20. Hate to Need Someone

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barbie berhasil mengumpulkan kesadaran yang tercecer semalam. Lelapnya hancur lebur karena dering ponsel tanpa jeda. Aneh, jenis nada dering yang terdengar bukan milik ponselnya. Siapa yang berani mengganti?

Barbie berdecak tanpa minat membuka mata. Bersama segunung rasa malas, ia mengangkat sebelah tangan untuk menjarahi nakas. Nihil. Hanya ada lampu tidur. Lalu ia memiringkan tubuh perlahan, meraba bagian kasur.

Tunggu ... ini bukan bagian kasur.

Dirinya terlonjak begitu membuka mata. Ada seseorang yang secara nalar sangat mustahil berada di sampingnya ketika tidur. Dion. Wajah laki-laki itu tampak damai. Ralat, lebih tepatnya begitu nyenyak. Tak terusik sama sekali saat Barbie menyentuh wajah laki-laki itu. Sempat merona dan merasa berhasil menyentuh langit ketujuh.

Kesadaran segera menghampiri, Barbie mengerang frustrasi di tepi kasur. Menepuk dahi berkali-kali.

Ingatan tumpulnya memutar potongan adegan semalam yang tadinya ia pikir hanyalah mimpi. Akan tetapi, seragam berhias berbagai lencana khas kejaksaan agung, pun high heels dan pantofel yang berserakan adalah bukti nyata bahwa ia tidak bermimpi.

Adik macam apa yang menemani tidur calon suami kakaknya sendiri? Bagus. Barbie bahkan jauh lebih murahan dari wanita yang menjajakan diri demi sesuap nasi.

Sekali lagi, Barbie mengerang frustrasi mengingat-ingat apa yang terjadi sesudah menandaskan dua botol minuman. Pantas saja dering ponsel yang terdengar terasa asing. Itu dering ponsel Dion, bukan miliknya. Sekarang ia mulai kebingungan, sebelah tangan yang telah terangkat bermaksud membangunkan laki-laki itu terhenti. Ia termangu menatap wajah Dion, tersirat jelas kekacauan pola tidur di sana.

Barbie menggeleng pelan. Mereka harus bicara, ia harus menjelaskan banyak hal.

Di antara pertikaian batin dan pikiran, dering ponsel membuat Barbie lagi-lagi terlonjak. Kali ini benar-benar ponsel miliknya yang berdering. Karena takut membangunkan Dion, ia meraih ponsel yang tergeletak di lantai lalu bergegas meninggalkan kamar. Sesampainya di balkon, ternyata masalah hidup Barbie tidak hanya tentang tragedi semalam. Sebab nama Cessa tertera di layar. Alih-alih langsung menggeser tombol hijau, Barbie justru menggigiti kuku. Ia mengetuk-ngetukkan ponsel ke dahi sembari berjalan bolak-balik.

Selain nahas, bodoh, munafik, dan didera tsunami masalah, kira-kira apa lagi yang Anggita Barbie Soedarsono punya? Oh ya, sial. Kata itu belum sempat disebut tadi.

"Halo, Kak?" Tepat kali ketiga Cessa menelepon, ia baru bernyali untuk menjawab.

"Kamu ke mana sih, Bie? Aku dari tadi telepon."

Sang kakak jarang sekali menelepon. Maka ketika Cessa melakukan itu, tandanya ada hal penting dan posisi genting yang ingin dibicarakan.

"Hehehe. Maaf, Kak. Aku baru bangun. Ada apa?"

"Kamu hari ini ketemu WO, ya. Sampaikan ke mereka, aku batal menyewa jasa mereka."

Dahi Barbie berkerut sedalam jurang di pelosok pulau antah-berantah. "Maksud Kakak?"

"Iya, aku batal menikah."

"Apa? Batal apa?"

Barbie mendadak berubah menjadi lebih idiot dari keledai bodoh. Baginya pernyataan Cessa mengandung tingkat kemustahilan sekitar sepuluh persen dari kawin silang antara badak bercula satu dan ayam betina.

"Bie, jangan bikin Kakak makin pusing dan stres. Sekarang aku di bandara, aku cuti dari kantor. Tapi aku minta tolong, hari ini kamu temui WO. Batalkan kerja sama kita."

"Kakak enggak suka konsep WO-nya atau bagaimana sih? Aku pusing." Lagi, tingkat keidiotan Barbie ternyata belum sembuh usai semenit lebih Cessa bicara panjang lebar.

"Aku batal menikah, Bie. Jangan kasih tahu Mama dulu, aku takut kesehatannya terganggu."

Hatinya langsung diserang kepanikan.

"Iya, tapi kenapa?"

"Aku sama Dion putus. Kalau mereka minta biaya penalti, kasih saja. Aku sudah transfer ke rekening kamu."

Demi apa pun jantungnya berdegup tak keruan, takdir seolah sedang bercanda. Cessa batal menikah entah karena alasan apa. Sementara si calon suami semalam tidur di ranjangnya. Alih-alih menjerit karena rasa gembira yang membuncah, Barbie justru memandangi tetesan hujan bersama kecamuk di hati.

Ia sangat ingin bertanya kenapa hubungan Cessa dan laki-laki itu bisa berakhir begitu saja tanpa ada buih-buih masalah yang terlihat. Mereka tak pernah kelihatan bertengkar, berseteru, atau semacamnya. Ya, memang itu urusan pribadi Cessa dan Dion.

Pasangan seharmonis apa pun pasti punya ciri tersendiri yang menandakan hubungan mereka sedang bermasalah di mata orang lain. Sementara Dion dan Cessa, mereka masuk ke dalam kategori pasangan serasi selama beberapa tahun belakangan. Jadi, berakhirnya hubungan dua sejoli itu adalah sesuatu yang terasa mustahil.

"Sekarang Kak Cessa mau ke mana?"

"Lombok. Aku butuh ketenangan." Cessa menarik napas panjang. "Kita bicara lagi setelah aku pulang, ya."

***

Sekian menit, Barbie masih enggan mengangkat kepala begitu Dion muncul di balkon ditemani dua cangkir cokelat panas. Laki-laki itu tak mengucapkan apa-apa. Mereka berdiri bersampingan dengan lengan yang bertumpu di pembatas.

Cukup lama menyisakan sunyi, Dion menggeser secangkir cokelat panas ke arahnya. Ia tidak tahu kapan laki-laki itu bangun dan membuat cokelat panas. Pun tidak tahu apa Dion mendengar percakapannya dengan Cessa. Semua tampak abu-abu bagai langit yang menaungi Jakarta hari ini.

Sudut mata Barbie menangkap Dion yang menyesap cokelat dari mug. Kenapa laki-laki itu bisa terlihat biasa-biasa saja seakan Barbie tidak pernah melakukan hal gila di luar kendali? Ia menarik napas panjang biarpun belum punya nyali untuk melontarkan sepatah kata. Menjadi sebuah patung hingga Dion pergi dari sini pun bukanlah masalah baginya.

"Kamu mau diam sampai kapan? Cokelatnya nanti dingin," ujar Dion.

Persetan dengan cokelat yang dingin. Sekarang saja punggung Barbie terasa dingin, seolah ada yang menumpahkan air es di sana.

"Semalam aku menjemput kamu karena bartender yang menelepon. Sejak kapan kamu bisa minum sebanyak itu?"

Susah payah Barbie merangkai kata sejak bangun tidur, tak lantas membuat ia berhasil menemukan cara untuk mengajak Dion bicara. Jangan sampai waktu sekian purnama ia sia-siakan untuk sebutan bernama pecundang.

"Itu ... Citra temanku. Dia satu-satunya bartender perempuan di sana. Harusnya dia menelepon Julid-Trinity, bukan Mas. Aku sering mengunjungi tempat itu sejak jadi model," tuturnya panjang lebar tanpa jeda.

"Dia teman curhat kamu, ya?" tebak Dion. Pandangan laki-laki itu terpaku pada kepulan asap yang menguar.

Kebodohan Barbie akan meningkat sekian puluh persen sampai sukar diukur jika ia menjawab pertanyaan itu. Dion pasti tahu, lewat fakta bahwa Citra yang menjadi bartender adalah teman dekatnya dan ia sering berkunjung.

"Ada apa sama Mas dan Kak Cessa?" Barbie bertanya sesudah merasa pasokan senjata terkumpul.

"Kami sudah selesai." Dion menjawab tanpa beban.

Barbie memberanikan diri berpaling dari pemandangan di bawah sana. Laki-laki berkaus putih polos kusut itu bernama Akhfa Dion Gymnastiar. Seseorang yang telah lama menempati relung hati sekaligus palung jiwa. Pun definisi segalanya adalah laki-laki itu, mantan tunangan Cessa.

"Iya, kenapa?"

Senyum yang tersungging kali ini bukan yang biasanya terlihat dari Dion. Ia sudah mengamati berbagai ekspresi wajah laki-laki itu kurang lebih selama masa remaja. Memang terdengar mengerikan, tapi Barbie nyaris menghafal segala yang ada pada Dion tanpa celah.

"Dunia yang kami cari berbeda. Saya mencari dunia saya di dalam seutuhnya Cessa. Tapi tidak dengannya, dia masih mengejar banyak hal dalam satu kata bernama ambisi sampai detik ini." Dion meletakkan cangkir di pembatas balkon sebelum menatapnya dalam. "Menurut kamu apa arti dari sebuah hubungan dan pasangan? Sekadar tentang berapa lama kita terlihat bersama tanpa kata saling?"

Barbie tahu, laki-laki itu sedang tidak butuh dijawab. Hanya butuh didengarkan. Jadi ia lebih memilih terpaku pada emosi yang terpancar dari sorot mata Dion.

"Atau seberapa dalam kamu mengenal sisi sempurna dan ketidaksempurnaanku? Hingga kita tersadar, jika kata sempurna itu bukan milik aku atau kamu. Tapi kita."

Tatapan Barbie beralih pada rintik hujan ketika Dion hampir menyelesaikan kalimatnya. Ada sesuatu yang kuat-kuat ingin Barbie tampik. Sebab ia enggan menerbangkan asa ke langit sekali lagi. Terlalu tinggi, tidak tergapai. Ia cukup tahu diri sebagai seseorang yang seharusnya tidak memperkeruh keadaan. Barbie tidak ingin berada di antara laki-laki itu dan sang kakak. Jangan sampai ia menorehkan luka pada siapa pun. Cukup dirinya saja.

"Mas Dion sebaiknya pulang. Mas pasti butuh istirahat." Lantas Barbie berbalik, melangkah meninggalkan laki-laki itu di balkon.

"Barbie ...."

Panggilan itu menghentikan langkah Barbie.

"I hate that nick fucking name. Cause I don't wanna be a doll, I don't wanna be your toy." Ia sudah tak memedulikan kala menuturkan semua itu tanpa beban.

"Love is the fucking thing that I cant explain. Im sorry ... cause Im in love with you," sahut Dion.

Kelopak mata Barbie yang entah sejak kapan terpejam itu malah meloloskan bulir hangat. Udara yang dihirup kini setara ribuan beton yang mengimpitnya telak. Maka ia meremas kuat-kuat bagian gaun.

"Tolong jangan lagi memintaku menjauhi kamu."

Kalimat itu selesai dan Dion menariknya. Lalu Barbie benar-benar jatuh ke pelukan laki-laki itu dalam arti yang sesungguhnya. Biar rasa sakit tetap memberi cambukan telak. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, ia hanya melakukan apa yang hatinya inginkan. Membalas pelukan Dion.

"I hate to need someone like you ...," bisiknya pilu.

Rindu, sesak, hujan, dan Dion adalah penyambut pagi yang lebih manis sekaligus hangat dari secangkir cokelat panas. Ada dua kalimat sederhana yang akhirnya bercampur dalam cangkir kisah mereka. Menerjang perih, mengakui rasa.

***

Sesudah menyudahi telepon dengan adiknya, Cessa menyeret kopor dan melangkah penuh keyakinan. Meski bandara nampak lengang karena hari kerja. Tetap saja ada orang yang menyenggol kopornya. Orang terakhir menggumamkan kata maaf, tapi Cessa bergeming di tempat dan melayangkan tatapan jengkel. Langkah perempuan itu tertahan lagi, ponsel dalam genggaman menjerit tanpa henti.

"Apa? Kenapa memangnya? Kalian enggak pernah kelihatan punya masalah selama ini. Kok bisa?"

Pasti. Semua orang yang Cessa beri tahu tentang kabar tersebut menimbulkan reaksi yang sama. Totalnya bertambah satu orang yang tahu kabar kehancuran hubungannya. Pertama Barbie, kedua Sherly.

"Dion yang minta."

"Eh, tapi bukannya itu yang lo mau dari dulu? Sendiri tanpa ada yang ganggu?"

Cessa bungkam. Ia menatap sendu paspor di tangan, lantas merasa sangat bodoh dan cengeng secara bersamaan.

"Gue bilang juga apa. Jangan sampai lo menyesal karena 'dia menemukan orang yang dirasanya lebih tepat. Kita perempuan memang menang nolak, tapi laki-laki punya andil besar dalam memilih. Lo tahu sendirilah, laki-laki cuma terbagi dua. Kalau enggak berengsek, ya homo. Dion itu langka, ibarat kata dia setara sama komet Halley yang muncul tujuh puluh tahun sekali. Kemarin-kemarin harusnya lo bersyukur karena Dion terlalu sabar." Sherly mengunyah keripik di ujung telepon. "Terus lo sekarang gimana? Bukannya lo udah mengurus atribut pesta di WO?"

"Batal. Gue bingung ngajak ngobrol Nyokap tentang ini. Lo tahu, kan, dia sayang banget sama Dion."

Biarpun terjadi keretakan di sudut hati, ia tetap saja memikirkan sang ibu dan reputasinya di depan orang banyak.

Terdengar suara Sherly yang menarik napas. "Cepat atau lambat nyokap lo pasti tahu. Pilihannya lo mau dia dengar dari lo langsung atau kasak-kusuk netizen."

"Gue menyesal." Cessa membekap mulut serta membiarkan pipinya basah. "Rasanya benar-benar aneh tanpa dia."

"Itu bukan aneh. Lo terlambat menyadari kalau hati lo juga ikut andil selama ini."

Tidak sedikit orang-orang yang baru merasa memiliki setelah kehilangan. Sekarang Cessa berada di antara orang-orang yang merasakan penyesalan besar tersebut. Ketika waktu terus bergulir maju, sementara mereka ingin terus berada di titik tersebut. Demi menghabiskan penyesalan yang memang tak akan ada habisnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro