26. PETUNJUK YANG TERABAIKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan pagi, Monita izin bolos sekolah, yang segera disalahpahami oleh ibunya.

"Kamu lagi marahan sama si Aceng-Aceng itu?" tanya ibunya dari balik meja dapur.

"Bukan, Mi."

"Oh. Mami kira dari semalam kamu bad mood karena dia."

Tidak sepenuhnya salah, tapi Monita malas memperjelas masalahnya. Dia kembali membujuk agar ibunya mau menghubungi wali kelas. "Hari ini nggak ada tugas yang mesti dikumpul. Nggak ada jadwal kuis juga. Moni janji cuma kali ini aja," katanya.

Ibunya akhirnya setuju, dengan catatan tidak terus-terusan mendekam di dalam kamar. Jadi, seharian Monita mencoba menghibur diri dengan menonton drama serial di ruang tengah. Saat hendak memasuki episode keenam, suara berisik datang dari pintu rumahnya.

"Moniii .... Are you okay?"

Delia dan Priska berhamburan mengapitnya di sofa, Delia sebelah kanan, Priska sebelah kiri. Keduanya menatap Monita seolah sedang menjenguk teman yang sedang demam tinggi.

"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?"

Sebenarnya pertanyaan itu lebih cocok disampaikan pada ibunya, yang sekarang entah di mana. Bisa-bisanya dia membiarkan Delia dan Priska masuk begitu saja tanpa memberi Monita aba-aba. Monita memeriksa pintu depan, tidak ada siapa-siapa lagi.

"Kita udah coba hubungi lo dari pagi, tau! Tapi nomor lo nggak aktif" Delia meletakkan tiga cup minuman dingin berlogo kafe depan sekolah ke atas meja.

"Oh. Sorry. Lupa gue cas," kata Monita. Yang sebenarnya sengaja dimatikan.

Priska menambahkan, "Kita khawatir sama lo, Mon. Makanya langsung cus ke sini begitu pulang sekolah. Lo pasti butuh teman, kan?"

Jika Monita butuh teman, sejak pagi dia akan berangkat ke sekolah, atau bahkan dari semalam dia akan meladeni obrolan grup mereka. Sepertinya Priska dan Delia kurang paham konsep menyendiri untuk berpikir. Meski begitu, Monita tidak protes. Dia anggap kedua temannya sedang bermurah hati.

Monita beranjak, "Kita ngobrol di kamar aja."

Di dalam kamar, dia menyalakan ponsel. Ada puluhan pesan masuk, belasan panggilan tak terjawab, dan beberapa notifikasi media sosial. Tidak satu pun dari Kana.

"So ...," Delia bersandar pada meja rias, "gue sama Priska udah dengar penjelasan mereka di sekolah."

Sudah pasti "mereka" yang dimaksud adalah Kana dan Dirga. Monita menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, tidak mencegah Delia menjadi perantara pesan.

"Mereka memang best friends since primary school, tapi keluarga Dirga pindah ke Malang sebelum mereka masuk SMP. You know what? Waktu itu, Dirga janji bakal balik setelah 17 tahun. Biar bisa living alone with no guardians, katanya. Dia juga sengaja ikut competition biar punya alasan kuat."

Priska, yang duduk di kursi meja belajar, melanjutkan, "Sayangnya, pas Dirga balik, Kana malah berusaha menghindar. Dia nggak enak sama kita, terutama lo."

"Kenapa nggak enak sama gue?" Monita mengerutkan dahi, masih dalam posisi terlentang menatap langit-langit kamar.

"Lo ingat nggak waktu awal-awal Dirga masuk sekolah? Waktu itu lo antusias banget ajak dia kenalan. Kana pikir lo serius waktu itu."

"Ya wajarlah gue penasaran sama Dirga, nggak cuma gue doang kali. Lagian, kalau dia langsung cerita waktu itu, gue nggak masalah sama sekali. Emangnya gue pernah bilang: nggak ada cewek lain yang boleh dekat-dekat sama Dirga?" Monita bangun dan bersila di tepi ranjang. "Kenapa kedengarannya jadi gue yang jahat di sini? Seolah-olah gue yang halangi mereka buat ..., whatever, mau temenan atau pacaran, terserah mereka lah."

"Lo tau sendiri Kana itu orangnya gimana ...." Priska menghela napas panjang.

"People-pleaser," timpal Delia.

"Emak-bapak nyuruh jadi dokter, dia nurut-nurut aja, padahal passion-nya motret-motret."

"Gue udah nasehatin dia tadi."

"Dirga juga nggak tegas banget jadi cowok."

"Precisely!" Delia menjentikkan jari, setuju dengan Priska. Dia berpindah ke tempat tidur, ambil giliran merebahkan diri di sebelah Monita. "Seriously, tuh anak ngecewain banget," gumamnya.

Monita yang tadinya hanya mendengarkan, tiba-tiba tertarik. Seorang Delia punya sentimen negatif dengan Dirga? Dunia sedang jungkir balik. Dia pun melirik Delia dan bertanya, "Maksud lo?"

"Kalau Kana berusaha menghindar dari Dirga demi temannya, I get it—walaupun seharusnya nggak bisa dijadikan excuse. Tapi, lo bayangin kalo lo ada di posisi Dirga."

"Dia seharusnya usaha, dong, buat jelasin ke kita. Biar semua clear. Bukannya malah bikin orang makin salah paham. Pakai acara nyanyi sama kasih kado spesial segala di ultah Moni."

Mendengar pestanya disebut-sebut, Monita berdecak kesal. Apa pun permasalahannya, selalu saja kembali ke sana. Mungkin sudah seharusnya kesempatan ini dijadikan acara buka-bukaan.

"Gue nggak tau apa isi kado itu," Monita berterus terang.

Delia dan Priska serempak mendelik kaget.

"Kadonya hilang," jelas Monita datar. Menjelaskan persoalan yang sama berkali-kali ternyata menjemukan juga. Dia berharap ini yang terakhir.

"Kok bisa?"

"Gue nggak tau. Tapi kado itu hilang dan gue belum sempat lihat isinya. Waktu itu gue bohong sama kalian, karena gue pikir isinya ..., yah, barang biasa," Monita menoleh ke Delia "kayak jam tangan lo, atau apalah. Gue nggak nyangka kado itu ternyata dari ...." Dia tidak melanjutkan, sedikit menyesal telah cerita kejauhan.

"Dari ...?" Priska meminta kelanjutan.

Tiba-tiba Delia berceletuk, "Dari Aceng?" Dia memiringkan badannya, menghadap Monita dan Priska.

Monita tertawa hambar. Baru sadar bisa jadi dari tadi Delia sengaja menyeret masalah pesta ulang tahun hanya untuk membuatnya buka mulut. "Kenapa lo yakin banget?"

"Instinct aja. Bukannya lo udah tau Dirga deketin gue sama Kevin pake jam tangan?" Giliran Delia yang membeberkan rahasia.

Monita tidak ingin terlalu kentara. Dia hanya menaikkan kedua bahu. "Masa?"

Delia melambaikan tangan sekali. "Whatever," ucapnya sambil beranjak dari tempat tidur dan duduk bersisian dengan Monita. "Ini gue spill semua aja ya, biar nggak ada lagi rahasia-rahasiaan di antara kita.

"So, Dirga berusaha bikin gue temenan sama Kevin. Jam tangan yang dia kasih pas ultah gue, Kevin yang pilih. Menurut Dirga, gue pasti nggak nyangka Kevin bisa tau warna kesukaan gue."

"Satu sekolah juga tau," sela Priska, mendapatkan jentikan jari dari Delia untuk kedua kalinya.

"Actually gue bukannya mandang rendah Kevin, tapi lo berdua tau sendiri kan temenan itu harus punya common interests. Gue udah coba nih ajakin dia satu team di tugas TIK, invite dia hangout, tapi kita tetap nggak nyambung .... Ya daripada maksain diri, finally gue bodo amat."

"Jamnya lo balikin?"

"Gue kasih ke sepupu." Delia kembali rebahan. "To be honest, gue kepo soal kado lo karena gue mau make sure: lo dapat hal yang sama atau enggak. Kalau iya, gue rencananya mau cerita ke lo."

"Dan ternyata sama? Dirga deketin Momon dengan ... Aceng?" Priska masih menunjukkan tampang tidak yakin.

"Kalau bukan Aceng, who else? Momon ngaku udah terima kadonya, Dirga lihat Momon makin dekat sama Aceng, he thought everything was well-planned. Makes sense, kan?"

"Berarti, yang undangan-undangan itu benar, dong? Dirga ngajak lo ketemuan sama Aceng, gitu? Atau Aceng yang ngajak lo ke suatu tempat?"

"Kenapa jadi bahas Aceng? Tadi kan kita lagi ngobrolin soal ... Kana." Ada getir yang merayap di dadanya ketika Monita menyebut nama itu. Seolah nama itu bukan lagi milik seorang sahabat yang dia kenal. Namun, tampaknya di ruangan itu hanya dia yang masih melankolis. Delia dan Priska begitu cepat teralihkan. Ambisi mereka kembali menyala-nyala.

"Soal Kana, kita ngerti lo pasti kecewa. It will take time buat lo bisa terima kenyataan."

Priska mengangguk. "Sementara ini, nggak ada salahnya buat mecahin kado itu," usulnya. Matanya bersinar-sinar. Seolah memecahkan kado yang dimaksud adalah menemukan kode unik yang bisa ditukar dengan merchandise idola.

"Priska benar." Delia kembali beranjak dari tempat tidur. "Kalau dipikir-pikir, masalah ini sebenarnya lebih urgent. Lo udah tanya Aceng?"

Monita ingin cerita, bagaimanapun dia akan tahu jawabannya Sabtu ini. Asalkan datang ke kejuaraan pencak silat. Namun dia teringat, semalam hubungan mereka kembali berantakan. Setelah menuding Aceng tidak berada di pihaknya, apakah kesepakatan itu masih berlaku?

"Bukannya kita udah tau perkiraan tanggalnya, Del? Dekat-dekat J-Fest, kan?"

"Yeah." Delia mengangguk sambil minum macchiato dingin.

"Berarti kita tinggal kumpulin jadwal Aceng seminggu ke depan."

Monita kembali teringat saat mereka berdua membuat rangkuman jadwal Dirga di obrolan grup. Metodenya ternyata belum berkembang.

"Mon, ada kertas buat dicoret-coret?" Kebetulan, di meja belajar Monita, ada beberapa tumpukan kertas. Dia mengambil yang paling atas. "Apaan nih? Formulir Pendaftaran Kejuaraan Pencak Silat." Priska membaca keras-keras.

"Punya Aceng?" Delia mendekat dan ikut memeriksa. "Hari Minggu. Catat tanggalnya Pris."

Mendengar hari yang disebut Delia, Monita menyadari kejanggalan. Dia mengambil satu salinan dari meja dan membacanya sungguh-sungguh—sesuatu yang tidak pernah dilakukan meskipun kertas itu sudah tergeletak berhari-hari di sana.

Ada dua fakta penting yang Monita temukan. Jadwal untuk kelas yang Aceng ikuti adalah hari Minggu. Dan nomor pendaftarannya adalah nomor 49.

🕶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro