25. MELUNCUR DAN TERGELINCIR (BAGIAN 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengunggah video Merpati Putih ternyata tidak seringkas yang dijanjikan video tutorial yang disebarkan Jhoni. Mendesain thumbnail, menambahkan deskripsi, membuat daftar musik, memilih audiens, dan yang paling memakan waktu: menyelaraskan subtitle yang dicita-citakan Risma. Butuh dua jam lebih hingga video mereka akhirnya bisa ditonton pengguna di seluruh dunia.

"Kayaknya kita harus sempatin senang-senang, sebelum stres ujian."

Untuk ukuran juara kelas, ucapan Risma barusan Monita anggap sebagai guyonan.

"Minggu ini kan long weekend. Cocok lah."

Monita menengok ke belakang, Kana dan Jhoni berjalan bersisian di belakang mereka. Dari tadi Kana sibuk dengan ponselnya. Sementara Jhoni memperlakukan kunci motornya sebagai kerincingan. Mereka berempat berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Sekarang hampir pukul lima sore. Raya Jaya mulai lengang. Hanya tinggal beberapa murid yang lalu-lalang, entah habis pertemuan ekskul, belajar kelompok, atau sekadar malas pulang.

"Sekalian ajak juga lah kelompok Delia. Biar rame," tambah Jhoni.

"Ide bagus," sahut Risma. "Tapi, mereka pasti ngusulin ke J-Fest." Ketika sudah sampai di belokan menuju gerbang, mereka berhenti sebentar di depan mading. Isinya sudah berubah hampir delapan puluh persen dari yang terakhir kali Monita ingat. Sekarang didominasi huru-hara tes akhir anak kelas tiga, tips memilih perguruan tinggi, brosur bimbel, dan lain-lain. Semakin sedikit ruang untuk kreativitas. Dua puisi anonim juga tidak ada lagi. Tentu saja. Kertas itu sudah berpindah tempat. Sekilas Monita melirik Kana. Sahabatnya itu ternyata sedang memantau pergerakan ojek online.

"Memang kenapa kalau ke sana?" tanya Jhoni.

"Nggak kenapa-napa, tapi kurang relate."

Monita ingin bertanya relate seperti apa yang dimaksud, tapi kelihatannya Jhoni lebih mudah mengerti jalan pikiran Risma.

"Kalau gitu, nonton ini lah. Ada Aceng," tawar Jhoni sambil menunjuk poster di bagian atas mading. Poster kejuaraan pencak silat yang Aceng ikuti. Risma mendongak, memandangi poster sambil mengangguk-angguk kecil.

"Menarik ...," katanya. "Dia tanding kapan? Jumat, Sabtu, atau Minggu?"

Monita ikut memeriksa tanggal di poster. Dulu-dulu dia tidak terlalu memperhatikan informasi yang bercetak kecil di sana. Baginya kurang menarik, bukan urusannya sama-sekali. Namun sekarang beda. Tanggal yang tertera mengundang perhatiannya. Ternyata pekan ini. Berarti Aceng akan sibuk mempersiapkan diri beberapa hari ke depan. Mungkin mulai besok, karena hari ini ulang tahun Amel.

"Lupa. Nanti lah gue tanya lagi."

"Semoga hari Minggu. Biar nggak barengan sama J-Fest. Jadi kelompok Delia bisa ikut."

Ada yang mengganggu dari harapan Risma itu.

"Guys, gue duluan, ya." Kana tiba-tiba pamit, memberi tahu ojek online yang dia pesan sudah tiba. Mereka berempat pun akhirnya berpisah setelah setuju rencana senang-senang sebelum ujian akan dibahas di lain hari.

Di depan gerbang, mobil ibu Monita sudah menunggu.

"Kamu nggak ajak Kana pulang bareng?" tanya ibunya begitu Monita masuk.

Benar juga. Monita tadi tidak kepikiran menawarkan tumpangan, hal yang lazim dia dan Kana lakukan. Rumah mereka tidak terlalu searah, tapi itu bisa diatur.

"Moni juga baru tau dia naik ojek online," Monita beralasan sambil memasang sabuk pengaman. "Udah keburu dipesan. Nggak mungkin dibatalin,"

"Oh." Ibunya menyalakan mobil. "Tapi kalian baik-baik aja, kan?"

"Baik-baik aja, kok," jawab Monita. Seharusnya begitu. Memang tidak banyak yang mereka obrolkan hari ini, tapi itu karena Kana ada tugas di UKS sepanjang jam istirahat. Monita sendiri juga masih larut dalam keganjilan-keganjilan Dirga. Belum lagi dia harus memutuskan apakah akan ke pestanya Amel atau tidak.

Sikap Kana juga tampak wajar-wajar saja. Aneh juga ibunya bisa bertanya demikian. Monita tidak ingin memperpanjang pembahasan. Dia membuka ponsel, membaca pesan-pesan terbari di grup kelas, dan membiarkan ibunya menjalankan mobil dengan tenang.

Di persimpangan pertama, Monita kembali membaca ulang pesan terakhir Aceng. Masih soal undangan Amel. Tidak ada pertanyaan lanjutan untuk memastikan kehadirannya. Entah dari Aceng atau Amel. Monita menghela napas. Sebenarnya mereka niat ngundang, nggak sih?

"Apa kita beli mi goreng seafood yang di simpang tiga aja? Udah buka atau belum, ya?" Mobil sudah kembali jalan dan ibunya mulai memikirkan makan malam.

Monita masih memandangi pesan terakhir Aceng. Alamatnya jarang dia lewati, tapi mungkin ibunya tidak asing, atau mereka bisa pakai peta. Setelah menimbang-nimbang, dia akhirnya tiba pada sebuah keputusan.

"Mi, teman Moni sebenarnya ada yang ulang tahun. Mami bisa anterin?"

🕶️

Tidak pernah Monita bayangkan dirinya akan menghadiri pesta ulang tahun mengenakan seragam sekolah. Ditambah wajah berminyak karena seharian belum cuci muka. Namun, begitu menemukan lokasinya ternyata berada di taman kota, dia tidak yakin apakah akan ada pesta sungguhan.

Setelah turun dari mobil, Monita meninjau lingkungan yang tidak biasa di jalur masuk utara. Taman kota ini sebenarnya bagian dari permukiman elite minim penghuni. Vegetasinya agak gersang dan cat tempat duduk beton di bawah pohon-pohon sudah banyak mengelupas. Meski begitu, suasananya tidak mati total. Ada beberapa pengunjung yang berkeliling lari sore dan tidak sedikit anak muda berkumpul-kumpul di area skatepark.

Saat Monita mengamati gerombolan anak muda itu, seseorang di antara mereka berseru riang, "Welcome, Monita!"

Orang itu Amel. Dia bergerak mendekat sambil merentangkan kedua tangan. Lajunya terlalu cepat untuk dibilang berjalan. Monita menajamkan penglihatannya. Amel ... meluncur? Benar. Amel memang meluncur. Kedua kakinya mengenakan sepatu roda. Penampilannya sangat jauh dari kesan "tuan rumah acara ultah". Dia mengenakan sweater abu-abu terang dengan celana jeans selutut. Rambutnya dibiarkan terikat di belakang topi oranye bata bertuliskan "WRATH"—sayangnya wajah semringahnya menunjukkan sebaliknya.

Monita setengah berlari melintasi jalur masuk yang terhubung dengan trek lari, takut-takut Amel tidak bisa melewati turunan. Begitu bertemu, Amel langsung merangkulnya hangat. Monita jadi salah tingkah. Apa dia memang harus seakrab ini?

"Happy birthday, Amel. Sorry gue nggak sempat siapin apa-apa." Monita memulai formalitasnya.

"Nggak perlu, Moni," sanggah Amel sambil mengapit lengan Monita dan menggiringnya ke titik kumpul. Monita mencoba mengimbangi Amel dengan langkah panjang-panjang. "Kita hanya perlu have fun bareng malam ini. Mau coba naik sepatu roda?"

"Tapi gue nggak bawa sepatu roda." Dan tidak punya. Monita harap pesannya tersampaikan.

Amel melepas lengan Monita, melaju lebih cepat, berbalik badan agar tetap bisa berhadapan dengannya, dan bergerak mundur. Monita khawatir, memeriksa kiri-kanan, berharap Amel tidak menabrak sesuatu atau salah arah. Namun kelihatannya Amel terlalu pro untuk mendapat pengawasan. Dia menatap Monita dengan senyum lebar. "Nggak masalah, Moni. Aceng udah siapin semuanya."

🕶️

"Udah pernah coba sebelumnya?"

Seperti yang dikatakan Amel, Aceng sudah menyiapkan sepasang sepatu roda yang ukurannya entah bagaimana pas sekali di kaki Monita. Lengkap dengan aksesoris keselamatan; lutut, siku, dan kepala. Mereka bersiap-siap di salah satu sudut skatepark, yang dialih-fungsikan sebagai tempat penyimpanan barang.

"Dulu banget. Waktu SD. Nggak tau deh masih ingat atau enggak." Monita berusaha bangkit setelah semua pelindung terpasang.

"Pegang di sini biar seimbang." Aceng memberikan siku kirinya sebagai pegangan. Sore ini dia mengenakan kaus putih longgar berlengan panjang. Monita menerima tawaran itu setelah memastikan telapak tidak ada pasir dari lantai taman yang menempel di telapak tangannya. Mereka pun mulai berjalan pelan-pelan di permukaan yang rata.

Tak jauh di tengah-tengah, Amel dan teman-temannya tampak saling pamer trik, melewati berbagai jenis rintangan. Bukan hanya sepatu roda, beberapa dari mereka juga ada yang naik skateboard. Monita segera menyadari, sudah pasti dia yang paling amatir di antara semua undangan, tapi dia berusaha mengenyahkan pemikiran itu. Siapa peduli? Besok-besok juga belum tentu dia datang lagi.

"Lo sering ke sini?"

"Ini wilayahnya Amel. Dia ikut komunitas," jawab Aceng. Sesekali dia melirik awas ke langkah Monita.

"Ngomong-ngomong soal Amel, dia itu sebenarnya saudara atau teman lo?"

"Dua-duanya."

"Oh .... Saudara jauh?"

"Bisa dibilang gitu. Papanya: ipar dari sepupu istri adik mamaku."

Monita mengernyit. Naik sepatu roda saja sudah bikin sakit kepala, sekarang malah disodorkan pohon keluarga dengan cabang berlilit-lilit.

"Nggak perlu terlalu dipikirin." Aceng menyunggingkan senyum tipis. "Kita coba di sana aja, ya? Lebih lapang."

Tempat lapang yang dimaksud Aceng ada di ujung taman, dekat taman bermain. Untung saja tidak anak-anak saat ini, hanya beberapa pelari yang melintas, jadi peluang ditertawakan semakin berkurang.

"Yang penting rileks. Jangan terlalu sering lihat ke bawah."

Monita mengikuti posisi bersiap yang diajarkan Aceng—lutut ditekuk, sedikit bungkuk, lihat ke depan—dan meluncur tipis-tipis. Sesekali dia masih berpegang pada Aceng untuk menjaga keseimbangan. Namun, tak butuh waktu lama, tubuhnya semakin akrab dengan pergerakan roda.

"Nah, ini udah jago."

"Muscle memory mungkin?" Monita bersyukur tren sepatu roda sempat mewabah di kompleks rumahnya saat dia masih duduk di sekolah dasar.

"Mau coba sendiri? Gue jaga dari belakang."

Usulan itu terdengar menantang. Monita pun bersiap meluncur dari ujung ke ujung. Untuk langkah awal, dia masih ragu-ragu, terlalu sibuk menjaga keseimbangan, tapi semakin lama lajunya semakin mulus. Sampai-sampai dia berpikir untuk mengambil video dan pamer di media sosial. Namun ide pongah itu segera enyah begitu mendengar peringatan Aceng.

"Moni, pelan aja."

Monita menyadari dia semakin dekat dengan pembatas beton setinggi betis orang dewasa. Bagaimana cara berhenti? Dia berusaha mematikan kecepatan, tapi roda-roda di sepatunya seolah masih ingin bermain. Kakinya mulai kocar-kacir dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Dalam hati dia minta ampun karena sempat lupa diri. Belum sampai satu jam belajar, sudah sok-sokan meluncur kencang-kencang. Pakai rok sekolah pula.

Untung saja Aceng dengan cekatan menahan kedua lengannya.

"Kalau mau balapan, bilang dong dari awal." Aceng menjatuhkan diri, duduk di pembatas taman yang tidak jadi ditabrak Monita, dan melepas helm. Napasnya sedikit ngos-ngosan.

"Gue lupa cara berhenti." Monita mengikuti Aceng, duduk di sebelahnya. Detak jantungnya masih belum netral.

"Oke, nanti kita pelajari lagi. Sekarang istirahat dulu."

Keduanya berselonjor memandangi skatepark yang semakin ramai, tapi tetap terlihat tenteram karena diselimuti langit yang semakin merah. Monita jadi teringat adegan film remaja 90-an.

"Gimana tadi videonya? Udah di-upload?" tanya Aceng tiba-tiba.

Monita mengangguk tanpa beralih dari pemandangan di hadapannya. "Jhoni-Risma mau bikin perayaan kecil-kecilan."

"Di mana?"

Monita menoleh. "Kejuaraan yang lo ikuti."

Alis Aceng terangkat satu, menanti penjelasan lanjutan.

"Mereka mau nonton lo tanding. Tapi tergantung jadwalnya, sih. Giliran lo hari apa?"

Sejenak Aceng tampak berpikir. Monita sempat khawatir maksud terselubungnya telah terendus.

"Sabtu." Aceng akhirnya menjawab.

Ternyata tebakannya meleset. Monita sedikit kecewa karena jadwal itu tidak sesuai dengan petunjuk yang pernah Aceng berikan.

"Pagi-pagi?" tanya Monita lagi.

"Siang. Selesai isama. Jam-nya belum pasti."

"Mepet banget sama jam pulang sekolah."

"Memangnya lo mau datang?"

Itu tadi ajakan atau sindiran? Monita membalas dengan hembusan napas panjang. "Tergantung, sih," katanya.

Di sebelahnya, Aceng masih menoleh penuh tanya. Monita membalasnya tak kalah serius. Apakah ini saat yang tepat untuk menyelesaikan teka-teki di antara mereka?

"Kalau gue datang, lo mau kasih tau isi kado itu, nggak?" Akhirnya Monita memutuskan untuk mulai duluan. Mungkin terkesan berani, tapi semua itu beda jauh dengan suara-suara yang berputar-putar di kepalanya. Bagaimana jika Aceng merasa tersudutkan, lalu semua momen sederhana-tapi-nyaman ini mendadak kacau, dan dia mesti cari-cari alasan untuk pulang lebih awal sendirian?

Beruntungnya, skenario buruk itu tidak terjadi. Tanpa berpikir lama-lama, Aceng menjawab ringan, "Oke. Deal," dan berusaha keras mengulum tawa, seolah baru saja menerima tantangan dari bocah ingusan. Meski begitu, Monita tidak masalah. Menyaksikan Aceng berpakaian santai duduk di pinggir skatepark di bawah langit yang semakin gelap sambil tersenyum tipis dan berusaha memalingkan wajah .... Mereka benar-benar sedang berada di set film 90-an.

Tanpa sadar Monita menertawakan fantasi picisan itu. Semakin lama semakin nyaring gelaknya. Aceng tidak menghentikannya atau bertanya kenapa, dia malah ikut terkekeh kecil, hingga lampu-lampu di sekitar mereka menyala temaram. Satu lagi yang membuat Monita kembali terseret ke adegan romansa sekolah.

"Moniii!" Dari kejauhan, Amel tampak melambai-lambaikan tangan. Topinya sudah dilepas entah ke mana. Kakinya sudah bersepatu normal. "Ayo, ikut tiup lilin!"

🕶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro