6. STRATEGI IMPULSIF

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di seberang Raya Jaya, ada kafe kecil tempat Anak Raja bisa minum kopi atau teh layaknya orang muda banyak urusan. Biasanya mereka datang untuk mengerjakan tugas sekolah, sekadar mengobrol, atau menunggu jemputan. Tidak jarang juga ada orang dewasa yang mampir, entah itu kerabat murid, guru, atau pegawai sekolah.

Rabu sore, sepulang sekolah, Monita mengajak Kana mengunjungi kafe itu untuk mendinginkan pikiran dengan es teh leci dan donat bertabur gula halus. Namun, keinginan itu mesti tergerus karena Priska dan Delia minta ikut.

Sebelum masalahnya selesai, Monita percaya dia harus jauh-jauh dari Delia. Namun, dia tidak punya alasan kuat untuk menghindar. Dia juga tidak punya kuasa untuk menghentikan Delia dan Priska datang ke kafe. Jadi, mau tidak mau harus ada cara alternatif agar mereka tidak membuat agenda sendiri.

"Ah, sekalian aja kita diskusi tugas TIK di sana," usulnya sebelum menuju kafe.

Berita baiknya, Kana, Jhoni, Aceng, dan Risma setuju. Hanya Fara yang tidak bisa hadir karena ada bimbingan belajar. Berita buruknya, Aceng dan Jhoni harus singgah sebentar ke pertemuan singkat panitia prom night. Jadi, Monita harus sabar menunggu sambil berusaha mengabaikan obrolan Priska dan Delia yang sepertinya sengaja diarahkan hanya ke seputar Dirga.

"Del, Lo udah lihat video cover Dirga yang baru?"

"Udah, dong. Gue re-watch berkali-kali. Menurut gue, itu versi akustik paling on point."

Priska mengangguk setuju. "Apalagi penyanyi aslinya ikut komentar."

"Nggak heran dia diundang buat perform di J-Fest."

"J-Fest?" tanya Risma.

Suara piring kecil yang diletakkan di meja dekat Monita menyela ulasan kecil-kecilan itu. Kana baru saja kembali dari kasir dengan dua donat karamel dan segelas minuman matcha. Dia segera duduk di sebelah Monita dan menyimak obrolan.

"Lo nggak tau?" Delia menatap Risma dengan penuh penilaian. Tidak hanya penampilan mereka yang sangat bertolak belakang—Risma dengan potongan rambut seleher dan minim aksesoris, sementara Delia dengan rambut panjang bergelombang dan penuh pernak-pernik—nada bicara mereka juga terlalu dingin. Maklum, ini pertama kalinya mereka duduk di meja yang sama dan berbincang bersama.

"Itu, loh, acara jejepangan tahunan yang sering undang cosplayer dari luar." Priska membantu menjelaskan.

"Baru aja akun official J-Fest posting list siapa-siapa aja yang bakal perform tahun ini. Dirga ternyata ikutan," tambah Delia sambil sibuk menggulir layar ponselnya. Setelah menemukan postingan yang dimaksud, dia menunjukkannya ke teman-temannya.

Monita seharusnya jadi orang paling antusias ketika mendengar berita terbaru tentang Dirga. Tapi, kali ini dia tidak mengalihkan tatapan dari minumannya, dan itu bukan respons yang cerdas, karena, tidak lama kemudian Delia bertanya curiga, "Lo udah tau, Mon? Padahal baru sejam lalu diposting, loh."

Monita ingin sekali menjelaskan kalau dia tidak tahu tentang acara itu, tapi dia bisa membayangkan akan muncul pertanyaan menjebak lainnya.

Ada jeda sejenak sebelum Delia memasang tampang detektif. "Hm, interesting ...," ucapnya.

Ini jelas bukan pertanda baik.

"Interesting kenapa, Del?" tanya Priska.

"Bisa jadi, kado yang dikasih Dirga relate ke acara itu—"

"Kado?" Risma kini benar-benar terdengar seperti pengunjung asing yang mencoba memahami dunia sekitarnya.

Sepelan mungkin, Monita menghela napas kecewa. Lagi-lagi dia sudah salah langkah. Seharusnya dia tidak perlu mengajukan ide diskusi tugas kelompok. Seharusnya dia membatalkan niat untuk mengunjungi kafe, pura-pura ada urusan mendadak. Sekarang, korbannya jadi bertambah satu orang, dan dia harus siap kalau-kalau Risma ikut bergabung dengan Delia dan Priska, mengorek informasi tentang kado itu.

"Itu loh, kado ultah Momon dari Dirga. Katanya sih spesial banget, tapi sampe sekarang dia nggak mau kasih tau apa isinya," jelas Priska dengan lugas, seolah informasi itu adalah hal remeh yang bebas disebarkan ke siapa saja.

"Oh ...." Risma mengangguk-angguk sekadarnya, tampaknya kurang berminat mencari tahu lebih lanjut.

Sementara itu, Delia berdecak sebal karena Risma memotong penjelasannya dan sekarang malah menunjukkan raut tidak peduli. Seakan mengerti kekecewaan Delia, Priska kembali memancing, "Jadi, hubungannya sama kado Dirga apaan, Del?"

"Lo ingat waktu Dirga nanya 'Moni mau datang, nggak'? Radar gue bilang: it should be a special event, which is bisa jadi salah satu dari event-event spesial yang bakal Dirga datangi, misalnya J-Fest ini."

Tegukan es teh leci mendadak terasa seperti batu di kerongkongan Monita. Ternyata Delia juga menduga hal yang sama. Isi kado itu pasti semacam sebuah undangan, dan undangan biasa jadi mengarah ke sebuah acara. Kenapa Monita tidak pernah terpikirkan hal ini? Apa mungkin Dirga mengundangnya ke acara musik di mana dia bakal jadi bintang tamu? Tapi, kenapa tidak langsung ajak saja?

Pemikiran itu diinterupsi dengan suara langkah kaki dari arah pintu masuk. Mereka adalah panitia prom night yang dipandu Jhoni. Sebagian dari mereka langsung berburu tempat duduk, sebagian lagi singgah ke meja pemesanan. Monita tadinya sudah merasa tenang karena berpikir Jhoni dan Aceng akan muncul. Dia akhirnya bisa menggunakan alasan diskusi tugas kelompok untuk menghindar. Namun, begitu menyadari Dirga juga ikut bersama mereka, kecemasannya kembali bangkit. Selain itu, tidak ada cowok bermata sipit di dekat Jhoni. Tidak ada Aceng di sana.

Sejak mengaku di depan kios fotokopi, sikap Aceng tidak berubah. Dia tidak bertanya ini-itu, tidak juga mengancam akan menyebarkan rahasianya ke semua Anak Raja. Secara sepihak, Monita menganggap itu sebagai bentuk kerja sama. Aceng telah resmi menjadi sekutunya.

"Rame juga, ya," kata Jhoni begitu mengambil tempat duduk di seberang Kana. Beberapa teman-temannya yang lain mengisi meja di tengah kafe.

Tanpa menjawab komentar Jhoni, ujung mata Monita sibuk melirik pergerakan Dirga yang duduk di seberang Delia. Hal itu membuat Delia semakin menebar senyum semringah. Baru kali ini Monita tidak menikmati kehadiran Dirga. Bukan karena pilihan tempat duduk, mungkin karena rasa bersalah.

"Kana, kita masih kekurangan anggota dokumentasi, loh," adu Jhoni sambil menyeruput teh lemon dingin.

Akhir-akhir ini Kana memang lagi dibujuk untuk ikut kepanitiaan prom night. Di Raya Jaya, orang-orang mengenalnya karena bakat fotografi. Hanya saja keluarga Kana yang sebagian besar berprofesi dokter membuat Kana merasa wajib ikut Dokter Remaja, alih-alih memulai divisi fotografi di klub jurnalistik.

Kana mengedikkan bahu. "Takutnya gue nggak sempat ikut-ikut rapat dan semacamnya."

"Itu bisa diatur. Yang wajib ikut rapat cuma ketua bidang doang. Anggota sibuknya dekat-dekat hari-H aja." Jhoni masih berusaha membujuk.

"Kana mah sebenarnya males ntar ketemu Kak Felix." Priska ikut berkomentar.

"Kak Felix mana ikut jadi panitia," bantah Jhoni.

"Ya kan Kak Felix mantan ketua OSIS. Dia tetap ikut pantau kerja kalian, kan?"

"Ck, urusan dia cuma sama Ketua. Nggak ada itu. Jangan terprovokasi, Kana."

Terkesan kejam, tapi Monita sedikit lega dengan topik yang teralihkan sementara. Sewaktu masih menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah, Felix yang jadi panitia secara tak terduga menaruh perhatian lebih pada Kana. Sayangnya Kana tidak memberikan umpan balik. Jadi, tidak ada kelanjutan yang menarik. Walaupun urusan Felix dan Kana terbilang sudah basi, Monita dan lainnya sesekali masih sering mengungkit-ungkit hal itu untuk sekadar menggodanya.

"Udah, udah, kok malah nyalahin Kak Felix? Gue memang nggak yakin bisa aktif aja." Kana berusaha meluruskan.

"Coba pikir-pikir lagi lah. Ini serius, loh, kita butuh anggota." Jhoni masih mencoba meyakinkan.

"Ntar deh gue pikirin lagi. Tapi nggak janji, ya," jawab Kana. Setelah itu, dia permisi ke toilet, dan Risma minta ikutan, membuat hawa kafe kembali terasa mencekam.

Monita semakin kehilangan pegangan. Meski tahu akan sia-sia, dia berharap topik tidak kembali ke masalah kado. Untung saja harapannya agak terkabul, karena kemudian Priska memulai obrolan biasa.

"Lo masih punya waktu jadi panitia, Dir?"

Dirga yang duduk tanpa pesanan apa pun, bersandar penuh di kursinya sambil bersedekap. Monita tadinya tidak memperhatikan, tapi kali ini terlihat jelas, seragam Dirga jauh lebih rapi dari raut wajahnya. Monita penasaran, apakah pertanyaan Priska terlalu menyinggung sampai-sampai menimbulkan kerut di kening Dirga? Namun, tidak sampai menganalisis lebih jauh, Dirga kembali tersenyum seperti biasa.

"Ya masih, dong. Gue kan nggak sibuk-sibuk amat. Lagian sekalian tambah-tambah aktivitas organisasi. Bisa jadi berguna buat nanti, kan?"

"I envy you, Dir! Udah punya bakat dan prestasi, lo tetap mau aktif di co-curricular activity."

Delia dan pujian manisnya semakin membuat Monita terpuruk saja.

"Nggak envy sama gue juga, Del?" Jhoni menimbrung.

Delia hanya menyipit remeh dan menjawab, "In your dream!" kemudian kembali memanfaatkan momen bersama Dirga.

Selagi Delia, Dirga, dan Priska mengobrol ringan, Monita mencuri kesempatan untuk bertanya pelan kepada Jhoni, "Lo nggak bareng Aceng?"

"Oh, tadi dia diajak ngobrol sama seniornya."

"Senior Merpati Putih?"

"Kelihatannya gitu. Kita tunggu aja, bentar lagi paling kemari."

Jam di ponsel menunjukkan sudah hampir pukul setengah lima. Monita melirik sekilas ke arah Dirga. Kalau dipikir-pikir, Dirga tidak punya kepentingan di kafe ini. Dia tidak memesan minuman atau makanan. Dia juga tidak terlalu aktif mengobrol, hanya menjawab pertanyaan Delia dan Priska sekadarnya. Lantas kenapa cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang?

"By the way, Dir, soal kado ultah Momon, acaranya akhir bulan ini, ya?"

"Jadi Moni udah cerita?" tanya Dirga.

Jika Monita mengikuti kata hatinya, dia akan mengomel ke Priska atas kelancangannya mengurus masalah orang lain. Namun, logikanya cepat-cepat memberikan sinyal: tunggu sebentar, Dirga tidak membantah.

"Berarti benar di J-Fest? Kita nebak-nebak aja. Soalnya Momon nggak mau ngaku, ih."

Kali ini Dirga melirik Monita dengan ekspresi yang terlalu kompleks untuk Monita pahami. Apakah Dirga kebingungan? Minta izin? Penasaran? Atau mungkin memintanya menangani semuanya?

Karena tidak dapat tanggapan dari Monita, Dirga tertawa kecil. "Ntar kalau udah waktunya, Moni mungkin mau cerita."

Monita bertanya-tanya, semenyenangkan apa isi kado itu? Andai dia bisa membaca pikiran Dirga. Ya! Andai dia bisa membaca pikiran seperti Aceng!

"Tapi ini memang susah buat di-share, sih. Soalnya menyangkut ... perasaan," lanjut Dirga.

Monita hampir tersedak minumannya. Priska dan Delia tampak saling tatap-tatapan, mencoba mencerna informasi itu. Sementara itu, Jhoni melirik Monita sambil membunyikan siulan menggoda. Monita benar-benar mati kutu.

Menyangkut perasaan? Apa jangan-jangan Dirga ngajak jadian? Tapi kenapa tidak bicara langsung? Itu akan lebih berkesan. Atau setidaknya lewat pesan pribadi jika memang Dirga segan.

Ketika Delia hendak mengeluarkan pertanyaan lainnya, Aceng akhirnya datang dan duduk di sebelah Jhoni sambil meletakkan botol minumnya ke meja, dan menyampirkan kardigan merah marun yang sering dia kenakan ke sandaran kursi.

"Sorry, lama nunggu, ya?" tanyanya tanpa memiliki prasangka kalau bagi Monita, kafe yang mereka tempati itu telah menjadi zona merah.

Begitu menyadari kehadiran Dirga, Aceng menyampaikan, "Dir, om lo nunggu di depan."

Teka-teki akhirnya terpecahkan. Ternyata Dirga lagi menunggu jemputan! Monita bernapas lega. Setidaknya hari ini bisa terlewatkan tanpa adegan dramatis. Kecemasan Monita semakin mereda setelah melihat Kana dan Risma kembali dari toilet. Zona merah telah diamankan.

Sebelum beranjak, Dirga sempat memeriksa ponselnya sebentar dan membenarkan letak ransel di pundaknya.

"Gue duluan, ya," pamitnya.

Raut kecewa sempat menghiasi wajah Delia, tapi dia tetap tersenyum penuh pengertian.

"Oh iya ...." Baru beberapa langkah, Dirga berhenti dan berbalik.

Mereka menanti lanjutannya. Kana dan Risma yang baru kembali duduk pun ikut menoleh. Sementara itu, degup jantung Monita kembali meronta-ronta. Jangan tentang kado. Jangan tentang kado, pintanya dalam hati.

"Minggu ini kafe tante gue bikin acara pembukaan cabang baru. Ada live music-nya. Gue juga bakal tampil sebentar. Kalau sempat, datang, ya."

"Itu mah jelas, kita pasti datang," sahut Priska dan kemudian disetujui Delia dengan anggukan antusias.

Setelah Dirga benar-benar meninggalkan kafe, Priska kembali angkat suara, "Mon, emangnya kadonya rahasia banget, ya?"

"Seratus persen rahasia," tegas Monita, lalu segera mengalihkan topik. "Karena udah lengkap, mending kita bahas tugasnya."

Jhoni mengangguk dan memulai diskusi.

Selagi menyimak, pikiran Monita berkecamuk. Semakin hari teka-teki kado semakin ruwet saja. Belum lagi Delia dan Priska kelihatannya tidak akan puas sebelum mendapatkan penjelasan darinya. Entah sampai kapan dia bisa mengelak. Masalah ini harus segera dituntaskan. Namun, Monita tidak bisa membayangkan jika harus mengaku ke Dirga dan teman-temannya. Sudah pasti dia akan dicap sebagai pendusta. Seketika Monita mengernyit nyeri.

"Kita tentukan dulu mau liput apa," saran Risma.

"Udah jelas gue nggak bisa milih di antara tiga ekskul yang gue ikuti. Bisa-bisa yang nggak kepilih jadi iri." Jhoni memberi pendapat.

"Dokter Remaja? Fotografi?" Aceng memberi usul.

Kana menggeleng cepat. "Nggak ada klub fotografi di sekolah. Kan harus di lingkungan sekolah. Kalau Dokter Remaja, gue males ah sama pembinanya. Bawel."

Lalu, mereka kembali berpikir.

Di tengah keheningan, mendadak Monita bersuara, "Merpati Putih."

Sontak, keempatnya serentak memandang Aceng.

"Bisa itu. Pasti jarang ada yang pilih Merpati Putih," tanggap Jhoni.

Aceng melirik satu per satu temannya. Terutama Monita. Sepertinya tengah menyelidiki tujuan Monita yang sebenarnya. Sementara itu, Monita sendiri masih tidak percaya dengan ide nekat yang baru saja terlintas di kepalanya. Yang jelas, untuk menjalankan ide itu, dia harus bisa berteman baik dengan Aceng. Dia harus mencuri simpati Aceng, dan tugas ini bisa digunakan sebagai mediator.

"Boleh. Gue ikut aja," ucap Aceng akhirnya.

🕶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro