9. DISUSUPI RIVAL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ikannya paling cuma kebetulan aja."

Pagi-pagi, begitu Kana tiba di kelas, Monita menunjukkan foto puisi anonim sambil mengira-ngira siapa penulisnya. Sesuai dugaan, Kana langsung menepis kecurigaannya.

"Lo bandingin baik-baik." Monita mengambil tempat pensil Kana, lalu mengeluarkan penggaris 15 cm. Di sisi kiri penggaris itu, tertempel stiker bergambar ikan yang sudah agak pudar. Segera dia sejajarkan dengan layar ponsel yang sedang menampilkan gambar serupa. "Mirip banget, kan?"

"Agak mirip, sih. Tapi, tetap aja, bisa jadi cuma kebetulan. Lo cari aja di internet, ada banyak gambar yang kayak gitu." Kana masih membantah.

"Bisa jadi kebetulan, bisa jadi benar. Gimana kalau semisalnya puisi itu beneran dari Kak Felix?"

Kana mendecak sebal. "Mulai deh, mulai ...."

Untuk urusan seperti ini, Kana memang seringkali sulit diajak berandai-andai. Dia juga jarang memberi sinyal positif pada setiap cowok yang mendekatinya, meskipun cowok itu terlihat serius atau bahkan tipe idaman Anak Raja, seperti Felix.

Sebenarnya Monita sudah pernah menyaksikan hal serupa saat mereka masih SMP. Waktu itu Kana dikirimi sekotak cokelat dan surat cinta dari salah satu cowok populer di angkatan mereka. Cowok itu anak paskibra, dan mereka kenalan saat Kana jadi panitia perlombaan 17 Agustus. Tanpa konsultasi ini-itu, atau coba pikir-pikir dulu, Kana langsung menolak cowok itu, tapi cokelatnya tetap dia terima untuk dibagi-bagikan ke teman-teman sekelasnya.

"Udahlah Mon, nggak perlu dipikirin .... Mending lo bantuin gue siapin PR Matematika. Nomor 5 susah banget. Lo udah selesai, belum? Nyontek, dong."

Monita menyerahkan bukunya dengan wajah menekuk. Meski tidak punya bukti kuat, dia tetap bersikeras percaya puisi itu memang ditulis untuk Kana. Namun, jika Kana tidak berminat mencari tahu siapa penulisnya dan apa tujuannya, dia tidak bisa memaksa. Lagian, urusannya sendiri saja masih seperti benang kusut. Bahkan semakin kusut. Ternyata Aceng sulit untuk diajak kerja sama. Entah berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk pikir-pikir. Entah teknik persuasi apa yang harus Monita lakukan. Bawain bekal? Jadi joki tugas? Kasih hadiah?

"Teman-teman ayo ayo, PR-nya udah bisa dikumpul ke depan. Yang belum siap, cepat-cepat disiapkan, masih ada lima menit lagi."

Tiba-tiba kelas jadi riuh setelah mendengar komando Jhoni. Dia baru saja datang dan langsung mengarah ke meja guru untuk mengisi ulang tinta spidol. Tidak lama kemudian, Aceng menyusul sambil membawa beberapa lembar kertas kuis yang telah dinilai. Sepertinya mereka berdua sempat singgah ke ruang guru.

"Woi, PR gue woi, udah sampe mana? Buruan!"

Risma tampak sibuk mencari-cari keberadaan bukunya. Sementara itu, Kana masih sibuk menyocokkan jawabannya dengan jawaban Monita. Di sisi lain, Aceng hendak mulai membagikan kertas kuis satu per satu.

Monita berpikir, apakah ini saat untuk bertindak?

Sebelum berubah pikiran, dia beranjak dari kursinya dan dengan mantap menghampiri Aceng. "Biar gue aja," katanya sambil secepat kilat mengambil alih kertas-kertas kuis. "Lo duduk santai aja, oke?"

Aceng terpaku mendadak, seperti anak kucing yang sedang menebak-nebak apakah dia hendak dikasih makan atau malah dibuang ke semak-semak.

Reaksi Aceng tidak seperti yang diharapkan Monita, tidak ada senyum terima kasih atau sekadar anggukan apresiatif. Lantas Monita mengeluarkan strategi lain. "Oh iya, soal lagu John Mayer, gue juga suka, loh. Selera lo bagus," katanya diikuti tawa kering. Niatnya ingin memuji agar terkesan semakin bersahabat, tapi kenyataannya malah terdengar seperti gombalan basi.

Daripada semakin canggung, Monita segera mulai membagikan kertas kuis itu. Masalahnya, baru nama pertama, dia menemukan hambatan. Monita kenal siapa pemiliknya, tapi dia tidak hafal tempat duduknya, dan dia tidak menemukan wajah orang itu di dalam kelas. Terpaksa dia kembali menghampiri Aceng yang masih berdiri dengan tampang berusaha memahami situasi.

"Yoga duduknya di mana, ya?"

Aceng tidak langsung menjawab, malah kembali merebut kertas-kertas dari tangan Monita. "Gue aja, biar cepat."

Tidak bisa membela diri dan tidak punya pilihan lain, Monita pun menurut. Misinya gagal. Apa Aceng tidak tergerak mendapatkan bantuan dari orang lain? Atau dia bisa mengendus niat asli Monita dan merasa itu semua hanya dibuat-buat?

Saat kembali ke kursinya, Kana dan Risma menatap penuh curiga. Bukannya mereka tadi sedang sibuk sendiri?

"Kenapa?" tanya Monita.

"Lo yang kenapa?" Kana balik bertanya sambil mengembalikan buku PR Matematika Monita.

"Tumben lo punya inisiatif bagi-bagi kertas kuis?" Risma menambahkan. "Gue merasa ada yang aneh ...."

"Aneh apanya? Nggak ada salahnya juga bantuin teman."

"Sejak kapan lo temenan sama Aceng?"

Pertanyaan Risma bagaikan serangan instan yang bikin Monita membayangkan kembali siapa dan seperti apa dirinya selama ini. Memangnya dari dulu dia tidak kelihatan berteman dengan Aceng?

"Semua orang di kelas ini teman gue," katanya tegas, seolah itu ada di daftar tata tertib kelas.

Mendengar itu, Risma bergidik ngeri, diiringi tepuk tangan dari Jhoni yang baru selesai mengisi ulang tinta spidol.

"Moni benar-benar cocok jadi panutan," kata Jhoni, dan itu malah membuat Risma semakin mengerang seakan sedang menahan muntah.

🕶️

Meskipun kerap beradu argumen atau sindir-sindiran halus, Monita dan Delia tidak pernah mogok interaksi sampai berminggu-minggu. Paling lama tiga hari, kemudian situasi kembali pulih seperti semestinya.

Sejak cekcok Kamis lalu, Monita memang agak menjaga jarak. Bahkan absen ke kantin agar tidak bertemu Delia. Sejujurnya, dia masih sedikit kesal dengan keingintahuan Delia yang melebihi batas wajar. Namun, setelah menginvestigasi video ulang tahunnya, dia yakin Delia adalah satu-satunya tersangka dengan motif terkuat. Untuk membuktikannya, jelas dia tidak bisa terus-terusan menjauh. Seperti kata pepatah, keep your friends close and your enemies closer.

Jadi, saat Kana bertanya, "Lo ikut ke kantin, nggak?", Monita mengangguk mantap, tapi segera melancarkan rencananya yang lain.

"Kalian nggak mau ikutan?" tanya Monita pada penghuni dua meja di depannya. "Sekalian ngobrolin tugas kelompok."

Fara dan Risma saling tatap-tatapan penuh curiga, sementara Jhoni mengangguk berkali-kali, entah karena diajak ke kantin atau karena ingin diskusi tugas kelompok. Meski Aceng masih menatapnya ngeri-ngeri pesimis, dia akhirnya mengekor di belakang.

Pertama kali dalam sejarah, mereka berenam akhirnya jalan bersama ke kantin. Sanking bersejarahnya, Risma sempat bertanya, apakah Monita masih ingat nama lengkapnya. Hanya Jhoni yang tidak menaruh curiga. Cowok itu malah menunjukkan antusias yang meluap-luap. "Dari awal gue memang udah yakin, kelas kita isinya anak-anak yang berbudi," katanya saat mereka mencapai kantin.

SMA Raya Jaya hanya memiliki satu kantin di utara lapangan sekolah. Namun, luasnya sanggup menampung ratusan murid yang sekarat ingin melepas lapar. Berbagai jenis gerai makanan berderet di satu sisi. Selebihnya, ruang semi-outdoor itu diisi dengan meja dan kursi. Biasanya, Monita dan teman-temannya menempati meja bagian depan, agar lebih dekat dengan gerai makanan. Jadi, secara otomatis, Monita dan Kana bergerak ke meja yang biasa mereka tempati. Namun terhenti karena ada yang memanggil.

"Kana, Moni, here!"

Kening Monita mengerut ketika mendapati Delia dan Priska melambai-lambaikan tangan dari deretan meja panjang yang biasanya ditempati gerombolan murid yang lebih besar. Yang paling mengherankan, Dirga ikut duduk bersama mereka. Di sebelah Dirga, ada Ikmal dan seorang perempuan yang tidak Monita kenal, tapi wajahnya familiar.

Tadinya Monita mengajak Risma dan lainnya untuk berjaga-jaga. Setidaknya, jika Delia bergabung, atmosfer di sekelilingnya akan terasa asing. Namun, ternyata Delia juga membawa rombongan. Apa itu berarti Dirga masuk dalam kubu lawan?

Meski ragu, Monita mengikuti teman-temannya untuk bergabung dengan Delia dan lainnya.

"Tumben-tumben ini, ada hajatan apa?" tanya Jhoni sambil duduk di seberang Ikmal.

"Hajatan apaan, yang ada lagi ngenes karena baru dapat tugas," ujar Ikmal. Bersamaan dengan itu, tanpa sengaja, Monita bersitatap dengan perempuan yang duduk di sebelah Ikmal. Melihatnya dari dekat, Monita baru ingat, dia pacarnya Ikmal, anak kelas sepuluh. Monita lupa namanya, tapi mereka sempat saling sapa di pestanya minggu lalu.

Pacar Ikmal itu mengangguk segan pada Monita, seolah sedang berpapasan dengan senior garang.

"Tugas apa memangnya?" tanya Jhoni lagi.

Sebelum Ikmal kembali menjawab, Delia berdeham minta perhatian.

"Well, jadi, kami baru aja kebagian tugas TIK. Namanya juga guru kita sama, of course tugasnya juga sama. So, kami udah discuss mau ngebahas apa di video nanti, dan kami finally sepakat bakal liput Merpati Putih juga."

Monita langsung mengerti, "kami" yang dimaksud adalah Delia, Priska, Dirga, dan Ikmal.

"Kalo rame-rame, pasti lebih anteng, toh," Ikmal menambahkan.

"Tapi, videonya nanti jadi samaan, dong." Monita mencoba protes. Dia tidak membayangkan maksud "keep your enemies closer" akan seekstrem ini. Kerja kelompok bersama Delia jelas bukan ide yang baik. Apalagi Dirga juga ikut. Bisa-bisa wawancara Merpati Putih berubah menjadi acara tanya jawab kado ultah eksklusif.

"No, no, no. Finishing-nya pasti beda, Mon. Kerjanya, kan, tetap per kelompok. Konsep, jalan cerita, narasi, editing, wawancara, kita kerjain masing-masing. Waktu shooting aja yang barengan."

"Tapi, tetap aja temanya sama. Gue nggak mau nilai kelompok kami jadi rendah." Monita semakin sulit mencari alasan yang lebih masuk akal.

"Kalo videonya bagus, mana mungkin dikasih nilai jelek." Priska pun segera mematahkannya.

Melihat Priska tidak memperlihatkan tanda-tanda keberatan, Monita memicing heran. "Lo mau ntar ikut panas-panasan di tengah lapangan?"

Di antara mereka berempat, Priska yang paling anti dengan terik matahari. Tidak hanya bikin suasana hatinya membara, wajahnya juga mudah berubah merah.

"Kan gue bisa pakai payung, atau topi. Itu mah mudah."

Sayangnya, Monita tetap bisa menangkap raut kekhawatiran dari wajah Priska meski hanya secuil. Jelas sekali dia terpaksa.

"Nggak papa lah, Mon, sesama teman harus saling kerja sama." Giliran Jhoni yang membujuk, seolah tengah mengingatkannya untuk kembali bertingkah manis seperti di kelas tadi.

"Gimana kalau kita vote?" usul Dirga. "Jhoni udah oke. Yang lain gimana?"

"Gue ikut aja," jawab Aceng.

Risma dan Fara saling melempar tatapan pasrah karena harus masuk ke dalam arus drama antara Monita dan Delia.

"Kita nggak masalah, sih. Iya, kan, Far?"

Fara mengangguk setuju.

Sementara itu, Kana melirik Monita dengan bimbang. Monita hanya mengangkat bahu, tidak ingin menghasut meskipun dia ingin sekali Kana ikut menolak.

"Gue juga terserah," jawab Kana akhirnya.

Mendengar itu, Monita mencoba berbesar hati. Lagipula, dia tidak punya alasan yang masuk akal. Semua hanyalah sentimen pribadi. Jika sekarang dia masih gigih menolak, radar curiga Delia pasti akan kembali menyala. "Ya udah kalo gitu," katanya lemah.

"Nah, berarti udah sah, ya." Jhoni mengetuk meja tiga kali dengan botol kecap. "Sekarang, ayo kita pesan makan."

Kana mengangguk cepat dan ikut memindai barisan kios-kios makanan di sisi kiri kantin. "Bakso enak kali ya," katanya kemudian, diikuti acungan jempol dari Jhoni dan lainnya.

Sementara itu, Monita masih yakin ada yang tidak beres. Di antara Delia, Priska, Dirga, dan Ikmal, tidak satu pun familiar dengan Merpati Putih. Kenapa tidak liput tentang OSIS atau Jurnalistik saja? Mereka bisa memanfaatkan Ikmal. Pasti akan lebih mudah menyelesaikannya.

"Mon, ikutan?" ajak Kana saat akan menyusul Jhoni ke lapak bakso.

Selera makan Monita sejak tadi sudah enyah. Namun, dia harus memikirkan cara yang elok untuk menyingkir sejenak dari rombongan Delia. Saat itu, pandangannya jatuh ke antrean yang didominasi murid berseragam olahraga.

"Gu-gue mau beli nasi goreng."

"Yakin? Ngantri panjang, loh." Kana memastikan.

"Nggak papa. Bel masuk juga masih lama."

"Gue temani, deh."

Secara mengejutkan, tawaran itu datang dari Aceng yang sejak tadi tidak terlalu banyak bicara. Apakah kekonyolannya tadi pagi berhasil membuat Aceng iba? Monita jelas tidak menolak. Bisa dibilang, ini kabar baik pertama yang menghampirinya hari ini.

Saat dia dan Aceng tiba di gerai nasi goreng, Monita menyampaikan kegundahannya. "Delia pasti punya niat lain."

Di hadapan mereka ada sekitar 5 antrean, tapi bisa dipastikan jumlah pesanannya berkali-kali lipat. Tidak sedikit yang punya banyak titipan.

Setelah memesan di meja kasir, Monita melangkah ke lemari pendingin di depan gerai dan mengambil dua botol minuman yoghurt, memberikan satu pada Aceng.

"Biar nggak bosan nunggu," katanya.

Aceng menerimanya sambil mengangguk kecil. Mereka pun menunggu pesanan di depan kios sambil meminum minuman asam-manis-dingin itu.

"Gue makin curiga ...." Monita menjeda kalimatnya dan memeriksa sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mencuri dengar. Setelah merasa aman, dia lanjut dengan suara yang lebih rendah. "Gue makin curiga sama Delia. Cuma dia yang kelihatan bete pas Dirga datang ke ultah gue."

"Punya bukti?"

"Masalahnya, gue nggak tau gimana cara buktiin itu."

"Tapi dia teman lo."

"Ya, gue juga sebenarnya masih ragu dia bisa senekat itu. Tapi, gue nggak kepikiran siapa lagi yang suka sama Dirga."

Dirga memang punya banyak penggemar. Dari anak kelas X sampai kelas XII. Namun, sejauh ini, dia belum pernah melihat ada yang mati-matian menyukai cowok itu, sampai-sampai punya ide untuk mencuri kado di pesta orang, termasuk Delia.

"Lo tau?" tanya Monita tiba-tiba, setelah mereka saling diam sejenak.

Aceng yang tadinya sibuk membaca segala tulisan yang tercetak di kemasan minuman pun menoleh bingung. "Tau apa?"

"Lo kan akhir-akhir sering bareng Dirga. Mungkin dia pernah curhat, gitu, tentang cewek yang dia suka, atau mungkin ada yang lagi deketin dia."

Aceng tampak mengingat-ingat sejenak, lalu mengangkat kedua bahu. "Nggak tau. Nggak terlalu merhatiin."

Monita menghela napas frustrasi dan ikut bersandar di dinding gerai nasi goreng, seperti Aceng. Di kejauhan, Delia, Priska, dan lainnya terlihat asyik menyantap jajanan masing-masing. Kana, Jhoni, Risma, dan Fara juga sudah kembali bergabung di meja itu. Sesekali mereka berceloteh, tertawa, dan saling oper-operan botol saus atau kecap. Semua tampak normal. Tampak tidak ada masalah. Ya, memang itulah faktanya. Tidak ada masalah pada siapa pun, selain dirinya. Bahkan dari gerak-geriknya, Delia tidak cocok untuk dianggap terobsesi dengan Dirga. Tatapannya tidak melulu mengarah pada Dirga, malah lebih sering berbaur dengan semua yang ada di meja, termasuk pacar Ikmal.

"Oh iya, pacarnya Ikmal namanya siapa? Gue lupa."

Aceng pun ikut menoleh ke arah meja mereka. "Mauren?"

Monita teringat, ternyata Mauren yang dimaksud Jhoni adalah pacarnya Ikmal.

Dengan masih memperhatikan gerak-gerik mereka, dia semakin yakin Mauren memang tipe junior yang pemalu. Sejak tadi dia lebih sering tersenyum canggung atau mengangguk kecil tanpa banyak bicara. Jika memang segan, kenapa mesti duduk semeja? Memangnya dia tidak punya teman sekelas yang bisa diajak ke kantin bareng?

"Moni ...."

Monita menoleh, menanti lanjutan dari Aceng. Ternyata Aceng pun tengah menoleh ke arahnya. Apa ini? Apa ada hal serius? Apa Aceng sudah selesai pikir-pikir dan sekarang akan memberikan jawabannya? Bagaimana jika dia menolak? Dan kenapa harus di depan gerai nasi goreng, dengan minuman yoghurt yang sudah habis setengah?

"Ayo, besok ke kafe tantenya Dirga. Warna baju mau barengan?"

Belum sempat Monita menyerap ucapan Aceng, terdengar seruan penjual nasi goreng. Pesanan mereka sudah siap, lebih cepat dari yang dia harapkan.

🕶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro