Kalah (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Originally posted for SFragment's Second Anniversary: Grateful Feelings Project.

✧ ˚  ·    .

Ketika Karasuno kalah, tidak ada satupun dari kelas tiga yang menangis.

Suga menepuk pundak Asahi seperti akhir setiap pertandingan umumnya. Asahi membalas sesuatu pelan-pelan. Mulut Daichi tertarik dalam cengiran melihat keduanya sebelum mengarahkan tim mereka untuk berbaris. Kiyoko tetap memandang mereka dari pinggir lapangan dengan tatapan tenangnya.

Mereka tidak bersikap seakan-akan Karasuno baru saja kalah di Nationals. Mereka bersikap seakan-akan ini hanyalah sebuah pertandingan di kemah latihan: pelajaran terpelajari, waktunya untuk bergerak maju. Mereka bersikap seakan-akan pertandingan ini bukan pertandingan resmi terakhir mereka.

Karasuno bahkan belum masuk ke babak semifinal.

Tidak ada yang berkata apa-apa mengenai kekalahan mereka. Tidak dari manajer mereka, tidak dari setter orisinil mereka, tidak dari pemain ace tim mereka, tidak dari kapten mereka. Mereka berempat tetap berdiri tegak, memandang lurus ke depan saat Daichi memulai aba-aba untuk berterima kasih kepada para pendukung. Beberapa dari mereka melirik diam-diam--kecuali Kageyama yang memandang terang-terangan--kepada kakak kelas mereka. Tegap, lurus, tidak goyah.

Tidak ada yang mengangkat suara di antara mereka. Tidak ada teriakan frustasi. Tidak ada tangisan air mata. Tidak ada tatapan sedih.

Tidak ada yang berkomentar apapun ketika anggota-anggota tim Nekoma dan Fukurodani menghampiri ke bawah lapangan. Karasuno tetap diam ketika Suga dan Yaku berpelukan lalu berbagi cerita dalam tawa. Bokuto memeluk orang pertama yang paling dekat dalam jangkauannya: Asahi, laki-laki itu membalas pelukan Bokuto dengan antusias yang hampir sama. Kuroo sedang membuat gestur-gestur aneh kepada Daichi yang tengah tertawa, lemah dan tidak sekuat biasanya. Tidak lama kemudian, Bokuto mengalihkan perhatiannya kepada Daichi, memeluk remaja yang lebih pendek itu dari belakang sambil meneriakkan sesuatu yang tidak bisa Karasuno dengar dari tempat mereka berada.

Yang Karasuno dengar adalah Daichi yang menanyakan keadaan Hinata kepada Takinoue-san yang berada di kursi hadirin, nada khawatir di tengah-tengah bisingnya stadium.

Mereka kalah dan hal pertama yang Daichi pusingkan adalah anggota tim mereka yang absen karena sakit.

Ketika Karasuno membereskan barang-barang mereka dari lapangan dan berjalan keluar, barulah terdengar percakapan di antara anggota tim. Nishinoya merupakan salah satu dari mereka yang berani untuk mengajak bicara Asahi terlebih dahulu. Mungkin juga karena Asahi adalah ... Asahi. Suga tengah membantu para pemain cadangan lainnya membawa perlengkapan, bercakap-cakap dengan riang. Daichi sendiri tiba-tiba tersentak dari jalannya, buru-buru menyusul Tsukishima yang ada di depan.

"Tsukishima," panggil Daichi, "kakimu sudah baik-baik saja sekarang?"

Ekspresi Tsukishima terhadap pertanyaan itu sudah menjadi jawaban yang cukup bagi Daichi yang melanjutkan berbicara kepadanya seraya menatap ke depan. Tiba-tiba saja, di tengah pembicaraan, Daichi meledak dalam tawa, membuat beberapa anggota timnya, bahkan yang sudah turun setengah tangga, menoleh khawatir. Kepala kapten mereka mengadah ke atas di sisa-sisa tawanya dan semuanya bisa melihat beberapa gelimang air mata yang lolos ke pipinya.

Tak lama kemudian, mereka semua sudah berkumpul kembali di lantai bawah, di spot yang sudah mereka ambil sebagai tempat peristirahatan mereka. Saat sampai di sana, mereka hanya berbicara dengan suara pelan terhadap satu sama lain sebelum Suga menepuk lengan Daichi dan membuat gestur kepada anggota tim Karasuno lainnya dengan kepalanya. Kapten mereka awalnya hanya mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum sadar apa yang Suga maksud.

Daichi membalikkan badannya untuk menghadap mereka semua, tampaknya siap untuk memberikan salah satu pidato khasnya. Semua anggota Karasuno otomatis kembali menegakkan badannya, sikap biasa mereka ketika evaluasi tiba.

Apa evaluasi yang bisa diberikan ketika mereka kalah total tanpa kesempatan kedua?

"Ini bukan kekalahan yang kecil, aku tahu," Daichi memulai. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa mendengar nada sedih di kalimatnya atau gestur abnormal dari tubuhnya. "Kita benar-benar kalah."

Ujung mulut Daichi tertarik ke atas dalam senyuman. "Tahun ini kita masuk ke delapan besar. Bagi kami kelas tiga, bisa ke Nationals saja sudah suatu keajaiban, tapi aku tahu mungkin beberapa dari kalian ada yang tidak puas."

Daichi berhenti sejenak di tengah-tengah ucapannya. Kageyama mengambil kediamannya sebagai kesempatan untuk berbicara.

"Aku..." ujarnya, "masih ingin bermain dengan tim ini lagi."

Untuk pertama kalinya sejak kekalahan mereka, Karasuno dapat melihat kakak kelas tiga mereka kaget dengan perkataan Kageyama, bahkan terdiam untuk beberapa saat. Suga merupakan orang pertama yang berbicara, berteriak bahkan, menyundul Kageyama dengan kepalanya sebelum berteriak kembali lalu terdiam.

"Tidak ada gunanya kalau kita tidak menang. Semuanya berakhir ketika kita kalah," ujar Suga seraya menyembunyikan wajahnya dengan membungkukkan kepalanya. Ucapannya ini membuat beberapa dari mereka meringis diingatkan dengan kenyataan yang pahit.

Karasuno benar-benar kalah. Setelah ini, tidak ada pertandingan lagi bagi murid kelas tiga Karasuno.

"Tapi," lanjut Suga lagi sebelum Kageyama dapat menyela, "mendengar kamu berbicara seperti itu sudah cukup bagiku. Artinya semua usaha kita tidak sia-sia, 'kan?"

Asahi nampaknya kebingungan ingin menangis sendiri atau menghibur temannya. Daichi hanya menarik napas dalam-dalam sebelum menaruh wajahnya di tangannya, menggumamkan sesuatu mengenai anjing laut.

Karasuno tidak punya kesempatan banyak untuk berbicara kembali setelah itu. Mereka tetap diam saja ketika Daichi mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Takeda-sensei dan Coach Keishin.

Setelah semua acara emosional dari para murid kelas tiga berakhir, Suga pergi bersama kedua guru mereka untuk membeli makanan untuk tim mereka. Awalnya dia hanya akan pergi sendirian, tapi Asahi ditarik bersamanya, meninggalkan Daichi yang hanya menatap mereka ribut dengan senyuman di wajahnya.

Kini, Daichi tengah sendirian saja, menegak sisa air yang ada di dalam botol minumnya.

Ini saatnya.

"Daichi-san!"

Remaja yang terpanggil itu menoleh mendengar namanya dipanggil dan menemukan beberapa anggota timnya, semua murid kelas dua, berdiri menghadapnya, mulut ditekan rapat untuk menahan ribuan kata yang ada di dalam benak mereka. Nishinoya, yang biasanya memang hiperaktif, terlihat sedang berusaha keras menahan rasa ingin melompat-lompat dengan bantuan Kinoshita yang menaruh tangan di pundaknya. Yamaguchi tengah menatap Daichi juga, meskipun berada di belakang kakak-kakak kelasnya. Kageyama dan Tsukishima memasang ekspresi netral di kedua wajah mereka meskipun Daichi dapat melihat rasa penasaran di dalam mata mereka berdua.

Seperti membaca pikiran mereka, Daichi menyela, "Kalau kalian ingin minta maaf, aku sarankan jangan."

Kelima murid kelas dua tersebut meringis lagi. Kapten mereka memang observan--atau punya kekuatan gaib, Ennoshita sering mengusulkan.

"Bukan karena aku ingin kasar ya," lanjut Daichi. "Aku cuma tidak bisa menemukan letak kesalahan kalian sampai kalian ingin minta maaf."

Tanaka sudah siap membuka mulutnya, ingin menyampaikan seribu kesalahan mereka dalam pertandingan tersebut. Ennoshita hampir menyusul, kepalanya penuh dengan hal-hal yang bisa ia lakukan lebih lagi, hal-hal yang bisa ia lakukan untuk membantu Karasuno menang. Bahkan Narita yang paling pendiam di antara kelimanya tampak tidak tenang, ujung mulutnya berkedut. Yamaguchi juga ikut gelisah, diikuti dengan tekukan alis dari Tsukishima dan Kageyama.

Kalau ini Asahi, mungkin mereka tidak akan pusing-pusing melakukan hal ini. Pemain ace yang satu itu malah lebih khawatir dengan perasaan teman satu timnya jika dilihat dari percakapannya dengan Nishinoya tadi. Mereka juga sudah tahu bagaimana perasaan Suga. Kesal mungkin, tapi puas. Ceramah singkatnya tadi itu merupakan perasaan terdalam setter itu.

Tapi ini Daichi, benak mereka berkata. Daichi yang belum mengekspresikan perasaannya selain tawa dan haru.

Mereka kalah, sesuai dengan apa yang Daichi katakan sebelumnya, kalah besar. Tidak mungkin, 'kan, yang ingin kapten mereka ungkapkan hanya tawa?

"Kau tahu kapan kita terakhir ke Nationals?" tanya Daichi tiba-tiba. Kedua matanya menatap mereka semua dengan senyuman di wajahnya. "Ketika aku, Suga, dan Asahi bergabung di sini, Karasuno tidak pernah memenangkan satu pertandingan pun selama setidaknya tiga tahun. Saat itu aku sadar, hampir tidak ada harapan bagi Karasuno untuk kembali ke Nationals."

Daichi tertawa pelan di tengah ucapannya. "Kau tahu, saat Tashiro-san lulus, dia meminta kami berjanji padanya untuk membawa Karasuno ke Nationals suatu saat nanti."

Yamaguchi mengerjapkan matanya mendengar nama yang familiar itu. Ah, pasti salah satu mantan kapten Karasuno yang mengunjungi mereka kemarin.

"Dan, lihat kita sekarang, hm? Di Nationals setelah beberapa tahun diam di balik bayangan masa lalu," lanjut Daichi sebelum tertawa lagi. "Jadi emosional, maaf."

Meskipun begitu, nampaknya tidak ada yang puas dengan itu saja. Perkataan Suga kembali terbayang di benak mereka. "Tidak ada gunanya kalau kita tidak menang. Semuanya berakhir ketika kita kalah." Dan bukankah itu benar?

"Kalian mungkin tidak puas, aku tahu. Baru beberapa hari di Tokyo dan kita sudah harus pulang lagi. Yah, kalian masih ada tahun depan, hm? Jangan terlalu bersedih."

"Daichi-san sendiri?" Tanaka memberanikan diri untuk bertanya, membuat beberapa temannya meliriknya kaget. "Daichi-san puas?"

Lagi-lagi, nampaknya Daichi tidak menduga akan ditanya seperti itu. Ia tidak menyangka adik kelasnya akan berpikir seperti itu. Daichi terdiam sejenak sebelum menghela napas.

"Kageyama," Daichi memanggil tiba-tiba, membuat setter yang dimaksud hampir melompat dari posisi berdirinya. Kageyama menoleh ke kanan dan ke kiri dengan ekspresi linglung sebelum menunjuk dirinya sendiri.

"Masih ingat aku bilang apa tujuan utama Karasuno sewaktu kamu pertama masuk?"

"Em," ujar Kageyama bingung, "Karasuno akan pergi ke Nationals?"

Mengangguk, Daichi beralih kembali pada Tanaka. "Kita ada dimana sekarang?"

Mata Tanaka melebar ketika ia sadar apa yang Daichi maksud.

Tujuan Daichi, dan anak kelas tiga lainnya, selama ini hanyalah Nationals. Tidak lebih.

"Pergi ke Nationals sendiri sebenarnya sudah terdengar sangat mustahil tahun lalu, tapi lihat dimana kita sekarang," ujar Daichi menjelaskan. "Aku bahkan sempat bingung ketika kita pertama sampai di sini. Nationals tercapai, setelah ini apa? Aku tidak berani berharap banyak dan lihat kita, di perempat final."

Daichi kembali terdiam untuk sesaat. Matanya menatap udara kosong di antara sepatunya, serius memikirkan sesuatu, sebelum kembali mengangkat kepalanya untuk menatap mereka.

"Aku tidak begitu melihat ini sebagai kekalahan."

Kalimat terakhir dari Daichi mengundang berbagai reaksi dari semua anggota yang mendengar, dari syok sampai ketidakpercayaan, bahkan Tsukishima yang biasa tidak pernah bereaksi besar mengangkat alisnya.

"Jadi jangan sedih ya? Aku puas kok. Lebih dari puas malah," lanjut Daichi dengan senyuman lebar di wajahnya. Tidak ada nada bohong dari perkataannya. "Dan terima kasih."

"Daichi-san," Ennoshita buru-buru menyela. Berterima kasih untuk apa? Tidak banyak yang mereka lakukan kecuali bermain voli. Seharusnya mereka yang berterima kasih. Daichi sudah memimpin tim mereka dengan sempurna tahun itu.

Namun, Daichi mengangkat tangannya, ingin menyelesaikan perkataannya terlebih dahulu.

"Terima kasih telah memilih untuk memasuki tim ini," ujarnya tak hanya kepada kelima anggota kelas dua, tetapi juga kepada Yamaguchi, Kageyama, dan Tsukishima. Senyum di wajahnya melebar dan, dari jauh, terlihat matanya mulai berair. "Terima kasih karena kalian tidak mau menyerah. Terima kasih karena kalian mau membantuku membuktikan banyak orang salah."

Kali ini, setitik air mata benar-benar mengalir dari mata Daichi. Tak digubris wajahnya yang basah, memutuskan untuk tetap menatap adik-adik kelasnya dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Terima kasih. Kalian tim terbaik yang bisa aku inginkan."

Untuk sejenak, mereka semua terdiam. Apa yang bisa mereka katakan setelah itu? Apa yang bisa mereka balas dari ucapan terima kasih seorang Sawamura Daichi? Kecuali menahan tangisan mereka, tidak ada yang bisa mereka katakan lebih lagi.

"Daichi-san," Ennoshita berkata lagi setelah melihat Tanaka yang gemetar menahan tangis dan mata Nishinoya yang berkaca-kaca. Narita tengah menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, di samping Kinoshita yang nampaknya tidak berada di dalam keadaan yang lebih baik dari mereka. Ennoshita juga bisa melihat kedua mata Yamaguchi yang terbuka lebar. Ia yakin Kageyama dan Tsukishima, dua makhluk yang biasanya tanpa emosi itu, juga berada di dalam kondisi yang sama meskipun ia tidak bisa melihatnya.

Memutuskan bahwa kata-kata saja tidak cukup, Ennoshita membungkuk dalam-dalam kepada kaptennya itu.

"Terima kasih!" serunya dengan penuh perasaan karena itu yang Daichi pantas dapatkan. Itu yang Daichi pantas dapatkan setelah tahun yang mereka lalui.

Perlahan, Ennoshita merasakan teman-temannya mengikuti gesturnya, disertai dengan seruan terima kasih pada Daichi. Tak sampai lima detik kemudian, kelima anggota kelas dua Karasuno serempak menyerukan rasa terima kasih mereka kembali. Dari posisinya ini, Ennoshita tidak bisa melihat bagaimana reaksi ketiga anak kelas satu di tim mereka itu, tapi ia yakin mereka masih syok dengan semua hal yang baru saja terjadi.

"Hei, hei," ujar Daichi seraya menepuk-nepuk pundak mereka semua tanpa terkecuali. Nadanya ringan, tanpa rasa kesal atau marah. Senang, mungkin. "Tidak usah berlebihan. Bangun, bangun."

Mendengar ajakan lembut dari Daichi, kelima murid kelas dua itu kembali menegakkan tubuh mereka, untuk melihat wajah kapten mereka yang tengah tertawa kecil. Tatapan matanya lembut dan tangannya belum berhenti menepuk pundak-pundak mereka.

"Daichi-san!" Nishinoya berseru lagi. "Benar kami tim terbaik yang pernah Daichi-san lihat?" Anggota terpendek di Karasuno itu tengah tersenyum lebar, sama seperti Daichi, dan kali ini tidak menahan lompatan-lompatan kecilnya.

Daichi hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban, tapi akhirnya tertawa kembali ketika ia melihat Nishinoya mulai cemberut.

"Iya, iya," balasnya. "Kalian tim terbaik yang pernah aku lihat. Sekarang, jangan biarkan itu membuat ego besar kalian semakin besar, oke?"

"Telat, Daichi-san," komentar Ennoshita ketika Nishinoya beralih pada Tanaka, keduanya berteriak semangat atas konfirmasi dari Daichi. Mereka berdua beralih pada ketiga anak kelas dua lainnya sebelum berakhir pada adik-adik kelas mereka, meneror mereka dengan semangat berlebihan mereka. Yamaguchi terlihat setengah ketakutan, setengah ingin tertawa, hingga akhirnya Nishinoya dan Tanaka beralih meneror pada kedua batu yang tengah menatap mereka dengan tatapan datar.

"Ya sudahlah," Daichi berujar sebelum nyengir pada Ennoshita. "Mereka tanggung jawabmu mulai sekarang."

Implikasi mengenai jabatan Ennoshita di tahun ajaran berikutnya tak pernah gagal membuat orang yang dimaksud gugup dan tersanjung, kedua tangan mengibas di udara sebagai penolakan pujian. Seperti biasa, Kinoshita menepuk punggung Ennoshita kencang-kencang dan Narita menawarkan komentarnya dengan suara halus, tapi selalu berhasil membuat temannya semakin gugup.

Daichi menatap mereka semua, kembali tertawa, karena apa yang harus disedihkan ketika ia punya tim seperti mereka?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro