Bab 3: Serangan Panik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Suki bangun dengan jantungnya yang berpacu dan napasnya yang tidak beraturan. Keringat membuat tangan dinginnya lembap ketika perasaan takut yang familier mencengkramnya. Dia tahu apa yang terjadi, maka ia mencoba untuk duduk, tapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Lelah memperjuangkan perang yang pasti akan membuatnya kalah, dia berbaring di sana dengan mata terpejam dan membiarkan episode itu berlalu.

Serangan paniknya dimulai ketika dia berumur sepuluh tahun. Sebelum itu, dia memiliki kehidupan yang sebaik yang dapat diimpikan setiap gadis kecil—orang tua yang mencintainya, teman-teman yang menyenangkan di sekolah, dan semua buku yang ia inginkan! Mereka bahkan tinggal di rumah milik mereka sendiri di sebuah komunitas aneh, berseni dekat teluk. Lalu suatu malam, sebuah suara keras membangunkannya. Dia pergi untuk menemukan orang tuanya di kamar mereka, tapi mereka tidak ada di sana, jadi ia turun ke lantai bawah untuk memeriksa. Saat itu, satu-satunya hal yang dia takuti adalah para monster yang mengintip dalam lemarinya. Tentu, tidak ada monster di ruang keluarga.

Itulah saat ia mendengar suara tangisan ibunya. Perasaan dingin menyelimuti tubuhnya. Dia tahu ada sesuatu yang benar-benar salah. Ibunya tidak pernah menangis.

Dia berlari ke arah dapur, di mana suara itu berasal dan terhenti pada pemandangan yang dia pikir tidak akan pernah dilihatnya seumur hidup. Ibunya menelungkup di samping bak cuci piring dengan tangan menutupi wajahnya sementara ayahnya menendang ibunya lagi dan lagi. Ada gelas pecah di sekeliling mereka dan ruangan itu berisi bau yang aneh. Kemudian, dia tahu bahwa itu bau dari wiski.

"Ayah?" tangisnya, ketakutan.

Kedua orang tuanya berpaling menatapnya. Ibunya berdiri dan berlari ke arahnya, tidak mengindahkan pecahan gelas yang menyakitinya saat melangkah. Dia mengingat ibunya mendekap Suki, melindunginya dari pengelihatan ayahnya.

"Semuanya baik-baik saja, sayang! Kembalilah ke tempat tidur," ujar ibunya, mencoba menenangkan.

Dia mencoba menjauh untuk melihat sekilas bayangan ayahnya. "Kenapa ayah menendangmu? Ada apa, Ma?"

"Tidak ada apa-apa. Semuanya hanya salah paham. Kembalilah ke tempat tidur." Dia mengarahkan Suki menuju tangga.

Tidak ingin membuat ibunya lebih gelisah lagi, Suki mulai berjalan kembali ke kamarnya. Saat berada di puncak tangga, dai berbalik dan melihat ayahnya menjambak rambut ibunya dan berkata lagi dan lagi, "Ini semua salahmu!"

"Ayah, tidak!"

Dia berteriak dan mencoba berlari ke arah mereka, tapi pening yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia tidak bisa bernapas. Dia jatuh.

Ketika ia membuka matanya, dia berada di rumah sakit dengan ibunya tertidur di sisi tempat tidur.

"Mama?"

"Suki!"

Ibunya terbangun, melihatnya dengan mata yang cemas. Dia menyisir rambut menjauh dari wajah Suk dan berkata, "Bagaimana perasaanmu, sayang?"

"Apa yang terjadi, Mama? Kenapa aku berada di rumah sakit?"

"Kamu terjatuh dari tangga, sayang, jadi kamu harus tinggal di sini untuk sementara."

Suki melihat ke sekeliling. "Di mana ayah?"

"Ayah ada di rumah."

Dia lalu menggenggam tangan Suki dan menjelaskan, "Dengarkan, sayang. Sekarang ini, ayah sedang merasa tidak baik, jadi kita harus menolongnya. Jangan beri tahu siapa pun tentang apa yang terjadi tadi malam, oke?"

"Tapi dia menyakitimu, Mama! Kenapa ayah menyakitimu?" tanyanya, air mata jatuh menuruni wajahnya.

Dia sangat mencintai ayahnya. Dia adalah Superman-nya, tapi dia tidak bisa melupakan apa yang dia lihat. Bagaimana bisa pria yang dia pikir akan selalu mencintai dan melindunginya berubah menjadi penjahat?

"Itu salah ibu. Aku melakukan sesuatu yang membuat ayah kesal. Dia sangat menyesal tentang itu sekarang, jadi maafkan dia dan jangan beri tahu siapa pun, oke? Jika kamu memberi tahu seseorang, mereka mungkin akan menelepon polisi dan polisi akan datang dan membawa ayah pergi. Kamu tidak ingin itu terjadi, bukan?"

Suki menggelengkan kepalanya sementara ibunya menghapus air mata yang turun.

"Berjanji kamu tidak akan memberi tahu siapa pun?"

"Oke, aku berjanji."

Suki tidak ingin siapa pun mengambil ayahnya. Mungkin besok, semuanya akan baik-baik saja.

"Suki? Apa kamu bangun?"

Ketikan di pintu dan suara Devin membawanya kembali ke kenyataan.

"Devin..." Suki memaksa dirinya untuk tenang.

Pintu terbuka dan dia melihat Devin menjulurkan kepalanya untuk memeriksa gadis itu. Ketika pria itu melihat raut tersiksa di wajah Suki, ia segera berlari masuk.

"Suki? Ada apa?"

"Se... serangan... pa..panik," gagapnya.

Ia naik ke tempat tidur untuk membiarkan gadis itu bersandar pada dadanya. Ia kemudian menyapu rambut dari wajah gadis itu dengan tangannya dan memberi tahu, "Suki, kamu harus bernapas perlahan. Ikuti aku, oke?"

Ia lalu menarik napas dalam-dalam, menyarankan gadis itu melakukan hal yang sama hingga dia dapat melakukannya sendiri.

"Tenanglah, semuanya baik-baik saja," bisik pria itu kek telinganya. Kedua tangannya mengelus kedua sisi lengan Suki.

Perlahan-lahan, napasnya kembali normal dan kegelisahan yang menutupi pikirannya mulai menghilang. Saat dia mulai mendapatkan kembali kontrol diri, dia mulai menyadari posisi mereka dan merasakan rona hangat muncul di pipinya.

"Aku baik-baik saja sekarang," ujarnya, suaranya hampir tidak bisa dibedakan dari suara napasnya.

"Aku senang mendengarnya," ujar pria itu di balik leher Suki.

Berhati-hati untuk tidak membuat pergerakan yang tiba-tiba, Devin menjauh. Lalu, ia keluar dari tempat tidur dan berjongkok di lantai di depan gadis itu. Mata cokelatnya menyapu pandangan ke wajah Suki.

Suki menatapnya balik. Dia berpakaian dengan kasual dalam baju hangat berwarna abu dengan lengan yang digulung dan denim hitam pudar. Rambutnya masih basah dan dia tercium seperti kayu segar. Ketika matanya bertemu dengan pria itu lagi, dia memalingkan pandangan.

"Ini kedua kalinya aku menjadi pelatih napasmu," ujarnya dengan nada yang santai. "Aku harus meminta bayaran jika ini terjadi lagi."

Dia memberi pria itu senyum kecil, tapi hanya itu yang bisa dia berikan.

"Sebenarnya," ujarnya setelah waktu berselang. "Aku datang untuk memeriksamu karena aku harus pergi sekarang untuk mengambil sesuatu dari kantor. Mungkin membutuhkan waktu satu jam, jadi aku tidak ingin pergi tanpa memberitahumu jika kamu bangun."

"Oh," ujarnya ketika mendorong selimut dari kakinya. "Aku bisa pergi dalam lima menit. Maaf karena membuatmu menunggu!"

Dia menahan lengannya sembari tertawa kecil. "Tidak, aku tidak datang ke sini untuk menendangmu keluar. Sebenarnya, aku berharap kamu menunggu hingga aku kembali. Aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu, tapi aku benar-benar harus pergi dalam beberapa menit."

"Aku tidak yakin..." Suki mendorong helaian rambut dari wajahnya. Membuatnya dapat meneliti Devin dengan cermat.

"Tolong." Devin menyertai permintaan dengan matanya yang mencerminkan pesona dari senyumnya. Untuk semenit, Suki merasa silau.

"Lagi pula, kamu tidak bisa pergi tanpa memakan sarapan yang aku buat. Juga, aku melihat kamu tidak memiliki ponsel, jadi aku meninggalkan iPad cadanganku di meja makan. Kamu bisa menggunakan itu untuk menjelajah internet jika kamu butuh," lanjutnya.

Suki melihat ke arah bawah untuk melindungi diri dari serangan perilakunya yang menawan. Saat dia memilin kain seprai, dia berbisik, "Kenapa kamu melakukan ini?"

Butuh beberapa waktu untuk Devin merespon, jadi Suki mengalihkan pandangan pada pria itu. Matanya terlihat sedih, hampir seperti pria itu merasa kasihan padanya.

"Karena itu hal yang benar untuk dilakukan."

Suki mengerutkan alisnya atas jawaban pria itu. "Aku... Kamu tidak harus melakukan ini."

"Aku tahu, tapi aku ingin melakukannya. Jadi akankah kamu menunggu hingga aku kembali? Hanya akan memakan waktu setengah, paling lama."

Suki menghela napas. Pria itu membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dipikirkan tentang pria itu, tapi di saat yang sama, apa artinya satu jam? Jika pria itu ingin menyakitinya, ia akan melakukannya saat Suki tertidur. Lagi pula, dia belum membuat rencana yang konkrit kemarin malam, jadi hal ini menguntungkannya. Ini akan memberinya waktu untuk memeriksa internet dan membuat beberapa pertemuan.

"Oke, aku akan menunggumu."

"Bagus!" Devin kembali berdiri dan berjalan ke arah pintus. Dia lagi-lagi tersenyum lebar. "Aku akan pergi kalau begitu. Jangan terlalu merindukanku."

Ia memberi gadis itu kedipan menggoda sebelum menutup pintu.

Dia memutar bola matanya. Pria itu harus berhenti berkedip seperti tadi. Dia tidak pernah paham mengapa orang-orang melakukannya. Itu aneh.

Ketika pintu tertutup di belakangnya, dia turun dari tempat tidur. Ketika dia berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan bertanya-tanya apa yang Devin katakan padanya. Dia mempertimbangkan jawaban-jawaban saat berdiri di depan wastafel, tapi dia terkejut dengan wajah yang ada di cermin. Suki tersenyum.

Kenapa? Pikirnya heran.

Wajah Devin yang sedang tertawa, saat berkedip padanya, muncul kembali dalam ingatan. Senyumnya kembali muncul.

"Bangun, Suki! Fokus, fokus, fokus." Dengan tangan yang lembut, dia menampar pelan pipinya.

Kamu tidak akan melihatnya lagi setelah hari ini, dan itu yang terbaik.

Begitu kata-kata itu muncul di pikirannya, dia merasa tangan kesedihan mengguncang pintu yang tidak pernah Suki lihat sebelumnya. Dia menatap kembali ke arah kaca dan melihat wajah yang selalu dikenalnya. Begitu lebih baik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro