan. Mungkin dia harus melakukannya, tapi bukan sekarang. Setidaknya dia harus mencari tahu kadonya terlebih dahulu.

"Kana! Lo udah lihat artikelnya?"

Dari arah jalur masuk kantin, tampak Risma dan Fara menghampiri meja mereka. Wajah mereka tidak panik, tidak juga khawatir, lebih seperti telah menemukan sesuatu yang menarik.

"Artikel apa?" Kana berhenti meneguk air minumnya.

Risma menggeram pelan dan membawa dirinya duduk di meja sebelah Kana. "Benar kata Fara. Lo pasti keasyikan ngemil sampe-sampe nggak sempat ngecek hape," katanya sembari menelusuri sesuatu dari ponselnya

Fara ikut duduk di sebelah Risma sambil meminta maaf dengan seringai penuh penyesalan.

"Nih, baru aja website sekolah posting artikel yang bahas tentang karya Anak Raja. Dan salah satunya, ada foto puisi yang sebenarnya fine fine aja. Tapi, begitu gue lihat inisial di akhir puisi ditambah gambar ini," Risma meletakkan ponselnya ke meja Kana, "gue teringat sama stiker ikan lo. Kayaknya tuh puisi buat lo, deh."

Kana, Monita, Delia, dan Priska serempak mengerubungi layar ponsel Risma. Di sana terpampang judul dengan cetak tebal:

Karya Seni Masa Sekolah. Dari Mural Sains Sampai Puisi Romantis.

🕶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro